Monday, September 25, 2017

Fran and Jock

Aku adalah orang terakhir di garis panjang keturunan dari kedua belah keluargaku. Tak ada yang sering mengatakannya, tapi aku cukup yakin aku adalah seorang bayi “ups”; hasil dari gelas wine yang terlalu banyak dan pasangan di atas 40 tahun yang berpikir bahwa kehamilan yang tak direncanakan hanyalah untuk remaja.

Ups.

Saat aku lahir, kedua nenekku sudah meninggal dan dua kakekku sudah sangat tua dan tinggal di negara bagian yang berbeda. Merencanakan perjalanan lima anggota keluarga, termasuk satu bayi, adalah sulit dari segi biaya sementara tak satu pun kakekku bisa sering datang, jadi pertemuan kami sangat jarang terjadi.

Tetap saja kedua orangtuaku ingin aku tetap berhubungan dengan mereka, jadi kami akan melakukan panggilan telepon agar mereka bisa mendengar ocehan-bayiku, mereka akan menulis surat untuk Mom dan Dad untuk dibacakan untukku, dan kakekku akan mendapat coretan krayon sebagai balasan.

Saat aku 3 tahun, mereka berdua mulai mengalami kemunduran kesehatan. Pertama kakek dari ibuku, menyusul kemudian kakek dari ayahku. Bersiap untuk yang terburuk, Mom membeli sepasang beruang teddy yang ada perekam di dalamnya sehingga kau bisa merekam pesan yang akan berbunyi saat si beruang dipeluk, dan ibuku memastikan pesan kakekku tersimpan di dalamnya.

Ayahnya ibuku meninggal saat usiaku 4. Beberapa hari setelah pemakamannya, aku diberi sebuah beruang teddy putih dengan mata biru cerah yang berkelip dari balik sebuah topi kotak-kotak dan sweater hijau. Saat aku meremasnya, aku akan mendengar suara kakekku yang agak teredam dari perutnya.

“Aku menyayangimu, Sadie.”

Dua tahun kemudian, setelah ayahnya ayahku meninggal, aku mendapat lagi yang satunya. Warnanya kelabu bak batu tulis dan jahitan di wajahnya memberinya ekspresi serius seekor binatang yang sedang menderita. Sepasang suspender merah menahan celana cokelat panjangnya. Aku jatuh tertidur sambil memeluknya dan ayahku memberitahuku beberapa tahun kemudian, dengan air mata di matanya, bahwa secara acak pada malam itu, dia terus mendengar suara Abah dari dalam kamarku.

“Aku menyayangimu, Sadie.”

Aku menamai beruang putihku Fran dan beruang abu-abuku Jock dan meletakkan mereka di rak di atas tempat tidurku, tempat mereka berdiam selama masa kecilku. Sejujurnya, aku tidak terlalu memikirkan mereka; mereka telah menjadi perlengkapan di kamar tidurku, sama seperti lampu atau meja rias. Dari waktu ke waktu, aku akan pulang sekolah dan menemukan salah satu orangtuaku berdiri di samping tempat tidurku, menatap ke para beruang dan memberi mereka remasan kecil. Meski waktu telah lama berlalu, para beruang itu tetap membacakan satu kalimat itu tanpa keliru.

Selain itu, bagaimanapun, Fran dan Jock tak lebih dari barang-barang semasa kecilku.

Saat aku mulai kuliah, keduanya tidak kuhitung sehingga kutinggalkan saat aku mulai masuk ke duniaku yang baru itu. Kupikir orangtuaku sedikit kecewa karena aku sudah tak punya perasaan pada para beruang, tapi kenangan yang kuingat tentang kakekku sangatlah kabur dan aku tak menemukan koneksi yang sama pada mereka.

Saat Mom dengan baik hati menanyaiku apa sebaiknya kubawa mereka saat aku pindah ke apartemen pertamaku, aku bilang tidak, bahwa mungkin lebih baik jika mereka tetap bersamanya saja.

“Oke,” dia bilang. “Mereka di sini jika kau berubah pikiran.”

