Thursday, September 28, 2017

Luka

Darah di dinding. Di pahaku, bajuku, lalu lantai, di dalam bak mandi, juga di wajahku, dan di rambutku. Di mana-mana.
Menatap nanar kedua tangan yang berlumuran darah, aku lalu mengusap wajah menggunakan tanganku yang lengket dan berbau besi ini. Meski gemetaran, aku selalu merasa ini semua belum cukup. Kemudian aku meraba-raba lantai, mengambil cutter yang belum lama aku letakan.
Mengangkat bagian bawah baju untuk kumasukkan ke dalam mulut sendiri. Lantas cutter itu mulai aku gunakan kembali. Menyayat. Menciptakan garis luka lebih panjang lagi di tangan kiri. Di bagian dalam lenganku.
"E-emmh! Nggh!"
Mengerang, merintih sendirian. Sobekan pada luka itu terasa amat memilukan. Perih. Dan tangan kiriku terjatuh lemas begitu saja. Padahal aku pernah mendapatkan luka yang lebih parah dari ini. Kenapa kali ini aku begitu lemah?
Tak
Cutter yang kupegang terlepas. Luka yang baru saja kubuat aku remas, membiarkan darahnya mengalir lebih banyak lagi. Karena semakin banyak darah yang keluar, akan semakin cepat untukku menuntaskan penderitaan ini. Tapi...
"Ngggh! Eemmh!"
Andai tidak ada baju yang menyumpal mulut, suaraju jeritanku pasti sudah terdengar hingga ke kamar sebelah. Dan aku tidak mau itu terjadi. Jangan sampai ada orang lain yang mengetahui penderitaanku. Biar aku sendiri yang melakukannya.
Bajuku aku lepaskan dari mulut. Dengan pandangan yang kian memburam sebab kepalaku mulai dilanda pusing, aku berusaha berdiri. Aku menyentuh dinding menggunakan tangan kanan, sedangkan tangan kiriku terlalu basah dan nyeri untuk kugerakkan. Namun ketika baru setengah tubuh yang terangkat, ruangan yang kutempati saat ini justru mendadak berputar. Warna merah tampak di sana-sini. Lalu saat coba melangkah menggunakan satu kakiku, aku justru terpleset oleh basah dan licinnya lantai. Kepalaku membentur sisi keramik bak mandi, menggantikan sensasi pusing dengan rasa sakit berkali lipat.
Semuanya bertambah merah. Tubuhku sudah tidak dapat aku gerakan sama sekali. Apa sekarang aku boleh menangis?
Jika setelah ini aku masih tetap hidup, apa itu artinya usahaku sia-sia? Alasan apa lagi yang kumiliki untuk mengatasi masalah yang kulalui di sini?
Kumohon, aku hanya ingin hidup dengan tenang.
--
Aku membuka mata sewaktu merasakan pukulan keras yang mengenai pipi. Nyeri muncul di bagian kepala, lalu tangan, kemudian kaki. Eh, aku kenapa? Apa yang terjadi? Ini di mana? Aku tak ingat terjatuh di posisi senyaman ini dengan tempat yang terlihat bersih dan juga...
Aku terkesiap begitu pandanganku mengarah ke sisi ranjang. Seketika saja aku berusaha menjauh, tetapi seluruh tubuhku yang didera rasa sakit membuatku tak berkutik. Mata itu melotot sampai memerah padaku, tampak mengerikan.
Aku lebih takut padanya ketimbang pada kematian.
"Apa kau berniat bunuh diri hah?"
PLAK!
Luka di kepalaku dipukulnya. Membuat rambutku terasa basah. Pandangan di sekitarku memburam, ruangan ini berputar. Efek dari rasa sakit ini sungguh luar biasa.
Tolong, bunuh saja aku.
Dia menyibak selimut. Aku mengintip, sedikit dapat melihatnya yang kelihatan tidak suka memperhatikan kondisi kakiku yang tersisa. Yang penuh dengan luka sayatan juga lebam-lebam.
BUGH! BAKK!
"ARRGHH!"
Aku tidak tahu sejak kapan dia memegangi tongkat baseball. Yang pasti pukulannya pada lengan kiriku pasti telah berhasil membuatnya remuk. Sprei putih ini langsung berubah merah, karena darah ini juga mulai merembes kembali.
Dia menyibak seluruh selimut, dan aku berjengkit takut melihat senyumannya.
"Tidak! Aku mohon jangan lagi! TIDAK!"
