Sunday, September 24, 2017

The Resort - Bagian 5

"Shoji!"

Kami bertiga terpaku.

Kemudian kami mendengarnya kembali. Suara itu berasal tepat dari luar kuil.

"Shoji!"

Kami sadar benar suara siapa itu.

Suara itu sudah tak asing lagi bagi kami.

Itu suara Misaki.

"Shoji, aku membawakanmu onigiri."

Walaupun suara itu jelas milik Misaki, namun sama sekali tidak ada intonasi dalam suara itu. Hanya suara yang datar, seolah-olah diucapkan oleh boneka.

"Shoji!"

Aku merasakan genggaman tangan Shoji semakin erat. Tentu saja ia tak menjawabnya dan suara itu terus berlanjut.

"Shoji."

"Selamat datang!"

"Aku membawakanmu onigiri."

"Shoji."

"Selamat datang!"

"Aku membawakanmu onigiri."

Ia terus-menerus mengulanginya, jelas sekali tak terdengar normal.

Aku mulai ketakutan. Itu suara Misaki. Tapi apa benar itu Misaki?

Biksu itu pernah mengatakan bahwa takkan ada seseorangpun yang akan mengunjungi kami. Ditambah lagi cara berbicara Misaki yang seolah-olah robot, aku tahu bukan ia yang berada di luar pintu kuil saat itu.

Takumi kembali dan mengenggam tanganku amat erat. Akupun tahu bahwa ia juga mendengar suara itu.

Suara itu kembali terdengar dari arah pintu kuil.

"Selamat datang!"

"Shoji!"

"Aku membawakanmu onigiri!"

Tiba-tiba pintu mulai bergetar.

Sesuatu yang ada di luar itu mencoba masuk! Aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi bila makhluk itu berhasil masuk.

Aku ingin kabur secepat mungkin dari sini. Biksu itu berkata ia berada di kuil utama. Namun dimana kuil utama? Apa kuil besar yang ada di bawah itu? Bisakah kami mencapainya? Lalu bagaimana jika kami kabur dan tak menyelesaikan ritual ini? Apa ia akan terus menghantui kami? Sial!

Terdengar suara hantaman yang keras dari arah pintu. Bila tadi ia hanya menggerak-gerakkannya saja, kini kurasa ia menghantamkan tubuhnya ke arah pintu. Ia masih membuat suara-suara monoton yang sama seperti suara Misaki. Ia kemudian berhenti dan terdengar berjalan mengelilingi kuil, sambil terus menghantam-hantamkan tubuhnya ke dinding di sepanjang perjalanannya.

Ia tak bisa masuk, aku mencoba menenangkan diriku sendiri. Ia tak bisa masuk.

Kemudian aku menyadari sesuatu yang menakutkan.

Di dinding dekat dimana kami berada, terdapat sebuah retakan, celah dimana papan-papan kayu bertemu. Dan ia bergerak makin dekat dengan dinding itu.

Bagaimana jika ia mengintip ke dalam melalui celah itu? Bagaimana jika ia melihat kami di dalam sini?

Aku tak mau menunggu hingga hal itu terjadi. Aku kemudian menarik kedua temanku ke tengah ruangan. Kami bergerak perlahan namun pasti.

Jantungku berdetak sangat kencang saat itu.

Kemudian tanpa sadar aku menoleh ke retakan di dinding itu. Akhirnya aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri.

Ia sedang mengintip melalui celah itu.

ANDA JUGA MUNGKIN MENYUKAI

No stories available.

Akhirnya aku melihat wajahnya secara langsung.

Wajahnya tampak hitam pekat. Hanya terlihat matanya yang cekung, panjang, dan seluruhnya berwarna putih.

Ia sedang menatap kami.

Dan kemudian aku menyadari bahwa aku salah.

Kupikir suara hantaman tadi berasal dari tubuhnya yang dihantam-hantamkan ke dinding kuil. Namun ternyata tidak. Justru ia sedang menghantam-hantamkan kepalanya sendiri sembari bergerak.