Aku cukup yakin tak akan berubah pikiran.

Kali berikutnya aku kembali ke tempat orangtuaku adalah untuk menjaga rumah mereka sementara Dad membawa Mom berlibur ke barat setelah penantian yang lama. Ayahku sudah berjanji padanya lebih dari 30 tahun lalu dan keduanya sangat bersemangat. Dari segi ibuku, itu artinya, dia juga sangat gugup.

“Kau ingat tempat dokumennya jika terjadi sesuatu pada kami, kan?” tanya ibuku dari bangku belakang paling tidak untuk kali ke-6 dalam perjalanan kami ke bandara.

“Ya, di kotak putih di bawah tempat tidur.”

“Dan surat wasiat?”

“Di brankas kecil kedap-api di belakang lemari.”

“Dan—“

“Kupikir dia sudah tahu, sayang.” Dad berkata, meraih ke belakang untuk memberi remasan pada lututnya.

Mom berdehem dan kemabali bersandar. “Telepon saja jika kau butuh apa-apa.”

“Aku akan baik-baik saja, jangan cemas! Kalian hanya pergi selama satu minggu.”

“Banyak yang bisa terjadi dalam satu minggu.” Katanya.

Aku meringis padanya lewat spion tengah, tak peduli, dia memberiku tatapan peringatan, tapi kemudian terlihat lebih santai.

Setelah kuantarkan mereka, aku menyetir pulang ke rumah mereka dan mulai membuat diriku serasa di rumah lagi. Aku melempar koperku ke tempat tidur dan pergi ke dapur untuk membuat makan malam lalu mengejar salah satu tontonan favoritku. Sudah lama sejak aku benar-benar punya minggu bebas dan aku berencana memanfaatkannya sebaik mungkin. Setelah makan, aku naikkan kakiku, menggeliat, dan mulai masuk ke mode “Posisi Malas”.

Aku hampir menghabiskan tiga episode sebelum mulai mengantuk. Aku melihat jam di atas TV dan melenguh. Baru jam 11 lebih; apa sekarang aku sudah berubah jadi wanita-tua-ingin-segera-tidur? Mengerikan! Aku berguling dari sofa dan mematikan TV dan semua lampu, menenggelamkan tumah dalam kegelapan.

Meski kegelapan seperti tinta, aku tidak merasa gugup. Aku tumbuh di rumah ini, aku mengenalnya seperti punggung tanganku sendiri, dan semua deritan dan erangannya hampir-hampir menentramkan. Aku berjalan ke kamarku dan menyalakan lampu. Paling tidak sudah 5 tahun aku meninggalkan rumah ini, tapi orangtuaku nyaris tidak membuat perubahan pada kamarku kecuali menambahkan beberapa barang di lemari. Mereka bilang agar aku tahu bahwa mereka selalu punya tempat untukku. Kukira karena jika mengubahnya, fakta bahwa aku sudah tak tinggal di sana akan terasa lebih nyata.

Apa pun alasannya, aku menghargai kekeluargaan ini.

Saat aku mulai membongkar tasku, mataku bergeser ke rak di atas tempat tidurku. Fran dan Jock, waspada, sedang duduk di titik yang sama hampir sepanjang masa hidupku. Aku tak tahu kenapa, tapi aku tak tahan untuk tidak tersenyum dan mengambil mereka.

Aku menurunkan Fran lebih dulu dan memberi topi kecilnya cubitan sebelum meremasnya di sekitar perut.

“Aku menyayangimu, Sadie.” Kakek berkata.

Setelah mengembalikan Fran, aku lakukan hal yang sama pada Jock, yang melihatku dengan tatapan tajamnya yang biasa meski aku memetik salah satu suspender merahnya.

“Aku menyayangimu, Sadie.” Abah berkata.

Ini pertama kalinya aku mendengar mereka setelah sekian lama. Meski mereka tidak menyentuhku sedalam menyentuh orangtuaku, aku senang mengetahui rekamannya masih berfungsi.

