Begitu kami sampai di anak tangga terakhir, kami melihat sebuah kuil besar. Namun mengejutkan bagi kami, biksu itu tidak membawa kami ke sana; melainkan melewati sisi kanan kuil tersebut dan terus berjalan. Di sana terdapat sebuah torii lain dan tangga-tangga batu menuju ke atas. Namun sebelum kami tiba di bawah gerbang itu, sang biksu berbicara pada kami.
"Shoji, apa yang ia lakukan sekarang?"
"Ia berdiri ..." Shoji berkata, masih melihat ke sekeliling, "Ia selalu mengawasi dan mengikuti kita, kemanapun kita pergi."
"Hmm... dia sudah berdiri? Dia pasti sangat bersemangat karena kau bisa melihatnya." Biksu itu menjelaskan, "Kita sudah tak punya banyak waktu. Ayo, cepat!"
Ketika kami selesai menaiki anak-anak tangga tersebut, kami melihat kuil lain. Kuil ini lebih kecil, namun umurnya terlihat lebih tua daripada kuil yang ada di bawah tadi. Biksu itu berjalan ke bagian belakang kuil kemudian memanggil kami.
Kami berjalan ke tempat dimana ia berdiri dan ia menjelaskan bahwa kami harus menghabiskan malam ini di dalam kuil untuk membersihkan diri kami dari apapun yang mencoba menempel pada kami. Begitu kami masuk, ternyata tak ada satupun sumber penerangan dan kami juga dilarang berbicara sepatah katapun hingga fajar tiba.
"Tentu kalian juga tak boleh menggunakan telepon genggam kalian juga." Sang biksu menjelaskan, "Semua yang menghasilkan cahaya tidak diperbolehkan di dalam kuil ini. Aku juga melarang kalian untuk makan dan tidur selama kalian berada di dalam kuil."
Ia memberikan kepada kami masing-masing sebuah kantong aneh dan mengatakan pada kami untuk menggunakannya apabla kami benar-benar membutuhkannya. Aku menatapnya lekat-lekat. Kantung ini untuk apa?
Sebelum aku bertanya, biksu itu seakan sudah bisa membaca pikiranku dan menjelaskan bahwa kantong itu tahan air. Aku pikir itu adalah toilet kami untuk malam ini. Memang sukar dipercaya, namun kami terpaksa menerima semua peraturan yang diberikan kepada kami.
Setelah biksu itu selesai menjelaskan, kami diminta untuk meneguk air dari sebuah pipa bambu sebelum kami masuk ke dalam kuil.
Kami masuk ke dalam kuil satu-persatu, namun ketika Shoji masuk, ia menutup mulutnya tiba-tiba dan keluar untuk muntah. Takumi dan aku terkejut, namun ada yang lebih terkejut daripada kami. Biksu itu. Ia segera kehilangan postur tenangnya begitu melihat apa yang terjadi pada Shoji.
"Kalian tidak pergi ke kuil itu lagi hari ini, bukan?"
"Hah, tidak...tentu tidak." jawabku.
"Aneh. Kalian hanya masuk sekali, namun upacara pembersihan langsung dimulai begitu kalian masuk. Bahkan kalian tak bisa masuk ke dalam kuil ini..."
Aku tak mengerti apa yang biksu itu katakan, namun ia menatap tas yang dibawa Shoji.
"Selama kalian tinggal di hotel, apa seseorang pernah memberikan kalian sesuatu?"
"Kami mendapat upah kami, namun hanya itu."
Kemudian barulah kami teringat, "Oya, nyonya pemilik penginapan memberikan kami sebuah tas uang koin kecil."
"Dan onigiri." sahut Takumi.
Setelah mendengar hal tersebut, biksu itu bertanya pada Shoji, "Apa kau kebetulan membawa benda-benda itu?"
"Aku meninggalkan onigiri itu di tasku yang lain, namun kurasa aku punya uang koin dan amplop berisi upah kami." Ia membuka tasnya dan mengeluarkan amplop dan tas uang koin yang kami terima. Sang biksu mengambil tas kecil itu dan membukanya.
