Sunday, September 17, 2017
REAL - Bagian 2
Dengan napas tersengal-sengal, aku segera masuk ke dalam rumah dan menutup pintu di belakangku. Aku mendengar ibuku menutup telepon dan begitu melihat wajahku, ia langsung berkata.
“Miss Akagi baru saja menelepon! Kau ingat beliau kan, biksuni yang tinggal di Nagasaki? Beliau sangat mencemaskanmu. Beliau mengatakan bahwa ada hal yang buruk terjadi padamu dan ingin berbicara denganmu secepat mungkin. Apa kau baik-baik saja, Nak?” mata ibuku langsung membelalak begitu melihat leherku,
“Astaga! Apa yang terjadi dengan lehermu?”
Aku segera berlari ke cermin yang berada di lorong. Tadi aku sempat berpikir aku aman di sini, bahwa makhluk yang sebelumnya kulihat di apartemenku takkan mengikutiku di sini. Namun aku segera menyadari bahwa aku salah begitu melihat garis merah yang melingkari leherku. Luka itu terlihat seperti seutas tali yang tengah meliliti leherku. Aku mendekat ke cermin untuk melihatnya lebih jelas dan terlihat bagiku, luka aneh itu akan sulit hilang. Aku mulai gemetar. Aku tak mampu berpikir lagi. Yang dapt kulakukan hanyalah naik ke kamar ibuku, dimana ada sebuah patung Buddha kecil di sana. Aku berdoa di depannya terus-menerus.
“Apa yang terjadi?” ayahku yang tampaknya baru saja berbicara dengan ibuku, menyerbu masuk ke dalam ruangan. Ibu sangat ketakutan, sehingga beliau memanggil nenek. Aku tak bisa menerka apa yang ibuku bicarakan di telepon di tengah doaku, namun aku bisa mengetahui bahwa beliau tengah menangis. Sesuatu mengenai ibuku yang ketakutan membuatku tersadar betapa serius kondisi yang tengah kualami ini. Tak ada tempat yang aman bagiku. Makhluk itu akan terus mengikutiku hingga akhir hayatku.
Setelah tiga hari, keadaanku hanya terus memburuk. Aku tak tahu apakah ini karena kondisi mentalku yang turun ataukah karena ulah makhluk yang terus mengikutiku ini, namun aku menderita demam yang amat parah selama dua hari. Leherku terus-menerus berkeringat dan pada hari kedua, darah mulai bercampur dengan keringatku. Pendarahanku mulai terhenti keesokan harinya setelah demamku mulai turun. Aku akhirnya bisa menenangkan diriku sedikit.
Namun leherku masih terasa gatal, bahkan terasa seperti disengat. Apapun yang menyentuhnya, apakah itu handuk, kaos, selimut, semuanya memberikan rasa sakit di sekitar luka tersebut. aku berusaha untuk tidak menyentuhnya karena takut darah akan keluar kembali dari luka tersebut. Aku hanya berbaring sepanjang hari, memaksa diriku sendiri untuk berhenti memikirkannya. Namun tiap kali aku masuk ke kamar mandi, aku tak mampu menghindar untuk melihat ke arah cermin.
Apa yang kulihat di cermin benar-benar hampir membuatku jadi gila. Warna merah hampir sepenuhnya menghilang, namun luka itu ... aku bisa mengatakan bahwa luka itu justru makin melebar. Benda itu benar-benar membuatku jijik. Aku akan mencoba menggambarkan seperti apa luka itu sekarang, maaf jika aku membuat kalian merasa mual.
Ketika pertama muncul, luka itu hanya berbentuk garis merah tipis sekitar 1 cm lebarnya. Garis itu melingkari leherku tanpa terputus. Kulitku cukup putih, sehingga warna merah itu sangat jelas terlihat, kontras dengan warna kulitku. Luka itu benar-benar nampak seperti tali merah yang tengah meliliti leherku.
Namun setelah tiga hari, benda itu mulai berubah bentuk. Bentuknya benar-benar menjijikkan saat aku melihatnya di cermin. Tampak benjolan-benjolan di luka itu, letaknya sangat berdekatan hingga hampir tak ada jarak antara satu tonjolan dengan tonjolan yang lainnya. Ukurannya kecil-kecil, namun yang membuatnya buruk, terlihat cairan nanah keluar dari benjolan-benjolan itu. Dan luka itu tampak semakin melebar dan melebar. Aku bahkan muntah begitu pertama melihatnya. Aku mencoba mencuci leherku dengan air, namun rasa sakit terus saja menyengat. Ibuku bahkan mengoleskan obat ke luka tersebut, namun aku tahu itu takkan membantu. Aku kembali berbaring di atas kasur dan menangis sepanjang malam.