Berjalan cepat ke kamar mandi dan berganti piyama, aku langsung ke ranjang dan jatuh tertidur seketika.

Aku tak tahu pasti apa yang membuatku terbangun. Mimpi buruk sepertinya, yang membuat jantungku berdebar cepat, tapi aku tak bisa mengingat detailnya. Aku mengambil napas dan berguling, sudah akan tertidur lagi, saat menemukan diriku sedang bertatap muka dengan sosok gelap di atas bantal di sampingku. Aku menjerit dan bangun, menyambar ponselku, sumber cahaya terdekat, dan menyinarkannya ke tempat tidur.

Fran sedang terbaring miring di sisiku.

Aku membiarkan diriku tertawa kecil untuk mengusir rasa takutku yang tersisa lalu mengambilnya.

“Kau jatuh dari rak, ya?” aku bertanya pelan padanya. Aku pasti menaruhnya terlalu ke pinggir sehingga gravitasi menjatuhkannya.

Aku memberi Fran remasan lembut.

“Keluar.”

Aku memandang si beruang dan berkedip sekali, sangat lambat. Aku pasti lebih mengantuk dari yang kurasakan. Aku mendengar sesuatu. Untuk membuktikan bahwa itu hanya imajinasiku, aku meremasnya lagi.

“Keluar.”

Itu masih suara Kakek, tapi alih-alih lembut dan hangat seperti selama ini, suara itu terdengar dingin, nyaris mengancam. Aku melempar Fran ke seberang ruangan, tempat dia menabrak dinding.

Dari atas kepalaku, aku mendengar suara serius Abah.

“Keluar.”

Aku tertegun dan menengadah melihat Jock. Dia duduk di tempatnya yang biasa, tapi sekarang dia menghadap ke pintu, bukannya ke depan. Apa aku yang menaruhnya seperti itu? Aku tak ingat.

“Keluar!” suara Kakek datang dari Fran lagi, kali ini lebih nyaring.

“Keluar!” Abah mengikuti dari Jock.

Keduanya bergantian, suara mereka semakin keras dan keras, sampai aku menangkupkan tangan ke telingaku dan melompat dari tempat tidur. Aku ingin berteriak, tapi suaraku tertahan di balik lidahku yang terbelenggu ketakutan. Aku tertatih menyeberangi kamarku yang gelap, dikejar oleh suara mendiang para kakekku.

“Aku tahu kau di bawah sana!” Jock berteriak dengan suara Abah.

Aku membeku. Di bawah sana? Di bawah rak? Aku melirik dari bahuku ke beruang abu-abu yang dalam diam menatap dari tempat tidurku. Aku harus keluar dari kamarku. Aku harus keluar dari rumah ini! Aku merenggut terbuka pintuku.

“Aku melihatmu!” Fran berkata dengan suara Kakek.

Aku sudah setengah jalan di koridor, air mata menuruni wajahku. Aku tak tahu apa yang terjadi, apa aku sudah gila? Aku aku bermimpi? Yang kutahu hanyalah dua mainan masa kecilku sedang berteriak mengancamku dan aku harus menjauh dari mereka. Aku berbelok ke tangga.

“Satu langkah lagi, akan kujadikan itu langkah terakhirmu!” Jock berteriak.

“Keluar!” Fran meraung.

Dari suatu tempat di bawah, terdengar langkah kaki.

Ada orang lain di dalam rumah.

Mereka sama sekali tidak berteriak padaku, aku menyadarinya dengan campuran antara bingung dan horor. Mereka berteriak pada penyusup yang sedang dalam perjalanan naik tangga, menghampiriku.

“Keluar!” para kakekku melolong bersamaan.

Langkah kaki terdengar ribut di lantai kayu di bawah. Sesuatu jatuh di ruang tengah dengan suara tabrakan keras, dan lanjut di dapur, sebelum kemudian pintu belakang terbanting terbuka membentur meja dan mesin mobil bergemuruh hidup.

