Friday, October 6, 2017

He Did Not Stop Smiling

www.horrorcreepypastariddleindonesia.ga

Fly adalah anak yang aneh, bahkan untuk standar anak aneh. Aku bertemu dengannya di kelas 6, saat urutan alfabet nama belakang membuat duduk kami berdekatan, dan dia menoleh untuk memandangku dengan tatapan riang, dan senyum lebar yang menampakkan gigi-giginya.

“Hai!” dia menyapa.

“Hai.” Aku membalas pelan.

Aku masih malu dan takut di hari pertamaku masuk SMP, tapi dia tidak gugup sedikitpun.

“Aku Eden, tapi tak ada yang memanggilku dengan nama itu. mereka memanggilku Fly, jadi kau juga bisa memanggilku begitu!”

“Um, trims. Aku Stephanie.”

“Kita harus berteman!”

“Oke.”

Tapi aku dan Fly tidak benar-benar menjadi teman. Dia bicara padaku selama pelajaran, berjalan di belakangku saat di koridor, bahkan dia beberapa kali mengikutiku pulang ke rumah, tapi aku tak pernah merasa “klik” dengannya. Sejauh yang kutahu, tak ada orang lain juga.

Tapi itu tak membuatnya berhenti tersenyum. Dia selalu tersenyum, selalu riang, selalu dalam suasana hati yang baik. Meski saat dia duduk sendirian waktu makan siang, atau menjadi pilihan terakhir di kelas olah raga, selalu tersenyum, dan senyumnya selalu terlihat ikhlas.

Kami semua menganggapnya aneh.

Dia pernah diundang ke rumahku sekali, saat ibuku melihatnya berdiri di luar jalan masuk pekarangan kami pada suatu hari sepulang sekolah, saat aku berlari menuju pintu depan.

“Kenapa kau tak mengundang temanmu masuk?” ibuku bertanya saat aku sudah di dalam.

“Itu cuma Fly, dia aneh, dia bukan temanku.”

“Kelihatannya dia ingin jadi temanmu. Kau sudah memberinya kesempatan?”

Aku memandang keluar ke si gadis, yang sedang tersenyum dan mengayunkan kakinya di trotoar di luar rumah kami, seakan berharap jika dia menunggu cukup lama dia akan diundang masuk.

“Haruskah?” aku menggerutu.

“Ayolah, nak, mungkin dia anak yang baik!”

Aku mengerang, tapi akhirnya mengalah dan membuka pintu untuk berteriak pada Fly. “Ibuku bilang kau boleh masuk untuk makan malam!”

Wajah berbintik Fly terangkat dan dia tak membuang waktu lagi untuk berlari masuk.

Di meja makan, orangtuaku membuat obrolan kecil dengannya dan menanyainya berulangkali apakah dia harus menghubungi orangtuanya untuk mengabari sedang di mana sekarang.

“Tidak, benar-benar tak apa-apa, mereka tak akan keberatan! Ibuku kerja malam dan ayahku sakit-sakitan, jadi mereka tak akan keberatan jika aku makan di rumah teman,” dia berujar.

Makan malamnya tidak buruk, dia tidak membuat masalah, dia tetap diam kecuali ada yang mengajaknya bicara, dan dia menawarkan diri untuk mencuci piring, tapi kemudian dia tak mau pergi. Dia bahkan duduk di sofa kami dan menonton TV bersama kami! Ibuku menyindir halus bahwa sekarang sudah larut dan dia harusnya pulang, tapi Fly tak ingin pergi, terang-terangan dan tersenyum.

Dia akhirnya pergi saat ayahku bilang bahwa dia akan mengantarnya pulang agar dia tak harus berjalan kaki dalam gelap.

“Tak apa-apa! Aku suka berjalan.” Dia berkata seraya menyandang ransel gemuknya di bahu. “Terima kasih makan malamnya, itu tadi sangat, sangat enak!”

Kami melihatnya pergi sampai dia menghilang di sudut jalan lalu aku menghela napas lega.

