Monday, September 25, 2017

I survived the mass shootings in a movie theater.

Ini terjadi padaku sekitar 4 tahun lalu. Sejauh ini, ini adalah situasi paling ekstrim dan paling mencekam yang pernah kualami. Kesaksian yang akan kalian baca adalah nyata 100%, dan itu milikku.

Untuk yang belum tahu, ini terjadi di Amerika Serikat. Saat itu musim panas 2012. Aku dan pacarku baru saja menikah. Meski kami adalah mahasiswa miskin dan tinggal di sebuah apartemen kecil, kami menikmatinya. Musim panas itu kami pergi bersama-sama ke bioskop dengan teman-teman hampir setiap akhir pekan. Ada satu bioskop dekat dengan tempat kami yang punya harga tiket murah. Keluar malam dengan biaya di bawah $10 tentu sudah cukup bagi kami. Lalu, pada suatu Kamis malam aku mendapat telepon dari teman-temanku itu, yang mengajak kami untuk menonton premier film Batman yang terbaru. Aku baru pulang dari 12 jam shift kerja dan sangat lelah. Aku sudah akan menolak ajakan itu dan memilih pulang saja. Tapi aku tak ingin melewatkan momen itu, dan lagipula ini adalah film yang sudah cukup lama kunantikan. Pastinya tak akan kenapa-napa kan, sekali-sekali kita tidur lebih malam dari biasanya?

Jam 22.30 kami bertemu di bioskop. Kami melewati potongan karton besar berbentuk Catwoman dan Batman saat berjalan masuk, disambut oleh aroma popcorn mentega dan obrolan bersemangat para penggila film. Loket tiket ada di sebelah kanan pintu masuk, dan di atasnya ada daftar elektronik judul film yang dimainkan. Pemutaran The Dark Knight Rises jam 00.00 terpampang di sana dengan huruf merah menyala. Takut kehabisan tiket, salah satu teman kami sudah datang lebih dulu dan membelikannya untuk kami. Kami melewati antrean pembeli tiket dan menuju ke petugas penyerahan tiket. Dia tersenyum pada kami dan mengarahkan kami ke Theater 9 yang terletak di sisi kanan lobi.

Andai saja aku tahu. Di antara keramaian itu si pembunuh sedang mengintai. Bahwa saat aku berjalan melintasi karpet merah dan jingga menuju Theater 9, aku sedang berjalan menuju kematianku. Aku sering memikirkannya sekarang, apa yang akan kulakukan andai saja aku tahu. Menarik alarm kebakaran, memanggil polisi, berteriak ke orang-orang agar berlari... Tapi, tentu saja, aku sama sekali tak tahu apa yang akan terjadi. Tak sadar dengan mara bahaya yang kudatangi; aku mendorong pintu Theater 9 tanpa pertimbangan.

Lorong masuk teater ini berbentuk huruf U dan kau bisa memilih untuk ke kiri atau kanan. Theater 9 adalah yang paling luas di gedung itu, sempurna untuk menampung keramaian penonton midnight premiere. Layarnya diam dan kelabu; bahkan belum ada preview karena masih ada satu setengah jam sebelum film dimulai. Kami memasuki baris kanan, sehingga kursi-kursi ada di sebelah kiri kami. Aku ingat begitu terkejut mendapati teater itu sudah penuh. Sepertinya semua kursi sudah terisi, cukup membuat kami cemas. Awalnya kami kira kami tak akan menemukan kursi untuk bersama-sama. Di teater ini, ada bagian kursi yang berada tepat di depan layar. Areanya rata, dan ada sekitar 5 baris kursi di area ini. Banyak kursi di area itu yang masih kosong, tapi kursi tepat di depan layar tidak menyenangkan dan tak ada yang mau duduk di sana. Kemudian salah satu temanku menemukan baris dengan 5 kursi kosong yang saling bersebelahan, cocok untuk jumlah kami. Kursi ini sekitar 3-4 baris dari bagian lantai yang mulai miring. Kami buru-buru ke sana sebelum ada orang yang mengambilnya. Suamiku, Brock, duduk di kursi kelima. Aku duduk di sebelahnya, dan temanku Samantha duduk di sebelah kananku. Pacarnya, Tommy, duduk di sebelahnya, dan seorang teman lain bernama Leo duduk di kursi dekat gang.

