Sunday, September 24, 2017

The Resort - Bagian 2

Aku tahu bahwa aku seharusnya pergi saat itu juga, namun aku tak bisa. Aku tak memiliki keberanian untuk maju dan aku juga terlalu takut untuk mundur kembali. Aku sepenuhnya membeku saat itu. Satu-satunya yang mampu bergerak adalah bola mataku. Punggungku basah oleh keringat dingin yang terus mengalir.

Suara cakaran dan desah napas itu membuatku putus asa, aku mungkin takkan keluar dari sini.

Untuk sesaat, suara-suara itu terehnti dan semuanya menjadi sunyi. Saat itu berlalu sangat cepat, mungkin hanya satu kedipan mata saja.

Dan kemudian ...

"KREK ...KREK ... KREEEEEEEEEK!!!!!!" suara itu terdengar makin cepat. Namun sukar dipercaya, suara itu tak lagi berasal dari pintu, namun dari atasku. Aku dapat mendengarnya berasal dari papan kayu yang menutupi langit-langit. Apapun itu, ia baru saja berpindah dari kamar ke langit-langit.

Kakiku gemetar ketakutan. Aku berpikir aku akan tamat. Diam-diam aku menangis meminta tolong.

Sejenak kemudian, aku melihat sesuatu dari pelupuk mataku. Hal itu, apapun itu, membuat sesuatu yang sedang bergerak tadi merasa terancam dan kemudian mundur. Aku ragu, namun akhirnya aku memutuskan untuk menatapnya.

Itu adalah Takumi dan Shoji. Mereka tampak berbisik memanggilku sambil melambai-lambaikan tangan mereka. Sayup-sayup, aku bisa mendengar apa yang mereka coba katakan.

"Hei! Cepat turun! Cepat!" bisik Takumi.

"Apa kau baik-baik saja?" bisik Shoji.

Mendengar suara familiar mereka, aku pun mengumpulkan kembali tenagaku dan bergerak. Aku berlari menuruni tangga secepat mungkin. Aku bahkan tak sadar saat itu bahwa aku berlari dengan mata tertutup dan berlari begitu cepat hingga melewati mereka.

Saat itu aku hanya ingin berada di tempat yang aman. Kami bertiga kabur ke kamar kami. Setelah kami berada di dalam kamar, mereka pun dengan cemas bertanya.

"Kau tak apa-apa?" tanya Takumi.

"Apa yang terjadi? Apa ada yang terjadi di atas sana?"

Aku tak mampu menjawab. Suara-suara itu masih saja terulang dalam pikiranku dan aku masih terlalu takut untuk menjawab.

Takumi menatapku dengan prihatin, "Apa kau memakan sesuatu di atas sana?"

Aku tak mengerti apa yang ia maksud, jadi dia mengulangi pertanyaannya. Namun aku pikir pertanyaan itu sangatlah konyol.

"Segera setelah kau sampai di atas, kamu jongkok kan?" Takumi menjelaskan, masih dengan ekspresi yang sama, "Shoji dan aku penasaran dengan apa yang kau lakukan jadi kami mencoba melihatnya dengan lebih baik. Dan kami bersumpah melihatmu memakan sesuatu dengan sangat rakus, seakan-akan hidupmu bergantung pada itu. Atau ... kau hanya menjejalkan sesuatu ke dalam mulutmu..."

"Yah, itu ..." Shoji menunjuk dan memandang kaosku. Heran dengan apa yang mereka lihat, aku menatap ke kaosku sendiri dan melihat makanan-makanan sisa yang menempel di dadaku. Baunya seperti sampah yang membusuk. Aku segera bergegas ke kamar mandi dan memuntahkan semua yang ada dalam perutku.

Ada hal yang sangat aneh terjadi padaku. 2

Aku ingat naik ke sana. Rasa takutnya masih melekat jelas dalam ingatanku. Namun aku tak pernah membungkuk dan yang lebih penting lagi, aku tak ingat pernah memakan sisa-sisa makanan yang membusuk.