Wajahnya menghilang dari retakan itu dan ia terlihat seakan sedang membungkuk, dan tiba-tiba ...

"BANG!"

Ia menghantamkan kepalanya ke dinding dengan tenaga tak terbayangkan. Aku bahkan tak bisa melepaskan mataku dari dinding itu. Aku mulai gemetar, terlebih karena aku telah melihat wujud aslinya. Ia terus berbicara dengan nada yang sama sambil menghantamkan kepalanya. Ia jelas-jelas bukan manusia.

Setelah ia menghantamkan kepalanya dengan keras tadi, ia terus berjalan mengelilingi kuil. Mungkin untuk mencari jalan masuk yang lain. Walaupun aku tak bisa lagi melihatnya, namun wajah mengerikan yang mengintip tadi masih saja terpatri dalam pikirkanku. Ketika ia menghantamkan kepalanya lagi, aku bisa melihat wajahnya dengan jelas dalam benakku.

Sejujurnya, aku tak tahu sudah berapa lama ia berada di sana. Bahkan pada titik ini, aku tak bisa lagi membedakan antara kenyataan dan khayalanku. Kami merasa ia sudah meninggalkan kami, namun kami tetap diam membeku. Shoji juga terlalu takut untuk bergerak. Bahkan kemudian kusadari bahwa giginya bergemeretak dengan sangat kencang hingga gusinya berdarah.

Aku tak sempat melihat ekspresi Takumi, namun dari apa yang ia ceritakan padaku setelah semua pengalaman ini usai, ia mendengar suara seperti kaokan burung gagak. Hanya Takumi yang bisa mendengarnya saat itu.

Terdengar suara seretan seolah makhluk itu bergerak menjauh dari kuil. Dengan perlahan, Takumi membawa kami kembali ke retakan itu, dimana cahaya rembulan bisa masuk ke dalam kuil. Makhluk itu telah menghilang, namun kami masih tetap tak bisa menenangkan diri kami. Kami terlalu khawatir bahwa ia mungkin akan kembali. Kami semua melalui malam dengan bersila dan kepala menunduk.

Malam itu adalah malam terpanjang dalam hidup kami. Kami sudah kelelahan dan menyaksikan sesuatu yang bukan berasal dari dunia ini. Bahkan, tiap detail apa yang terjadi malam itu mampu kuingat hingga sekatang.

Biksu itu melarang kami tertidur malam ini. Dan tanpa larangannya pun, mustahil kami bisa tidur saat itu. Kami terus berjaga hingga akhirnya matahari terbit dan sinarnya menyentuh kepala kami melalui celah-celah di dinding kayu kuil. Suara ayam berkokok dan orang-orang yang memulai hari mereka terdengar dari kejauhan.

Kami semua mendongak dan menatap satu sama lain.

Hanya satu pertanyaan yang berkecamuk dalam hati kami.

Apa semuanya sudah selesai?

Kami mendengar suara langkah kaki mendekati kuil. Kami hanya bisa terdiam di lantai, terlalu kelelahan untuk bangkit. Suara itu berjalan mengitari kuil lalu berhenti di pintu depan.

Aku menahan napas ketika pintu kuil digeser dan cahaya matahari mulai merangkak memasuki kuil, menerangi tiap sudutnya.

Sang biksu tengah berdiri di depan pintu.

Ketika melihat wajahnya, kami hampir menangis.

"Kalian berhasil," katanya. Aku takkan pernah melupakan sorot matanya. Matanya terlihat sangat hangat dan teduh. Aku sangat takut dan lelah, hingga aku merasa ingin pingsan. Namun apa yang bisa kulakukan hanya menangis.

Sang biksu masuk ke dalam kuil dan menepuk bahu kami satu-persatu. Jubahnya menebarkan bau dupa, mengindikasikan bahwa ia sendiri mengadakan suatu upacara malam tadi, ketika kami masih berjuang di sini.