Aku berteriak. Ingin menjauh, tetapi tubuhku tidak dapat bergerak. Menggeleng sekuat tenaga, mengabaikan segala rasa sakit yang ada, aku pun menjerit begitu suara gergaji mesin terdengar tak jauh dari sini.
"Kenapa harus aku? Apa salah tubuhku? Seharusnya jika memang kalian ingin memasak aku, bunuh saja aku. Tolong..." merintih dan memohon. Sadar ini tak berguna, untuk apa aku mencoba?
Dia menjambak rambutku...
"ARRRGGH!"
...menariknya sekuat tenaga, mencabut beberapa helai rambut dari kepalaku. Bahkan aku yakin kulit kepala pun ikut terbawa. Tidak bisa kah dia berhenti?
"Itu maumu?"
Aku mengerang. Airmataku entah sejak kapan membasahi pipi. Meski begitu, tetap tidak menutupi penglihatanku dari sosok algojo yang membawa gergaji mesin itu kian mendekat ke ranjang. Sebentar lagi, akan ada potongan kedua dari tubuhku yang diambil.
Potongan pertama adalah kaki kananku yang hanya menyisakan paha. Masih ingat ketika pisau raksasa itu ditancap, ditusukan lalu digerakan berulang kali di atas kakiku. Aku lupa, yang pertama-tama mereka lakukan terlebih dahulu adalah meremukkan tulang lulutku menggunakan palu besar yang panas. Menjalarkan sensasi perih, panas, sekaligus ngilu. Kulit kakiku dikelupas, hingga kemudian salah satu bagian tubuhku itu benar-benar terpisah dariku.
Aku kelelahan menjerit dan menangis. Kehausan dan kelaparan. Tak berselang berapa lama setelah kakiku dibalut untuk mencegah pendarahan, mereka menyajikan makanan serta minuman.
"Kau tidak boleh sampai mati," katanya seraya meletakkan nampan yang berisi gelas dengan minuman berwarna merah. Juga daging goreng yang beraroma lezat, masih hangat. "Makanlah. Masih ada banyak bagian tubuhmu yang harus kami sajikan. Kami belum menemukan stok cadangan," lanjutnya dengan tatapan tajam mengerikan. Seolah aku tidak boleh membantah titahnya.
"Kenapa aku?"
Dia menyiram wajahku menggunakan air dari gelas. Membuat aroma darah di sekitarku bertambah pekat. Tunggu, ini darah?
"Tidak usah banyak tanya! Cepat makan saja daging kakimu itu!"
Sepeninggalannya, aku dengan gemetaran menyentuh daging hangat yang tersaji di nampan ini. Terisak-isak, aku meremasnya lantas mendekapnya erat.
"Kakiku yang malang. Kakiku..." racauku bagai berduka.
Aku merengsek memajukan badan, menempelkan daging kakiku di depan pahaku yang buntung. Dan ini tidak cukup. Bagian kakiku masih kurang. Bawakan lebih banyak lagi. Kembalikan kakiku.
"Kalau sudah begini, bagaimana aku akan berjalan? Bagaimana aku bisa melarikan diri?"
Dan setelah ini, sebelah kakiku akan benar-benar hilang seutuhnya. Aku tahu dia akan memotong bagian pahaku yang masih mulus dan gemuk. Lihat, gergaji mesin itu akan digunakan segera di sana.
"Potong perutnya!"
Apa?
Kedua mataku melotot mendengar hal itu. Sebelum aku sempat berteriak, gergaji mesin itu sudah mengacak-ngacak kulit serta bagian dalam perutku. Darahku menyiprat kemana-mana. Ususku pasti telah tercerai berai. Aku mulai kesulitan bernapas. Luka ini membuatku hancur lebur.
Lalu ketika akhirnya aku merasakan tubuh di bagian bawah dadaku telah kosong, aku tahu aku akhirnya mati.
Aku senang. Dengan begini aku tidak akan pernah merasakan luka apapun lagi. Semoga sajian dari potongan tubuhku bisa dinikmati. Karena aku baru teringat, bahwa daging goreng kakiku sungguh lezat.
Sekarang aku tahu mengapa mereka memilihku. Setidaknya, aku jadi bisa mati dengan tenang.
THE END

No comments:

Post a Comment

Creepypasta Indonesia, Riddle Indonesia, Cerita Seram, Cerita Hantu, Horror Story, Scary Story, Creepypasta, Riddle, Urban Legend, Creepy Story, Best Creepypasta, Best Riddle, short creepy pasta, creepypasta pendek, creepypasta singkat