Sunday, October 1, 2017

Bad Case of Baby Blues

"Aku tidak pernah telanjang depan orang lain sama sekali", kata Sadie.

Itu hal yang aneh yang dikatakan orang saat kencan pertama. Tentu saja kami sudah mengobrol tentang pekerjaan kami, keluarga kami, film favorit kami, tapi ini hal yang tiba-tiba, aku rasa dia bercanda.

"Maksudmu, kamu adalah orang anti-telanjang?", tanyaku dengan senyum simpul.

"Bukan", jawabnya sambil tertawa kecil. "Tapi aku ingin bilang di awal untuk jaga-jaga".

Aku mengabaikannya, untukku, sedikit hal yang bisa dikatakan jaga-jaga dari orang yang baru kita temui, apalagi jika orangnya menarik sekali. Lagipula, apapun keunikannya, Sadie itu pintar, seksi, dan manis. Aku sadar aku ingin menemuinya lagi nanti.

Begitulah kenyataannya, aku bertemu dengannya lagi. Kami berpacaran, tinggal bersama, dan akhirnya menikah. Sebuah hubungan asmara yang normal, kecuali fakta bahwa Sadie serius soal keunikannya itu. Selama kehidupan pernikahan kami, tidak pernah sekalipun aku melihatnya telanjang. Dia tidak keberatan jika telanjang saat ganti pakaian atau mandi, tapi di ruangan yang dikunci.

Dia menolak untuk menjelaskan, jadi apapun fobia yang dia punya membuatku penasaran. Semua orang setuju kalau dia cantik, dan dia juga bilang dia tidak punya tato yang jelek atau cerita kelam tentang penganiayaan masa kecil. Saat kami berhubungan suami istri, tanganku menjelajahi semua tubuhnya, tapi aku juga tidak merasakan adanya luka. Akhirnya aku menyerah saja tentang hal ini dan terima dia apa adanya.

Lalu dia hamil.

Jika sebelumnya kau tidak pernah punya pasangan yang tiba-tiba cuek kepadamu, aku katakan itu tidaklah nyaman. Selama sembilan bulan, sikap manis Sadie seperti hilang. Saat air ketubannya pecah, dan kami pergi ke rumah sakit, dia bahkan melarangku ikut masuk ruang persalinan.

Dan aku sadar itu hal yang bagus, karena saat anakku lahir, aku dengar suara teriakan. Bukan teriakan anak bayi baru lahir, tapi teriakan takut dari orang dewasa. Banyak staf Rumah Sakit masuk ke ruangan, semua dokter dan suster yang menangani persalinan sebelumnya tewas. Ada yang matanya mereka congkel sendiri, ada yang tenggorokannya mereka gorok sendiri, atau kepalanya pecah karena mereka benturkan ke tembok.

Dan Sadie tidak sadar atau peduli terhadap keadaan sekitarnya yang penuh darah, dan dia menggendong bayi kami dengan selimut.

Tidak ada satupun orang yang paham. Tidak ada orang yang paham seperti aku paham.

Mereka yang tewas itu sudah melihat anakku. Anakku yang baru lahir dan telanjang.

Hari-hari berikutnya, aku merasa aku tidak nyaman di rumahku sendiri. Sadie sering duduk di kursi goyang, sambil menggendong anak kami yang sangat pendiam, dan seringkali mereka berdua menatapku.

Tidak lama kemudian, Sadie meninggal karena kecelakaan mobil. Entah kenapa aku jadi lega, tapi jadi orangtua tunggal tidak mudah. Sendirian dengan anakku yang sering kali menatapku dengan dingin.

Aku menutup mataku saat memandikan dan mengganti pakaiannya. Apapun dia, aku hanya bisa berasumsi aku akan bernasib sama jika aku melihat dia telanjang. Tapi aku juga dibuat gila jika tidak tahu apa di baliknya.


oleh nprnvx
  Follow
Bayiku amat sempurna. Semua orang mengatakan dia amat mirip denganku. Kami membawanya pulang dari rumah sakit ke kamar barunya yang baru saja kami cat. Ia menghabiskan minggu-minggu berikutnya dengan makan (minum ASI sebenarnya) dan tidur. Sedangkan kami, yah, kekurangan tidur tentu saja. Kami kelelahan, namun bahagia.

