Sunday, September 24, 2017

The Resort - Bagian 6 (FINAL)

Takumi, Shoji, dan aku menatap sang biksu, tak sabar untuk mendengarnya melanjutkan ceritanya. Apa yang salah dengan bocah itu? Mengapa warga menjadi ketakutan melihatnya?

"Warna kulit anak itu penuh dengan lebam dan tubuhnya menggembung, seperti terisi air. Bola mata putih menonjol dari celah kedua kelopak matanya yang membengkak. Iris matanya terlihat menghadap ke atas. Ketika ia bernapas, terlihat buih keluar dari mulutnya. Dan suara aneh muncul ketika ia menjawab ibunya, suaranya terdengar seperti suara koakan burung gagak. Para penduduk melihat makhluk itu terkekeh dengan suara yang sangat aneh dan sang ibu mengelusnya dengan penuh kasih sayang. Mereka langsung kabur ketakutan."

"Sore itu, para penduduk berkumpul di rumah kepala desa, menceritakan semuanya. Saat sang kepala desa mendengar cerita mengerikan itu, dia sadar hal itu di luar kuasanya. Dia lalu memanggil seorang biksu terkenal yang merupakan nenek moyangku [catatan: pendeta Shinto diperbolehkan menikah].

Setelah mengetahui masalah ini cukup mendesak, dia segera pergi ke rumah keluarga itu. Ketika dia melihat sang anak, biksu itu segera menyeret ibunya dari rumah menuju ke kuil. Anak itu mengikuti mereka sambil mengeluarkan suara-suara aneh sepanjang waktu."

Mereka tiba di kuil dan sang biksu memaksa sang ibu masuk ke dalam kuil. Dia mencoba berbicara dengannya, namun dia hanya meronta, memaksa agar dipersatukan kembali dengan apa yang dia sebut sebagai anaknya."

"Lalu apa yang terjadi?" tanya Takumi.

"Kekeras kepalaan wanita itu terlalu kuat untuk mereka bendung. Dia berhasil meloloskan diri dan kabur dari kuil tersebut."

Biksu itu berhenti berbicara sejenak dan terlihat raut kekecewaan di wajahnya.

"Setelah itu, para penduduk kembali ke rumah wanita itu, namun baik dia dan anak menakutkan itu sudah menghilang. Saat mereka menggeledah rumah itu, mereka menemukan beberapa jimat sudah tertempel di pintu dan terdapat tumpukan sampah makanan membusuk di pojok ruangan. Bau busuk memenuhi rumah saat itu.

Aku langsung memikirkan lantai kedua hotel tersebut.

"Semua orang berpikiran hal yang sama. Sang ibu yang masih berduka atas kehilangan anaknya, melakukan ritual ilmu hitam di ruangan itu. Hal yang tak terbayangkan terjadi: usaha itu akhirnya melahirkan monster. Merasa tak mampu lagi berbuat apa-apa untuk wanita yang pertama, sang biksu dan para pengikut beranjak ke rumah wanita yang kedua. Namun, mereka lagi-lagi terlambat.

Sang ayah tampak hampir mati ketakutan di luar rumah, saat melihat monster yang diakui istrinya sebagai anak mereka. Sang biksu segera membacakan ayat kitab suci ke arah makhluk itu. Sang ibu berusaha untuk melindungi apa yang dia percayai sebagai anaknya dan mengutuk sang biksu dengan teriakan mengerikan."

Aku mulai berkeringat, meskipun itu hanya cerita.

"Para penduduk terlalu ketakutan untuk mendekat, namun biksu itu dan para pengikutnya mendekati ibu dan anak itu tanpa ragu-ragu. Mereka mencoba memaksa sang ibu untuk melakukan upacara penyucian ke kuil, seperti wanita pertama. Ia terus meronta ketika mereka membacanya. Sama seperti kasus yang pertama, makhluk itu juga terus mengikuti ibunya.

Namun, biksu itu terus melancarkan mantra-mantra ke arah makhluk itu sambil melemparkan garam ke jalan yang mereka lewati. Biksu itu akhirnya membawa wanita itu ke kuil kecil dimana kalian bertiga berdiam tadi malam. Ia diikat dan dikunci di dalam."

"Itu sangat mengerikan." Takumi merasa bersimpati padanya.

