Wednesday, September 20, 2017

Revenant - Bagian 2


Aku sudah kehilangan selera makan meskipun aku sebenarnya lapar. Akhirnya, aku memutuskan untuk mengambil tasku dan pergi ke kamar sebelah lalu berbaring di sana.

Apa sebenarnya yang terjadi pada teman-temanku? Mengapa tiba-tiba mereka bersikap aneh. Tidak ada satu hal pun yang kumengerti tentang mereka saat ini. Aku akan cari tahu. Entah kenapa aku ingin melakukannya, tapi aku akan tetap mencari tahu sekalipun mereka tidak mau berkata apa-apa.

"Aku lapar." Sebuah suara membuyarkan lamunanku. Pintuku ternyata sudah terbuka. Claire ada di sana.

Aku perlahan bangkit dari ranjang dan memandangnya. Ia tidak kelihatan seperti Claire yang tadi kutemui di kamarnya.
"Kau... sudah merasa lebih baik?" tanyaku.
"Ya, aku baik. Dengar, aku minta maaf tentang apa yang terjadi tadi. Aku tidak ingin kau menganggapku wanita murahan atau semacamnya."

Aku bangkit, mendekatinya, lalu menepuk pundak Claire. "Tidak ada yang menganggapmu seperti itu Claire."
"Benarkah?"
"Tentu saja...." ucapku. Claire tersenyum. Aku bisa mempercayai senyum yang satu ini. Claire sepertinya sudah kembali normal. "Dengar, aku tidak tahu masalah apa yang sedang terjadi antara kalian. Tapi aku ingin mengingatkan bahwa kita semua sudah dewasa. Selalu ada konsekuensi dalam tindakan kita. Jadi, kalian harus menyelesaikan masalah ini secepatnya."
"Yah... akan kuusahakan Jeff."
"Bagus, sekarang ayo kita turun lalu membangunkan yang lain untuk makan...."

Aku mengambil dompet dan kunci mobilku lalu turun bersama Claire ke lantai bawah. Kamar Annie yang pertama kami ketuk, harapannya agar dua orang di sisi kanan kirinya bisa mendengar ketukan itu.

Pintu kamar dibuka, Annie sudah berganti memakai piyama. "Ada apa?"
"Memangnya kau sudah makan?" tanyaku.
"Aku tidak lapar Jeff." jawab Annie malas.
"Ayolah Annie, kami tidak mungkin meninggalkanmu sendirian."
"Apa kau pikir Simon dan Andrew mau ikut? Mereka sepertinya sudah tidur."
"Tidur? Ini kan masih sore.... Tidak mungkin itu hahaha." Aku melangkah ke kamar Simon dan mengetuk pintunya. "Simooon... kami mau pergi makan, kau mau ikut?"

Tidak ada jawaban.
"Simoonn...." aku memanggilnya lagi, jawaban tetap nihil. Namun beberapa detik kemudian pintu kamar dibuka. Wajah simon sudah berantakan dengan rambut acak-acakan. Matanya yang merah seolah memberitahu bahwa ia sedang amat sangat ngantuk.
"Hmmm? Kau memanggilku bos?" Suaranya terdengar sangat serak.
"Y-ya, kami mau pergi makan. Kau ikut kan?"
"Ohh... sepertinya tidak ah. Melewatkan makan malam tidak akan membuatku mati besok pagi. Kau tidak keberatan kalau aku tidur lagi kan bos?"
"O-oke. Apa boleh buat. Aku akan mengajak Andrew saja kalau begitu."

"Kau lihat? Mereka sudah tidak bersuara sejak masuk ke kamar tadi. Tidak usah repot-repot membangunkan Andrew. Kalian bisa pesan layanan antar kan?"

Aku melirik ke arah Claire meminta persetujuannya. Bagiku, makan apapun sebenarnya tidak masalah, jadi aku lebih memilih memposisikan diri sebagai orang yang mengalah.

Claire terlihat tidak nyaman untuk alasan yang masih misterius bagiku. Apakah karena ada Annie?
"Bagaimana Claire? Kau mau pesan layanan antar saja?"
"Ya, apa boleh buat. Aku pesan bigmac kalau boleh."
"Bicmac? Baiklah. Kau mau pesan juga Annie? Aku yang traktir."
"Tidak, aku sedang diet. Selamat malam..."

Annie menutup pintunya tepat di hadapan kami. Aku dan Claire terdiam untuk sejenak sebelum berpandangan.
"Huff.... mau bagaimana lagi? Ayo ke atas, aku sengaja meninggalkan ponsel. Tadinya kupikir kita bisa mengobrol tentang masalah kalian di sana."
"Tidak apa-apa Jeff. Mungkin tidak sekarang."

