Monday, September 25, 2017

Sugar Prince

Saat aku masih seorang gadis kecil, jika kau tanya aku mau jadi apa, ‘seniman kelaparan’ tak akan pernah ada dalam daftar.

Seperti kebanyakan aku pasti akan bilang ‘dinosaurus’ atau ‘astronot’—dan kemudian, saat aku tahu bahwa seorang bocah tak akan mungkin jadi dinosaurus dan gadis cokelat dari New Zealand tak akan bisa jadi astronot, aku akan bilang ‘guru’ atau ‘perawat’.

Di sekolah aku semakin parah dalam semua pelajaran kecuali Bahasa Inggris dan Seni, tapi saat aku remaja tanteku memberiku kerjaan paruh-waktu sebagai petugas kebersihan di Rumah Sakit setempat. Saat itu kupikir bayarannya lumayan, dan aku ahli melakukannya. Aku suka bersih-bersih; bahkan meski kadang yang kubersihkan adalah ledakan diare atau muntahan darah.

Lama-kelamaan kau akan terbiasa dengan bau seperti itu. Yah, kecuali untuk Clostridium difficile—atau yang biasa dikenal sebagai ‘C. Diff’. Tapi untunglah aku jarang membersihkan di bekas pasien seperti itu.

Akhirnya gaji kecilku membuatku bisa berhenti sekolah dan menyewa kamar satu tempat tidur di sebuah flat beton yang kecil dan kotor. Ketika aku tidak kerja atau tidak tidur, aku membuat karya seni untuk dijual di pasar Sabtu pagi. Dan begitulah aku menjadi seniman paruh-waktu yang miskin.

**

Pasti ada beberapa bahan makanan tertentu yang dipunyai orang miskin di lemari mereka. Punyaku adalah beras dan kentang; keduanya murah dan bisa dijadikan berbagai macam sajian. Tumbuh bersama orangtua yang sama miskinnya dan harus menjalani hidup sebagai wanita berarti bahwa ibu sudah lebih dulu mengajariku memasak sebuah bahan menjadi beberapa jenis makanan.

“Nasi sangat bagus,” kata ibuku, “Kau bisa menjadikannya manis untuk sarapan dan tawar untuk makan siang dan makan malam.”

Dan kubis. Tampaknya semua makanan harus pakai kubis.

Tapi aku masih punya sedikit kemewahan di flat kecilku; setoples selai kacang, beberapa sarang lebah liar Manuka dari pamanku di utara dan gula mentah untuk secangkir tehku.

Jadi kau paham kenapa aku sangat marah saat semut-semut mulai masuk.

Mereka sangat kecil, semut-semut paling kecil yang pernah kulihat. Saat aku terbangun di pagi hari, mereka akan menyerbu serpihan terkecil makanan yang jatuh, memisahkannya kemudian membawanya kembali ke sarang mereka dengan tubuh kecil cokelat-hitam mereka yang tenang.

Awalnya aku tak merisaukannya—aku tahu rasanya kelaparan. Dan aku bisa lebih mengapresiasi mereka dibanding kebanyakan orang bahwa mereka sedang membereskan kekacauan yang kubuat, melayaniku.

Tapi ketika mereka mulai membuat lubang menembus kantong kertas gula mentahku, kuputuskan bahwa itu sudah cukup.

**

Aku menemukan bahwa borax dan gula adalah pembunuh semut buatan sendiri yang manjur.

Kami punya banyak produk kebersihan berbasis borax di tempat kerja untuk membersihkan saluran air dan kotoran yang membandel. Jadi aku membuat campurannya sesuai instruksi di internet kemudian meninggalkannya di piring kecil di atas dapur.

Tidak butuh lama bagi tamu kecil tak diundangku untuk menemukannya; satu jam kemudian, sepasang semut melenggang melintasi formika putih dapur yang bersih dan menemukan piring kecilnya.

Berdasar pencarianku, mereka akan memakannya, kemudian membawanya ke sarang, di mana yang lain akan mengikuti, sampai racunnya mengisi rumah mereka. Semua akan baik-baik saja, mereka akan mati dalam seminggu, dan aku tak akan punya masalah serangga lagi.

Jadi ketika satu semut mencicipi racunnya, kemudian diam di pinggiran piring disamping temannya, aku bertanya-tanya apa aku membuat campurannya terlalu kuat dan membunuh si semut saat itu juga.