"Tak ada pilihan lain," jawab sang biksu, "Prioritas pertama mereka adalah memisahkan ibu dan anaknya. Tanpa melakukannya, mereka takkan bisa melakukan langkah selanjutnya."

ANDA JUGA MUNGKIN MENYUKAI

No stories available.

Biksu itu kemudian melanjutkan ceritanya, "Beberapa langkah dilakukan untuk mencegah wanita itu bunuh diri, namun aku sendiri tak tahu menahu tentang detailnya. Kuil itu kemudian dibungkus dengan mantra-mantra sementara para biksu duduk di sekeliling kuil membacakan ayat-ayat kitab suci. Mereka dapat mendengar tangisan sang ibu dari dalam kuil. Untuk mencegah anak itu mendengar suara tangisan ibunya, mereka melantunkannya dengan keras-keras dengan tujuan menengggelamkan suara wanita itu."

"Namun tetap saja, sang anak akhirnya muncul. Ia mencari orang tuanya dan mulai berjalan mengelilingi kuil itu. Dan ..."

Sang biksu berhenti untuk mengambil napas.

"Lalu apa yang terjadi?"

"Ketika ia mengitari kuil, terlihat bahwa ia semakin sulit untuk berjalan. Akhirnya ia ambruk ke tanah dan mulai merangkak. Setelah itu, sendi-sendinya mulai membengkok dengan cara yang sangat mengerikan dan ia mulai melata seperti seekor laba-laba. Seperti melihat kemunduran fisik dari seorang manusia. Ia semakin lama semakin lemah, kehilangan tangan dan kakinya. Akhirnya ia mulai untuk berguling."

"Semakin mendekati fajar, makhluk itu menyusut dan terus menyusut hingga akhirnya yang tersisa hanyalah tali pusar.

"Tu...tunggu...itu berarti...tali pusar itu..." Takumi menunjuk pada kotak berisi tali pusar yang baru saja ditunjukkan biksu itu kepada mereka.

"Ya, tali pusar itu adalah tali pusar yang baru saja kalian saksikan."

"Tidak mungkin!" Shoji tertegun.

"La...lalu kenapa hal yang sama terjadi pada kami?" tanyaku.

"Aku sendiri tak tahu." kata sang biksu dengan jujur, "Catatan dari para biksu memang masih ada, namun sama sekali tak ada catatan mengenai ritual yang wanita-wanita itu lakukan untuk menghidupkan kembali anak mereka."

"Mengapa mereka tak bertanya saja pada wanita-wanita itu?" tanya Shoji.

"Bukannya mereka tak mau," kata sang biksu dengan wajah sedih, "Namun mereka tak bisa."

Mulut kami semua menganga, "Mengapa?"

"Para biksu kemudian membuka pintu kuil untuk memeriksa keadaan sang ibu. Namun di dalam ia sangat kelelahan, menghabiskan sepanjang malam berteriak mencari anaknya. Ia segera mendapatkan perawatan, namun ketika ia bangun, mereka menyadari bahwa ia sudah kehilangan kewarasannya. Mungkin karena ia harus kehilangan anaknya untuk yang kedua kalinya, atau mungkin karena pengalaman mengerikan yang ia alami, tak ada yang bisa tahu secara pasti."

"Sedangkan untuk wanita yang pertama, para penduduk desa mencarinya sepanjang malam. Keesokan harinya, mereka akhirnya menemukan jasadnya dalam kondisi yang sangat menggenaskan. Tubuhnya tergeletak di tepi pantai dalam kondisi tercerai berai. Seolah-olah ada sesuatu yang mencoba memakan tubuhnya. Akan tetapi wajahnya terlihat bahagia. Aku tak tahu apa yang terjadi. Catatan nenek moyangku hanya mengatakan. 'Walaupun ia dimangsa anaknya sendiri, namun ia tersenyum di saat terakhirnya'".

Cerita itu memang sangat sukar dicerna, namun perlahan kami mulai bisa mengerti apa yang ia coba ceritakan pada kami.

"Para penduduk desa sepakat untuk menghancurkan rumah wanita itu. Dalam prosesnya, mereka menemukan catatan yang ia tulis. Catatan itu dibuat oleh wanita itu untuk menggambarkan perkembangan anaknya setelah ritual itu selesai. Bunyinya kira-kira seperti ini ..."

Hari 1: Mulai mempersiapkan kuil.

....

Hari ke-29: Tak ada perubahan.

....

Hari ke-37: Ia sudah pulang.

