Skip to main content

Wish She Was Still Alive

"Krekkk..krrekk
kreett..." kudengar suara berderit-derit dari arah jendela teras. Aku pun melongok keluar, memeriksa keadaan. Sepi. Kosong. Melompong. Mungkin hanya perasaanku. Ya sudahlah.
Esok malamnya, pada jam yang sama, "Krreeeeek... kreeeeeekkkk... kreeeerrrkk..."
Lagi-lagi suara itu mengusik indera pendengaran. Namun kali ini terdengar dari luar pintu kamar. Bunyinya pun lebih keras dan seolah lebih dekat. Maka segera kubuka pintu kamar. Nihil. Kosong. Melompong. Sunyi. Ya sudahlah, mungkin engsel pintu kamar ini agak berkarat, pikirku sambil-lalu.
Kemudian, keesokan malamnya, lagi-lagi...
"Grrrreeekk... gggrrrrreeekkk.... grgrhrekkk!!!,"
Kali ini aku benar-benar tidak salah dengar, ada suara garukan. Terdengar lebih jelas. Amat jelas, karena... itu berasal dari kolong bawah ranjangku! Deg! Jantungku seketika berdegup tegang. Oleh sebab nalar yang menyadari suatu keganjilan, entah apakah itu, semakin mendekat... dan kini hadir bersamaku di sini. Perasaan berkecamuk, bertubrukan dan bergumul hebat dalam hati. Namun rasa penasaran yang akhirnya menggenggam kemenangan. Dengan sigap aku beringsut, mencoba mengintip perlahan, setelah mengamati beberapa saat dalam gelapnya kolong tempat tidur yang lembab itu, sesuatu tertangkap mataku... membuatku terkesiap ngeri saat mengetahui bahwa memang ada sesosok makhluk asing di bawah sana. Padahal aku sungguh berharap keadaan akan sama seperti sebelum-sebelumnya, kosong, melompong, dan sunyi. Tapi tidak.
Walau hanya sekelebat, aku sempat melihatnya. Sosok itu. Kulit putih pucatnya kontras dengan kegelapan hitam kolong ranjang langsung tertangkap oleh mataku. Jari-jemarinya panjang nan lentik tengah sibuk mencakari papan bagian bawah kasur, namun ia segera berhenti saat menyadari tatapan nanarku. Ia menoleh menghadapku, lehernya memutar begitu cepat bak boneka kayu, ia lantas menyeringaikan seulas senyuman, menampakan bibir sobek dari telinga ke telinga yang membuatku merinding sampai tulang. Senyum lebar hitam, mata terbelalak ganas memancarkan aura membunuh, dengan rambut panjang lurus yang juga hitam terurai membingkai wajah tirus nan pucat. Makhluk itu tersenyum beberapa saat sambil mengeluarkan bunyi-bunyian yang kukira sebagai desisan sebelum akhirnya menghilang menembus lantai kolong.

Mampus! Aku membatin kasar. Berjuta pertanyaan sekonyong-konyong muncul dalam benakku. Semuanya menjurus pada sosok tersebut. Hal-hal yang membuatku menyesal telah nekat menjelajahi kuil keramat itu. Mereka sudah bilang, kuil itu jahat, kuil itu dikutuk, semua yang memasukinya akan terjerat sebuah kutukan. Kutukan Garukan mereka menyebutnya. Konon seorang penyihir wanita pernah dikurung di sana, mereka menyiksanya dan memotong kuku-kuku indah runcingnya sampai berdarah-darah. Ia berusaha melarikan diri, dengan cara apapun bahkan mencakari pintu-pintu serta jendela. Namun sia-sia. Hingga ketika ajal hampir tiba, dengan darah yang mengucur dari jemarinya, ia menuliskan sebait mantra. Barang siapa menginjakan kaki di sana, mereka akan terkena kutukannya.

Namun sebagai manusia berjiwa pongah, aku lebih mengutamakan logika dan nalar yang KINI malah berbalik mengkhianatiku. "Sial!" Umpatku. Kemarahan ini agak mengejutkan bahkan untuk diriku sendiri. Karena belum pernah sekalipun aku merasa setakut ini, merasa terancam oleh aura bengis yang baru saja dipancarkan makhluk itu padaku. Perasaanku jadi kacau balau. Maka kuputuskan... untuk menghadapinya. Aku terlalu gengsi untuk menyerah pada hal-hal yang selama ini kusangkal. Aku adalah manusia berpendidikan. Aku lebih tinggi dari pada mereka. Kutarik nafas dalam-dalam, dan...

