Thursday, September 21, 2017

Third Parent (18+)

Namaku Matt dan masa kecilku tidak normal. Bukannya melebih-lebihkan. Sesuatu yang nyaris mustahil menimpa keluargaku. Tapi akan kucoba sebaik mungkin untuk menjelaskan lima tahun itu. Lima tahun hidupku yang kulewati dengan teror. Lima tahun yang kami jalani dalam ketakutan. Lima tahun yang tak ingin kami ulangi.

Ayahku, Spence, bukanlah pria yang sangat kuat, fisik maupun mentalnya. Dia adalah tipe ayah yang akan membiarkan ibu kami berbicara mewakili dirinya. Dia bukan orang yang mudah dipaksa, dia hanya lebih suka mengikuti arus daripada harus mengubahnya. Dia giat bekerja dan mendedikasikan waktu luangnya untuk kami keluarganya. Dia memastikan kebutuhan kami tercukupi, jaminan lembutnya yang tak terlihat menjadi pondasi keluarga kami.

Ibuku, Megan, adalah kepala keluarga kami. Dia sangat blak-blakan, mandiri, dan sangat setia pada kami semua. Dia sangat dicintai ayahku, dan meski aku masih kecil aku bisa melihat chemistry yang mengalir kuat di antara mereka.

Adikku, Stephanie, satu tahun lebih muda dariku. Dia memujaku dan ayahku selalu bilang bahwa menjaga dirinya adalah tanggung jawabku. Kami berusaha akur sebaik yang kami bisa, dan meski aku memberinya berbagai macam kesulitan dalam tali persaudaraan kami, aku tetap menyayanginya.

Kami tinggal di lingkungan kelas menengah di daerah pinggiran kota, gambaran kehidupan impian Amerika. Ayahku bekerja jam 09-17 di tempat kerja terpandang sementara ibuku mengajar yoga di luar. Itu kehidupan yang rapi, terorganisir dan terstruktur. Segalanya didiskusikan, dianggap dan dilakukan demi keluarga. Itu adalah rumah yang bagus untuk tumbuh besar.

Tapi itu sebelum dia muncul.

Itu sebelum ada Orangtua Ketiga.

**

Juli 1989

Aku sedang duduk di meja makan malam, menunggu ayahku rampung memasak. Malam ini gilirannya memasak dan perutku bergemuruh menunggu ayam rosemary bikinannya matang. Adikku, Stephanie, sedang tengkurap di ruang keluarga, mewarnai. Rambut pirang emasnya jatuh bergelombang di bahunya dan dia melihat padaku, tersenyum. Dia memamerkan pekerjaannya dan aku mengangguk, sama sekali tak terkesan.

Dia mendengus padaku dan meneruskan gambarnya. Ibuku berjalan ke dapur, melempar rambutnya ke belakang dari wajah segarnya yang habis mandi.

“Semua sudah pulang?” Ayahku bertanya dari atas kompor.

Ibuku mengangguk, “Ya, Spence, rumahnya sudah kosong. Lebih enak mengajar yoga di basement, lebih dingin di sana. Aku senang kita menyelesaikan basementnya setelah musim dingin. Para klienku juga senang. Panas sekali di luar sana.”

“Mom, maukah kau duduk agar kita bisa makan?” aku memohon dari meja. Ibuku berbalik padaku dan tertawa.

“Matt, anak 6 tahun paling lapar di Mississippi. Kenapa tak kau suruh ayahmu cepat-cepat, dialah yang memasak!”

Aku meletakkan dahiku di pinggiran meja, “Daaaaaaaaad, aku sudah mau mati.”

Stephanie memandang dari buku mewarnainya, “Matt, jangan gila deh.”

“Kau yang gila,” aku bergumam, tak mengangkat wajah.

“Eng-GAAAK!” balasnya, menjulurkan lidahnya padaku.

“Baiklah, baiklah,” kata Ayahku, berbalik dari kompor. Tangannya menahan satu piring ayam beruap.

“Kemarilah, Steph, makanan sudah siap!” aku menyuruh adikku, pemandangan daging bertaburan bumbu membuatku meneteskan liur.

Saat dia bangkit dari lantai, ibuku mengambil tempat di sampingku, kami semua membeku saat seseorang mengetuk pintu. Ayah dan ibuku bertukar pandang kebingungan. Ayahku menaruh makanan di meja dan menyuruh kami untuk menunggu sebentar.

Mengerang, aku melihatnya berjalan ke arah pintu. Dia mengintip dari lubang kunci dan aku melihatnya berubah tegang, sekujur tubuhnya terpaku bagai patung.

“Spence, siapa itu?” ibuku bertanya.

Ayahku berbalik ke arah kami perlahan, darah terkuras dari wajahnya. Matanya membelalak dan aku melihat kengerian melebar di pupilnya. Dia menjilat bibirnya dan memandang aku beserta Stephanie.