“Kenapa aku?” hanya itu yang bisa kupikirkan. Tak ada hal lain yang terlintas di dalam benakku kecuali penyesalan.
Aku sampai di suatu titik dimana aku tak mampu lagi menangis. Telepon genggamku tiba-tiba berdering. Itu Ogawa. Ketika aku melihat namanya di caller ID, hatiku segera terisi dengan harapan. Aku tiba-tiba serasa di-charge dengan energi yang aku bahkan lupa masih memilikinya. Aku tak mengira aku akan sebahagia ini mendapat telepon darinya.
“Halo!” aku mengangkatnya secepat mungkin.
“Hei, apa kau baik-baik saja?”
“Tidak ... kondisiku tak begitu baik.” Aku mencoba sebisa mungkin tak membiarkan perasaan menguasaiku, namun tangisku hampir pecah.
“Oh, seburuk itu ya?”
Kata ‘buruk’ bahkan tak cukup dekat untuk menggambarkannya. “Hei, bagaimana? Kau sudah menemukan seseorang untuk menolongku?”
Ketika ia tak segera menjawabku, aku tahu ada sesuatu yang tidak beres. “Maaf, tapi aku belum menemukannya. Aku sudah menghubungi beberapa kawan lamaku, namun aku belum mendapatkan kabar apapun.”
“Apa? Jadi apa yang harus kulakukan?” aku tahu aku terdengar sangat memaksa dan terdengar egois, namun aku tak peduli. Dia harus menolongku!
“Tenanglah sedikit, oke? Tak ada seorangpun yang kukenal bisa menolongmu. Namun mungkin ada seseorang, ia teman dari temanku. Temanku mengatakan ia sangat jago dan ia akan sangat senang menolongmu, namun ...”
“Namun?” aku mulai tak sabar.
“Harganya sangat mahal.” Ia tampak tak enak ketika menyebutkannya.
“Ia minta bayaran?”
“Ya begitulah kata temanku. Bagaimana, kau mau?”
“Berapa?” sebenarnya aku tak ingin mendengar jawaban Ogawa, sebab ia sendiri terdengar sangat berat untuk mengatakannya.
“Menurut temanku, mungkin sekitar 500 ribu yen [sekitar 59 juta].”
“500 ribu yen? Bagaimana aku harus membayarnya?” aku memiliki pekerjaan, namun mustahil bagiku mengumpulkan uang sebanyak itu dalam waktu singkat. Namun jika itu bisa melepaskan semua penderitaan ini, mungkin aku tak memiliki pilihan lain, “Baik, dimana aku bisa menemuinya”
“Temanku bilang ia tinggal di Gunma. Aku harus menanyakan pada temanku dimana persisnya, jadi aku akan meneleponnya dan lihat apa yang bisa ia lakukan.”
Percakapan kamipun usai dan aku pergi untuk berdoa di altar kembali. Kalian mungkin masih ingat, pada hari aku tiba, ibuku memanggil nenek. Beliau mengatakan bahwa Miss Akagi mungkin akan datang untuk menolongku secepat mungkin. Namun ada masalah. Beliau sangat sibuk dan beliau juga sudah sangat tua. Paling cepat beliau bisa tiba di sini 3 minggu lagi. Itu berarti aku terjebak dengan keadaan ini untuk tiga minggu ke depan. Aku tak tahu apakah aku bisa bertahan selama itudan semuanya itu membuatku sangat gugup dan ketakutan. Tiga minggu tanpa kepastian. Aku jelas takkan mampu melaluinya. Paling tidak, aku tak bisa hanya berdiam diri saja selama itu. Aku harus mencoba melakukan sesuatu.
Ogawa meneleponku kembali sekitar jam 11 malam itu.
“Maaf membuatmu menunggu. Aku harus menunggu temanku meneleponku balik. Ia bilang orang itu bisa datang ke tempatmu besok.”
“Besok?”
“Besok hari Minggu bukan?” Ogawa terdengar terkejut saat ia tahu aku tak menyadari bahwa ini akhir pekan. Akupun sama terkejutnya. Sudah lima hari berlalu sejak kami berjumpa terakhir kalinya. Aku bahkan lupa bahwa aku sudah absen selama seminggu dari kantor.