"WOI!!, aku sudah lihat wujudmu, sudah tak usah bersembunyi!" Teriakku menantang. "Ini rumahku, bukan kuilmu! Jangan menggangguku! Berhenti menggaruki barang-barang! Nanti catnya bisa mengelupas! Dasar tolol!"

Satu detik... dua detik... tiga detik... sunyi.
Satu jam... dua jam... tiga jam... sepi.
Lelah menunggu, aku putuskan untuk berbaring sebentar. Mencoba menenangkan diri, meredam gejolak hati dan menyudahi kesongonganku untuk sejenak. Berpikir bahwa aku sudah menang. Makhluk itu pasti minggat entah kemana. Perasaan lega menyelimutiku, meninabobokan pikiranku, hingga kemudian aku pun jatuh terlelap dalam damai... damai... damai... yang segera kembali terusik hebat saat kurasakan sesuatu dari dalam diriku.
Dari dalam tubuhku, terasa sebuah sensasi ganjil. Seolah ada yang mencakar dan menggaruk. Awalnya pelan namun semakin lama semakin kencang di setiap garukannya, sampai-sampai tubuhku berguncang-guncang tak terkendali. Rasa perih yang menyeruak dari dalam seketika saja menghancurkan kedamaian yang kurasakan sesaat lalu, membuatku berguling guling tak tentu arah sambil mendekap perut yang serasa mau pecah. Aku mengerang tersendat, dengan nafas tersengal dan memburu. Seolah jantung, paru-paru, hati, usus dan segala organ dalamku tengah diaduk aduk dengan kecepatan tinggi. Sakit sekali rasanya, bahkan untuk berteriak pun tak bisa. Satu-satunya hal yang terbayang dalam pikiranku adalah jari-jemari lentik pucat makhluk itu kini tengah beraksi sadis di dalam tubuhku.
Dan setelah beberapa menit yang terasa seperti siksaan tanpa akhir, cairan merah mulai bermuncratan, dari mana-mana, dari perutku yang mulai tercabik cabik, dari lubang hidung, serta dari mulutku. Bisakah kau bayangkan itu? Jangan. Nanti kau mual.

Sesaat sebelum ragaku melepaskan nyawanya, kudengar suara garukan itu berganti menjadi suara cekikikan nyaring meraung-raung dalam tempurung kepalaku. Kemudian semuanya pun menjadi gelap gulita diiringi bunyi statis melengking yang semakin lama semakin pelan lantas sunyi... dan menghilang.

Jadi begitulah teman, akhir dari riwayatku.

Tapi tunggu... apa kau dengar sesuatu... suara dari pintu terasmu... suara seperti... garukan...

"krrreeek kkreeek kreekhhh..."

Jangan khawatir teman, itu hanyalah aku yang sedang mengintaimu. Itu hanyalah aku yang sedang menyebarkan kutukan berantai ini. Aku sungguh tak sabar ingin mengaduk-aduk isi perutmu dari dalam dengan jari-jariku.

Sebelas tahun yang lalu, aku mengenal seorang gadis. Dia adalah gadis paling manis yang pernah aku tahu. Dia bekerja di toko permen lokal. Bila kau berbicara dengannya, dia terlihat begitu lugu. Bahkan meski dia tidak mengenalmu, dia akan memperlakukanmu seperti sahabatnya .

Namun, pada tahun 2003.. Dia melakukan bunuh diri untuk alasan yang tidak diketahui. Tidak ada yang pernah tahu mengapa.

Dia ditemukan di lotengnya, gantung diri. Yang ku ingat, aku melihat lehernya bengkok dan mata birunya menatap kami, seolah-olah dia masih hidup. Dan aku sungguh berharap dia masih hidup.

Seminggu kemudian di jendela rumahnya, aku melihatnya lagi. Tapi kali ini , dia berdiri di atas sesuatu dan aku mendengar sesuatu ditendang. Dan tubuhnya jatuh sebelum tertangkap oleh tali.

Aku tidak percaya apa yang ku lihat. Aku pulang ke rumah setelah itu. Tapi pada hari berikutnya aku berjalan ke rumahnya lagi. Aku melihat gadis itu dari jendela. Dia menggantung saat ini, ia melihat melalui jendela ke arahku. Dia melambai sambil tersenyum kecil. Aku buru-buru lari.

