Pada waktu malam aku selalu tidak bisa tidur. Mungkin imajinasiku masuk dalam takaran wajar untuk anak usia 5 tahun. Kamar sempitku ada di tingkat ke 2 dari rumah kami yang sebenarnya tidak begitu megah. Saat ibuku selalu ke kamarku dan memberiku 'ciuman selamat malam' tiap hari, ia harus naik tangga dulu.
Terkadang, aku tertegun di tepian ranjang, lalu bergeser ke dekat jendela. Ketika aku terbangun tiba tiba dari dunia mimpiku. Menatap awang awang langit dari jendela kamarku yang kusam dan berhias debu, saat malam sudah begitu pekat. Bintang kejora yang mendominasi langit hitam, mengerlip dari tempatnya di atas sana, di penghujung langit. Menari bahagia dengan cahayanya di antara menusuknya malam. Diadu dengan pendaran lampu jalan kecil usang nan temaram. Sangat indah, sangat sempurna.
Betapa aku, sebagai anak kecil, mencintai kegelapan.
Itulah kenapa, warna favoritku adalah hitam. Dan itu juga alasan, kenapa aku tak pernah menghidupkan lampu kamarku. Hanya bias keperakan Raja Malam yang jadi penerangan remang remang. Aku selalu terbangun tengah malam, hanya untuk menyempatkan diri menatap keluar jendela. Mendengar kerikan jangkrik, lolongan semacam anjing--senandung alam yang merdu. Penuh misteri dan ketenangan.
Namun itu tak bertahan lama, kurasa.
Saat aku beranjak ke 7 tahun, suatu malam lain yang indah, aku memandang ke luar jendela lagi. Tempo itu, aku menyaksikannya, sesuatu yang berdiri diantara pepohonan rimbun. Penglihatanku tak terlalu bagus. Aku mendapati monster. Ya, itulah caranya ku sebut 'dia'. Dia itu monster.
Aku mulai ketakutan, menggambarkan sosok makhluk kejam bertaring dengan cakar yang kasar di dalam otakku--gambaran monster pasaran. Sosok yang selalu berdiri di mulut hutan--seperti menungguku di kegelapan, ia seperti menatapku walaupun aku tak bisa melihat mukanya. Apa dia tahu ada sepasang mata yang mengintainya dari sini? Sejak saat itu, kapanpun aku bangun dan mengintipnya, ia selalu berdiri di sana, menantikanku. Anehnya ia hanya muncul tengah malam, kapanpun saat terang, dan aku pergi ke tempat ia berdiri sebelumnya, aku tak pernah mendapatinya.
Kucoba diskusikan dengan ayah saat sarapan pagi. Kau tau tanggapannya? Ia terbahak bahak sambil menepuk jidatnya, sambil berkata dengan ekspresi 'Oh, Derry-kau-terlalu-banyak-nonton-film-hantu.' Kemudian ia kembali menonton tv dengan raut membosankan.
Anak kecil memang selalu percaya perkataan orang tua. Tapi orang tua tak pernah percaya perkataan anak kecil.
Malamnya saat ibu kembali ke kamarku yang tanpa pencahayaan, aku protes padanya.
"Ibu, aku melihat ada monster di dekat hutan di samping rumah kita! Aku serius! Itu bukan khayalanku!"
Mata teduhnya menatapku, "Nak, monster itu memang ada. Tapi mereka takkan melukaimu karena kau manis sayang. Percayalah. Sekarang tidur," Ibu mengecup keningku di kegelapan lalu melangkah ringan menuruni tangga dengan suara deritan kayu.
ia, monster itu kembali datang, dan kali ini, saat aku mengawasinya, ia maju beberapa meter mendekat ke rumah dari tempatnya semula. Tentu saja aku takut. Hal pertama yang kulakukan adalah menutup jendela dan mengunci kamarku. Aku meraih selimut dan menutup sampai ke jenjang leher. Menyiapkan barisan boneka teddy bearku secara berjejer sebagai pasukan pelindungku. Monster itu tak boleh masuk. Seincipun tidak.
Rasanya aneh. Aku ketakutan tapi menyukai debaran ini pada waktu bersamaan. Seperti ada detail yang kulewatkan. Aku mengintip lagi dari cela selimut yang bolong dengan ragu-ragu. Tubuhku membeku. Ada sosok hitam di luar jendelaku, mematung menatap lurus ke kamarku yang dilantai 2. Jarak kami kurang dari 1 meter. Saat itu, aku menjerit melengking dengan keras sembari terisak ketakutan. Kepalaku pusing. Ini tak mungkin terjadi. Aku membungkus diriku dengan selimut, setebal mungkin, sampai monster menakutkan itu tak bisa melayangkan jarinya padaku.
Tiba tiba aku mendengar suara ibuku yang begitu menenangkan seperti air jernih, ia segera menanyaiku. Apa dia terbangun juga karena teriakanku? "Kenapa sayang?"
"A-aku takut monster..."
"Ya, ibu mengerti. Sekarang tidurlah lagi yang indah, ibu takkan berhenti mengunjungi mu untuk menenangkan dan menciummu saat malam." Ia mengecup lagi dahiku, rasa hangat yang damai menyelimutiku dan paranoidku berkurang drastis, seperti air yang surut. Aku menggeleng cepat.
Ia melengkungkan bibirnya dalam kegelapan kamar. Membuatnya agak susah dilihat jelas. "Sayang, sudah kubilang monster takkan melukaimu." Ia memelukku sampai tenggelam dalam dekapannya.
Saat itu aku menyadari satu hal.
Aku terlalu takut untuk bertemu ibu dalam bentuk aslinya.
No comments:
Post a Comment
Creepypasta Indonesia, Riddle Indonesia, Cerita Seram, Cerita Hantu, Horror Story, Scary Story, Creepypasta, Riddle, Urban Legend, Creepy Story, Best Creepypasta, Best Riddle, short creepy pasta, creepypasta pendek, creepypasta singkat