Kami masih hidup! Aku berseru pada diriku sendiri dan menangis lebih kencang. Melihat bahwa aku tak mampu berdiri, biksu tersebut memanggil seorang pria berumur paruh baya untuk membantu kami. Dengan satu tanganku melingkar pada bahu pria itu, kami berjalan kembali ke rumah dimana Ryuichi menurunkan kami.

"Shoji," bisikku padanya, "Apa kau masih bisa melihatnya?"

Masih terdengar nada kekhawatiran dalam suaraku.

"Jangan khawatir," katanya sambil tersenyum, "Semua sudah usai. Aku tak melihatnya lagi."

Ketika kami berjalan melewati kuil utama, kami bertiga mendengar suara jeritan.

"Bukankah itu suara Makiko?" bisik Takumi.

Ya Tuhan! Takumi benar, itu suara Makiko. Namun saat itu, aku terlalu lelah untuk mempedulikannya. Aku hanya ingin kembali dan beristirahat. Di dalam rumah, seorang wanita menyuruh kami untuk mandi. Kemudian ia menyediakan sebuah ruangan untuk kami beristirahat. Kami tahu di sana kami aman. Kami bahkan langsung tertidur begitu tubuh kami menyentuh tatami.

Hari sudah siang ketika kami terbangun. Aku yang terakhir bangun. Bahkan saat itu, Takumi dan Shoji sudah menghubungi kedua orang tua mereka untuk mengatakan bahwa kami baik-baik saja.

Namun sebelum kami pergi, masih ada satu hal yang harus kami lakukan.

Kami harus tahu kebenarannya.

Apa sebenarnya yang datang ke kuil malam itu?

Kami bertiga masuk ke ruangan dimana kami pertama berada ketika kami tiba di rumah ini.

"Kalian melakukannya dengan sangat baik tadi malam," biksu itu mulai berbicara sambil tersenyum hangat, "Kalian kini telah aman. Upacara pembersihan berjalan dengan lancar dan kini telah selesai."

Kami tak tahu apa yang dapat kami katakan, jadi kami hanya tersenyum dengan canggung ke arahnya. Ada banyak hal yang ingin kami tanyakan, namun tak seorangpun dari kami berani berbicara.

"Kurasa aku harus memberitahukan pada kalian segalanya," ia berkata penuh simpati, "Mari, ada yang ingin aku tunjukkan pada kalian."

Ia berdiri dan mengajak kami kembali ke kuil. Dalam perjalanan menaiki tangga, Shoji dengan was-was menatap ke sekelilingnya.

"Semuanya akan baik-baik saja," sang biksu berkata ketika menyadari ekspresi ketakutan dari wajah kami saat berjalan kembali ke kuil itu, "Apa ada sesuatu yang salah?"

"Ti...tidak. semuanya baik-baik saja." kata Shoji, "Aku sudah tak melihatnya lagi."

"Memang seharusnya begitu." Sang biksu tersenyum.

Ketika kami berdiri di depan kuil utama, ia mengajak kami masuk melalui pintu belakang. Di sana kami melihat ruangan yang identik sama dengan ruangan tempat kami berada tadi malam. Kami disuruh menunggu di sana dan sang biksu pergi. Shoji masih kesulitan untuk menenangkan dirinya dan mengetuk-ngetukkan kakinya dengan was-was.

Setelah beberapa saat, ia kembali sambil membawa sebuah kotak kayu kecil. Ia duduk di depan kami dan mulai bercerita.

"Aku akan menunjukkan asal-muasal peristiwa yang menimpa kalian." Ia membuka kotak itu dan kami bertiga sampai memajukan tubuh kami untuk melihat apa isinya. Di dalamnya terdapat seperti jamur kuping yang sudah mengering dibungkus dengan kapas.

Apa itu? Kami tak tahu sama sekali. Namun ada perasaan aneh menyelimuti kami ketika melihatnya. Sepertinya aku pernah melihatnya di suatu tempat.