Namun melihat kaosku yang penuh kotoran, mereka dapat dengan mudah membuktikan apa yang mereka lihat. Bahkan di tanganku ada bekas sisa-sisa makanan itu.

Aku merasa hampir gila.

Takumi dan Shoji memandangku dengan khawatir.

"Kau tahu, jika sesuatu terjadi padamu, kau bisa berbicara dengan kami," Takumi menawarkan, "Kamu tak sendirian sekarang. Ada kami!"

ANDA JUGA MUNGKIN MENYUKAI

Tidak ada cerita yang tersedia.

Walaupun dikuasai ketakutan, namun aku tak mau menanggung semuanya ini sendirian. Dengan perlahan kuceritakan pada mereka pengalamanku ketika aku naik ke atas. Mereka sesekali mengangguk mendengar ceritaku dan tampak sekali bahwa mereka menanggapi ceritaku ini dengan serius. Walaupun apa yang mereka lihat dan apa yang aku alami berbeda, namun mereka mendengarkanku dengan saksama hingga kisahku berakhir. Dukungan mereka membuatku tenang, bahkan aku hampir menangis dibuatnya.

Aku mengeluarkan desahan panjang dan merasakan untuk pertama kalinya, bahwa kakiku terasa aneh. Aku melihat ke bawah dan melihat luka-luka kecil di sepanjang lutut dan kakiku. Aneh, pikirku. Aku memicingkan pandanganku dan menemukan ada potongan-potongan kecil seperti serpihan plastik menempel pada luka-luka itu. Beberapa merah, sementara yang lain berwarna putih dengan noda hitam. Aku tak mampu mengalihkan pandanganku ada benda-benda itu.

"Apa itu?" tanya Shoji. Ia mengambil satu dan mengamatinya. Tiba-tiba ia berteriak dan melemparkannya ke lantai. Takumi dan aku terkejut atas reaksinya tersebut.

"Apa ada yang salah?" tanya Takumi.

"Lihat saja itu!" serunya. "A...apa itu kuku?" ia bertanya dengan nada ketakutan. Kami bertiga membeku saat itu juga.

Meskipun rasa takut tengah mencekamku, namun aku mencoba berpikir dengan tenang. Suara yang kudengar dari balik pintu, itu adalah suara kuku yang menggaruk. Itu masuk akal. Dan suara "Krak" yang sempat kudengar saat menaiki tangga, mungkinkah itu suara kakiku menginjak kuku-kuku ini?

Apakah kuku-kuku ini berasal dari apapun yang sedang menggaruk dari balik pintu itu?

Aku pasti terluka dengan potongan-potongan kuku ini saat aku berjongkok dan memakan makanan busuk itu di lantai.

Namun itu semua tak lagi penting. Aku tak bisa tinggal di sini lagi. Aku menatap Shoji dan Takumi.

"Aku tak bisa lagi bekerja di sini."

"Aku tahu." kata Takumi. Aku sempat terkejut meihat reaksinya. Ternyata ia juga merasakan apa yang kurasakan.

"Aku juga berpikir sama." Shoji juga setuju.

"Aku akan mengatakannya pada Makiko-san besok." kataku.

"Kau akan mengatakannya, tentang kamu mengendap-endap masuk ke lantai dua?" Takumi tampak terkejut.

"Aku harus. Ia begitu baik terhadapku selama ini, dan aku harus meminta maaf."

"Tapi apa kamu tak khawatir tentang apa reaksinya jika kita mengatakan kau naik ke sana?" Shoji tampak cemas, "Ia pasti akan sangat marah."

"Jangan bodoh! Aku harus mengatakan yang sebenarnya padanya. Semua itu tak penting lagi. Aku hanya ingin secepatnya keluar dari tempat ini!"

"Ya." Takumi mengangguk, "Mungkin itulah yang terbaik."

Malam itu, kami mengepaki barang-barang kami. Kami sadar bahwa kami terdengar sangat tak bertanggung jawab menelantarkan pekerjaan kami begitu saja, namun kami sangatlah takut. Kami semua tidur berdempetan malam itu, namun tak ada satupun dari kami yang benar-benar terlelap. Kami semua terjaga hingga pagi menjelang.