Kami menghabiskan beberapa menit berikutnya untuk mengobrol, bercanda dan tertawa. Kemudian tiga temanku pergi ke lobi untuk membeli minuman dan popcorn. Saat mereka pergi, aku dan Brock dilewati beberapa orang penonton. Teaternya masih terang karena lampu belum dimatikan, sehingga aku bisa melihat semua orang dengan jelas. Ada banyak penonton yang mengenakan kaos dan jaket Batman. Seseorang bahkan membawa topeng yang tergantung di kaosnya serta jubah. Ada banyak yang seperti itu, yang mana tak mengejutkan karena, meski saat itu Kamis malam, itu adalah libur musim panas yang artinya besok sekolah libur. Dari semua yang kulihat, orang yang tak pernah kulupakan adalah gadis kecil yang duduk satu baris dengan kami tapi sedikit lebih jauh. Dia sangat cantik, pirang dengan mata biru, dan melewati kami beberapa kali dalam perjalanannya ke lobi, setiap kali dengan aneka camilan dan popcorn. Keseluruhan, orang-orang terlihat sangat bersemangat untuk menonton filmnya, dan ruangan terisi dengan energi dan tawa.

Setelah penantian yang rasanya selamanya, lampu akhirnya padam dan preview dimulai. Sama seperti film-film biasa, hanya animasi singkat di layar yang mengingatkan kami untuk mendapat camilan dari lobi (kami sudah melahap popcorn itu seperti binatang kelaparan), mematikan ponsel, dan untuk memastikan kami tahu letak pintu keluar daruratnya. Animasi itu menampilkan CGI kucing jelek memakai tuxedo yang sedang duduk di bioskop. Aku hanya melirik ke arah lampu hijau tanda pintu keluar darurat di sisi kanan dan kiri layar. Seperti biasanya, aku tak terlalu memikirkan peringatan itu. Setelahnya aku hanya mengingat ada preview film Man of Steel, lainnya aku tak ingat film apa. Dan begitu filmnya dimulai studio mulai dipenuhi tepukan dan sorakan riuh. Judul film, The Dark Knight Rises, meledak di layar. Kemudian diikuti adegan Bane yang sedang membajak pesawat. Kupikir adegan itu sangat keren dan film itu langsung mendapat perhatian dariku. Barulah saat film tiba di bagian yang kurang menarik aku sadar betapa lelahnya
diriku. Aku memutuskan untuk memejamkan mata di bagian yang membosankan agar bisa sedikit beristirahat. Aku sudah terjaga selama 20 jam pada saat itu, jadi aku benar-benar mengantuk. Mataku tertutup di sebagian besar adegan pertemuan antara Batman dan Catwoman. Aku tak terlalu ingat apa yang terjadi di bagian itu (mungkin sebagian dari kalian sudah melihatnya dan tahu apa maksudku). Lalu, saat aku membuka mataku lagi Bruce Wayne sedang di depan komputernya menggali informasi tentang Catwoman. Itu adalah adegan terakhir yang kulihat. Aku tak pernah melihat sisa filmnya.

Tiba-tiba, bunyi DAR keras meletus dari sisi kiri studio. Aku sedikit berteriak karena itu mengagetkanku. Bau ganjil mulai mengisi auditorium. Seperti bau kembang api, jadi kukira itu adalah mercon atau semacamnya. Mungkin sedang ada yang membuat lelucon dengan melempar kembang api ke tengah keramaian? Kemudian, di bawah, di dekat sisi kanan layar, siluet hitam menarik perhatianku. Itu hanya sosok hitam di depan layar yang terang. Rentetan cahaya datang dari orang ini. Itu adalah saat yang aneh di mana waktu menjadi lambat dan semua sangat hening. Aku membeku sepenuhnya, tak dapat bergerak dan tak dapat berpikir sama sekali. Seperti otakku telah berhenti bekerja sepenuhnya.

Brock tahu apa yang terjadi dan menyambarku. Dia menarikku ke lantai dan tengkurap di atasku, melindungiku dengan tubuhnya. Saat itulah waktu dan suara kembali padaku. Aku bisa mendengar bunyi tembakan keras yang melintasi teater. Orang-orang berteriak. Film masih berlanjut di atas itu semua, menciptakan suara ledakan yang kacau. Aku menyadari bahwa kilatan cahaya yang baru kulihat adalah peluru yang terbang dari laras sebuah senapan. Sensasi adrenalin seketika membanjiri tubuhku. Tak ada yang bisa kulakukan selain tetap berbaring di sana dan berdoa pada Tuhan semoga peluru yang kudengar membelah kursi dan dinding tak akan mengenaiku. Suatu ketika ada pecahan yang mengenai kepalaku, memotong sebagian besar rambutku, dan saat aku menggerakkan tangan untuk memastikan aku tak berdarah, sepotong logam panas menjatuhi tanganku.