“Spence!” ibuku menekan, wajahnya penuh kekhawatiran.

“Tidak... ini tak boleh terjadi... tidak lagi,” aku mendengar ayahku berbisik, memandang ke jarak di tengah-tengah kami.

Pintunya berguncang saat rentetan ketukan datang lagi, bergema memenuhi rumah.

Ibuku berdiri, suaranya pecah oleh rasa takut yang berjangkit, “Spence, siapa itu? Ada apa ini?”

“Maafkan aku,” ayahku bergumam, mencengkeram perutnya, wajahnya pucat pasi, “aku harus membiarkannya masuk.”

Sebelum kami dapat menjawab, ayahku sudah berputar dan membuka pintu. Cahaya matahari yang hampir padam membutakan mataku dan aku menyipitkan mata untuk melihat tamu dadakan kami.

“Hai! Aku Tommy Taffy! Senang bisa bertemu denganmu lagi, Spence!”

Aku melihat ayahku mundur dari pintu yang terbuka, bahkan di usiaku saat itu, aku tahu ada yang tak beres dengan tamu tak diharapkan ini.

Dia setinggi 1,8 meter dan punya rambut emas yang dicukur rapat di kepalanya. Dia memakai celana khaki pendek dan kaus putih bertuliskan “HAI!” dalam huruf kartun merah.

Tapi bukan itu yang menarik perhatianku, tapi kulitnya... kulitnya benar-benar tanpa pori-pori, benar-benar licin, bertekstur lembut seperti plastik lunak. Wajahnya merah muda, mulutnya adalah sayatan riang di sepanjang pipinya yang memamerkan segaris gigi putih... tapi itu bukan gigi. Itu hanya barisan putih tanpa pembatas, seperti dia sedang memakai pelindung gigi. Hidungnya hanya tonjolan kecil yang keluar dari tengah wajahnya, seperti boneka, tanpa lubang hidung.

Dan matanya...

Matanya sepasang genangan yang menyala biru, bersinar ke arah kami dari wajah seramnya yang tanpa cacat. Keduanya lebar, seperti dia sedang kaget terus-terusan, dan bergerak cepat melihat seisi ruangan kemudian cepat ke arah kami, pergerakan yang buru-buru.

Senyumnya melebar, lalu dia menjulurkan tangannya yang sempurna ke arah kami, “Hai! Aku Tommy Taffy! Senang bertemu denganmu!”

Aku menyadari dia tidak punya kuku atau bercak kulit. Tak ada kerutan atau memar, apa pun. Dia seperti boneka seukuran manusia yang hidup dan berbicara.

“Spence,” ibuku berkata parau, pemahaman mekar di matanya.

“Semua akan baik-baik saja, Megan,” kata ayahku, suaranya bergetar. “Mari kita bersikap sopan pada tamu kita, oke?”

Si pria, Tommy, memiringkan kepalanya ke arah ayahku, “Hehehehehe.”

Ayahku mundur satu langkah, mengangkat tangannya, “M—maksudku teman baru kita.”

Senyuman beku itu tak pernah meninggalkan wajah Tommy, “Hehehehehe.” Tak ada humor di senyum ganjilnya. Terdengar seperti dia sedang membersihkan tenggorokannya atau meniru gelak yang sangat buruk. Terlalu jelas bahwa setiap suku katanya sangat disengaja.

Ayahku memaksakan senyum di wajahnya, “M—maksudku...” dia memandang putus asa ke arah ibuku yang tidak memberikan bantuan, tubuhnya terpaku oleh rasa takut yang nyata.

“Maksudku: Ini orang tua kalian yang baru, anak-anak!”

Stephanie, yang ada di samping ibuku, mengernyit, “Dia bukan ayah kami, tapi kau. Dan kenapa dia terlihat lucu?”

“Stephanie!” Ibuku mendesis, mencengkeram bahu adikku.

Tommy tertawa dan berjalan menuju sofa di depan Stephanie, “Bukankah tidak baik menertawai orang yang berbeda dari kita?”

Adikku menunduk melihat kakinya, merona.

Tommy membenarkan rambutnya, “Tak apa! Semangat, anak-anak! Semua akan baik-baik saja! Aku akan membantu orangtua kalian membesarkan kalian! Menjadi ayah dan ibu adalah pekerjaan yang sulit! Kadang, ayah dan ibu juga butuh bantuan!”

Tommy berbalik ke orangtuaku, senyum plastik abadi melebar di wajahnya, “Aku membantu ayah dan ibu mereka membesarkan mereka! Benar kan, Spence? Megan?”

Megan menarik Stephanie menjauh sementara ayahku menggangguk gugup.

“I—Itu benar, anak-anak!”

