Skip to main content

That Killer Is Me

Jika ada hal yang paling aku takuti di dunia ini, adalah ketika Mama membawaku mengunjungi museum Oakstand yang ada di kota. Sebenarnya tidak ada yang spesial dari tempat ini, kecuali sebuah pisau klasik yang dipajang di sebuah lemari kaca. Konon, pisau belati itu telah memakan lebih dari seratus jiwa tak berdosa yang dibunuh secara keji oleh Sir Nathan Asgrard.
Hari ini Mama membawaku ke sana. Aku bergidik ketika Mama mengucapkan nama museum Okstand. Tapi sebagai anak yang baik aku tidak pernah membantah apa yang diperintahkan Mama. Siang itu aku berada di kamarku, suara Lilly, adikku yang masih berumur 5 tahun memenuhi seluruh rumah.

"Jane, cepat! Dad sudah menunggu kita," seru Mama dari lantai bawah.

Aku segera bergegas, meraih kemeja biru kotak-kotak dari gantungan di lemari dan membiarkan rambut pirangku terurai. Ketika aku turun, Dad membunyikan klakson dan kami segera bergegas.

Lilly sangat ceria di dalam mobil, tapi tidak dengan aku. Bayangan pisau belati yang berdiri di lemari kaca membuatku kembali bergidik. Kebanyakan aku melihat keluar, tapi jika kau tanya apa yang sedang kulihat, mungkin jawaban satu-satunya yang bisa kuberikan adalah aku tidak tahu.

Dalam beberapa menit saja kami sudah sampai di tempat tersebut. Museum itu cukup besar, dengan bangunan mirip bangunan-bangunan romawi. Temboknya berwarna abu-abu dengan pilar-pilar kokoh di depannya. Ada tangga lebar yang menuju tempat tersebut.

Museum cukup ramai hari ini, tapi mungkin juga karena memang ini hari libur. Mama mengajakku melihat-lihat lukisan, sedangkan Dad dan Lilly menghilang entah kemana.

"Bagaimana menurutmu lukisan ini, Jane?" tanya Mama.

Aku memperhatikan lukisan sebuah vila di seberang danau yang dilukis menggunakan cat minyak tersebut. "Indah," gumamku. "Dilukis dengan sangat detail dan tanpa cela."

Mama melirik sekilas dan tampaknya puas dengan komentarku. Kemudian dia mengajakku melihat-lihat lukisan yang lainnya. Tepat saat kami berjalan, aku melihatnya, dan seakan benda itu menghipnotisku. Di depanku, di sebuah lemari kaca kecil yang menempel di dinding, berdiri sebuah pisau belati tanpa sarung. Pisau itu memiliki gagang berwarna hitam, dengan mata pisau yang tajam dan bersih. Entah kenapa aku tak bisa berhenti memandanginya, seolah-olah pikiranku bersama pisau tersebut. Ada suara dalam hatiku yang berkata, "Bunuh mereka, bunuh mereka, bunuh mereka..." Dan sebuah keinginan paling keji yang tak pernah terpikirkan olehku sekan tumbuh di dalam benakku: keinginan untuk membunuh. Ruangan itu tiba-tiba terasa sunyi, seperti hanya aku dan pisau tersebut yang ada di dalamnya. Kebisingan memudar menjadi kehampaan tak berujung, dimana kesunyian mencekik jiwa-jiwa yang hilang.

"Jane!"

Suara Mama menyentak kesadaranku, dan kebisingan museum kembali membungkusku. Dengan agak tergopoh-gopoh dan linglung, aku menghampiri Mama.

"Sedang apa kau, Sayang. Mama memanggilmu berulang kali tapi kau tak bergeming," ujar Mama lembut.
Aku mengerang. "Hanya sedang melamun."
Malamnya aku benar-benar dihantui mimpi buruk. Dalam mimpi tersebut, aku menyelinap ke museum Oakstand dan mencuri pisau belati tersebut. Aku membunuh satpam yang sedang bertugas dan menggorok leher mereka dengan benda kecil tersebut. Alhasil, aku terbangun di tengah malam dengan keringat bercucuran.
Paginya, stasiun TV lokal memberitakan bahwa ada pencurian di museum Oakstand dan menewaskan 2 orang satpam yang sedang berjaga malam. Anehnya, satu-satunya benda yang dicuri hanyalah pisau milik Sir Nathan Asgrard. Aku mengernyit ketika mendengar bahwa benda itu satu-satunya benda yang dicuri.
"Bukankah itu benda yang kau lihat kemarin, Sayang?" celetuk Mama.

Aku mengangguk. "Ya."

Aku sama sekali tak bisa fokus di sekolah. Bayangan benda kecil itu menghantuiku sepanjang hari. Kekhawatiran tanpa alasan mendekam di hatiku dan membuat moodku turun.

Malam berikutnya, mimpiku lebih parah. Pisau itu kini ada di tanganku. Mataku tampak kelaparan dengan darah dan penderitaan. Aku melihat wajahku di cermin, dan pisau ada di tangan kananku. Itu memang wajahku, tapi wajah yang terpantul di cermin itu tampak tidak ramah dan jahat. Kemudian, di dalam mimpi itu aku melihat diriku turun ke lantai bawah. TV masih menyala, sedangkan Dad sedang tidur di sofa. Ruangan sepenuhnya gelap. Cahaya satu-satunya berasal dari layar TV yang masih menyala. Dengan kegembiraan yang tidak normal, aku menghujamkan pisau itu ke leher ayahku. Dad sontak terbangun dan menatapku dengan ngeri. lehernya robek dan itu membuat napasnya tersengal-sengal.