“Tuh, kan?” aku berkata pada ibuku. “Aneh.”

“Jangan jahat, Stephanie Anne. Kupikir dia hanya kesepian.”

Apa saja alasannya, aku benar-benar tak ingin dekat-dekat dengannya.

Akhirnya aku membuat satu grup teman baru, yang Fly tidak termasuk di dalamnya, dan meski kami tidak menyingkirkannya, kami juga tidak berusaha untuk mengajaknya. Fly akan terus melambai padaku seperti biasa, mencicitkan halo, tapi dia sepertinya mengerti bahwa kami bukanlah teman.

Paling tidak begitulah menurutku.

Semua bermula dengan sensasi janggal di kulitku yang serasa sedang diawasi saat aku pulang sekolah pada suatu siang. Saat itu awal musim dingin dan hari mulai memendek, jadi matahari sudah mulai terbenam. Aku berhenti dan berbalik, mengamati jalanan kosong di belakangku, tapi aku hanya sendirian.

Saat aku kembali berbalik, tusukan tiba-tiba bahwa aku sedang diawasi mulai kurasakan lagi. Aku mengambil beberapa langkah lagi lalu berbalik tepat waktu untuk melihat kelebatan warna pink menghilang di tepi jalan.

Aku berlari kembali ke sudut jalan tepat waktu dan melihat Fly sedang mengendap-endap di sisi sebuah rumah, jaket pinknya menyala di papan gelap.

Saat aku sampai di rumah, aku lapor pada orangtuaku bahwa Fly mengikutiku, tapi mereka memberitahuku bahwa mungkin dia hanya dalam perjalanan pulang. Aku mengomel lagi, tapi akhirnya menyerah. Bagaimanapun, mereka bisa saja benar.

Hari berikutnya di sekolah, Fly memberikan senyum dan lambaian tangannya seperti biasa, tapi aku pura-pura tak tahu. Aku ingin agar dia yakin bahwa kami bukanlah teman. Tampaknya dia menangkap pesannya dan berhenti melambai, tapi apakah itu membuatnya tak suka, hanya dia sendiri yang tahu.

Tetap saja, dia tak berhenti tersenyum.

Musim dingin menghantam ganas tahun itu dan salju turun dengan tebal bagai selimut berat di kota kami. Kami terus dan terus mendapat salju selama berhari-hari dan aku menghabiskan banyak waktuku di luar, bermain kereta luncur dan membuat benteng salju dengan anak-anak sekitar.

Biasanya aku tak akan memikirkan jejak kaki di luar rumahku mengingat betapa seringnya aku berlarian di luar, tapi saat aku melompat keluar pintu pada suatu pagi di hari lain, aku melihat sesuatu yang tak biasa.

Semalam salju turun lagi dan aku sangat bersemangat untuk menjadi yang pertama menginjakkan kaki di halaman, tapi sudah ada jejak lain di pintu depan kami. Aku merengut, bertanya-tanya apa mungkin salah satu orangtuaku sudah keluar sementara aku masih di tempat tidur, tapi mereka meyakinkanku bahwa mereka selalu memberi kehormatan bagiku untuk menjadi yang pertama keluar.

Aku menjatuhkan kereta luncurku di samping pintu dan mengikuti jejak itu hingga ke depan rumah, ke samping, kemudian ke belakang, di mana jejak itu berhenti di lingkaran kecil tanpa salju di bawah jendela ruang keluarga kami.

Di lingkaran itu, beberapa ranting telah diikat longgar dengan benang hingga membentuk boneka kasar yang telah ditinggalkan.

Aku menggigil meski jaketku hangat, dan menendang salju menutupi boneka aneh itu sebelum menginjak-injaknya, menyelimutinya dengan salju hingga keras dan kembali rata.

Aku tak punya bukti, tapi aku yakin Fly sudah mengendap-endap berkeliling rumah.