Tapi pengamatan selanjutnya menunjukkan bahwa dia masih hidup, menggerakkan antena dan kakinya, sabar menunggu dibawah pengawasan temannya. Memanfaatkan kesempatan langka mengawasi semut yang diam, aku mengambil buku sketsaku dan mulai menggambarnya seraya bertengger di atas satu-satunya kursi di flatku.

Di waktu aku sudah menguap dan merangkak ke tempat tidurku, si dua semut masih sabar berdiam di tepian piring.

Pagi harinya, ketika aku muncul untuk membuat secangkir teh setelah mandi, piring kecil itu masih tak tersentuh—hanya tubuh si semut yang terkena racun yang tersisa, kaki kecilnya mengerut ke tubuhnya dalam posisi janin mati yang aneh.

Percobaan meracuni sarang gagal.

**

Minggu berikutnya mereka membuat robekan lubang lagi di kantong gula (yang mana sudah kutaruh di atas kantong plastik) dan mengosongkan ‘separuh’ isinya.

Marah, aku menggantung kantongnya di cantolan jemuran.

Pagi selanjutnya, kantong kosong itu tergeletak sedih di lantai, tak ada satupun butir gula tersisa.

Frustasi, aku keluar dan membeli beberapa umpan semut yang bagus dari supermarket—dan juga kantong gula. Begitu sampai di rumah, kutempatkan umpannya di lantai ruang makan dan kantong gulanya di atas mangkok, yang mana juga kutempatkan di atas mangkok lain yang lebih besar yang penuh dengan air.

Keluarga pencuri gula itu akan mendapat balasannya.

Aku tidur dengan gelisah, pintu ruang tidur terbuka lebar, dengan tak rasional mendengarkan suara para penyusup kecil. Sebagian diriku berkata bahwa mereka sedang merencanakan sesuatu terhadapku; aku mendapat potongan mimpi tentang semut raksasa yang merayap di lemariku, mengunyah lubang di kaca dan plastik, memakan semua makanan yang bisa mereka temukan.

Akhirnya aku bangun, tak bisa melanjutkan tidur, tergopoh ke dapur untuk mengambil segelas air.

Ketika lampu berkedip menyala, aku melihat ‘pergerakan’.

Kantong gula sudah lenyap dari atas mangkok dan sedang terguling di atas bench dapur. Semut-semut buyar melintasi konter, bergegas menuju celah atau lubang yang bisa mereka temukan—tak diragukan mulut mereka penuh dengan gulaku.

Reflek, aku menyambar gelas dari bak cuci dan menangkupkannya di atas salah satu semut yang sedang mengekor, yang baru saja muncul dari kantong kosong di dekatnya.

Aku menangkap satu pencuri.

**

Dia jelas-jelas menatapku.

Kemanapun aku pergi, dia selalu memposisikan dirinya agar dapat melihatku dengan jelas lewat gelas. Jika aku mendekat, jika aku menatapnya, si semut akan merunduk dengan posisi mengancam sambil mengetuk dinding gelas dengan salah satu antenanya yang bagus—satu antena lain bengkok tertimpa bibir gelas.

“Tak akan kubiarkan kau pergi,” aku memberitahunya. “Tidak sampai kau berhenti mencuri gulaku.”

Tap-tap-tap.

Aku menyadari yang ini jauh lebih besar dibanding semut-semut yang datang di awal. Yang ini begitu mengilap dan gelap, seakan baru saja dipoles dengan semir sepatu. Efek kaca yang membuat wajahnya membesar memberikan kesan antropomorphis (mirip manusia) yang membuatku jadi tak nyaman membiarkannya terpenjara dalam gelas.

“Aku bisa membunuhmu, kau tahu,” aku melanjutkan, “tapi aku tak akan melakukannya. Aku ingin kita membuat kesepakatan; aku akan menaruh mangkuk kecil berisi gula bersih di luar pintu depan setiap malam dan kau bisa memakannya. Tapi jangan sentuh barang-barangku.”

Si semut menatapku dari balik gelas.

“Oke?”

Tap-tap-tap.

Sambil mendesah, kuangkat gelasnya. Satu antena si semut yang bagus bergoyang marah sesaat, lalu dia berlari cepat dan menghilang di celah antara kompor dan bench.

**

Apa dia benar-benar memahamiku, entahlah, yang jelas makanan di mangkuk itu berhasil.