“Baiklah kalau begitu,” jawabku, “Terima kasih. Jadi, dia akan datang ke sini, ke Saitama?”
“Ya, katanya begitu. Ia memiliki mobil sendiri, jadi aku akan mengirimkan alamatmu kepadanya, oke?”
“Baik, aku akan mengirimkanmu SMS berisi alamatku. Oya, kau tak melakukan apapun kan besok? Bisakah kau datang bersamanya?”
“Oh, tentu. Jangan khawatir.”
“Oya ... bisakah kira-kira aku membayarnya belakangan?” aku tak mau berterus terang bahwa aku tak memiliki uang, namun kurasa Ogawa bisa menyimpulkannya sendiri.”
“Kurasa bisa.”
“Baiklah. Hubungi aku besok jika kamu sudah berada di dekat sini.” Semuanya tak begitu sesuai rencanaku, namun kurasa ini justru lebih baik.
Malam itu, aku bermimpi aneh. Seorang gadis mengenakan kimono putih berlutut di lantai di sampingku. Ia membungkuk dalam-dalam ke depan, menaruh tiga jari dari tiap tangan ke lantai ketika ia membungkuk. Ia kemudian berdiri dan meninggalkan kamar, namun tidak sebelum ia membungkuk kembali di depan pintu. Aku tak tahu apa kaitan mimpi itu dengan situasi yang kini kualami, namun aku merasa seperti semua ini ada hubungannya.
Hari berikutnya Ogawa meghubungiku tepat siang hari. Aku membimbingnya ke rumah orang tuaku ketika kami berbicara di telepon. Ia membawa teman yang katanya menawarkan bantuannya dan ia terlihat seperti berumur pertengahan 30-an. Aku sama sekali tak merasa pria ini bisa membantuku, ia malaj terlihat seperti anggota yakuza kelas teri. Aku belum memberitahu orang tuaku tentangnya dan jelas mereka juga sama curiganya sepertiku.
Pria itu memperkenalkan dirinya sebagai Hayashi. Aku yakin itu bahkan bukan nama aslinya, namun semua itu bukan masalah bagiku. Ia kemudian berbicara denganku.
“Tomohiko, aku dengar bahwa kau terlibat masalah yang sangat besar, bukan?”
Maaf memotong di sini, namaku Tomohiko. Maaf baru mengatakannya.
“Hayashi, bukan?” ayahku memotong pembicaraan kami. Nadanya sangat tajam dan defensif, “Bisakah saya tahu mengapa anda datang ke sini?”
“Karena anak anda, Pak. Anda mungkin takkan mempercayai apa yang saya katakan pada anda, namun anak anda terlibat dalam suatu masalah, benar bukan? Dia mengemis meminta bantuan saya. Karena itulah saya datang.”
“Dia dalam masalah?” kata ibuku. Matanya beralih dari Hayashi ke arahku.
“Ya. Saya punya pengalaman dengan hal-hal seperti ini. Masalahnya adalah kasus-kasus yang pernah saya tangani tak pernah ada yang seberat ini. Bukan saya ingin menakuti kalian semua, namun bahkan berada di ruangan ini lumayan membuat saya takut.”
Ayahku semakin tak yakin dengan orang ini, “Maafkan saya bertanya, namun apa sebenarnya pekerjaan anda?”
“Ah, mungkin anda berpikir saya ini orang gila. Namun pertanyaan itu adalah sebuah pertanyaan yang rumit dengan jawaban yang rumit pula. Percayalah saja pada saya ketika saya mengatakan bahwa hanya saya yang dapat menolong anak anda. Anda tak ingin dia direnggut dari anda untuk selamanya, bukan?”
“Apa kami bisa mempercayai anda untuk menolong anak kami?” ibuku tak sebegitu curiga pada orang ini ketimbang ayahku, namun ia juga tampak tak mempercayai Hayashi sepenuhnya.
“Saya akan membantu kalian jika kalian mengizinkannya.” Ia menatap mata ibuku dengan tajam ketika mengatakannya. Ibuku mengangguk.
“Masalah seperti ini hanya bisa dipecahkan oleh seorang ahli seperti saya. Dan anda tahu, hal ini juga cukup berbahaya bagi diri saya sendiri. Saya membutuhkan suatu jaminan, apa anda mengerti apa yang saya katakan?”