Semula aku berpikir tas itu akan berisi uang-uang koin sebagai bagian dari upah kami.
Namun ketika ia membukanya dan memperlihatkan isinya pada kami, kami langsung mundur dengan ketakutan.
ANDA JUGA MUNGKIN MENYUKAI
No stories available.
Tas kecil itu berisi potongan-potongan kuku, sama seperti potongan kuku yang menggores kakiku kemarin. Kuku-kuku berwarna putih dan merah.
Shoji muntah lagi dan biksu itu memutuskan untuk mengambil semua barang yang kami bawa. Kami memberikannya dompet, telepon genggam, dan benda lainnya yang kira-kira kami dapatkan dari hotel. Biksu itu mengangguk pada kami dan membiarkan Shoji minum dari pipa bambu itu kembali.
Kami bertiga masuk kembali ke dalam kuil.
"Kalian tak boleh membuka pintu ini," kata sang biksu, "Aku akan berada di kuil utama. Aku akan kembali menjemput kalian esok pagi."
Ia berhenti sesaat dan menatap kami.
"Kalian tidak boleh berbicara pada apapun yang mungkin akan datang dari balik dinding. Kalian tak boleh berbicara satu sama lain juga. Kam tidak mengatakan pada siapapun dimana kalian berada, jadi tidak akan ada siapapun yang datang untuk kalian malam ini, ingat itu! Aku akan berdoa bagi keselamatan kalian."
Biksu menatap kami lagi dan kami mengangguk ke arahnya. Hanya itu yang bisa kami lakukan. Kami sudah tidak diperbolehkan berbicara, sehingga kami hanya diam, ketakutan.
Biksu itu meninggalkan kami dan menutup pintu kuil itu rapat-rapat.
Terasa sangat dingin di dalam kuil. Aku khawatir dengan syarat tak boleh makan dan minum, namun aku merasa percaya diri kami bisa bertahan untuk malam ini.
Bangunan itu sendiri sudah amat tua dan banyak celah-celah di dinding dimana papan-papan kayu bertemu. Kuil juga amat kecil.
Karena masih siang, aku masih dapat melihat wajah Takumi dan Shoji lewat cahaya yang masuk melalui celah-celah di dinding kayu. Ini pertama kalinya kami tidak saling berbicara meskipun kami berada sangat dekat satu sama lain.
Aku mengangguk untuk mengatakan, "Segalanya akan baik-baik saja." Dan mereka mengangguk balik.
Setelah beberapa lama, kami berhenti saling menatap satu sama lain dan berakhir saling membelakangi. Frustasi pada kenyataan kami tak boleh saling berbicara, waktu berjalan sangat lambat. Kami tak mengetahui berapa lama kami di sini atau jam berapa sekarang. Yang dapat kami lakukan hanya duduk di sini dan menunggu dalam kebingungan.
Kami serasa menunggu sangat lama, namun masih terang di luar sana. Takumi mulai mengeluarkan suara. Heran dengan apa yang ia lakukan, aku menoleh untuk menyuruhnya diam. Ternyata ia memegang sebuah pena dan menghadapkan seutas kertas ke arah kami.
Ia tak mengindahkan apa yang dikatakan sang biksu dan membawa pena ke dalam. Kertas yang ia tunjukkan kepada kami adalah bungkus permen karet. Mungkin benda itu ada di sakunya selama ini.
Apa yang kau lakukan?
Aku memikirkannya beberapa saat. Biksu itu memang hanya melarang kami berbicara, bukan menulis, jadi sepertinya ini tak ada salahnya. Bagaimanapun aku merasa lega kami masih bisa berkomunikasi.
Aku membaca apa yang ditulis Takumi di kertas itu.
"Apa kalian baik-baik saja?"
Aku mengambil pena itu dan menulis sekecil mungkin,
"Aku baik-baik saja. Shoji?"
Aku memberikan kertas itu padanya dan ia menulis, "Aku baik-baik saja juga. Aku sudah tak mampu lagi melihat mereka."