Saat malam semut-semut akan beramai-ramai mengelilingi mangkuk, lalu bersama-sama membawa seluruh isinya ke sarang mereka. Selama puas dengan pengaturan ini, mereka tidak mengganggu dapurku.

Aku menertawai gagasan ini; ini seperti jaringan mafia serangga kecil. Selama aku memberikan jatah gula mereka, mereka akan meninggalkanku sendirian. Tapi meski aku senang dengannya, ada orang lain yang tidak menyukainya.

Tetanggaku, Charles.

Sebagai pria tua keturunan Eropa, Charles tidak punya banyak waktu untuk orang-orang sepertiku. Jika aku memainkan stereo portabel murahanku terlalu keras, dia akan menggedor pintuku dengan tongkat berjalannya sampai aku memelankannya. Aku bahkan tak bisa nonton tv dengan volume layak, jadi aku hanya nonton film bajakan dengan ponsel jelekku sambil memakai headphone.

Keributan di luar jelas adalah suara melengking marah milik Charles yang meneriakkan sesuatu.

Membuka pintu, aku menemukan dia di depan pintuku, mangkuk gula pecah ditendang dan tubuh remuk semut-semut gendut bertebaran di atas keset usangku.

“Kau kulit gelap bodoh,” Charles berteriak padaku. “Dungu sialan!”

“Malam, Charles.”

“Apa maksudmu memberi makan semut, kau wanita tolol?”

“Biar mereka tetap di luar rumah,” aku mulai menjelaskan, tapi dia memotongku.

“Akan kulaporkan pada si pemilik. Akan dia jadikan ususmu kaus kaki—kau akan diusir akhir minggu ini, pegang kata-kataku.”

“Selamat malam, Charles,” kataku, tersenyum keras dan menutup pintu di depan mukanya.

Dia masih berkoar-koar setelahnya, lalu hening, dia kembali ke flatnya.

Paginya, semua tubuh semut-semut itu lenyap, dan mangkuk gula yang sudah diperbaiki tergeletak nyaman di atas kesetku.

**

Aku tidak dengar apapun dari si pemilik maupun Charles. Aku tak berani memberi makan semut-semut lagi, takut akan menimbulkan masalah yang lebih besar.

Sekitar tiga minggu setelah kejadian itu, seekor semut gemuk berjalan sendirian melintasi bench dapur dan berhenti di samping cangkir tehku.

Dengan satu antenanya yang bagus, dia menyentuh permukaan cangkirku.

Tap-tap-tap.

Lalu dia melenggang pergi, tanpa rasa peduli, dan hilang menuruni retakan darimana dia muncul.

Malam itu aku tinggalkan semangkuk gula di luar, dan paginya ada kejutan untukku.

Tergeletak di tengah mangkuk kosong, ada sebuah liontin putih-krem.

Aku sudah melatih tanganku untuk membuat ukiran tulang, dan meski dengan bakat seniku, aku tak pernah ahli melakukannya. Siapapun yang membuat ini adalah seniman sejati; itu adalah spiral ganda yang diselimuti ukiran rumit ulir dan pola-pola, mirip dengan yang dikenakan nenek moyangku.

Dan setiap pagi setelahnya, ukiran tulang yang baru selalu muncul, sama cantik dan canggihnya seperti yang terakhir.

**

Semuanya laku keras di pasaran, liontin-liontin itu.

Cukup untuk membeli persediaan gula seumur hidup bagi teman-teman kecilku.

Polisi tak pernah tahu apa yang terjadi pada Charles. Mereka bilang forensik tak bisa menemukan apapun—tak ada tanda masuk dengan paksa, tak ada tanda perlawanan. Seakan orang tua itu hilang begitu saja.

Tetangga baru muncul di hari Sabtu, seorang wanita tua bermuka masam. Di malam pertama dia sudah memukul-mukul dinding sambil menyerukan kata-kata kotor ketika aku sedang menyalakan tv.

Aku tak sabar untuk membawanya ke pasar.

No comments:

Post a Comment

Creepypasta Indonesia, Riddle Indonesia, Cerita Seram, Cerita Hantu, Horror Story, Scary Story, Creepypasta, Riddle, Urban Legend, Creepy Story, Best Creepypasta, Best Riddle, short creepy pasta, creepypasta pendek, creepypasta singkat