Tommy tersenyum dan berpaling padaku. Aku masih duduk di meja, melihat semua kejadian janggal ini. Aku masih tak mengerti apa yang terjadi, tak tahu siapa laki-laki aneh itu atau apa yang diinginkannya. Apa yang dia katakan tak masuk akal, tapi orangtuaku tampaknya mengenalnya, jadi aku masih menerka-nerka sendiri.

“Dan kau pasti Matt,” kata Tommy, berjalan melewatiku.

Aku tidak memandangnya, berusaha tetap memandang piring kosongku. Mendadak aku sudah tak lapar lagi. Aku bisa merasakan si pria aneh di sampingku, kehadirannya memenuhi kepalaku. Aku menjilat bibirku dan merasakan jantungku mulai berpacu. Aku tak suka pendatang ini. Ada sesuatu darinya yang terasa berbahaya.

Tommy berjalan di belakangku, terkekeh, tangannya meluncur di bahu kurusku, “Lihat, kita punya anak pemalu. Tak apa. Aku akan membantumu,” dia berkata pada orangtuaku. Jarinya menekan kulitku dan aku berjengit, tapi aku tetap menutup mulutku.

“Jangan sentuh dia,” ibuku mendesis, matanya melebar.

Tommy memandangnya, mulutnya melebar, “Hehehehehe.”

Ayahku mengulurkan tangannya, khawatir, “Uh, jangan kasar begitu, Megan!”

Tommy terus memandang ibuku yang dengan gugup menurunkan matanya.

“Apa kau tinggal untuk makan malam?” Stephanie bertanya tiba-tiba, mematahkan keheningan yang menengangkan.

Si manusia boneka seram melepaskan bahuku, satu tangannya meluncur melewati pipi dan rambutku, “Oh, ya. Aku akan di sini cukup lama.”

**

Dan begitulah Tommy Taffy memasuki kehidupan kami. Saat 6 tahun aku tak tahu pertanyaan yang lebih baik dibanding apa yang sedang terjadi. Meski orangtuaku juga terlihat tak tenang saat kedatangannya, penghiburan terus-menerus mereka yang mengatakan bahwa dia adalah teman menyingkirkan kekhawatiran yang kumiliki. Bagitu hari beranjak jadi minggu, aku mulai membiasakan diri dengan kehadiran Tommy di rumah kami. Rasa takutku perlahan berubah menjadi perasaan waspada.

Aku mulai menyadari bahwa Tommy tidak terlihat seperti tamu. Setiap kali ibuku pergi untuk yoga, Tommy akan menariknya ke pojokan dan membisikkan sesuatu padanya. Aku akan melihat semua itu dengan mata bisu. Aku akan melihat wajah ibuku memucat dan dia akan mengangguk, balas membisikkan jawaban yang tak kutahu. Lalu Tommy akan berbalik, dengan senyum yang selalu menempel di wajahnya, dan berjalan ke lantai atas sampai kelas yoga berakhir.

Orangtuaku sudah memberitahu aku dan Stephanie bahwa kami tak boleh membicarakan Tommy di depan teman-teman kami. Di luar rumah, Tommy bukanlah bagian dari hidup kami. Aku tak tahu alasannya, tapi aku dan adikku mematuhinya.

Ketika petang Tommy akan mengumpulkan keluarga kami di ruang tengah dan memberikan pelajaran singkat bagaimana caranya menjadi orang yang baik. Orangtuaku tak pernah bicara selama sesi itu, hanya duduk di samping kami, menganggukkan kepala. Tommy memberitahu kami untuk tidak menjelek-jelekkan orang lain, untuk menyayangi teman serta musuh kami, dan selalu menolong semua yang membutuhkan. Dia berkata itulah alasan dia di sini bersama kami. Untuk membantu orangtua kami mendidik kami. Bahwa kami bisa bicara padanya jika kami mendapat masalah di sekolah atau ketika sedang menghadapi masalah yang tak bisa diselesaikan.

Semua berlalu seperti itu selama satu bulan.

Lalu saat itulah ibuku kehilangan kendali.

**

Agustus 1989

Ayahku baru saja pulang kerja dan aku sedang duduk di meja dapur mengerjakan PR-ku. Ibuku sedang memasak makan malam dan Stephanie sedang berlatih menari untuk acara sekolahnya. Dia akan menjadi ballerina dan punya 3 minggu untuk mempelajari beberapa teknik berputar. Dia sudah dengan tekun berlatih selama beberapa hari terakhir tapi belum bisa melakukannya dengan benar. Dia masih kecil dan akhirnya dia kesal karenanya.

Saat itulah Tommy memutuskan untuk membantunya.

Dia sedang duduk di sofa menonton adikku saat tiba-tiba dia bangkit dan berdiri di belakang adikku, menaruh tangannya ringan di bahu Stephanie.