Aku tidak melaporkan jejak atau rantingnya pada orangtuaku; aku ragu mereka akan menganggapnya serius. Mereka terus melihat Fly sebagai gadis kesepian dan tak berbahaya yang sedang mencari teman, tapi aku tahu dia sedang merencanakan sesuatu, dan aku akan menangkapnya dan membuktikan bahwa dia bukanlah gadis polos seperti yang mereka pikirkan.

Aku hanya perlu memikirkan perangkap yang bagus untuk Fly.

Ketukan di luar jendelaku membangunkanku di tengah malam. Aku melesat bangkit dan melihat ke seberang kamar, di mana gordenku ditarik tertutup menghalangi malam. Aku menahan napas, detak jantungku bertambah cepat, dan aku menungu.

Tuk

Aku turun dari ranjang dan mengambil satu langkah, dua langkah menuju jendela. Ada suara, pelan dan teredam, dan aku terdiam.

Dia bicara pada dirinya sendiri, atau mungkin padaku, aku tak yakin, dan itu membuatku bertahan sementara aku mendengarkan bisikannya.

Akhirnya aku berhasil memaksa diriku untuk maju dan menyambar gordenku lalu menariknya terbuka sehingga aku bisa melihat keluar.

Fly sedang duduk di bawah jendelaku dengan salah satu boneka rantingnya di tangan. Saat aku menutup gordenku kembali, dia mengangkat muka, pucat di bawah sinar bulan kecuali matanya yang besar gelap, dan kami saling tatap untuk waktu yang lama, saat yang menegangkan sebelum dia bangkit dan berlari pergi.

Setelah menyentakkan gordenku kembali pada tempatnya di jendela, aku melompat ke tempat tidur dan menenggelamkan diriku di balik selimut. Apa pun yang Fly lakukan, apa pun niatnya, aku benar-benar ketakutan. Aku putuskan jika aku ingin semua ini berhenti, harus aku sendiri yang menghentikannya.

Aku memberitahunya di sekolah di hari berikutnya, memastikan semua orang mendengar bagaimana dia menguntitku dan betapa anehnya dia; apa yang dia lakukan. Dia sangat malu hingga dia harus meninggalkanku!

Meski rencanaku berjalan lancar, aku kembali susah tidur. Setiap suara di luar membuatku bertanya-tanya apakah dia kembali lagi duduk di bawah jendelaku.

Fly tidak di sekolah hari berikutnya, juga hari selanjutnya, dan tak ada yang tahu di mana dia. Meski aku sangat tidak menyukainya, aku tetap penasaran kenapa dia tidak masuk sekolah. Mungkin dia terlalu takut setelah aku memergokinya, atau mungkin dia hanya menunggu, berharap aku melupakannya sehingga dia bisa kembali.

Itu menggangguku, bertanya-tanya sedang di mana dia dan apa yang dia lakukan. Paling tidak jika dia di sekolah, aku bisa terus mengawasinya. Sekarang, dia bisa saja masuk ke rumahku dan melakukan entah apa pada barang-barangku! Pemikiran itu saja sudah cukup membuatku bergetar takut dan marah.

Tampaknya aku akan membuatnya merasakan apa yang biasa dia perbuat.

Sepulang sekolah, aku mendatangi guru kami dan bilang padanya bahwa Fly memintaku membawakan tugas sekolah ke rumahnya, tapi aku lupa alamatnya. Mrs. Oldson sangat bersyukur dan dengan sukarela memberiku tugas untuk Fly beserta alamat rumahnya.

Tak yakin dengan apa yang kuharapkan, aku bergegas pulang sehabis sekolah, menyambar sepedaku, dan berangkat mencari Fly.

Dia tinggal hanya beberapa kilometer dari tempatku di sebuah lingkungan kecil yang bagus dari pagar putih dan bangunan dua lantai. Lampu Natal berkelip dari atap yang penuh salju dan jendela beku. Aku memeriksa alamatnya lagi dan mengayuh jalanku menuju rumahnya, berusaha mencari tahu apa yang harus kukatakan saat bertemu dengannya.