Kami kembali naik ke lantai dua. Memesan makanan, lalu duduk diteras balkon yang menghubungkan kamarku dengan kamar Claire sambil menunggu.
"Aku masih tidak paham tentang apa yang terjadi pada kalian. Kenapa kau tidak mau cerita padaku Claire?"
"Aku bukan tidak mau Jeff. Tapi aku hanya tidak tahu harus mulai dari mana. Semua ini.... membingungkan."
"Well..., McDonals terdekat jaraknya cukup jauh. Aku punya banyak waktu untuk mendengarkan."
".........."

Claire kembali membisu setelahnya. Aku masih menatapnya, namun Claire membuang muka dan menatap kegelapan malam.

Udara di tempat ini sesungguhnya cukup dingin. Aku mulai menggigil dan masuk untuk mengambilkan sebuah selimut tebal. Setelah kembali ke tempat Claire, aku duduk di sisinya lagi dan menyelimuti kami dengan selimut yang kubawa.

Claire menoleh dan menandangku. Berada diposisi seperti itu sebenarnya cukup membuatku canggung. Apalagi, beberapa menit yang lalu kami baru saja terlibat adegan dimana tubuh kami saling merapat di dinding. Kejadian itu sedikit banyak mempengaruhiku.

"Ada apa?" tanyaku ketika Claire tak juga mengalihkan pandangannya.
"Tidak... tak ada apa-apa." Ia lalu kembali membuang muka, namun ekspresinya tak sama seperti sebelumnya.

Lima menit kemudian aku berkata pada Claire bahwa aku ingin ke kamar mandi bawah. Aku meninggalkannya sendirian di balkon dan bertemu Simon yang kebetulan baru saja keluar dari kamar mandi.

"Kau tidak jadi tidur?" tanyaku.
"Aku akan tidur sekarang. Kau sendiri?"
"Aku masih menunggu pengantar makanan."
"Dan Claire?"
"Dia di atas, sedang duduk di balkon." Simon menghela napas singkat mendengar jawabanku. "Ada apa sebenarnya dengan kalian? Masalah ini sedikit banyak mempengaruhiku juga, kau tahu? Aku merasa tidak nyaman ketika berada di tengah-tengah sebuah keadaan yang tidak kumengerti."
"Aku juga tidak mengerti Jeff...."

"A-apa maksudmu dengan kau tidak mengerti? Kau adalah bagian dari mereka. Bagaimana kau bisa seolah tidak peduli pada apapun yang terjadi sementara kau ikut ambil bagian di dalamnya...." emosiku meluap-luap. Simon terdiam mendengarkan aku mengoceh. Untungnya, itu hanya untuk beberapa saat. Aku berhasil mengendalikan amarahku sebelum membesar. "Maaf, aku tidak bermasud marah-marah. Aku hanya...."
"Muak?"

Aku menatap Simon sekarang. Pandangan matanya seperti meremehkan seperti ada yang ingin ia katakan padaku namun ia tahan dengan baik.
"Ya... kurang lebih begitu. Sudah dua minggu keadaan tim kita seperti ini. Aku tidak tahan lagi. Jika keadaan tak kunjung membaik, bisa jadi tim kita tidak akan utuh seperti semula."
"Hoo..., kau mau memecat kami? Karena masalah pribadi?"
"Tanyakan pada dirimu sendiri Simon. Apakah kau betah berlama-lama dalam keadaan seperti ini? Seminggu? Sebulan? Setahun?" Amarahku kembali tersulut. "Jangan pandangi aku seperti itu Simon. Kalau ada yang mau kau katakan, silahkan katakan. Aku akan mendengarkan."

Simon diam sejenak, mungkin sedang merangkai kata-kata untuk ia ucapkan padaku. Tapi sampai akhir ia tidak mengucapkan apa-apa. Ia hanya berbalik, masuk ke kamarnya, menutup pintu, dan meninggalkanku sendiri di depan kamar mandi.

Cukup lama waktu berlalu hingga aku kembali naik ke atas. Namun baru saja aku hendak duduk, bel di pintu depan berbunyi. Pengantar makanan sudah ada di sana. Aku kembali turun, membuka pintu depan lalu mengambil makanan setelah membayarnya.

"Kenapa tadi lama sekali Jeff?"
"Ah, tidak... tidak ada apa-apa," jawabku sambil duduk dan menyerahkan pesanan Claire.
"Kau baru saja bertanya pada Simon tentang masalah kami?"

Aku menelan ludah. Darimana Claire tahu? Aku melirik ke arah Claire yang kini sedang menggigit burger di tangannya sambil memandangi langit malam. Sorot matanya terlihat tenang. "Kau mendengarnya ya?"
"Kalian berbicara cukup keras sedangkan malam begitu sunyi."
"Ohh..., hehe. Maaf, aku hanya tidak bisa menahan diri."