“Biar aku bantu, sayang,” dia mendekut, suaranya bermuatan nada riang. Ibuku berbalik dari kompor dan aku melihatnya berubah tegang. Dia tak suka Tommy menyentuh kami. Dia menggenggam sendok kayu di tangannya hingga jarinya memutih, menyaksikan Tommy berjongkok dan menangkupkan tubuh Stephanie dengan tubuhnya. Dia memegang tangan Stephanie dari belakang dan memandu tangan dan pinggangnya, pipinya menekan adikku perlahan.

“Tommy, biarkan dia belajar sendiri,” kata ibuku, suaranya bergetar.

Tommy sama sekali tak memalingkan wajah, tetap meneruskan membantu adikku. Aku bisa mendengar ayahku turun dari tangga, baru saja berganti baju.

Tommy memutar adikku dan untuk pertama kalinya, Stephanie bisa berputar, kaki kecilnya memelintir tubuhnya dalam lingkaran sempurna. Tommy bertepuk tangan sekali kemudian mencondongkan tubuh untuk mengecup pipi Stephanie.

“Gadis pintar!”

“Jangan LAKUKAN ITU!” ibuku menjerit, menjatuhkan sendok kayunya, darah terkuras dari wajahnya. Aku melompat di kursiku dan menelan ludah dengan susah payah. Aku tak tahu kenapa ibuku begitu marah. Tommy hanya membantu Stephanie.

Aku juga tahu, dalam hati, bahwa tak baik berteriak pada anggota baru keluarga kami. Itu adalah naluri anak-anak, sebuah peringatan lembut bergemuruh di dalam kepalaku.

Tommy berdiri. “Hehehehehe.”

Ayahku berdiri di kaki tangga sekarang, membeku, tak yakin apa yang menjadi penyebab masalahnya.

“Megan, ada apa?” dia bertanya.

Mata ibuku tak pernah meninggalkan Tommy, “Spence, aku tak bisa melakukan ini lagi. Aku tak bisa terus berpura-pura segalanya baik-baik saja. Kita tahu monster apa dia. Kita tahu apa yang dia lakukan pada kota kita di tahun itu. Aku ingin dia keluar dari rumah kita.”

Mata ayahku melebar, kepanikan berkembang di wajahnya. “Megan!” dia menjilat bibirnya, mata beralih bergantian dari kami semua. “Jangan kasar begitu! Tommy adalah bantuan besar!”

Ibuku menggertakkan giginya. “Hentikan. Berhentilah berpua-pura kita menginginkan dia. Aku tak bisa menyaksikan ini terjadi. Aku ingin dia KELUAR!”

Sangat pelan, Tommy berjalan ke dapur dan berdiri di hadapan ibuku. Dia menatap ibuku, mata birunya yang sempurna bersinar bagaikan kristal bulan.

Suaranya bagaikan sutra beku, “Megan, maukah kau turun ke basement bersamaku? Aku ingin mengatakan beberapa patah kata padamu.”

Ibuku mengambil langkah mundur, “Menjauh dariku. Menjauh dari keluargaku! Kau sudah tak disambut di sini!” Dia ganti memberikan pandangan putus asa ke ayahku, “Spence, LAKUKAN SESUATU!”

Ayahku mengangkat tangannya dalam gestur tak berdaya. Aku bisa melihat dia ketakutan. Stephanie menonton dari ruang tengah, bibirnya bergetar, matanya berair. Aku ingin menenangkannya tapi aku aku seperti dilem di kursiku.

“Ayo, Megan, hanya beberapa kata.”

“Persetan denganmu,” ibuku menyembur. Aku tersentak, jantungku jatuh ke perut. Aku belum pernah mendengar ibuku mengumpat sebelumnya dan itu membuatku takut.

Tiba-tiba, Tommy menyambar tengkuk ibuku, senyumnya tak pernah meninggalkan wajahnya, dan menariknya menuju pintu ruang bawah tanah.

“Spence, HENTIKAN DIA! TOLONG AKU!” ibuku berteriak, dengan tak berdaya berusaha menyingkirkan cengkeraman besi Tommy.

Tommy memberi ayahku tatapan yang membuatnya terpaku di tempatnya berdiri.

“M—maafkan aku, Megan... kita harus melakukan apa yang dia katakan!” dia merepet. Stephanie sudah menangis sekarang, tangan di kedua wajahnya, air mata meluncur turun di wajahnya. Aku merasa mual saat melihat Tommy membuka pintu ruang bawah tanah dan menyeret ibuku turun ke dalam kegelapan.

Pintu terbanting menutup di belakang mereka.

Hanya keheningan selama beberapa menit... kemudian jeritannya dimulai.

Aku tak pernah mendengar ibuku berteriak sebelumnya... dan suara itu mencabik-cabik diriku. Ayahku berlari ke dapur dan meraupku dengan satu tangannya kemudian Stephanie di tangan satunya. Dia membawa kami berlari ke lantai atas menuju kamarnya dan meninggalkan kami di tempat tidur. Kami duduk meringkuk selama berjam-jam, tak ada dari kami yang bicara.