“Berapa yang kau inginkan?” keraguan ayahku semakin menguat. Garis-garis di wajahnya makin menebal.
“Hmmm ... jika saya tidak mendapat 2 juta yen [sekitar 230 juta rupiah] ...”
“Apa kau bercanda?” wajah ayahku berubah merah akibat amarahnya.
“Saya sudah memiliki niat membantu anda dengan datang ke sini. Maksud saya, saya hanya ingin menolong seorang teman di sini. Namun jika anda tak menginginkan bantuan saya, saya dapat pergi sekarang juga. Atau, saya bisa tinggal jika anda memberi saya 2 juta yen, sehingga saya bisa menyelamatkan jiwa anak anda. Saya pikir dengan semua resiko yang saya hadapi, harga itu cukup setimpal.” Ia berbalik menatapku, “Anda sudah pergi ke banyak kuil untuk meminta bantuan, bukan? Dan saya berani bertaruh, mereka sama sekali tak peduli pada anda. Well, itu karena tak banyak orang bisa menangani situasi seperti ini. Apa anda ingin mencari bantuan dari mereka lagi?”
Aku terdiam. Ketika Hayashi menyebutkan harga itu, aku menatap pada Ogawa yang terlihat sama terkejutnya dengan aku. Setelah berbicara satu sama lain selama beberapa saat, orang tuaku dengan enggan menyetujui harga itu. Hayashi kemudian mengatakan bahwa upacara exorcism (pengusiran setan) akan dilakukan malam ini dan ia mulai bersiap-siap.
Apa yang ia maksud dengan bersiap-siap benar-benar berbeda dengan yang aku bayangkan. Ia mengatur lilin di kamarku dimana kami berdiri di dan ia menempel kertas mantra di tengah ruangan. Dia duduk bersila, menaruh sebuah bola kristal tepat di depannya dan mengambil sebuah tasbih di tangannya. Ia mengambil apa yang kuduga sebagai sake dan menuangkannya ke dalam gelas. Ya, itulah yang ia sebut sebagai persiapan.
“Hei, Tomohiko, aku akan mengusir hantu itu dari tubuhmu, oke? Semuanya akan baik-baik saja sekarang, jadi aku ingin orang tuamu melakukan sesuatu untukku,” ia menatap mereka dalam-dalam, “Maaf, namun kalian harus meninggalkan rumah ini untuk sementara waktu. Aku tak bisa menjamin hantu ini tak mencoba untuk merasuki orang lain, dan kita tentu tak ingin hal itu terjadi pada kalian.”
Orang tuaku menatapnya dengan curiga, namun akhirnya setuju untuk meninggalkan rumah. Mereka masuk ke dalam mobil mereka yang terparkir di luar sambil menunggu semuanya usai.
Hayashi memulai ritualnya tepat setelah matahari terbenam. Ia mulai merapal apa yang terdengar bagiku seperti ayat-ayat kitab suci. Pada saat-saat tertentu, ia akan mencelupkan jarinya ke dalam segelas sake yang tadi ia persiapkan dan mencipratkannya ke arahku. Aku setengah percaya dan setengah ragu apakah ia benar-benar tahu apa yang ia lakukan. Aku menutup mataku dan berbaring di atas kasurku ketika ia menyuruhku begitu.
Upacara itu berjalan beberapa lama. Alunan ayat-ayat itu lama-lama terdengar seperti putus-putus, entah kenapa. Aku menjaga mataku tetap tertutup, namun suasana di sekitarku mulai terasa tak beres. Suasana semakin mencekam hingga aku sadar bahwa ruangan ini benar-benar sunyi, tak ada lagi setitikpun suara. Aku tak merasakannya sebelumnya, namun leherku kembali terasa panas dan seperti terbakar. Rasanya sudah tak gatal lagi, namun menyakitkan. Aku ingin membuka mataku dan melihat apa yang terjadi, namun aku hanya menggertakkan gigiku dan memaksa diriku menahan rasa sakit ini.
Namun aku tahu ada yang salah.
Terdengar seperti upacara kini sudah berakhir, karena aku sudah tak mendengar suara apapun lagi. Namun rasanya ini bukan sebuah ending, melainkan ada sesuatu yang membuat upacara ini terpotong dari yang seharusnya. Benar-benar sunyi di dalam ruangan ini. Tak ada yang mengatakan sepatah katapun. Rasa sakit di leherku sama sekali tak berkurang, bahkan semakin meningkat. Rasa panas yang kurasakan sudah tak tertahankan lagi. Ruangan ini juga terasa lebih dingin ketimbang saat upacara itu dimulai. Dan aku merasakan seperti ada sesuatu yang berada di sampingku.
