Sunday, September 24, 2017

Kune-Kune (Twister)


Saat aku masih muda, orang tuaku membawa aku dan kakakku untuk mengunjungi kakek dan nenekku. Kami tidak sering melihatnya karena nenek tinggal jauh di pinggiran kota, di Akita.

Segera setelah kami sampai di rumah kakek nenek, kakakku dan aku pergi bermain keluar. Udaranya lebih segar dan bersih dibanding yang ada di kota. Kami berjalan melalui sawah, menikmati ruang terbuka hijau.

Matahari berada tinggi di langit dan tidak ada angin sepoi-sepoi. Panas terasa menyengat dan setelah beberapa saat, aku mulai merasa kelelahan.

Kemudian, kakakku tiba-tiba menghentikan langkahnya. Dia menatap sesuatu yang ada di kejauhan.

"Apa yang sedang kau lihat?" tanyaku.

"Benda itu di sana" jawabnya.

Sawah-sawah membentang sejauh mata memandang, dan area itu benar-benar teransingkan. Aku memfokuskan mataku, tapi tidak tampak jelas benda apa itu. Jauh di sana, di seberang sawah, ada semacam benda putih, seukuran manusia. Benda itu bergerak dan menggeliat seperti terhembus angin sepoi-sepoi.

"Mungkin itu sebuah orang-orangan sawah," kataku.

"Itu bukan orang-orangan sawah," balas kakakku. "Orang-orangan sawah tidak bergerak seperti itu."

"Mungkin itu sebuah seprai," kataku.

"Tidak, itu bukan sebuah seprai, jawabnya. "Tidak ada rumah lain di sekitar sini. Selain itu, disini tidak ada angin yang berhembus, tapi benda itu tetap bergerak dan menggeliat. Benda apa itu sebenarnya?"

Perutku terasa tidak enak, ada semacam firasat yang tidak enak mengenai semua ini. 4

Kakakku berlari kembali ke rumah dan saat kembali, dia membawa sebuah teropong.

"Oh, bisakah aku melihatnya?" Tanyaku.

Aku hampir mengambil teropong itu, tapi dia mendorongku ke belakang.

"Tidak, aku duluan?" katanya dengan sebuah seringai. "Aku yang tertua. Kau bisa melihatnya setelah aku selesai."

Segera setelah kakakku melihat lewat teropong, aku menyadari ekspresinya mendadak berubah. Mukanya menjadi pucat dan dia mulai bercucuran keringat. Dia menjatuhkan teropongnya ke tanah dan aku bisa melihat ketakutan terpancar dari matanya.

"Apa itu?" aku bertanya, dengan gugup.

Kakakku menjawab perlahan.

"Itu adalah... Itu adalah... Itu adalah..."

Itu tidak terdengar seperti suara kakakku.

Tanpa mengeluarkan kata lain, dia berpaling dan mulai berjalan kembali ke rumah. Sesuatu terasa ganjil. Dengan tangan bergetar, aku membungkuk dan mengambil teropong itu, tapi aku terlalu takut menggunakannya untuk melihat benda itu.

Di kejauhan, objek putih itu masih tetap berputar dan menggeliat.

Kemudian, kakekku datang menghampiri kami.

"Apa yang kau lakukan dengan teropong itu? Tanyanya.

"Tidak ada," jawabku. "Hanya melihat ke arah benda putih di sebelah sana."

"Apa?" teriaknya. "Kau seharusnya tidak melihat benda itu!"

Kakek merampas teropong dari genggamanku.

"Apa kau melihatnya?" nada bicaranya meninggi. "Apa kau melihatnya dengan teropong?"

"Tidak," kataku dengan suara parau. "Belum sempat..."

Kakekku menghela napas lega. "Bagus" katanya. "Itu bagus..."

Tanpa tahu kenapa, aku digiring kembali ke rumah.