"J-Jane! A-apa y-yang kau l-lakukan?" tanyanya, suaranya pilu.

"Tenang, Dad," desahku. Aku memutar pisau itu perlahan, dan darah segar muncrat dari leher Dad. "Kau akan baik-baik saja." Aku berjanji. Aku mencabut pisau itu dari lehernya dan menusuk perutnya berulang kali hingga akhirnya ia tewas.

Dengan darah masih menetes-netes dari mata pisau, aku mendatangi kamar Mama dan Lilly. Mereka berdua sedang tertidur lelap, sepertinya tidak menyadari bahaya yang sedang mengintai mereka. Aku membunuh Mama terlebih dahulu. Aku merobek mulunya dan menikam matanya. Terakhir aku menggorok lehernya. Dan untuk Lilly yang terbangun, aku menusuknya tepat di jantungnya.

Aku bangun keesokan paginya dengan perasaan yang kacau balau. Kamaru tampak berantakan, bau amis menyeruak di udara dengan kaos dan tangan penuh darah kering yang membuatku tersentak kaget. Aku langsung bangun dan mendapati pisau itu ada di sampingku. Dengan pikiran agak linglung aku turun ke bawah dan mendapati Dad masih tertidur pulas. Ada lubang di lehernya dan di sekujur tubuhnya. Ketika aku mengecek kamar Mama, dia dan Lilly adikku juga masih tertidur pulas. Ada sayatan di leher Mama. Mulutnya robek dan mata kirinya nya berlubang. Sedangkan Lilly, dia yang terlihat tidur paling damai. Namun ada bekas tusukan di dadanya.
Melihat itu semua aku kembali ke kamarku dan melanjutkan tidurku. Sebelunya aku mengelap noda darah dari pisau kemudian meletakkannya di laci meja belajarku, kemudian tidur.

Comments

Popular posts from this blog

THE SCRATCHING CURSE

THE SCRATCHING CURSE - "Krekkk..krrekk kreett..." kudengar suara berderit-derit dari arah jendela teras. Aku pun melongok keluar, memeriksa keadaan. Sepi. Kosong. Melompong. Mungkin hanya perasaanku. Ya sudahlah. Esok malamnya, pada jam yang sama, "Krreeeeek... kreeeeeekkkk... kreeeerrrkk..." Lagi-lagi suara itu mengusik indera pendengaran. Namun kali ini terdengar dari luar pintu kamar. Bunyinya pun lebih keras dan seolah lebih dekat. Maka segera kubuka pintu kamar. Nihil. Kosong. Melompong. Sunyi. Ya sudahlah, mungkin engsel pintu kamar ini agak berkarat, pikirku sambil-lalu. Kemudian, keesokan malamnya, lagi-lagi... "Grrrreeekk... gggrrrrreeekkk.... grgrhrekkk!!!," Kali ini aku benar-benar tidak salah dengar, ada suara garukan. Terdengar lebih jelas. Amat jelas, karena... itu berasal dari kolong bawah ranjangku! Deg! Jantungku seketika berdegup tegang. Oleh sebab nalar yang menyadari suatu keganjilan, entah apakah itu, semakin mendekat... da...

KARMA

KARMA Catatan 1 Aku membuat kesalahan yang amat besar. Kupikir aku hanya paranoid awalnya, namun sekarang aku tahu bahwa dia mengikutiku. Dia tidak pernah membiarkan aku melupakan sebuah kesalahan bodoh itu. Aku tidak begitu yakin seperti apa wujudnya. Satu-satunya nama yang bisa kusebutkan adalah Karma. Kupikir dia akan melindungiku … namun aku salah. Mari kita mulai sejak dari awal. Ada sebuah ritual yang tidak begitu terkenal memang, dia disebut sebagai Pembalasan Karma. Untuk alasan yang bisa kalian pahami, aku tidak bisa menjelaskan detil ritual ini. sungguh terlalu berbahaya. Aku diceritakan mengenai ritual ini. Mitos yang mendasari ritual ini adalah, setelah kalian melakukan ritual sederhana ini, Karma akan mengadilimu, membalasmu. Jika dia memutuskan bahwa kalian merupakan orang baik-baik, maka hidup kalian akan seperti di sorga, disisi lain … well, itulah alasan kenapa aku menulis ini semua. Aku pasti telah melakukan kesalahan. Aku benar-benar orang yang baik, setidaknya...

WRITING ON THE WALL

WRITING ON THE WALL  - Ketika aku masih muda, ada sebuah bangunan hancur di bawah jalan. Semua anak-anak di daerah di jauhkan dari tempat itu, karena isu dan berita bahwa tempat itu angker. Dinding beton lantai dua dari bangunan tua yang sudah retak dan runtuh. Jendela yang rusak dan pecahan kaca bertebaran di lantai di dalamnya. Suatu malam, untuk menguji keberanian, sahabatku dan aku memutuskan untuk mengeksplorasi tempat tua yang menyeramkan itu. Kami kami naik melalui jendela belakang gedung. Seluruh tempat kotor dan ada lapisan Lumpur di lantai kayu. Saat kami membersihkan diri kami, kami melihat dan terkejut melihat bahwa seseorang telah menulis kata-kata "AKU SUDAH MATI" pada dinding langit-langit. "Mungkin hanya beberapa remaja yang mau mencoba untuk menakut-nakuti anak-anak", kataku. "Ya, mungkin saja...", jawab temanku dengan nada gugup. Kami mengeksplorasi lebih dari kamar di lantai dasar. Dalam sebuah ruang yang tampaknya pernah menjadi se...