Ia kemudian mengembalikan kertas dan pena itu pada Takumi. Kami kemudian terus menggunakannya untuk berkomunikasi satu sama lain.
"Aku masih punya 4 lagi bungkus permen karet," Takumi menulis, "Semoga ini cukup. Tulislah sekecil mungkin."
"OK" aku setuju, "Kita tak akan bisa melakukannya saat matahari terbenam, jadi ayo kita menulis selagi bisa."
"Apa kalian tahu jam berapa ini?" Takumi menulis.
"Tidak." Aku menggeleng.
"Sekitar jam 5?" Shoji menebak.
"Kita masuk ke sini sekitar jam 1." tulis Takumi.
"Jadi kita di sini baru empat jam" aku menarik kesimpulan.
"Ini akan menjadi malam yang panjang." Dengan menulis itu, Takumi menghabiskan kertas pertamanya.
"Tulisanmu terlalu besar, Yuuki." Tulisnya pada kertas berikutnya. Aku membuat gesture minta maaf dan ia memberikan pena serta kertasnya kepadaku.
"Aku lapar." Aku menyerahkan kertas itu pada Shoji, namun ia langsung memberikannya pada Takumi.
"Aku juga." balas Takumi. Ini aneh, pikirku. Saat kami tidak bisa saling berbicara tadi, ada banyak hal yang ingin kusampaikan. Namun begitu kami menemukan cara untuk berkomunikasi, kami justru tak bicara banyak. Namun ada satu hal yang ingin kuungkapkan sebelum matahari terbenam.
"Apapun yang terjadi, kita akan melewati ini semua!"
"Tentu saja." tulis Shoji.
"Bagaimana jika aku tiba-tiba ingin berteriak?" tanya Takumi.
"Sumpalkan sesuatu ke dalam mulutmu." saranku.
"Seperti apa?" tanya Takumi.
"Aku akan menyumpalkan kaosku." kata Shoji.
"Berharap sajalah takkan terjadi sesuatu." Aku menulis. Namun aku sendiri meragukannya. Biksu itu memang tak mau berterus terang tentang apa sesungguhnya yang menimpa kami. Namun, ia menekankan bahwa sesuatu akan terjadi.
Dengan pikiran itu, aku berharap waktu akan segera cepat berlalu. Namun aku sangat takut, apa yang akan terjadi ketika malam tiba?
Rasa takutku ketika aku berdiri di ujung tangga di "kuil" itu kembali menyeruak. Satu-satunya yang menyelamatkanku saat itu adalah melihat teman-temanku ada di sana, menungguku.
Sedikit, aku berhasil membunuh rasa takut dengan ingatan itu, dimana teman-temanku selalu ada untukku.
Aku kembali menulis di atas kertas itu, "Kita tak punya banyak waktu lagi. Apa ada yang ingin kalian bicarakan?"
Aku hanya berharap pembicaraan sehari-hari akan sedikit menenangkan perasaan kami yang sedang kacau saat itu.
Takumi sepertinya mengerti dan mengambil kertas tersebut, "Apa yang akan kalian lakukan saat pulang nanti?"
"Pertanyaan bagus," tulisku, "Kurasa aku akan ke rental video."
"Kenapa ke sana?" tanya Shoji.
"Aku lupa mengembalikan DVD saat kita berangkat dulu."
"Hah? Serius? Ini sudah hampir sebulan. Dendanya pasti sangat mahal." balas Shoji.
"Apa itu DVD yang isinya aneh-aneh?" tanya Takumi.
Aku tersenyum. Sebenarnya itu hanya bohong belaka. Aku hanya menulis itu agar kami memiliki sesuatu untuk dibicarakan. Ini bekerja, kami merasa sedikit santai setelahnya. Baik Takumi dan Shoji kemudian menulsikan rencana-rencana mereka. Cukup untuk membuat kami merasa optimis sedikit.
Ketika kertas yang kami miliki hampir habis, Shoji menulis sesuatu yang membuatku merinding.