Saat aku berjalan masuk ke dapur, semua orang sedang menangis. Kakakku sedang berguling-guling di lantai dan tertawa seperti orang gila. Dia berbaring di lantai dengan posisi menghadap atas, badannnya menggeliat dan bergerak liar... Sama seperti benda putih yang kulihat dari kejauhan.

Aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi. Amat mengenaskan melihatnya seperti itu. Aku pun ikut menangis.

Dia tidak seperti kakakku lagi. Dia telah benar-benar kehilangan akal sehatnya.

Hari berikutnya, orang tuaku pun memutuskan membawa kami pulang ke rumah. Nenek dan kakekku berdiri di beranda mereka, melambai sedih pada kami saat mobil mulai melaju. Aku duduk di kursi belakang dengan kakakku, menghela rasa sedih dan tangis yang tidak terbendung.

Kakakku masih tertawa seperti seorang yang menderita penyakit jiwa. Mereka mengikatnya di kursi agar tidak bergerak liar. Wajahnya menampakkan sebuah senyum palsu. Dia kelihatan bahagia, tapi saat aku melihat matanya, aku tahu dia sedang menangis. Seketika rasa membeku bagai menyerap ke tulang belakangku. Pipinya basah karena air mata, tapi dia tetap tertawa dan tertawa...

Ayahku menepikan mobil di sisi jalan dan keluar dari mobil. Dia mengambil teropong itu dan dengan berang menghempaskan benda itu ke tanah. Lalu, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, dia masuk kembali ke dalam mobil dan menyetir lagi.

Seorang pria Jepang lain bercerita mengenai pengalamannya dengan kune-kune (twister) saat dia masih kecil:

Saat aku masih anak-anak, aku tinggal dia sebuah kota kecil dekat tepi pantai di prefektur Chiba. Suatu sore, paman mengajakku untuk berjalan-jalan di pantai. Saat kami berjalan menyusuri tepi pantai, aku melihat ke arah laut dan melihat sesuatu berwarna putih di kejauhan. Benda itu panjang dan bergerak maju mundur. Aku penasaran benda apa itu. 2

"Benda apa itu di laut?" aku bertanya pada pamanku.

Dia menatapnya dan aku melihat wajahnya tampak pucat. Semacam tatapan ketakutan terpancar dari matanya. Dia tidak bisa berhenti menatapnya.

"Lari, selamatkan dirimu!" jeritnya histeris.

Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi aku ketakutan, jadi aku lari kembali ke rumah dan bercerita pada kakekku. Dia terlihat pucat.

"Itu kune-kune," katanya. "Kau beruntung bisa pergi darinya. Kau jangan pernah menatapnya secara langsung. Dimana pamanmu?"

"Paman masih ada di tepi pantai, jawabku dengan gemetar.

"Aku harus menyelamatkan anakku," kata kakekku dan dia pergi secepat yang dia bisa ke tepi pantai. Aku mengikutinya dari belakang, cemas dan ketakutan.

Dari kejauhan, aku bisa melihat pamanku masih berdiri di pantai. Saat itu dia tampak 'beku' dan hanya menatap ke satu arah, benda putih itu, jauh di lautan sana. Kakekku mengambil sebatang dahan kayu dan menghampiri pamanku, menggumamkan semacam doa sambil bernapas lesu. Kakek menjaga agar matanya tetap menatap ke arah bawah, berhati-hati agar tidak melihat ke arah benda putih itu.

Kakekku memutuskan untuk menarik pamanku menjauh dan membawanya pulang ke rumah. Walaupun pamanku selamat, dia menderita semacam gangguang mental selama sisa hidupnya. Sejak hal itu terjadi, dia telah masuk dan keluar rumah sakit beberapa kali. Dia tidak pernah sama lagi seperti dulu.

No comments:

Post a Comment

Creepypasta Indonesia, Riddle Indonesia, Cerita Seram, Cerita Hantu, Horror Story, Scary Story, Creepypasta, Riddle, Urban Legend, Creepy Story, Best Creepypasta, Best Riddle, short creepy pasta, creepypasta pendek, creepypasta singkat