Hari ke-39: Ia sulit untuk bergerak.

Hari ke-45: Ia menumbuhkan kaki.

Hari ke-49: Ia mulai merangkak.

Hari ke-51: Ia bergerak dengan empat tangan dan kakinya.

Hari ke-54: Ia mulai berbicara

Hari ke-58: Ia bisa berdiri.

"Apakah Makiko juga melakukannya?" tanya Shoji tajam.

Kami semua menatapnya.

"Makiko ... ia melakukan ritual yang sama kan?"

Biksu itu menghela napasnya, "Kau benar, Makiko sebenarnya tak berasal dari desa ini. Ia baru pindah ke sini setelah menikah dengan Ryuichi. Mereka memiliki seorang anak laki-laki. Bahkan mungkin anaknya itu kini mungkin seumuran dengan kalian. Tapi ..."

Kami sudah bisa menduga kelanjutan cerita itu.

"Suatu hari, beberapa tahu lalu, anaknya menghilang setelah bermain ke pantai. Seluruh desa mencarinya, namun ia tak pernah ditemukan. Ryuichi mencoba membuat istrinya melupakan kesedihannya dengan mengubah rumah mereka menjadi hotel sehingga banyak anak-anak berkunjung ke sana saat musim panas. Bahkan hotel itu menjadi terkenal dan semua orang mengira Makiko telah melupakan kesedihannya."

"Namun entah bagaimana, Makiko mendapatkan informasi mengenai ritual itu dan mencoba mempraktekkannya. Ia menciptakan makhluk yang hampir merasuki kalian. Namun entah mengapa, makhluk itu justru mengira kalian-lah ibunya, bukan Makiko."

Biksu itu kemudian menceritakan bahwa ini mungkin karena Makiko melupakan satu hal yang penting. Saat meninggal, anaknya tidak sedang membawa tali pusarnya bersamanya. Makiko tidak mengetahuinya dan itulah yang membuat ritualnya berbeda dengan ritual yang seharusnya.

"Aku juga ingin meminta maaf meninggalkan kalian di kuil sendirian malam itu. Namun selain menyelamatkan kalian bertiga, aku juga harus menyelamatkan Makiko. Sama seperti kalian, nyawanya juga dalam bahaya. Kami semua tadi malam menguncinya di kuil utama, seperti yang dilakukan nenek moyangku saat hal ini pertama terjadi. "

Tiba-tiba Shoji berdiri. Dengan gemetar marah, ia menatap sang biksu dengan tajam, "Kalian melindunginya? Untuk apa? Jelas-jelas ia hampir membuat nyawa kami terancam! Dia hendak mengorbankan nyawa kami untuk menghidupkan kembali anaknya!"

Sang biksu itu mencoba menjelaskan, namun kali ini Takumi mencoba mendukung Shoji, "Dimana perempuan itu! Katakan kepada kami!"

Biksu itu tampak terkejut dengan reaksi kedua temanku itu. Aku hendak berusaha menenangkan Shoji dan Takumi ketika melihat sang biksu itu dengan wajah teduh dan suara sabar menjawab,

"Baiklah. Aku akan membawa kalian pada Makiko. Biarlah kalian menilainya sendiri."

Dia berdiri dan berjalan keluar kuil. Kami bertiga mengikutinya. Pertama, kami mengira ia akan membawa kami ke aula kuil utama, namun ia justru berjalan menuju sebuah bangunan kecil, tepat di luar kuil utama. Ketika kami semakin dekat dengan bangunan itu, kami mendengar suara erangan yang keras serta suara alunan orang-orang yang membaca kitab suci. Juga terdengar suara "Bang! Bang!" yang amat keras.

Kami bertiga berdiri di luar bangunan itu dan menyadari bahwa suara-suara itu berasal dari dalam bangunan tersebut. Aku takut tentang apa yang akan kami lihat di dalam sana.

Sang biksu membukakan pintu dan kami melihat beberapa biksu bersila mengelilingi Makiko. Tak ada satupun dari kami yang berani bersuara saat kami melihat kondisinya.

Dia sedang ... aku tak tahu cara mengatakannya ... meringkuk? Seperti seekor udang. Aku tak bisa menjelaskannya dengan baik, namun ia sedang berbaring di lantai sambil melengkungkan tubuhnya dan menggeliat tak terkendali. Aku tak pernah melihat manusia melakukan hal seperti itu sebelumnya. Sesekali ia mengeluarkan suara seperti tangisan yang sangat menyayat hati.