Aku menyuruh diriku sendiri untuk tidak membuka mata. Aku tahu aku tak boleh melakukan itu. Aku tahu bahwa tetap menutup mataku adalah hal terpintar yang bisa kulakukan. Namun aku tak bisa menahan godaan itu. Aku membukanya.
Dan apa yang kulihat sangatlah mengerikan.
Hayashi masih duduk di sisi kananku, terdiam bergeming. Namun di sisi kiriku, duduk makhluk itu. Ia duduk
bersila, sama seperti Hayashi. Tangannya berada di atas kedua lututnya.
Namun tubuhnya ...
Tubuhnya menjulur ke arah depan, memanjang, tepat di atas tubuhku. Dan kepalanya ... kepalanya tepat berada di depan wajah Hayashi. Jarak antara wajah Hayashi dan kepala makhluk itu mungkin hanya berjarak satu bola baseball.
Yang lebih aneh dan mengerikan, kepala hantu itu bergerak seperti burung hantu, memutar. Suara mengerikan seperti tulang patah mengikuti ketika ia memutar kepalanya, “Kreeek ... kreeeek ... kreeek ...”
Kepalanya miring, kemudian berputar hingga posisi kepalanya horisontal, kemudian memutar hingga tegak lurus, lalu memutar kembali hingga kembali ke posisinya semula, masih miring.
Ia menatap mata Hayashi kemudian berbisik dengan suara yang teramat menakutkan. Aku tak mengerti apa yang ia katakan, mungkin ia membisikkan sesuatu kepada Hayashi, sesuatu yang amat mengerikan. Apapun yang ia bisikkan memiliki efek yang sangat besar untuk Hayashi. Wajahnya memucat hingga seputih kertas. Kepalanya menunduk dan pandangan matanya mengikuti, jatuh ke bawah. Ia sama sekali tak berkedip dan tak mengucapkan sepatah katapun. Mulutnya membuka dan sebenang air liur jatuh dari bibirnya. Walaupun sangat tipis, aku bisa melihatnya tersenyum. Ketika ia mendengarkan apapun yang makhluk itu bisikkan, sesekali ia mengangguk kecil. Yang bisa kulakukan hanya menatap peristiwa mengerikan itu tanpa bisa melakukan apapun.
Makhluk itu tiba-tiba memutar lehernya, “Kreeeeek .....”
Dan selanjutnya yang kutahu, ia tengah menatapku.
Aku merasakan mataku segera menutup dan aku menarik selimutku ke atas kepalaku. Aku membisikkan doa-doa, namun bayangan ketika kepala makhluk itu memutar seperti burung hantu dengan suara mengerikan tetap terpatri dalam benakku. Aku sangat ketakutan.
Aku mendengar suara berdecit dari arah tangga dan segera menyadari seseorang sedang menuruni tangga dengan terburu-buru. Hayashi telah melarikan diri. Aku meringkuk makin dalam di dalam selimutku, menunggu sesuatu untuk terjadi.
Beberapa saat kemudian, orang tuaku masuk ke dalam kamar, menyalakan lampu, dan menarik selimut dari atas tubuhku. Di sana mereka melihatku meringkuk seperti janin. Mereka mengatakan bahwa Hayashi kabur tanpa sedikitpun melihat ke arah mereka. Ia langsung melompat ke dalam mobil dan meluncur pergi, menghilang ke dalam kegelapan malam.
Ogawa kemudian mengatakan padaku bahwa ketika Hayashi masuk ke mobil, ia hanya mengatakan, “Nyalakan mobilnya dan cepat pergi” serta berperilaku sangat aneh sepanjang perjalanan.
Kunjungan Hayashi seharusnya menyelamatkanku, namun kondisiku justru memburuk.
Aku tahu aku tak bisa lagi menunggu Miss Akagi.
to be continued..
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Creepypasta Indonesia, Riddle Indonesia, Cerita Seram, Cerita Hantu, Horror Story, Scary Story, Creepypasta, Riddle, Urban Legend, Creepy Story, Best Creepypasta, Best Riddle, short creepy pasta, creepypasta pendek, creepypasta singkat