Fly sedang berdiri di luar pekarangannya saat aku tiba, tangannya masuk ke saku jaketnya, memandangi rumahnya.

Aku ngepot, berhenti di trotoar licin dan membiarkan sepedaku ambruk dengan berisik di sampingku.

“Hei!” kataku, berusaha terdengar galak.

“Hei.” Fly menjawab pelan. Dia tidak menoleh untuk melihatku.

“Kenapa kau mengikutiku?” aku mendesak, berkata pedas dengan nada tepat dan berdiri di belakangnya. “Kenapa kau di luar rumahku?”

“Maaf,” kata Fly.

Aku menyambar lengannya dan membuatnya menghadap padaku dengan semua kemarahan yang sanggup dihimpun anak 11 tahun, kemudian gertakan dan kesombonganku berubah menjadi kebingungan.

Dia tetap tersenyum, tapi dengan terpaksa, ekspresi penderitaan, dan air mata jatuh di kedua pipinya.

“Fly?” aku bertanya.

“Fly.” Dia mengulang lewat senyumnya yang menampakkan barisan gigi. Fly bisa diartikan Lalat. “Ibuku yang memberi julukan itu. Kau tahu dari mana asalnya?”

“Tidak?” aku berkata hati-hati.

“Dia mulai memanggilku Fly karena aku hanya tambahan kecil menjijikkan di tumpukan sampah kehidupannya, hanya berdengung di sekitar dan menjadi penyakit.” Dia tersedak gelak-isak.

Aku melonggarkan cengkeraman tanganku di lengannya dan dia melihat ke rumahnya lagi.

“Maaf sudah membuntutimu dan semuanya,” dia berkata. “Itu hanya... keluargamu sangat baik. Kau juga baik. Aku hanya ingin selalu dekat dengan itu semua. Menyenangkan bisa berpura-pura untuk sesaat.”

“Berpura-pura?” Tanpa sengaja aku menjauh darinya. Caranya bicara membuat rambutku meremang.

“Yeah, aku bisa berpura-pura kita adalah teman, bahwa orangtuamu menyukaiku. Aku bahkan membuat boneka ranting itu seakan kita sedang bermain bersama... bodoh sekali, ya?”

“Kenapa?”

Dia mengangkat bahu dan mengusapkan lengan jaketnya ke hidungnya. “Karena ayahmu tidak mabuk-mabukan dan jatuh tertidur di lantai dan ngompol. Ibumu tidak keluar bersama pria yang berbeda setiap malamnya agar mereka memberinya hadiah. Mereka memasak makananmu dan mengizinkan temanmu datang dan tidak memukulmu, iya kan?”

“T-Tidak,” aku tergagap.

Bau asap mulai mengisi udara dan aku mengendus dengan gugup, mataku menggelincir ke rumahnya. Aliran abu-abu tipis menyulur dari bawah pintu depan.

“Orangtuaku tak menyukaiku. Aku tahu kau juga begitu, aku tahu teman-temanmu juga begitu, tak ada yang suka padaku. Tapi kau tetap mengizinkanku makan malam bersamamu saat itu dan itu... sangat baik.”

Asap bergulung keluar dari bawah pintu dan menekan jendela sekarang.

“Fly, rumahmu!” aku berseru.

Dia mengangguk. “Aku tahu.”

“Kita harus memanggil 911! Orangtuamu!” aku mulai panik.

Aku bisa mendengar derak api, bertambah keras dan lapar dari dalam rumahnya.

Fly hanya berdiri di sana, matanya berkilau dan basah, menonton apinya membesar.

“Orangtuaku di dalam,” dia berkata.

Dan sepanjang waktu, dengan ekspresi terluka dan remuk, dia tak berhenti tersenyum.

No comments:

Post a Comment

Creepypasta Indonesia, Riddle Indonesia, Cerita Seram, Cerita Hantu, Horror Story, Scary Story, Creepypasta, Riddle, Urban Legend, Creepy Story, Best Creepypasta, Best Riddle, short creepy pasta, creepypasta pendek, creepypasta singkat