"Aku akan melakukan apa yang dikatakan biksu itu. Aku tak mau mati."
Takumi dan aku saling bertatapan. Kami tak pernah menyinggung-nyinggung kata "mati" sebelumnya. Dan ini menyadarkanku bahwa nyawa kami mungkin dalam bahaya.
Aku hanya bisa mengangguk pada Shoji.
Setelah itu, matahari mulai terbenam. Aku merasakan kesepian yang sama ketika aku pertama masuk ke kuil ini. Suara jangkrik mulai bersahutan di luar. Namun aku segera menyadari ada yang ganjil.
Aku mendengarkan lebih saksama. Aku bisa mendengar sayup-sayup suatu suara yang aneh. Aku mencoba mendengar lebih baik. Dan semakin aku mencoba, aku mendengar suara itu semakin jelas dan jelas.
Itu suara napas yang kudengar di lantai dua penginapan saat itu.
Aku menatap Shoji. Sangat sukar melihat wajahnya saat suasana yang mulai remang-remang seperti ini, namun kurasa ia tak mendengarnya.
Dapatkah kalian mendengarnya? Apa hanya aku yang bisa? Ataukah ini hanya imajinasiku saja?
Pikiranku berkecamuk. Mengetahui betapa gugupnya aku, Shoji mulai melihat sekeliling. Sangat susah untuk kembali tenang ketika kami mulai merasa takut seperti ini.
Mata Shoji tiba-tiba terfokus pada suatu titik. Ia melihat tepat ke arah belakangku. Matanya tiba-tiba membelalak.
Takumi juga menyadari hal ini. Ia mencoba melihat ke arah yang sedang dilihat Shoji, namun nampaknya ia tak melihat apapun.
Aku terlalu takut untuk menoleh.
Namun aku masih mendengar suara napas itu. Aku bahkan bisa mengatakan suara itu berasal dari belakangku. Ia sama sekali tak bergerak, hanya bernapas.
".......huuuuuuh ... huuuuuuuuuh ..."
Aku semakin membeku ketika menyadari ada suara lain dari luar. Seperti suara sesuatu sedang diseret di tanah di luar kuil. Takumi menyadarinya dan langsung mengenggam tanganku.
Apapun itu, ia hanya berjalan mengelilingi kuil. Dan suara lain yang belum pernah kudengar sebelumnya mengikutinya.
"Kyu-ai ... Kyu-ai ..."
Walaupun tak dapat melihatnya, tapi aku tahu suara itu secara perlahan bergerak mengelilingi kuil ini.
Aku bisa merasakan detak jantung Takumi. Aku tak tahu apakah Shoji mendengarnya juga, namun ia tampak sangat tegang.
Tak ada dari kami bergerak sedikitpun.
Aku menutup mataku dan mencoba menutup telingaku. Aku hanya ingin melarikan diri dari rasa takut ini dan dalam hati berdoa agar "sesuatu" itu segera lenyap. Aku tak tahu berapa lama waktu berjalan, namun rasanya seperti lama sekali. Ketika aku membuka mataku dan melihat ke sekeliling, suasana dalam kuil gelap gulita dan aku tak mampu melihat apapun.
Namun suara itu telah berhenti.
Aku tak bisa mengetahui apakah ia sudah benar-benar pergi ataukah ia masih menunggu di luar, jadi aku tetap mencoba tak bergerak sedikitpun. Namun kegelapan hanya membuat suasana malam ini semakin menyeramkan.
Tak peduli berapa lama aku mencoba membiasakan mataku, aku tetap tak bisa melihat apapun. Aku bahkan tak tahu apakah Takumi dan Shoji baik-baik atau tidak. Namun Takumi masih mengenggam tanganku dengan erat, jadi paling tidak aku tahu ia masih ada di sini. 1
Aku mulai mengkhawatirkan Shoji. Tadi jelas-jelas ia melihat sesuatu yang membuatnya ketakutan setengah mati. Aku mencoba mencarinya dalam kegelapan, namun aku tak bisa melihat apapun.