Aku mencoba mengingatnya, ketika akhirnya aku merasa seperti tersambar petir.

Ketika aku masih kecil, ibuku sering mengeluarkan kotak kecil yang terlihat berharga dari dalam lemari hiasnya. Aku sangat tertarik dan ingin melihat apa isinya. Ketika ibuku akhirnya memperbolehkan aku melihatnya, aku merasa sangat senang. Di dalamnya hanya ada kapas yang membungkus sebuah benda hitam. Aku tak tahu apa itu, jadi aku menanyakannya.

Ia hanya menjawab dengan suara lembut, "Benda ini adalah milikmu sekaligus milik ibu. Ini adalah bukti bahwa ibu dan kamu saling terhubung."

Benda yang sedang ditunjukkan biksu itu sama persis dengan yang kulihat saat itu.

"Apa itu?" tanya Takumi.

"Ini tali pusar." jawabku tiba-tiba. Semua orang menoleh padaku.

"Jadi kau pernah melihatnya?" tanya sang biksu. Aku mengangguk.

"Ehm...kurasa aku juga pernah melihatnya saat aku kecil." kata Shoji.

"Aku belum pernah melihatnya." sambung Takumi.

"Orang tua kalian mungkin pernah memperlihatkannya pada kalian," komentar sang biksu, "Banyak orang di Jepang menyimpannya dan menganggapnya sebagai barang berharga."

Kami bertiga mendengarkannya dengan saksama.

"Di dalam rahim ibu, orang tua dan anaknya dihubungkan oleh tali pusar ini. Untuk memperingati ikatan tersebut, banyak orang Jepang menyimpan tali pusar ini. Banyak legenda menyangkut tali pusar ini dan banyak orang zaman dahulu mempercayainya. Namun kini mungkin legenda-legenda itu dianggap mitos dan takhyul."

"Legenda seperti apa?" tanya Shoji.

Biksu itu menghela napas, "Ratusan tahun lalu, orang-orang percaya tali pusar ini memiliki kemampuan untuk melindungi anak-anak mereka. Jika ada anak yang sakit parah, maka mereka membuat ramuan dari tali pusar dan meminumkannya pada anak mereka. Jika seorang anak membawa tali pusar bersama mereka, maka mereka akan dilindungi dalam bahaya. Namun ada suatu legenda yang amat mengerikan untuk diceritakan."

Kami makin tertarik untuk mendengarnya. Apakah ini berkaitan dengan apa yang kami alami?

"Orang-orang di wilayah ini sangat percaya dengan legenda mengenai tali pusar ini. Di sini, banyak orang menggantungkan hidup mereka sebagai nelayan. Ketika seorang anak lahir dalam keluarga nelayan, mereka akan dibawa untuk berlayar sejak usia muda. Ini adalah kebiasaan di masyarakat nelayan."

"Namun tentu bekerja di laut memiliki banyak bahaya. Aku hanya bisa membayangkan betapa sulitnya seorang ibu melepaskan anaknya untuk melaut, dengan kemungkinan bahwa anak mereka mungkin takkan kembali. Maka pada suatu titik, para ibu mulai meminta anak mereka membawa tali pusar mereka sebagai semacam jimat penolak bencana. Tali pusar itu juga diharapkan akan menunjukkan anak mereka jalan pulang kepada ibu mereka."

"Jalan pulang?" tanyaku.

"Ya. Sangat umum terjadi di daerah tepi pantai seperti di sini, seorang anak tersapu ombak dan lenyap di lautan. Setelah beberapa hari, apabila mereka tak ditemukan, maka mereka dianggap telah meninggal. Namun ibu yang kehilangan anak mereka biasanya tak menerima kenyataan tersebut dan tetap menunggu anak mereka untuk kembali."