Aku bahkan tak tega untuk melihat wajahnya. Kami hanya terpaku di sana.

"Ia sudah seperti ini sejak tadi pagi." kata sang biksu dengan sedih, "Dan mungkin akan tetap seperti ini sepanjang sisa hidupnya ..."

Satu-persatu, kami bertiga meninggalkan ruangan itu. Kami tak bisa melihatnya dengan kondisi seperti itu. Sangat sulit. Kami seperti melihat wanita yang berbeda dengan Makiko yang biasa kami kenal di hotel.

Sang biksu membawa kami kembali ke ruangan dimana kami berada tadi dan mencoba mengalihkan pembicaraan. Ia menyinggung bahwa upacara pengusiran setan yang kami lakukan tadi malam berhasil dengan baik.

"Kalau begitu bisakah kami pulang?" tanya Shoji, "Maaf jika kami kasar. Anda sangat baik pada kami, begitu pula orang-orang di kuil ini. Namun semua pengalaman ini, melihat makhluk-makhluk itu, benar-benar membuat kami ..."

"Tunggu! Makhluk-makhluk?" mimik muka sang biksu berubah, "Maksudmu mereka ada lebih dari satu?"

"Ya," kata Shoji tak yakin, "Aku melihat ada beberapa bayangan saat berada di lantai dua hotel itu ..."

Sang biksu itu tampak terkejut.

"Tung...tunggulah di sini sebentar," katanya gugup, "Jangan sekali-kali meninggalkan kuil ini! Tetap di sini dan aku akan memanggil seseorang untuk membantu kalian ..."

Ia meninggalkan kami yang terpaku dalam kebingungan dan kembali menemui para biksu yang berada di ruangan dimana Makiko disekap.

"Apa ini semua belum selesai?" pikiranku berkecamuk dalam rasa takut. "Bagaimana jika ini memang takkan pernah bisa berakhir?"

Beberapa biksu datang dan kami sudah tahu apa yang akan mereka katakan. Kami akan mengulangi upacara tadi malam sekali lagi. Untunglah, kami tak diwajibkan untuk kembali ke ruangan mengerikan tempat kami menghabiskan malam saat itu. Kami disuruh mengadakan upacara itu kembali di ruangan ini, di kuil utama.

Suasana ruangan ini sangatlah berbeda dengan tempat kami berada malam tadi. Suasananya lebih nyaman. Dan lagipula, terdengar suara alunan dari para biksu yang berjaga di luar, sehingga kami merasa tenang mengetahui kami tak sendirian.

Peraturannya sama, kami tak boleh makan, minum, berbicara, maupun tidur selama malam itu. Semuanya kini terasa lebih mudah untuk kedua kalinya. Tanpa kami sadari, malam berlalu dengan cepat, dan pagipun menjelang.

Kami semua sangat mengantuk, namun lega ketika sang biksu masuk dan memberitahukan berita baik kepada kami. Ia mengatakan bahwa upacara kami telah selesai dan tak terjadi apapun semalam. Ini berarti hanya satu dari makhluk-makhluk itu yang "terikat" kepada kami dan ia telah benar-benar hilang sejak upacara tadi malam.

Kami sangat lega. Namun sebelum kami diperbolehkan pulang, ia mengatakan bahwa ada seseorang yang ingin menemui kami.

Kami sangat terkejut melihat siapa orang itu.

Ternyata itu Ryuichi. Wajahnya sangat pucat dan ia membungkuk, meminta maaf pada kami. Semula kami memang sangat marah pada istrinya. Namun sekarang setelah melihat keadaannya, kami justru merasa iba. Kami juga merasa ini bukan salah Ryuichi. Bahkan ia sudah berusaha untuk menolong kami hingga sejauh ini.

Aku mulai mengerti apa yang terjadi. Ritual yang ia lakukan sepertinya sama dengan ritual yang dilakukan para ibu yang kehilangan anak mereka di laut itu. Namun mungkin ia mendengarnya secara samar dan dalam kesedihannya yang mendalam, iapun dengan putus asa mencobanya. Namun ia melupakan hal utama dari ritual itu.