Pada malam berikutnya, aku pergi ke rumahnya lagi. Ketika ku membuka pintu, aku mendengar suaranya. Dia cekikikan. Aku mendengarnya di loteng dan aku segera lari ke atas, yang harus kuakui ini adalah ide yang mengerikan. Dia berdiri di sana, tertawa dan menunjuk jarinya ke arahku .

Mata birunya tampak bersinar. Aku menjerit dan berlari kembali. Ketika saya akhirnya di luar, ia berdiri di ambang pintu. dia melihat saya dan cemberut kepadaku tapi kemudian tersenyum dan dia berkata "Selamat tinggal." Itulah terakhir aku pernah melihatnya. Dia mungkin lebih bahagia sekarang. Itu hal yang baik

Comments

Popular posts from this blog

THE SCRATCHING CURSE

THE SCRATCHING CURSE - "Krekkk..krrekk kreett..." kudengar suara berderit-derit dari arah jendela teras. Aku pun melongok keluar, memeriksa keadaan. Sepi. Kosong. Melompong. Mungkin hanya perasaanku. Ya sudahlah. Esok malamnya, pada jam yang sama, "Krreeeeek... kreeeeeekkkk... kreeeerrrkk..." Lagi-lagi suara itu mengusik indera pendengaran. Namun kali ini terdengar dari luar pintu kamar. Bunyinya pun lebih keras dan seolah lebih dekat. Maka segera kubuka pintu kamar. Nihil. Kosong. Melompong. Sunyi. Ya sudahlah, mungkin engsel pintu kamar ini agak berkarat, pikirku sambil-lalu. Kemudian, keesokan malamnya, lagi-lagi... "Grrrreeekk... gggrrrrreeekkk.... grgrhrekkk!!!," Kali ini aku benar-benar tidak salah dengar, ada suara garukan. Terdengar lebih jelas. Amat jelas, karena... itu berasal dari kolong bawah ranjangku! Deg! Jantungku seketika berdegup tegang. Oleh sebab nalar yang menyadari suatu keganjilan, entah apakah itu, semakin mendekat... da...

KARMA

KARMA Catatan 1 Aku membuat kesalahan yang amat besar. Kupikir aku hanya paranoid awalnya, namun sekarang aku tahu bahwa dia mengikutiku. Dia tidak pernah membiarkan aku melupakan sebuah kesalahan bodoh itu. Aku tidak begitu yakin seperti apa wujudnya. Satu-satunya nama yang bisa kusebutkan adalah Karma. Kupikir dia akan melindungiku … namun aku salah. Mari kita mulai sejak dari awal. Ada sebuah ritual yang tidak begitu terkenal memang, dia disebut sebagai Pembalasan Karma. Untuk alasan yang bisa kalian pahami, aku tidak bisa menjelaskan detil ritual ini. sungguh terlalu berbahaya. Aku diceritakan mengenai ritual ini. Mitos yang mendasari ritual ini adalah, setelah kalian melakukan ritual sederhana ini, Karma akan mengadilimu, membalasmu. Jika dia memutuskan bahwa kalian merupakan orang baik-baik, maka hidup kalian akan seperti di sorga, disisi lain … well, itulah alasan kenapa aku menulis ini semua. Aku pasti telah melakukan kesalahan. Aku benar-benar orang yang baik, setidaknya...

WRITING ON THE WALL

WRITING ON THE WALL  - Ketika aku masih muda, ada sebuah bangunan hancur di bawah jalan. Semua anak-anak di daerah di jauhkan dari tempat itu, karena isu dan berita bahwa tempat itu angker. Dinding beton lantai dua dari bangunan tua yang sudah retak dan runtuh. Jendela yang rusak dan pecahan kaca bertebaran di lantai di dalamnya. Suatu malam, untuk menguji keberanian, sahabatku dan aku memutuskan untuk mengeksplorasi tempat tua yang menyeramkan itu. Kami kami naik melalui jendela belakang gedung. Seluruh tempat kotor dan ada lapisan Lumpur di lantai kayu. Saat kami membersihkan diri kami, kami melihat dan terkejut melihat bahwa seseorang telah menulis kata-kata "AKU SUDAH MATI" pada dinding langit-langit. "Mungkin hanya beberapa remaja yang mau mencoba untuk menakut-nakuti anak-anak", kataku. "Ya, mungkin saja...", jawab temanku dengan nada gugup. Kami mengeksplorasi lebih dari kamar di lantai dasar. Dalam sebuah ruang yang tampaknya pernah menjadi se...