Wajahku menghadap atas, jadi aku bisa melihat semua yang terjadi. Cahaya dari film yang masih berlanjut menari di langit-langit dan dinding. Teman-temanku juga di lantai bersamaku. Sisa popcorn kami tertumpah di lantai. Kaki Leo menjulur di jalanan karena tak cukup ruang untuk tubuhnya berlindung sepenuhnya. Botol air Samantha, yang diletakkan di cup-holder, meledak. Air mengguyur mengenai mukaku. Bau asap mesiu begitu luar biasa. Granat air mata membuatku menangis dan terbatuk parah. Dan ada bau lain juga; aroma logam darah yang tak akan pernah kulupakan. Aku ingat bagian bawah tubuhku mendadak basah. Untuk beberapa alasan, kupikir itu berasal dari botol air yang bocor, tapi kemudian kusadari bukan itu penyebabnya.

Mendadak segalanya senyap. Pelurunya berhenti karena sesuatu. Tommy berseru, “CEPAT PERGI DARI SINI!” Kami menuruni tangga, melewati bagian depan layar menuju tanda EXIT yang menyala hijau terang. Kami berdesakan di ruang sempit seukuran kloset tempat pintunya berada. Keadaan sangat gelap sehingga kami kesulitan menemukannya. Kami menjerit dan memukul dinding untuk menemukan pintunya, dibutakan oleh gas air mata dan tercekam oleh syok. Lalu, akhirnya, tanganku merasakan handel logam pintu dan aku mendorongnya sekuat tenaga. Pintu mengayun terbuka dan cahaya lampu jalan membanjiri mata kami. Kami begitu keras mendorong pintunya hingga kami terjungkal ke lantai beton. Samantha kehilangan sandal pinknya di luar pintu ini.

Saat aku berjuang untuk berdiri dan lari menyelamatkan diri, aku menyadari kakiku berwarna merah; benar-benar basah oleh darah. Seperti aku baru saja masuk ke bak mandi yang penuh darah. Aku memeriksa seluruh tubuhku dan sadar bahwa aku tidak terluka. Lalu dari mana asal darah ini? Aku melihat ke belakang dan menyadari itu adalah darah suamiku. Dia tertembak di kaki. Lubang menganga telah merobek bagian bawah kaki kanan Brock. Kakinya menggantung dan terjuntai tanpa daya. Leo dan seorang remaja yang tak kukenal membantu Brock karena, setelah terjatuh di luar pintu, dia kehilangan semua kekuatannya dan tak bisa berjalan. Aku sangat terkejut. Aku tak tahu kenapa dia bisa terluka, terutama karena dia terus di belakangku dan bisa melarikan diri keluar gedung sendirian. Bagaimana dia bisa melakukannya dengan satu kaki, aku tak pernah tahu.

Pada detik itulah aku menjerit. Jeritanku begitu keras sehingga menarik perhatian pekerja konstruksi yang berada tak jauh dari sana. Di belakang gedung itu ada tempat parkir sempit, yang diikuti lahan berumput dan kemudian jalanan. Pekerja konstruksi itu sedang mengerjakan perbaikan jalan di jalan itu, dan ketika mereka mendengar jeritanku, mereka berhenti bekerja dan melihat apa yang sedang terjadi. Aku tak tahu kenapa ini adalah bagian paling jelas dalam ingatanku. Kemudian, mereka membawa Brock di sepanjang trotoar hingga sampai di bagian sudut gedung. Itu cukup jauh, beberapa puluh meter. Suamiku kemudian roboh karena kelelahan dan sakit, berkata bahwa dia sudah tak bisa bergerak lagi. Dia berbaring dan genangan darah mulai mengalir dari bawah tubuhnya. Aku melihat ke belakang dan menyadari kami telah membuat jejak darah memanjang dari pintu hingga ke posisinya sekarang.