Salah satu alarm kami berbunyi dan memecah keheningan pagi itu. Hanya itu satu-satunya hal normal yang terjadi pada kami.

Pagi itu, Shoji tiba-tiba meminta maaf padaku.

"Maaf." katanya. Ia selalu menjadi teman terbaikku dan aneh rasaya mendengar ia meminta maaf kepadaku. "Semua ini salahku. Saat itu aku tahu hal aneh terjadi padamu dan aku juga tahu kau sedang ketakutan, namun aku tak datang menolongmu. Maafkan aku ..."

Air mataku mulai menetes. Aku begitu bahagia mendengar bahwa ia begitu memperhatikanku sebagai teman.

Namun ada sesuatu yang ganjil. Ia tampak lebih ketakutan dari aku. Mengapa ia begitu ketakukan? Bukankah aku yang mengalami semuanya itu? Ia dan Takumi kan hanya melihat dari bawah? Apa aku membuat mereka takut? Apa ceritaku saat aku berada di atas yang membuat mereka takut?

Semula aku berpikir Shoji hanya tertular rasa takut itu dariku. Namun ternyata ketakutan Shoji menjadi nyata.

Ia hampir melompat ketika mendengar setiap suara keras yang terdengar dari kamar kami. Melihat dari caranya menatap luka-luka di sekujur kakiku, mudah mengatakan bahwa ada sesuatu yang salah dengannya.

Takumi menatap Shoji dengan cemas.

"Hei, apa kau baik-baik saja?" Takumi memegang kedua bahunya, "Apa ini gara-gara kau kurang tidur semalam?"

"Diamlah!" tiba-tiba Shoji berteriak dan segera mendorong tangan Takumi.

"Apa yang terjadi denganmu?" seruku. Takumi terlalu terkejut untuk mengatakan sesuatu.

"Apa aku baik-baik saja? Bagaimana mungkin aku baik-baik saja?" ia menatap Takumi dengan tajam saat ia mengatakannya, "Aku pikir aku dan Yuuki akan mati kemarin! Jangan bertingkah seolah-olah kau peduli pada kami! Kau bahkan tak tahu apa yang terjadi!"

Apa yang ia katakan? Aku tak mengerti. Shoji berpikir ia akan mati? Ia tak mungkin berbicara tentang hal-hal yang kualami kemarin.

Takumi dan Shoji merupakan teman dekat walaupun aku tahu Takumi punya kecenderungan untuk membuat kesal teman-temannya. Namun sejauh ini, Shoji tak pernah marah dengan Takumi. Aku juga tak pernah melihat Shoji berteriak pada Takumi seperti itu. Dan menilai dari reaksi Takumi, ini adalah kali pertama hal seperti ini terjadi. Ia terlihat sedih akibat kejadian itu.

"Kau berpikir kau akan mati?" tanyaku, "Tapi selama itu kau selalu berada di bawah tangga ..."

"Aku...aku melihat semuanya dari bawah tangga ..."

Ia terdiam selama beberapa saat. Selama ini aku mengira ia sedang melihat ke arahku saat kami berbicara, namun kemudian aku menyadarinya. Ia sedang melihat ke arah belakang punggungku.

"Dan aku masih melihatnya sekarang ..."

Ia masih bisa melihatnya? Apa yang ia lihat?

Aku menoleh, namun tak ada apapun di sana. Hanya pintu geser yang terbuat dari kertas, itupun dalam keadaan tertutup.

Aku tak mengerti apa yang ia bicarakan. Sama sekali tidak. Aku berpikir ia sudah kehilangan akal sehatnya. Atau mungkin ia dirasuki oleh sesuatu.

"Aku memang berada di bawah saat itu, namun aku melihat sesuatu." mulutnya gemetaran, namun ia berbicara dengan sangat jelas.

"Maksudmu kau melihat apa yang kulakukan di atas? Dengan sampah-sampah itu?"

"Tidak ... ya ... maksudku aku memang melihatmu. Namun bukan itu saja. Begitu kau sampai ke atas, aku bisa melihatnya dengan jelas ..."