Seharusnya sang anak yang membawa tali pusar itu, namun justru Makiko yang masih menyimpannya. Ini sebabnya, mungkin apa yang ia panggil bukanlah anaknya, melainkan "sesuatu" yang lain. itu sebabnya, ia tak mengenali Makiko sebagai ibu mereka, bahkan justru menganggap kami sebagai ibunya.

Aku mulai bisa merasakan apa yang dirasakan Makiko saat itu. Rasa pedih akibat kehilangan seseorang yang dicintainya. Aku mulai mengerti alasan tindakannya, walaupun tentu saja itu tak bisa dibenarkan.

Setelah menerima permintaan maaf Ryuichi, kamipun berpamitan dengan sang biksu dan juga orang-orang lain yang telah membantu kami selama berada di kuil. Sekali lagi, sebelum melepas kami, sang biksu meyakinkan kami bahwa kami sudah aman dan tak ada yang perlu kami khawatirkan lagi.

Pria separuh baya yang kami lihat saat kami pertama tiba di kuil ini memutuskan untuk mengantar kami hingga ke stasiun. Ternyata ia adalah pria yang sangat gemar mengobrol. Ia menceritakan banyak hal kepada kami, tanpa peduli kami mendengarkannya atau tidak. Kebanyakan yang ia bicarakan adalah mengenai hal-hal yang menimpa kami.

"Seorang anak memakan orang tuanya..." ia pasti berbicara mengenai tragedi bertahun-tahun lalu, "Seperti seekor laba-laba bukan?"

Ia tertawa, "Pokoknya jika kalian dewasa nanti, jangan sekali-kali coba ritual itu. Atau jika tidak, tanggung sendiri akibatnya!"

Aku belajar satu hal dari bapak yang banyak omong ini.

Bahwa selama ini sang biksu telah berbohong pada kami.

Ia menyembunyikan kebenaran dari kami. Ia mengatakan pada kami bahwa ia tak tahu menahu mengenai ritual itu dan satu-satunya sumber adalah catatan dari nenek moyangnya.

Dari cerita bapak yang mengantar kami ini, kami berkesimpulan lain.

Baik ritual maupun hasilnya diturunkan secara turun menurun di daerah ini. Semua orang di kawasan ini mengetahuinya.

Bahkan mungkin mencobanya.

Dan membuatku bergidik membayangkan. Anak-anak yang ada di sini ... apakah ada di antara mereka yang berasal dari ritual itu?

Pria paruh baya tersebut menurunkan kami di stasiun. Di sana, kami hanya terdiam menanti kereta sambil bertanya-tanya, apakah semua yang diceritakan sang biksu juga adalah kebohongan?

Sejak kami kembali ke Tokyo, tak pernah terjadi sesuatu yang aneh kepada kami. Suatu hari, kami bertiga kembali berkumpul, bernostalgia merenungkan kejadian mengerikan itu.

"Aku takkan mau kembali ke sana." Kata Shoji. Kami semua setuju. Ya, pengalaman itu memang cukup membuat kami trauma.

Bahkan sejak peristiwa itu, Shoji sangat ketakutan apabila melihat laba-laba. Aku tak bisa menyalahkannya. Aku sendiri sekarang sudah lulus kuliah dan bekerja. Namun sejak pengalaman itu, aku menjadi sangat takut akan gelap.

Hingga suatu hari, aku menjadi sangat penasaran. Apa yang terjadi dengan hotel itu? Apa tempat itu masih ada? Bagaimana kondisi Makiko dan Ryuichi saat ini?

Terutama, aku ingin tahu bagaimana kondisi Misaki sekarang.

Akhirnya, tanpa memberitahu kedua temanku, aku memutuskan menelepon hotel itu. Terdengar suara seorang wanita yang tidak kukenal di seberang telepon.

Namun yang tak bisa kulupakan, terdengar suara seperti kaokan burung gagak di belakangnya.

Sayup-sayup mulai kudengar pula suara desahan napas ....

" ........... huuuuuuuuuh ...................... huuuuuuuuuuuh ............"

Kemudian terdengar suara bisikan di telepon ...

".......... ibuuuuuu .........apa itu kaaaaaauuuuuuu?" 2

Aku segera menutup telepon itu.

No comments:

Post a Comment

Creepypasta Indonesia, Riddle Indonesia, Cerita Seram, Cerita Hantu, Horror Story, Scary Story, Creepypasta, Riddle, Urban Legend, Creepy Story, Best Creepypasta, Best Riddle, short creepy pasta, creepypasta pendek, creepypasta singkat