Aku ketakutan. Aku berlutut di samping Brock dan melihat berkeliling mencari tahu siapa lagi yang cedera. Tommy tertembak di bagian lutut dan pinggul, dan berada sedikit lebih jauh di parkiran. Remaja yang menolong suamiku juga cedera. Ayah dan ibunya bersamanya; ibunya sedang duduk bersandar pada tembok dan kelihatan akan pingsan. Dia berdarah di beberapa tempat. Keluarga ini melarikan diri bersama-sama dengan kami. Kukira mereka pasti mendengar pelurunya berhenti dan memanfaatkannya untuk melarikan diri juga. Kami beruntung karena penembakan masih berlangsung di dalam.

Aku melepas bajuku dan menggunakannya untuk menghentikan pendarahan suamiku. Aku tak akan pernah melupakan betapa tak berdayanya kaki itu, dan membayangkan pasti seperti itulah mayat terlihat. Tangan dan lenganku penuh darah. Polisi datang sangat, sangat cepat. Kami hanya di luar situ selama satu atau dua menit sebelum lampu merah dan biru mengisi malam bergegas mendatangi lokasi kami (kami beberapa blok jauhnya dari pos polisi). Seorang opsir wanita terus berdiri di dekat kami sampai paramedis tiba, yang butuh waktu sangat lama.

Brock adalah salah satu yang terakhir dibawa ke rumah sakit. Dia berdarah selama hampir 20 menit sebelum ambulans berhenti di jalan yang diperbaiki para pekerja. Pada detik itu dia sudah lambat merespon dan di ambang ketidaksadaran. Beberapa pria besar berlari melewati rumput dengan tandu, memuatnya, kemudian membawanya berlari menuju ambulans yang menunggu. Aku tak bisa pergi bersamanya karena ada orang terluka lain di dalam ambulans, dan sudah terlalu sesak. Aku hanya keluyuran sendirian ke depan gedung, tak yakin di mana teman-temanku berada. Darah menodai kaosku dan segenang kolam darah tertinggal di sudut trotoar itu.

Berjalan melewati kerumunan terasa seperti mimpi. Aku tak bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi. Orang-orang histeris dan menangis. Banyak orang yang, sepertiku, berselimutkan oleh darah. Dan sepertiku, aku yakin darah yang mengotori kulit dan pakaian mereka bukanlah darah mereka sendiri. Banyak orang yang menyadari betapa linglung dan kesepiannya diriku, jadi mereka terus menemaiku dan bahkan menwariku tumpangan ke beberapa Rumah Sakit untuk menemukan Brock, karena aku belum diberitahu dibawa ke Rumah Sakit mana dia. Aku berkeliling bersama orang-orang ini sementara polisi mengepung area dan menanyai kami apa yang kami lihat di dalam bioskop. Seluruh area parkir ditutup, dan kami belum diizinkan pergi. Saat itu sekitar jam 02.00 jadi masih gelap di luar (dan aku sangat kedinginan, hanya mengenakan pakaian dalam dan celana pendek). Kedipan cahaya merah dan biru dari sekitar 100 mobil polisi begitu membutakan. Aku ingat melihat ada kendaraan besar polisi yang berhenti dan bertuliskan sesuatu seperti “Unit Investigasi Kriminal”. Kupikir saat itulah aku mulai terpukul. Aku merasa mual dan ingin muntah, tapi entah bagaimana aku bisa menahannya.

Akhirnya polisi mengizinkan orang-orang pergi. Aku naik ke atas truk dan pergi dari sana. Aku masih sangat panik hingga tak memikirkan untuk kembali ke apartemen, atau mengambi ponselku (yang sudah kulupakan) dan menghubungi orangtuaku atau seseorang untuk menolongku! Aku marah, kesal, takut, dan sebagian besarnya, syok. Apakah aku akan kehilangan Brock beberapa bulan setelah perayaan tahun pertama kami karena seorang psikopat bersenjata? Syukurlah, saar fajar aku berhasil menemukan RS tempatnya dirawat. Itu ada di kota sebelah, mungkin 45 menit dengan kecepatan standar. Aku sangat senang berada di sana, dan para petugas RS sangat menerima dan bisa memahami. Setelah memastikan aku tak terluka, mereka mengizinkanku menunggu di ruang ICU di mana Brock akan ditempatkan setelah menjalani operasi. Aku sangat bahagia dia selamat. Brock dan Tommy selamat, meski banyak yang lain tak seberuntung itu.