Ibuku terus menjerit.

Akhirnya, lama setelah matahari terbenam, kami mendengar pintu ruang bawah tanah terbuka.

“Ibu tidur di basement malam ini!” Tommy berseru.

**

Maret 1991

Dua tahun berlalu. Setelah malam itu, ibuku tak pernah menentang Tommy lagi. Saat dia keluar dari basement pagi harinya, aku mengira dia akan penuh luka memar. Tapi aku tak melihat tanda kekerasan yang tampak.

Aku terlalu kecil untuk tahu apa yang terjadi, kenapa sekarang ibuku berjalan dengan lemas sampai sisa hidupnya. Dia tidak bicara pada ayahku selama satu bulan dan itulah yang harus dia hadapi. Aku tahu ayahku banyak menangis selama dua tahun itu. Aku tak tahu apa yang terjadi pada keluargaku, tapi aku tetap tutup mulut dan mematuhi aturan.

Dengarkan Tommy. Jangan membicarakan Tommy pada orang lain.

Hal-hal mulai tenang selama dua tahun itu. Tommy terus memberikan kami pelajaran hidup dan menjadi bagian dari keluarga kami. Dia adalah rahasia kami, bintang gelap yang mengantung di atas kepala kami. Aku belajar tersenyum di dekat Tommy, begitu juga adikku. Jika dia pikir kami bahagia, dia akan terlihat lebih santai.

Tapi malam itu ibuku menantangnya... itu mengubah sesuatu. Kini setiap beberapa bulan, Tommy akan menegaskan kekuasaannya atas orangtuaku. Dia akan menguji mereka, mendorong batas urat kesabaran mereka.

Seringnya, ayah dan ibuku akan dengan pasrah ikut dalam permainan pikiran yang dia mainkan. Seringkali dia akan melakukan sesuatu atau mengatakan sesuatu padaku dan Stephanie. Itu selalu membuatku tak nyaman. Kadang dia akan meminta kami duduk di pangkuannya sementara dia menyisir rambut kami. Kadang dia akan menyanyikan lagu aneh tentang cinta untuk adikku. Kadang dia akan menyuruh kami mandi bersama sementara dia menonton.

Aku selalu memasang wajah berani selama itu semua berlangsung. Stephanie masih cukup kecil sehingga dia tidak terlalu terganggu sepertiku. Itu sangat tak nyaman dan aku akan memandang orangtuaku untuk minta petunjuk. Dengan wajah pucat, mereka akan mengangguk diam-diam dan aku akan melanjutkan apa pun kegiatan yang dipaksakan pada kami.

Saat itu awal 1991, saat hal mengerikan berikutnya terjadi di keluargaku.

Sekali lagi Tommy melewati batas.

**

Aku menggosok kantuk dari mataku dan melihat jam mobil balap di dinding. Lengannya yang bersinar menunjukkan pukul  2 pagi. Aku mendengar sesuatu di lorong luar kamarku. Seperti seseorang yang sedang menangis.

Di mana Tommy?

Aku memeriksa sudut gelap kamarku memastikan dia tak ada di sana. Saat aku yakin dia tak ada, aku menyingkap selimutku dan turun ke lantai. Aku merayap ke pintu dan melihat keluar ke kegelapan.

Aku bisa melihat sosok yang duduk di lantai di samping pintu adikku yang tertutup. Seseorang. Aku menyipitkan mata dan menyadari itu adalah ayahku, tangannya di depan wajahnya. Dia terisak, punggungnya bersandar pada dinding.

“Dad?” aku berbisik.

Ayahku mendongak dan langsung mengusirku kembali ke kamarku. Aku hanya berdiam di sana sementara mataku menyesuaikan dengan malam. Wajah ayahku kacau penuh darah dan memar.

“Kembali tidur, Mat, kumohon,” dia meminta.

Aku mengambil langkah ragu-ragu menuju lorong, “Dad, kenapa wajahmu? Apa yang terjadi? Apa Tommy yang melakukan itu?”

Mata ayahku melebar dan dia mendiamkanku, “Tidak tidak, tentu tidak! Jangan berkata seperti itu. Tommy adalah... dia kemari untuk menjadikan kita keluarga yang lebih baik.”

Aku berjalan mendekat ke ayahku dan berhenti saat melewati pintu adikku. Aku bisa mendengar tangis teredam dari dalam. Aku bisa mendengar rasa takut.

“Dad...” aku berbisik, menunjuk ke pintu. “Ada apa dengan Steph?”

Ayahku mengusap bekas darah di bibirnya, matanya berair, kesedihan menyebar di tubuhnya, “Kemarilah, Matt.”