Jujur, sebenarnya aku sama sekali tak mau mendengar apa yang sebenarnya terjadi saat itu. Apa yang kualami kemarin saja sudah sangat seram. Namun tampaknya Shoji sudah tak mampu memendamnya lagi, ia harus menceritakannya pada orang lain. Ia dan Takumi mendengarkan dengan serius ceritaku kemarin dan itu membantuku. Kini, aku harus mendengar apa yang harus ia katakan.

"Apa yang kau lihat?" aku bertanya, walaupun aku sendiri takut dengan kebenarannya.

"Bayangan ..." ia bergumam, seolah-olah sedang bicara dengan dirinya sendiri.

"Bayangan?" tanyaku lagi.

"Ya," ia mengangguk, "Pertama kupikir itu bayanganmu. Namun ketika kau berjongkok di lantai dan mulai memakan... yah, itu ... bayangan itu masih tetap bergerak. Aku melihat bayanganmu menciut ketika kau jongkok dan bayangan kami juga tak sampai sejauh itu. Namun bayangan-bayangan itu .... mereka bergerak. Mungkin ada tiga atau empat dari mereka."

Aku merinding di sekujur tubuhku.

Ini pasti sebuah lelucon! Namun Shoji nampak serius.

"Namun hanya ada aku di sana." kataku.

"Aku tahu ..." kata Shoji.

"Selain itu," kataku lagi, "Tak mungkin tempat sesempit itu bisa menampung hingga empat atau lima orang. Hanya ada cukup ruangan untukku sendiri di sana."

"Mereka bukan manusia. Aku cukup yakin hal itu."

Aku hanya terdiam, tak mampu menyangkal pernyataan itu.

"Tak mungkin mereka manusia ..." ia kembali bergumam.

"Lalu apa mereka itu?"

"Mereka semua terjebak di dinding."

"Hah?" aku tak mengerti apa yang ia coba katakan.

"Mereka semua seperti laba-laba." Ia menjelaskan, "Mereka semua bergerak menjalari dinding. Seperti laba-laba." Napasnya menjadi terengah-engah ketika ia mencoba menjelaskan.

"Tenanglah," kataku, "Ambil napas dalam-dalam, oke? Semuanya baik-baik saja sekarang. Kami ada di sini untukmu."

"Mereka bukan manusia," ia terus berkata, "Tidak, mereka bukan  manusia! Bahkan bayangan mereka tak seperti manusia. Ehm ... mereka sedikit tampak seperti manusia, namun ada yang ganjil ..."

Ia tampak seperti ingin mengatakan sesuatu, namun tak mampu menemukan kata yang tepat. "Sesuatu dengan bentuk seperti bayangan manusia menjalari dinding. Seperti itukah yang kau lihat?"

Shoji mengangguk dengan enggan. Jantungku berdetak dengan kencang. Oke, bayangan yang ia lihat jelas bukanlah bayanganku. Tidaklah mungkin bayanganku bisa bergerak di sepanjang dinding dan langit-langit seperti yang ia deskripsikan. Bahkan jika mereka memang bayangan, mereka pasti berasal dari sesuatu kan? Dan tak ada siapapun selain aku di sana.

Dan jika mereka memang ada, mengapa aku tak menyadari mereka menjalar di sekelilingku saat itu?

Namun bagaimana jika aku salah?

Bagaimana jika suara napas dan garukan itu yang kudengar saat itu tak berasal dari balik pintu?

Mungkinkah saat itu mereka ada di sekelilingku?

Aku menjadi pusing oleh rasa takut. Kini aku mengerti mengapa Shoji meminta maaf padaku tadi. Ia melihat bayangan-bayangan itu di sekelilingku, namun ia tak mampu menolongku.

"Ma...maafkan aku tadi berteriak kepadamu." Ia meminta maaf pada Takumi.

"Tidak apa-apa," kata Takumi, "Justru aku yang harus minta maaf."

Suasana menjadi canggung dan kemudianTakumi menanyakan sesuatu yang memang menggangguku sejak tadi.