"Karena itulah, tali pusar seringkali diberikan pada anak mereka. Seperti tali pusar menghubungkan mereka ke rahim ibu mereka sebelum lahir, maka tali pusar ini dianggap akan membawa mereka kembali ke ibu mereka. Tali pusar bagi mereka dianggap sebagai tali kehidupan. Namun ironisnya, kenyataan berkata lain. Tak satupun anak yang hilang dan membawa tali pusar mereka, pernah kembali."

"Namun suatu hari, hal yang aneh terjadi di desa ini. Seorang ibu menangis bahagia dan mengaku anaknya yang hilang di laut telah kembali. Tak seorangpun percaya pada ceritanya dan mereka malah bertambah kasihan karena menganggap ia telah kehilangan kewarasannya. Lagipula, anaknya sudah menghilang sejak tiga tahun lalu."

"Mungkinkah anaknya selamat dan terdampar di suatu tempat?" tanya Shoji, "Mungkin selama tiga tahun ia hidup bersama orang lain?"

"Itu juga yang orang-orang pikir. Maka mereka mulai menuntut ibu itu untuk menunjukkan bukti bahwa anaknya masih hidup."

"Dan?" tanya Shoji.

"Ibunya kemudian berkata, 'Tunggulah sebentar lagi, baru aku bisa menunjukkannya pada kalian.'"

"Apa maksudnya?" tanyaku. "Bukankah kalau anaknya baik-baik saja, maka seharusnya tak apa-apa bila orang-orang ingin melihatnya? Mengapa harus menunggu?"

Entah kenapa pikiran itu membuat bulu kudukku berdiri.

"Tentu saja mendengar hal itu, para penduduk desa makin yakin bahwa ibu itu depresi. Namun tak ada yang berani mengatakan bahwa ia salah. Mereka akhirnya membiarkannya saja dengan semua khayalannya. Namun hari berikutnya, seorang ibu lain muncul dan mengatakan hal yang sama. Seperti ibu yang pertama, ia juga belum bisa menunjukkan anaknya."

"Para warga kini kebingungan. Sudah ada dua wanita mengaku tentang hal yang sama. Mungkinkah keduanya sama-sama gila? Wanita yang pertama sudah kehilangan suaminya jadi tak ada cara untuk memastikan apakah perkataannya benar atau tidak. Namun suami wanita yang kedua masih ada dan merekapun memutuskan bertanya pada sang suami tersebut untuk kebenarannya."

"Jawaban sang suami justru berbeda dengan perkataan istrinya. Ia berkata tak mengerti apa yang mereka bicarakan. Ketika para penduduk desa mengejarnya dengan pertanyaan, ia justru marah dan menyuruh mereka untuk tak mencampuri urusan pribadi keluarganya."

Itu wajar, pikirku. Pria itu pasti malu mengakui istrinya sudah gila. Namun ia juga tak perlu semarah itu, bukan?

"Hingga suatu malam," sang biksu melanjutkan ceritanya, "Wanita yang pertama terlihat sedang menggandeng seorang anak kecil sambil berjalan di tepi pantai. Karena kondisi saat itu gelap, maka mereka tak bisa melihat sang anak. Namun mereka berdua terlihat sangat gembira. Mereka kemudian berpikir bahwa selama ini sang ibu benar dan merasa malu menuduhnya gila. Maka merekapun datang bebrondong-bondong ke rumahnya untuk meminta maaf. Sang ibu kemudian menjawab,

"Jangan pikirkan hal itu! Kalian tak perlu minta maaf. Sejak anakku kembali, aku sangat gembira.' Iapun kemudian menarik anaknya yang tengah bersembunyi di belakangnya dan menunjukkannya pada mereka."

"Melihat anak itu, para warga menjadi ketakutan."

No comments:

Post a Comment

Creepypasta Indonesia, Riddle Indonesia, Cerita Seram, Cerita Hantu, Horror Story, Scary Story, Creepypasta, Riddle, Urban Legend, Creepy Story, Best Creepypasta, Best Riddle, short creepy pasta, creepypasta pendek, creepypasta singkat