Aku merangkak menuju tangannya yang terbuka ketika terdengar sesuatu yang beradu dengan dinding dari kamar adikku. Aku melompat dan ayahku memelukku di dadanya. Aku bisa merasakan air mata jatuh di kepalaku sementara dia melawan penderitaannya.

“Tommy di dalam sana, kan?” aku berkata pelan.

Ayahku mendengus, “Benar, nak.”

Aku memandang wajahnya yang berdarah, “Apa yang kau lakukan, Dad?”

Dia mencoba tersenyum, tapi wajahnya tak ingin bekerja sama, “Dia... dia ingin melakukan sesuatu pada adikmu dan aku tak menyukainya. Aku bilang tidak padanya.”

Sementara dia bicara aku bisa mendengar ibuku yang menangis dari kamarnya.

Ayahku menangkupkan tangannya di bawah pipiku, “Kita tak boleh bilang tidak pada Tommy, mengerti? Ingat itu.”

Stephanie menjerit dari kamarnya, lengkingan tajam yang menusuk jiwaku. Aku mencengkeram lengan ayahku.

“Kenapa dia di sini?” aku berbisik, “Kenapa dia tak pergi saja?”

Ayahku diam sebentar kemudian dia menurunkan mulutnya ke telingaku, “Dengarkan aku, Matt. Ini sangat penting. Saat kau dewasa, jangan pernah punya anak. Dia mengikuti orang-orang yang punya anak.”

Aku bergerak di lengan ayahku saat sesuatu sedang diseret di atas lantai kayu di sisi lain dinding.

Ayahku menggertakkan giginya, lebih banyak air mata lagi jatuh, “Kita tak tahu apa atau siapa dia. Dia datang ke kota saat aku dan ibumu masih bocah kecil, sama seperti kau dan Stephanie. Rumah ibumu berjarak dua rumah dari rumahku. Tommy memenuhi jalan kami. Aku tak tahu bagaimana. Dia... di mana-mana... selalu. Dia ada di rumahku, tapi juga di seberang jalan, dan juga di rumah ibumu... di saat yang bersamaan. Aku tak tahu apa yang dia inginkan, apa tujuannya. Dia hanya muncul pada suatu hari. Dia hanya muncul dan tak mau pergi. Tuhan tahu ayahku sudah berusaha.”

“Karena itukah kakek meninggal?” aku bertanya. Aku tak pernah bertemu kakekku, aku hanya tahu dia sudah meninggal bertahun-tahun sebelum aku lahir.

Ayahku mengangguk, “Benar, Matt. Tommy... Tommy harus memberinya pelajaran. Dia harus memberi seluruh jalan pelajaran. Selanjutnya... selanjutnya...”

“Kenapa kau tak... membunuhnya,” aku berbisik, lebih pelan.

Ayahku mendekatkan mulutnya lebih dekat ke telingaku, suaranya nyaris tak terdengar, “Kami sudah mencoba. Kami mencoba segalanya. Kami membakarnya, menembaknya, memotongnya... tapi tak pernah berhasil. Dia selalu kembali, mengetuk pintu kami. Dan seseorang harus membayarnya. Jika kita tak mematuhi aturannya... seseorang... harus... membayarnya. Tommy adalah rahasia kami. Dia adalah monster tak kasat mata kami, bersembunyi dari dunia luar. Kematian-kematian tertutupi... penyiksaan disembunyikan... karena kami tahu... kami tahu jika ada yang mengatakan sesuatu, Tommy akan berbuat BURUK pada siapa saja yang menerima hukumannya.”

Aku mencerna semua itu dengan pemahaman anak 8 tahun dan satu-satunya hal yang bisa kukatakan adalah, “Kapan dia akan pergi?”

Ayahku mengecup puncak kepalaku, “Tiga tahun lagi...”

Pintu kamar mendadak terbuka dan ayahku melompat, menggulingkanku dari lengannya. Tommy berdiri di tengah kegelapan, wajahnya tenang namun dia bernapas keras. Wajahnya yang seperti plastik menakutiku, dua mata birunya menyala dari kegelapan.

Tommy mengacungkan jempolnya melewati bahunya ke arah kamar tidur yang kini sunyi, “Dia akan tidur seperti gelondongan kayu malam ini.”

**

September 1993

Kami punya satu tahun tersisa. Satu tahun lagi. Aku bisa melihat keputusasaan di mata orangtuaku yang tumbuh setiap harinya, memohon kalender untuk cepat berlalu. Kami hampir melewati mimpi buruk ini.

Aku terus memikirkan apa yang ayahku katakan pada malam mengerikan di lorong itu. Aku memikirkan apa yang mungkin sudah dia lalui di masa kecilnya. Apa yang sudah dia alami. Aku bertanya-tanya hal buruk apa yang dilakukan Tommy untuk membunuh kakekku. Sekarang aku menyadari apa pun hal mengerikan yang Tommy lakukan pada kami, tujuan ayahku adalah agar kami semua tetap hidup. Penderitaan diam-diamnya menjaga kemarahan Tommy tetap jauh.