"Kamu bilang kamu masih bisa melihat mereka?" tanyanya pada Shoji.

Shoji segera menjawab, "Oh, maaf." Terlihat jelas ia memasang senyum palsu di wajahnya, "Aku hanya meracau tadi. Maaf, aku baik-baik saja."

Terlihat jelas bahwa ia sedang berbohong. Matanya terlihat terfokus pada sesuatu selain kami. Sesuatu yang ada di kamar ini.

Aku tak tahu, tapi apa yang mengangguku adalah otot di bawah mata tampak berkedut. Hal itu terlihat sangat aneh. Seakan-akan ia memperhatikan sesuatu.

Namun baik aku maupun Takumi tak mau bertanya lebih jauh. Silakan anggap aku pengecut, namun aku memang sangat ketakutan saat itu dan tak mampu bertanya lebih jauh lagi. Aku tahu Shoji sedang menyembunyikan sesuatu. Namun aku juga terlalu takut untuk mengetahui jawabannya. Ini semua bisa membuatku gila!

Setelah kesunyian sejenak, kami mendengar Misaki, gadis muda yang tinggal di rumah ini, memanggil kami. Sarapan sudah siap. Kami ternyata sudah menghabiskan waktu cukup lama dalam perbincangan tadi.

Sebenarnya aku tak memiliki selera makan sedikitpun pagi ini, namun akan terlihat buruk jika kami tidak muncul untuk sarapan. Kami harus pergi. Jadi aku berdiri dan berkata kepada yang lain.

"Secepatnya kita pergi, semakin baik." aku memulai, "Aku akan mengatakan bahwa kita berhenti setelah sarapan."

"Ide yang bagus." Takumi mengangguk.

"Aku tak mau makan," kata Shoji, "Takumi, kau membawa laptop kan? Bisakah aku meminjamnya sebentar?"

"Silakan, tapi kau harus makan sesuatu!"

"Ada sesuatu yang ingin kucari," ia bersikeras, "Aku tak punya banyak waktu. Maaf, tapi kalian berdua silakan makan duluan tanpa aku."

"Baiklah," jawabku, "Aku akan meminta Misaki membawakanmu beberapa onigiri."

"Terima kasih."

"Komputernya ada di tasku," kata Takumi, "Gunakan saja semaumu. Seharusnya komputer itu sudah terhubung dengan internet."

Takumi dan aku pergi ke ruang makan untuk menyantap sarapan kami. Aku hanya ingin berperilaku senormal mungkin pagi ini agar sang pemilik hotel tak curiga. Jadi kami pergi ke ruang makan dan di sana sudah duduk Makiko-san, menunggu kami.

Sejenak ia melihat luka-luka di kakiku, kemudian tersenyum lebar ke arahku.

"Selamat pagi! Apa kalian tidur dengan nyenyak?" ia selalu menanyakan pertanyaan yang sama tiap pagi semenjak kami tiba. Namun entah kenapa, pertanyaannya kali ini seperti memiliki maksud lain. Aku merasa sangat gugup, jadi Takumi yang menjawabnya.

"Ya, maaf kami terlambat bangun pagi ini." Ia menepukbahuku agar maju ke meja makan. Aku terkejut Takumi yang pemarah ternyata bisabersikap setenang ini setelah apa yang terjadi pada kami. Ia mengatakan bahwa Shoji merasa tak enak badan sehingga tak bisa ikut makan bersama kami. Kemudian ia bertanya apakah Misaki bisa membawakan beberapa onigiri untuknya.

"Oh, tentu saja," jawabnya dengan nada khawatir, "Jika ia sedang sakit, maka seharusnya ia beristirahat saja."

Kami kemudian duduk tanpa membicarakan tentang Shoji lagi. Kami tak memikirkan hal lain selain berhenti dari tempat ini.

No comments:

Post a Comment

Creepypasta Indonesia, Riddle Indonesia, Cerita Seram, Cerita Hantu, Horror Story, Scary Story, Creepypasta, Riddle, Urban Legend, Creepy Story, Best Creepypasta, Best Riddle, short creepy pasta, creepypasta pendek, creepypasta singkat