Entah bagaimana, aku mendapatkan kewarasanku untuk berlari ke kamar orangtuaku dan melihat ke halaman masuk di bawah. Sebuah SUV sedang mundur kembali ke jalanan. Menabrak kotak surat tetangga, membenarkan diri, lalu berdecit hilang ke tengah malam.

Keheningan yang berat kembali menyelimuti rumah.

Setelah menunggu di menit yang panjang dan menegangkan, aku merambati koridor dan mengintip ke dalam kamarku. Fran dan Jock di tempat mereka kutinggalkan, dengan was-was aku mendekati Fran, yang sedang terbaring miring dengan topi datar kecilnya di sampingnya. Aku mengambilnya dan, dengan jari gemetar, kuremas perutnya.

“Aku menyayangimu, Sadie.” Kakek bersuara hangat.

Aku memasang kembali topinya dan pelan-pelan menaruhnya lagi di rak di samping Jock lalu melangkah mundur meninggalkan kamar, terus memandang keduanya dengan mata melebar. Begitu kulewati tikungan, menuruni tangga untuk mencapai telepon, aku mendengar suara Abah mengikutiku.

“Aku menyayangimu, Sadie.”

Polisi tiba tak lama kemudian, mengikuti panggilan panikku di 911. Aku mengisi laporan, menyebut sedikit soal beruang-bicaraku, dan membiarkan mereka mengumpulkan bukti apa pun yang bisa mereka temukan. Sebentar-sebentar aku akan melirik ke arah tangga, hampir seperti aku berharap dapat mengulang apa yang baru saja terjadi. Tapi tak terjadi apa-apa sampai polisi pergi dan meninggalkan aku sendirian lagi.

Saat aku menghubungi orangtuaku untuk mengabari ada orang yang masuk, mereka ingin langsung pulang secepatnya, tapi aku yakinkan mereka bahwa itu tak perlu.

“Sungguh,” kataku, “aku tak tahu apa yang harus dikhawatirkan.”

“Kami bisa mengambil penerbangan selanjutnya.” Mom bersikeras.

“Tidak. Aku baik-baik saja. Siapapun orang itu, aku sangat yakin dia tak akan kembali.”

Butuh beberapa waktu, tapi akhirnya aku sanggup meyakinkan mereka bahwa aku aman.

Dan aku juga merasakannya. Setelah keterkejutan itu memudar dan aku bisa mencerna yang terjadi, aku benar-benar baik-baik saja. Aku tak bisa menjelaskannya, aku tak bisa menceritakannya pada siapa pun tanpa terdengar gila, tapi aku tahu bahwa itu semua nyata dan aku tahu, selama aku punya Fran dan Jock di atas tempat tidurku, aku bisa tidur dengan mudah.

Beberapa hari kemudian, polisi menemukan pria yang membobol masuk. Dia rekan kerja ayahku yang mendengar ayahku sedang pergi ke luar kota. Dia pikir rumahnya kosong sehingga akan mudah mencuri dari sana. Saat dia menceritakan pada polisi soal dua orang gila di lantai atas serta ancaman mereka, para polisi memutar mata dan menertawainya. Dia sangat terkejut mendengar bahwa hanya ada wanita 22 tahun yang ada di rumah saat dia melakukan perampokan gagalnya.

Saat aku kembali ke apartemenku satu minggu kemudian, Fran dan Jock di sini bersamaku. Aku menaruh mereka di tempat TV di ruang tengah, tempat mereka bisa mendapat pandangan menyeluruh ke pintu depan. Kapan pun aku merasa sedikit gelisah karena kesepian, aku akan memberi masing-masing beruang itu remasan lembut dan tersenyum saat mereka berbicara.

“Aku menyayangimu, Sadie.”

Dan sekarang aku menjawab. “Aku juga menyayangi kalian.”

No comments:

Post a Comment

Creepypasta Indonesia, Riddle Indonesia, Cerita Seram, Cerita Hantu, Horror Story, Scary Story, Creepypasta, Riddle, Urban Legend, Creepy Story, Best Creepypasta, Best Riddle, short creepy pasta, creepypasta pendek, creepypasta singkat