Aku tahu di hari berikutnya (setelah tidur beberapa waktu di sofa Rumah Sakit) bahwa 12 orang tewas dalam penembakan itu dan lebih dari 70 orang terluka (awalnya mereka menyebut 15 orang tewas, tapi yang benar ada 12 orang). Gadis kecil berambut pirang yang duduk di barisku tidak selamat. Dia tewas di dalam bioskop hanya beberapa meter dari kami. Dia tertembak beberapa kali. Seorang polisi, yang menangis pada saat kesaksian di pengadilan, mencoba membawanya ke Rumah Sakit namun gagal menyelamatkannya. Tommy terburu menuju Rumah Sakit yang berbeda di belakang sebuah mobil polisi. Dia menjalani operasi dan penyembuhan total. Pelurunya gagal mengenai tulang pinggul serta saluran urin dan kandung kemihnya. Menurut sang ahli bedah, suamiku kehilangan hampir separuh darahnya. Brock tiba di Rumah Sakit tepat waktu; sedikit lebih lama dia mungkin mati. Dia menjalani banyak tranfusi darah dan harus di Rumah Sakit selama 21 hari. Luka di kakinya cukup parah sehingga dia harus diamputasi setelah dokter tak bisa menyelamatkannya.

Kini waktu sudah lama berlalu sejak kejadian penembakan yang menimpaku, suamiku, dan teman-temanku yang entah bagaimana kami bisa selamat. Kejadian itu sangat mengerikan dan terus membuat kami ketakutan. Tapi aku tak akan menyebutkan bagian cerita yang paling mengerikan. Tidak, bagian mengerikannya adalah si penembak itu sendiri. Aku belajar banyak darinya untuk berjaga-jaga andai suatu waktu ada penembakan lagi. Meski pertemuanku dengannya sangat singkat, dia memberikan pengaruh besar di hidupku. Sekedar tahu bahwa orang seperti itu ada saja rasanya sudah... tak nyaman. Dia adalah orang sinting yang kuharap tak akan pernah kutemui lagi di hidupku.

Aku belajar segalanya dari persidangan yang ditayangkan di TV pada awal 2015. Pria ini bersekolah di sekolah neurosains atau semacamnya di California. Kukira dia adalah orang yang pintar. Bagaimanapun, untuk beberapa alasan dia punya obsesi membunuh orang dan punya kelainan mental menguntit. Setelah DO dari universitasnya, dia pindah ke kotaku dan memilih bioskop lokal di tempatku untuk melakukan penembakan masal. Sebelum itu, dia berencana untuk bersembunyi di jalur pendakian jauh di ketinggian, menangkap orang-orang, menarik mereka masuk hutan dan membunuhnya di sana, tapi dia tak pernah melakukan rencana itu. Dia mengawasi bioskopku selama berbulan-bulan dan merencanakan penembakan ini pada malam 20 Juli. Aku belum pernah melihatnya sebelum ini, mengerikan memikirkan pria ini mungkin telah mengawasi kami setiap kali ke bioskop, dan mungkin kami tak pernah mengetahuinya. Kami sepenuhnya tak sadar dengan apa yang dia rencanakan terhadap kami. Ini benar-benar merusak perasaan aman diriku, karena siapa yang tahu apa yang direncanakan orang asing yang duduk di sebelahmu.

Aku berada sangat dekat dengan si pelaku, tapi aku tak pernah melihat jelas wajahnya sebelum aku membuat kesaksian di pengadilan. Aku melihat fotonya di televisi, tapi saat di bioskop aku hanya melihatnya sebagai siluet hitam dalam bayangan, bagai sosok demonik yang dimunculkan dari mimpi buruk yang paling kelam. Bahkan dia mungkin kami lewati saat kami berlari menuju pintu keluar darurat. Satu-satunya hal yang menghentikannya membunuh kami adalah senjata apinya yang macet. Untuk melakukan kejahatan ini, dia memesan sekian ribu peluru, perlengkapan huru-hara, gas air mata, senapan, dan shotgun. Dia memfoto dirinya sendiri, yang kemudian ditunjukkan di persidangan, mengenakan semua perlengkapan itu dengan bangga dan memegang senjata-senjata itu dengan senyum mengancam. Dia mengecat oranye rambutnya dan memakai lensa mata hitam seraya membuat wajah kesetanan itu di hadapan kamera, sesuatu yang membuatku muak saat melihatnya. Sebelum menyetir ke bioskop dengan semua perlengkapan ini di dalam mobilnya, dia telah membuat jebakan di apartemennya sehingga akan meledak jika ada seseorang yang membuka pintunya. Lalu, setelah di bioskop, dia berlaku seperti penonton biasa dan bahkan membeli tiket untuk menonton. Kukira di tiketnya sebenarnya tertulis Theater 8, yang harusnya ada di sebelah, tapi Theater 9 punya lebih banyak penonton jadi ke sanalah dia kemudian pergi. Dia ada di baris depan. Pasti aku sudah mlewatinya beberapa kali di lobi sewaktu dia masih di sana. Mungkin dia juga sudah melihatku. Lalu, di tengah pemutaran film, dia pergi dan keluar lewat pintu keluar samping (yang tidak dipasangi alarm karena alasan tertentu), menahannya tetap terbuka dengan sesuatu, lalu pergi ke mobilnya untuk mengambil semua perlengkapan dan senjatanya. Kemudian, dia kembali masuk dan mulai menembak. Saat kami melarikan diri dari studio, kami berlari melewati mobil putih miliknya yang diparkir tepat di pintu keluar. Kami bahkan tak menyadarinya. Dia bahkan sempat keluar dan pasti melihat kami di jalanan beton. Aku tak tahu apa yang membuatnya tidak menembaki orang-orang yang ada di luar, dia bisa menghabisi kami semua saat itu juga jika dia mau.