"Simon tidak tahu apa-apa, percuma kau tanya dia."
"Begitu ya...," aku menghela napas. "Aku memang seperti itu. Aku tidak pernah bisa membendung rasa ingin tahuku, aku juga tidak mengerti kenapa aku bisa seperti itu. Maafkan aku."

Claire tersenyum, lebih tepatnya seperti menahan tawa. "Aku tahu Jeff. Aku sudah cukup lama mengenalmu. Lagipula, jika bukan karena rasa penasaranmu, tim kita tidak akan sesukses sekarang bukan?"

"Begitukah?"
"Ya..., kau adalah pemimpin yang baik Jeff. Terbaik yang pernah kukenal."

Aku tidak tahu harus membalas statement itu dengan kalimat apa. Sejujurnya, aku merasa wajahku memerah saat Claire memandangiku lekat-lekat sambil mengucapkan hal itu. Yang kulakukan justru membuang muka agar ia tidak melihat ekspresiku.

Kesunyian di antara kami berlangsung cukup lama, sampai tanpa kusadari Claire sudah menghabiskan BicMac besar di tangannya sementara milikku masih utuh.

Claire mendekat ke arahku yang masih memandangi malam dalam diam. Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun saat tubuh kami kembali merapat. Claire memandangiku sejenak, untuk beberapa saat aku berpikir bahwa Claire ingin mengatakan sesuatu. Tapi, ia justru meletakkan telapak tangannya di pipiku sambil mengecup pipi yang lain.

"Sudah malam. Selamat tidur Jeff...." Claire bangkit lalu berjalan masuk ke dalam kamarnya tanpa memandangku.
"Ohh... ya. Selamat tidur Claire." Entah karena pada dasarnya laki-laki itu bisa menjadi tolol jika berada dalam situasi sepertiku tadi, atau memang aku tidak sempat berpikir untuk mencerna kejadian yang berlangsung sekejap itu. Yang jelas, apa yang baru saja terjadi seperti menambah daftar teka-teki yang terjadi di antara kami. Sekarang aku tahu bagaimana perasaan Simon yang sama-sama tidak mengerti apapun. Aku menyesal sudah memperlakukan Simon seperti itu tadi.

Setelah menghabiskan makananku, aku masuk ke dalam kamar untuk beristirahat. Rentetan teka-teki yang terjadi pada kami benar-benar membuatku lelah.

Paginya, aku terbangun oleh suara ketukan di pintu. Claire sudah bangun lebih dulu. Ia terlihat ceria seperti Claire yang kukenal. Setidaknya, satu bagian dari masalah sudah tidak lagi kupikirkan. Sekarang, tinggal bagaimana mengatasi yang lain. Pekerjaanku masih banyak.

Kami berdua turun ke lantai satu karena di lantai atas tidak terdapat kamar mandi. Ketika sampai di bawah, Andrew baru saja keluar dari kamar mandi dengan hanya menggunakan handuk. Claire melemparkan pandangan ke arah lain, seolah tidak ingin melihat Andrew yang sekarang berjalan ke kamarnya.

Sementara Annie yang sudah menunggu di depan kamar mandi segera masuk menggantikan Andrew. Hanya Simon yang tidak terlihat. Aku berjalan mendekati sofa panjang lalu duduk di salah satu ujungnya, sementara Claire pergi ke dapur dan kembali beberapa menit kemudian dengan dua cangkir kopi.

"Minumlah, sepertinya kau masih ngantuk."
"Terima kasih banyak Claire. Kau tidak perlu repot-repot."
"Sama sekali tidak." Claire mengambil posisi duduk di sofa yang sama denganku. Hanya saja ia mengambil ujung yang lain, menyisakan ruang kosong diantara kami yang cukup untuk diduduki satu orang. Baguslah, Claire sepertinya bisa mengenal situasi. Aku tidak ingin jika Andrew keluar dan melihat kami duduk bersebelahan. Aku khawatir jika Andrew salah paham denganku.

Benar saja. Tak lama setelahnya, Andrew keluar dari kamarnya. Ia menengok sejenak ke luar jendela -mungkin mengecek cuaca. Aku juga melihat langit di luar agak gelap. Mungkin sebentar lagi akan hujan. Andrew lalu duduk di sofa kosong di dekatku yang hanya muat untuk satu orang.

Claire masih tidak ingin memandang ke arah Andrew. Begitu juga dengan Andrew yang sama sekali tidak menyapa Claire. Atmosfir di antara kami memburuk.

"Mau kopi?" tawarku pada Andrew.
"Tidak, terima kasih."

Andrew menolak tawaranku ia lalu mengalihkan pandangan pada tumpukan majalah di sudut ruangan, lalu mengambil salah satunya untuk dibaca.

Lagi-lagi aku terjebak dalam situasi yang kubenci. Untungnya, tak lama kemudian Annie keluar dari kamar mandi. Aku mempersilahkan Claire mandi terlebih dulu karena kupikir tidak bijak meninggalkan Andrew bersama Claire untuk saat ini.