Jika diingat lagi... aku tak bisa membayangkan penyiksaan mental yang dia tanggung selama lima tahun itu.

Stephanie tidak banyak bicara setelah malam di bulan Maret itu. Aku perhatikan kepribadian karismatisnya turun drastis dan mendadak dia berubah menjadi anak yang murung dan pendiam. Aku tak berpikir dia mengerti apa yang terjadi pada dirinya, dan ketika dia mulai dewasa kupikir pikirannya mulai membuat dinding yang memblokir ingatannya soal malam itu.

Ayah dan ibuku tampak ekstra mengalah di tahun terakhir itu. Mereka mengikuti pelajaran malam Tommy dengan lebih antusias dan ibuku mati-matian memastikan aku dan Stephanie bereaksi dengan benar agar Tommy bahagia.

Tapi aku tak bisa melakukannya tanpa cacat.

Tommy ingin memastikan dia meninggalkan bekas pada seluruh anggota keluarga kami.

**

Aku duduk di kamarku dengan pintu tertutup. Saat itu hampir waktu makan malam dan semua orang di bawah sudah bersiap. Aku bisa mendengar Tommy tertawa dari ruang tengah.

Aku sedang melihat majalah yang diberikan oleh salah satu teman sekolahku. Itu majalah Playboy. Kami sudah menonton halaman-halamannya di sekolah, terkikik dan terpana pada wanita telanjang yang ada di majalah. Aku belum pernah melihat hal semacam itu. Itu pertemuan pertamaku dengan dunia tersebut. Itu membuat jantungku berdetak cepat dan nikmat, dan aku merasakan sesuatu yang aneh namun memuaskan menguasai diriku dari dalam. Aku bertanya pada temanku apakah aku bisa meminjam majalahnya dan dia mengizinkannya.

Aku mencari posisi di tempat tidur dan memandang rakus ke semua foto telanjang itu. Aku tak percaya wanita mau membiarkan orang-orang mengambil gambar mereka seperti ini. Aku merasakan sesuatu bangkit di selangkanganku sementara aku membalik halaman selanjutnya. Jantungku berdetak cepat dan aku merasa panas, pipiku merona.

Aku sudah di halaman terakhir saat aku mendengar sesuatu dari pintu.

“Apa yang kau punya, Matt?”

Aku mengangkat kepala, melompat, majalahnya jatuh ke lantai. Tommy sedang melihatku dari pintu. Aku bahkan tak mendengar dia membukanya.

“B—bukan apa-apa,” aku tergagap, mengambil Playboynya dan menyelipkannya di bawah bantalku.

Tommy berjalan melewatiku, “Hehehehehe.”

“A—aku tak mendengarmu datang,” aku tergagap, tersipu.

Tommy meraih ke bawah bantal dan menarik keluar majalahnya, “Tidak baik berbohong. Sudah kukatakan itu padamu. Kenapa kau berbohong padaku, Matt?”

Aku menelan ludah dengan susah payah, jantung bergema di balik rusukku, “A—aku minta maaf. Aku... aku...” kataku terseret menyedihkan saat Tommy membalik halamannya.

Dia melirik padaku, “Kau menyukainya?”

Aku tahu aku tak bisa berbohong lagi padanya. Aku mengangguk, kulitku merona, mata menatap lantai.

Tommy tersenyum dan duduk di sampingku di tempat tidur, satu tangan dia letakkan di pahaku, “Apa gambar ini membuatmu merasa... nyaman?”

Aku tak melihat padanya saat aku mengangguk lagi.

Tiba-tiba Tommy meluncurkan tangannya ke selangkanganku dan meremasnya pelan, “Apa ini membuat penismu terasa nyaman, Matt?”

Aku melonjak, sentuhannya menakutiku. Dia menyingkirkan tangannya dan tertawa, barisan giginya yang tanpa garis berkilau.

Tommy menaruh majalahnya dan menangkupkan tangannya di bawah pipiku, “Apa kau tahu caranya masturbasi, Matt? Apa ayahmu memberitahumu cara melakukannya?”

Napasku berubah menjadi kesiap pendek, tangannya dingin dan halus di wajahku. Aku tak tahu apa yang dia bicarakan, tak tahu apa yang dia ingin aku katakan. Aku hanya menatapnya dengan mata pasrah.

Tommy menghela napas, “Mungkin sebaiknya dia tak melakukannya. Ini adalah obrolan sensitif yang harusnya kita bicarakan, bukan dia. Kau sudah... 10 tahun sekarang?”

Aku mengangguk, tak bisa bergerak

Tommy perlahan meraih selangkanganku lagi, “Kau ingin aku menunjukkan caranya padamu?”

Aku menggeliat di bawah cengkeramannya, “T—tidak, terima kasih, Tommy.”