Menurutku bagian tersulit bagiku adalah saat bertatap muka dengan sosok gilanya di pengadilan. Aku tak akan melupakan saat aku berdiri begitu mereka memanggil namaku, berjalan ke depan melewati keluargaku, beberapa korban selamat lain, dan kerumunan awak media yang kelaparan. Aku duduk tepat di seberangnya, mungkin sekitar 3 meter jauhnya. Saat rambut oranyenya sudah tak ada dan dia tidak memakai lensa kontak hitam, begitu dekat dengannya adalah pengalaman yang sangat tak menyenangkan. Pertemuanku dengan orang ini adalah salah satu yang tak akan kulupakan. Sekarang aku bisa bilang bahwa aku pernah berhadap-hadapan dengan seorang psikopat gila yang nyata. Dia hanya menatap dengan sorot kosong sepanjang waktu. Jika mata benar-benar jendela menuju jiwa, maka jiwanya pasti tak terisi oleh apa pun selain ketidakpedulian dingin untuk mereka yang telah dia bunuh dan sakiti. Dia bahkan tak melihat padaku. Duduk di seberangnya di pengadilan adalah kali kedua aku sadar pernah berada satu ruangan dengan pria ini. Pria yang pernah mencoba merenggut kehidupanku, tapi syukurlah gagal, pria yang akan berakhir menghabiskan waktunya di balik jeruji besi, dan pada akhirnya, dia dijatuhi hukuman 3.318 tahun penjara untuk kejahatannya.

Ini untuk pria yang mencoba membunuhku. Pria penyebab mimpi buruk tak terhitung dan menyulut api paranoidku. Pria yang melukai teman-teman dan keluargaku, penyebab kesedihan tak terhitung suamiku karena dia tak akan bisa berjalan seperti sedia kala lagi. Pria yang mencuri kepolosan dan kesenangan anak 6 tahun yang pergi ke bioskop itu hidup-hidup dan keluar dalam keadaan tak bernyawa. Untuk pria yang membawa penembakan masal terburuk dalam sejarah Colorado, kita tak perlu bertemu lagi. Kuharap kau membusuk di penjara.

(Edit: Grammar dan semacamnya. Juga, aku lupa menyebutkan bahwa aku, Leo, dan Samantha berhasil lolos tanpa cedera. Banyak orang bertanya, jadi kupikir aku harus mengatakannya.

Terima kasih untuk semua dukungannya! Aku tak pernah menyangka akan ada banyak orang yang membaca ceritaku! Juga, terima kasih untuk semua pemberi ‘gold’ tak dikenal :)

Tidak, aku tak akan memberi informasi tambahan soal identitasku untuk alasan yang jelas. Aku sudah memberikan bukti ke para moderator, dan kukira aku tak perlu membagikan info itu kepada orang lain. Aku punya foto-foto cedera suamiku, dan aku juga tak akan mengepost fotonya di sini untuk privasinya dan kekerasan-grafis di foto itu...)

No comments:

Post a Comment

Creepypasta Indonesia, Riddle Indonesia, Cerita Seram, Cerita Hantu, Horror Story, Scary Story, Creepypasta, Riddle, Urban Legend, Creepy Story, Best Creepypasta, Best Riddle, short creepy pasta, creepypasta pendek, creepypasta singkat