"Jadi, apakah malam tadi kalian bersenang-senang?" akhirnya Andrew buka mulut.
"Jangan berpikiran macam-macam, lagipula bukankah aku sudah memintamu tidur di atas?"
"Hehehe, jangan salah paham. Aku tidak ada masalah."

Aku tidak menjawab. Obrolan seperti ini tak layak untuk ditanggapi. Yang kuinginkan sekarang hanyalah agar Claire cepat-cepat menyelesaikan mandinya agar aku bisa pergi dari sofa ini.

"Mana Simon? Dia belum bangun?" tanya Annie yang baru keluar dari kamarnya.
"Entahlah, aku kan baru turun." jawabku.
"Sejak kemarin dia tidak banyak bicara. Mungkin dia tidak enak badan." Andrew meletakkan majalah yang ia baca lalu berjalan menuju kamar Simon.

"Hey bro.... sudah siang. Kau tidak lapar?" Andrew mengetuk pintunya. "Heloo... Simon...."

Tak ada jawaban. Andrew menoleh ke arah kami lalu mengangkat bahunya. Annie mendekat, aku menyusul di belakangnya. Andrew menyingkir. Sekarang Annie yang mengetuk kamar Simon.

"Simon...? Apa kau baik-baik saja?"
"Ada yang tak beres," ucapku. Aku maju lalu mengetuk pintu kamar Simon lebih keras. "Oyy..., kau di dalam? Simon...? Kalau kau tidak menjawab aku akan masuk."

"Apa yang terjadi? Ada apa dengan Simon?" Claire yang baru keluar dari kamar mandi segera bergabung.

Annie mulai terlihat resah, ia mundur dua langkah menjauh dari pintu. Handle pintu kuputar, namun pintunya terkunci. Aku mencoba memutarnya lebih keras tapi hasilnya tidak berbeda.
"Dikunci."

"A-ada apa sebenarnya?" Claire mulai gugup. Ia menjauhi pintu lalu berdiri di dekat Annie. "Aku mendengar sesuatu tentang tidak enak badan. Apa Simon sakit?"
"Aku tidak tau Claire. Ia tidak keluar kamar sejak tadi."
"Simon..., kalau kau tidak menjawab kami akan dobrak pintunya. Kau dengar aku Simon? Lebih baik kau pakai pakaianmu sekarang," ucap Andrew.

Tetap tak ada jawaban. Hanya kesunyian yang menyelimuti hembusan napas kami yang memburu.

"Kita dobrak pintunya. Andrew, bantu aku. Annie, Claire, kalian mundurlah."
Andrew mengangguk. Kami berdua segera mengambil ancang-ancang. Annie dan Claire sudah menjauh beberapa langkah.

"Satu... dua... tigaaaa...." aku menghitung. Pada hitungan ketiga kami serempak menendang pintu kayu itu kuat-kuat.

Aku belum pernah mendobrak pintu sebelumnya. Ternyata tidak sesederhana adegan dalam film. Telapak kakiku lumayan sakit sementara pintu itu tak menunjukkan tanda akan terbuka.

"Sekali lagi," aku kembali menghitung, "Satu... dua... Aaarrghh...!"
Dobrakan kedua sedikit lebih baik. Ada bunyi kayu retak yang terdengar.

"Lebih kuat, oke.... Satu... dua... Haaaaaarrgghhhhh....!!" kami kembali menendang pintu bersamaan. Debuman keras terdengar ketika daun pintu besar itu menghantam dinding.

Kami tidak melihat sosok Simon dari luar. Andrew segera masuk, aku menyusul di belakangnya. Bau anyir menyeruak pekat seketika saat aku memasuki kamar itu, namun sosok Simon tidak terlihat. Jendela dan gorden dalam keadaan tertutup, kondisi kamar sedikit berantakan. Aku melihat sesuatu yang berkilau di atas ranjang, kunci kamarnya berada di sana.
"Simon......" Andrew memanggil.

Tidak ada tempat untuk bersembunyi di dalam kamar itu kecuali di lemari. Andrew mendekatinya, bau anyir semakin jelas tercium. Dengan sekali hentakan keras Andrew membuka lemari itu.

Suara Andrew bergetar, ia seperti ingin berbicara tapi Andrew justru menutup mulutnya. Ia mundur perlahan. Aku mendekatinya.

Di dalam lemari itu, tubuh Simon terbaring tak bernyawa.

No comments:

Post a Comment

Creepypasta Indonesia, Riddle Indonesia, Cerita Seram, Cerita Hantu, Horror Story, Scary Story, Creepypasta, Riddle, Urban Legend, Creepy Story, Best Creepypasta, Best Riddle, short creepy pasta, creepypasta pendek, creepypasta singkat