Tommy tersenyum lemah, “Wajar kalau kau takut. Tumbuh dewasa memang menakutkan. Kau akan menjadi pemuda yang tampan nanti.” Dia mengelus pipiku dengan tangan satunya, satu di pipiku, yang satu masih menggapai kemaluanku. “Apa kau sudah mendapat ciuman pertamamu?”

“T—Tommy, kumohon...” aku menangis, merasakan air mata mulai keluar di mataku.

Tommy mendorongku kembali ke tempat tidur dan sekarang aku memandangnya sementara dia memegang kepalaku, “Kau tak perlu takut tumbuh dewasa. Ada banyak hal baik yang bisa kita temui di masa depan. Dan coba pikirkan... saat kau punya anak, aku akan datang dan menolongmu membesarkan mereka. Itu pasti akan... menyenangkan.”

“L—Lepaskan aku,” aku berbisik, benar-benar menangis sekarang, napasnya menyembur panas di wajahku.

Tiba-tiba Tommy menunduk dan menciumku, bibirnya meliputi bibirku. Aku sedikit panik saat merasakan lidahnya masuk ke mulutku, cengkeramannya di kemaluanku semakin kuat. Mulutnya terasa seperti buah busuk dan daging basi, gelombang menjijikkan yang menyerang indera perasaku.

Dia memutar bibirnya pada bibirku kemudian menariknya menjauh dan berbisik, “Tak mau mengeras untukku?”

Aku hanya menangis, memandang ke atas padanya dengan mata panik dan syok.

Tommy tersenyum dan berbisik di telingaku, “Tak apa-apa.”

Dia mendadak bangkit, melepaskanku, “Ayo. Makan malam sudah siap.”

Gemetar, aku mengusap wajahku dan membiarkan dia memimpin keluar kamar. Aku tidak lapar.

**

Juli 1994

Saat hari berjalan semakin dekat ke Juli, diam-diam orangtuaku menumbuhkan perasaan optimis, permintaan putus asa yang akan mengakhiri ini semua. Untuk membuat semua ini sirna. Ayah dan ibuku memastikan tak akan ada alasan untuk pelajaran berat lagi. Mereka membungkuk untuk Tommy, memohon melalui gigi yang tertutup bahwa kami akan berhasil sampai ke bulan Juli tanpa insiden tambahan.

Pada 3 Juli, kami terbangun dan menemukan Tommy Taffy sudah menghilang. Lima tahun hingga hari ini. Kami tak bisa memercayainya. Dia lenyap begitu saja dalam semalam. Kami memeriksa seluruh rumah, ibuku mengucurkan air mata kelegaan bahwa mimpi buruk akhirnya berakhir. Setelah memeriksa setiap senti rumah sebanyak tiga kali, kami berkumpul di ruang tengah, saling peluk sebagai keluarga.

Tommy sudah berlalu.

Hukumannya sudah berakhir.

Ayahku rehat bekerja dan kami pergi ke pantai selama dua minggu. Selama dua minggu itu aku terus membayangkan terbangun dan menemukan Tommy berdiri di sampingku, senyum mengerikan di wajahnya itu. Tapi nyatanya tidak.

Semua sudah berakhir.

Orangtuaku melakukan yang terbaik untuk membangun keluarga kami kembali, mengisi keretakan yang tercipta selama tahun panjang itu. Dan aku sangat menyayangi mereka karenanya. Tapi beberapa monster tak bisa begitu saja dilupakan.

Aku tak tahu apa atau dari mana Tommy Taffy berasal. Kukira aku tak akan pernah tahu. Apa tujuannya? Kenapa dia melakukan hal mengerikan itu pada kami? Aku mencari semua jawaban yang memungkinkan hingga kepalaku pusing dan aku menangis, kenangannya terlalu banyak untuk digali. Beberapa hal sebaiknya ditinggalkan mati di belakang.

Usiaku 33 tahun sekarang dan aku tetap tak menikah dan tak memiliki anak. Aku tak bisa mengambil resiko. Aku tak bisa mengambil resiko akan ada monster yang kembali datang ke hidupku. Aku tak pernah mengerti kenapa orangtuaku memilih untuk punya anak. Keduanya sudah bertemu dengan Tommy saat anak-anak... lalu kenapa harus ada aku dan Stephanie? Mungkin mereka tak percaya bahwa dia akan datang lagi.

Tapi aku percaya. Dan aku takut.

Karena, kalian tahu... kemarin adikku baru saja melahirkan anak kembar.

Translated by : Forem Alia

No comments:

Post a Comment

Creepypasta Indonesia, Riddle Indonesia, Cerita Seram, Cerita Hantu, Horror Story, Scary Story, Creepypasta, Riddle, Urban Legend, Creepy Story, Best Creepypasta, Best Riddle, short creepy pasta, creepypasta pendek, creepypasta singkat