Dia berumur sekitar delapan bulan ketika istriku datang ke dapur saat aku tengah menyiapkan sarapan. Wajahnya terlihat aneh. Aku belum pernah melihatnya seperti itu. Aku menanyakan apakah ia baik-baik saja.

"Ada yang aneh dengan bayi kita." ucapnya.

Aku segera meletakkan panci penggorengan dan berlari ke kamar anak kami. Ia masih berbaring di atas ranjangnya sambil menendang-nendangkan kaki gemuknya ke udara dan menatap mainan yang digantung di atasnya. Ketika ia melihatku, mulutnya melebar dan ia tertawa. Aku mengangkatnya dari atas ranjang bayi dan menoleh ke arah istriku yang berdiri di ambang pintu.

"Ia terlihat baik-baik saja. Ada apa memangnya?"

"Di.. dia.." istriku terbata-bata, "Dia mengatakan sesuatu. Ia berbicara.."

Aku menatap bayi yang berada dalam dekapanku. Ia bahkan belum bisa menegakkan kepalanya untuk menatapku.

"Dia pasti hanya menggumamkan sesuatu dan kau salah mengiranya sebagai sebuah ucapan." Namun istriku tidak bereaksi, "Apa memangnya yang dia katakan?"

"Anak iblis." ia tampak ragu, "Dia mengatakan 'anak iblis'."

Aku tak bisa menahannya. Aku langsung tertawa terbahak-bahak. Namun aku berhenti ketika melihat wajah istriku berubah menjadi marah.

"Jangan marah.. maksudku, dia bisa saja sedang tertawa seperti "haha hihi" dan kau mendengarnya seakan dia mengatakan 'anak iblis'. Ayolah.. anak kita kan bukan Damien Omen?"

Ia meninggalkan kamar anak kami dengan wajah kecut. Akupun mengikutinya sampai ke lorong. "Hei, kenapa kau begitu kesal soal ini?"

Ia membalikkan tubuhnya ke arahku, "Karena dia.." ia menunjuk ke arah bayi kami yang sedang kugendong, "Dia melihatku dan dengan sangat jelas mengatakan bahwa dia iblis! Perkataannya sungguh jelas. Aku tak mungkin salah dengar!"

Ia lalu membanting pintu kamar tidur tepat di depanku.

Segala sesuatu menjadi semakin buruk semenjak itu. Ia mendengar bayi kami mengatakan banyak hal buruk. Namun itu hanya klaimnya. Semua kejadian itu hanya terjadi ketika dia sedang berduaan dengan bayi kami. Ia akhirnya berhenti merawat bayi kami. Ia menolak memberinya makan, menggendongnya, atau bahkan hanya berada dekatnya. Akhirnya ia mengalami mental breakdown. Hal itu benar-benar tak bisa dihindari. Ia berhenti makan, berhenti tidur. Hingga suatu pagi aku menemukannya di kamar mandi. Tubuh kakinya terbenam dalam bathub yang terisi penuh dengan air dan darah.

Setelah polisi pergi dan jenazahnya dibawa untuk otopsi, aku pergi ke kamar anakku untuk menidurkan bayiku. Aku mengeluarkan speaker kecil yang kusembunyikan di dalam onesie-nya (pakaian bayi). Aku menatap ke mainan yang bergantung di atas tempat tidur bayiku. Ada kamera di dalamnya. Semua itu sangat mudah, menyesuaikan kata-kata yang kuucapkan dengan gerakan mulut bayiku. Aku kemudian turun untuk menelepon pacarku.

"Halo? Ya, Sayang.. semua sudah selesai."

No comments:

Post a Comment

Creepypasta Indonesia, Riddle Indonesia, Cerita Seram, Cerita Hantu, Horror Story, Scary Story, Creepypasta, Riddle, Urban Legend, Creepy Story, Best Creepypasta, Best Riddle, short creepy pasta, creepypasta pendek, creepypasta singkat