Aku menarik tangan Takumi, mengajaknya berjalan pelan menuju tempat dimana aku terakhir melihat Shoji. Aku bergerak sepelan mungkin agar tidak menimbulkan suara.
Suasana sangat gelap saat itu. Jika salah satu dari kami panik dan menjerit, maka selesailah sudah.
Aku kemudian meluruskan tangan kananku, mencoba meraih Shoji dimana ia tadi berada. Tanganku meraih sesuatu yang keras dan dingin, hampir membuatku melompat ketakutan. Namun kurasa itu hanya dinding.
Aneh. Shoji tadi ada di sini, namun sekarang ia tak ada.
Aku semakin cemas. Aku mulai berjalan menyusuri dinding hingga aku mencapai sisi lain ruangan itu.
Kami kehilangan dia. Aku ingin menangis dan berteriak, "Dimana kamu Shoji?" namun itu tak mungkin. Aku tak tahu lagi harus bagaimana, jadi aku hanya diam di sana. Takumi tiba-tiba bergerak dan gantian mengarahkanku ke tempat lain.
Pertama, ia mengajakku kembali menyusuri dinding dan kemudian berputar di pojok ruangan. Tiba-tiba saja ia berhenti dan menarik tanganku ke bawah. Aku menyentuh sesuatu yang hangat.
Itu terasa seperti tubuh seseorang yang sedang gemetar. Akhirnya kami menemukan Shoji.
Apa ini benar dia, pikirku. Kemudian aku juga mulai meragukan apa yang memegang tanganku ini benar Takumi. 1
Dikelilingi kegelapan yang teramat pekat, aku mencurigai segala sesuatu. Aku tetap diam dan ketika Takumi menarik tanganku lagi, akupun mengikutinya.
Kemudian aku melihat cahaya yang amat lemah. Sinar bulan sepertinya menyusup melalui celah di dinding dan membawa sedikit penerangan di dalam kuil ini. Takumi ternyata membawa kami ke arah cahaya ini.
Ketika melihat cahaya tersebut, aku merasa seperti diselamatkan. Setelah semua pengalaman ini selesai, aku sempat berterima kasih pada Takumi atas tindakannya itu dan inilah jawabannya.
"Aku tak melihat ataupun mendengar apapun. Aku memang mendengar ada suara seperti sesuatu diseret di luar. Karena itu, aku merasa lebih mampu melakukan sesuatu untuk kalian, sebab sepertinya hanya aku yang tak bisa merasakan keberadaan makhluk itu saat itu." Dan sejak mendengar jawabannya itu, aku merasa lebih menaruh hormat kepadanya. 2
Akhirnya di bawah cahaya rembulan, aku bisa melihat wajah Takumi dan Shoji ditutupi keringat dan air mata. Aku penasaran apakah mereka melihat atau mendengar sesuatu, namun tentu saja saat itu aku tak bisa bertanya pada mereka.
Malam ini terasa sangat senyap. Kami hanya mendengar suara belalang bersahutan dari kejauhan.
Kami duduk melingkar sambil berpegangan tangan. Kami merasa lebih aman dalam posisi ini. Selain itu, kami bisa melihat wajah kami satu sama lain. Entah mengapa, ini membuat kami merasa lebih tenang.
Beberapa saat kemudian, hal yang tak dapat dihindarkan pun terjadi.
Takumi mengambil kantong yang diberikan sang biksu kepada kami kemudian pergi sejenak dari kami untuk melakukan urusannya.
Ruangan itu sangat sunyi, kecuali suara tetesan urine Takumi saat ia kencing. Suara itu bagi kami sangat konyol sehingga aku dan Shoji tersenyum.
Dan saat itulah suara itu muncul.
"Shoji!"
No comments:
Post a Comment
Creepypasta Indonesia, Riddle Indonesia, Cerita Seram, Cerita Hantu, Horror Story, Scary Story, Creepypasta, Riddle, Urban Legend, Creepy Story, Best Creepypasta, Best Riddle, short creepy pasta, creepypasta pendek, creepypasta singkat