Wednesday, September 20, 2017
Forgotten Forest
‘Klak!’
“Hei! Itu coklat milikku!” teriak anak laki-laki berbadan kurus dan memakai kacamata, Joan.
“Salahkan saja dirimu yang membuat kita tersesat di hutan selama dua hari. Aku tidak mengerti mengapa ibu memberiku adik seperti dirimu.” Sahut anak laki-laki lainnya—Andrian—yang berbadan lebih besar dan tinggi dengan rambut model cepak dan membawa ransel hijau lumut di punggungnya. Mulutnya kembali mengunyah coklat batangan setelah ia menyelesaikan kalimatnya.
Joan merengut, pandangannya dialihkan ke arah tanah.
“Maaf … ini semua karena rasa penasaran yang menang dari kepatuhan akan peringatan ayah dan ibu. Aku sendiri—“ suaranya terhenti seketika. Ia melihat ke arah batu besar di hadapan mereka. Batu besar yang sekiranya sudah mereka lewati tiga kali sejak kemarin.
“Sial!” seru Andrian, yang sepertinya satu pikiran dengan Joan. “Hutan apa sebenarnya ini! Apakah kita sudah pindah dari bumi dalam waktu 48 jam, hah?” Andrian tak kuasa menahan emosinya. Perut lapar dengan persediaan makanan yang semakin menipis. Hutan aneh yang seakan tak ada jalan keluar. Semua berpadu dalam keharmonisan emosi yang membuat dirinya geram. Konyol, hanya itulah yang ia pikirkan. Sebagai anak yang selalu mendapat beasiswa di sekolahnya, ia membenci hal-hal irasional.
Mereka terus berjalan, dengan bekal kompas yang sepertinya rusak. Andrian memeriksa kembali handphonenya yang tidak menunjukkan tanda-tanda kepemilikan sinyal. Benar-benar beruntung, batin Andrian.
Joan melihat ke sekitar. Hanya ada pohon-pohon tinggi, bebatuan besar, dan tanah yang dipijaknya. Ia bahkan tidak mengetahui jenis-jenis dari pohon besar itu. Sesungguhnya, Joan dan Andrian bergabung dengan klub pecinta alam, tapi bahkan mereka tidak mengetahui, alam apa yang sekarang sedang mereka pijak.
Ini memang kesalahan besar, pikir Joan. Seharusnya ia tidak menyepelekan nasihat orang tuanya. Seharusnya ia juga tidak memaksa Andrian menuruti keinginan di hari ulang tahunnya itu. Yeah, kemarin adalah hari ulang tahun Joan.
Joan menyesal karena telah membohongi orang tuanya. Ia tahu, dirinya adalah anak paling nakal sejagat raya. Ia berkata akan mengikuti kegiatan dari klub pecinta alam di sekolah mereka, namun pada kenyataannya, kegiatan itu tidak sepenuhnya benar. Ia hanya ingin pergi ke tempat yang seumur hidupnya selalu dilarang oleh orang tuanya. Tempat itu bernama “Hutan Lupa”. Rumor hanyalah rumor, pikir Joan. Belum tentu rumor yang dikatakan orang lain adalah benar. Untuk alasan itu, ia membuktikannya sendiri.
Kakak beradik itu berjalan tanpa tahu arah. Joan beberapa kali meminta untuk beristirahat dikarenakan punggungnya terasa sakit.
“Kau sudah membawa peralatan paling ringan!” bentak Andrian. “Jangan manja, lihat saja tas punggungku, ukurannya 3 kali lipat dibandingkan kau.” Andrian berputar untuk menunjukkan tas berisi peralatan kemah, termasuk tenda dan alas tidur. Terlihat seperti punuk unta, pikir Joan menahan tawa. Tidak mungkin ia tertawa. Tidak setelah ia berkali-kali membuat ulah yang melibatkan Andrian dan membuatnya kerepotan.
“Tunggu!” raut wajah Joan terlihat serius sekarang. “Aku mendengar sesuatu … seperti … air?” Joan sendiri meragukan pendengarannya, namun di hutan yang terasa semakin gelap ini, panca indra adalah senjata utama untuk bertahan.
Joan mulai berlari, mencari di mana titik suara tersebut kian terdengar, Andrian juga secara tak sadar mengikuti Joan.
Mereka terus berlari, tanpa berbicara sepatah kata pun, hingga pemandangan menyajikan sebuah danau.
Danau biru, dengan air terjun di sisinya. Bebatuan besar dan … beberapa sosok yang membuat kedua kakak beradik itu menelan ludah.
Kakak beradik itu berhenti serentak, Joan tertegun, dan bergerak mundur. Seketika itu pula, sosok-sosok tadi melihat ke arah mereka.
Bagi Joan, sosok itu tampak seperti putri duyung—dengan tubuh bagian kepala hingga perut yang menyerupai sosok wanita berambut panjang serta tubuh bagian bawah yang menyerupai ekor ikan berbias cahaya sehingga menimbulkan kemilau pelangi di sisiknya.
Namun Joan menyadari, ada yang aneh dari aura mereka. Tepatnya, raut wajah mereka yang misterius. Sementara di belakang Joan, Andrian mulai maju perlahan.
Salah satu dari putri duyung tadi, mulai membuka mulutnya, mengeluarkan nyanyian yang merdu. Sangat merdu dan indah. Suara itu membuat Joan dan Andrian terpana, mereka mulai bergerak maju.
Joan dan Andrian seakan tidak sadar dengan pergerakan mereka. Terutama Joan, ia tidak sadar bahwa ada akar besar yang mencuat dari tanah. Joan maju perlahan, namun akar besar itu membuatnya tersandung dan jatuh.
Joan yang tersungkur mencium tanah, mendongakkan kepala dan membetulkan letak kacamatanya. Kesadarannya mulai kembali, ia tahu sebuah kisah tentang putri duyung yang membuatnya lekas menutup telinga.
“HEY! ANDRIAN! SADAR!” Joan berteriak agar Andrian tidak terus berjalan dengan tatapan kosong ke arah para putri duyung tadi. Ia berusaha bangkit sambil tetap menutup telinga. Sangat sulit, sampai akhirnya ia berhasil. Segera ia berusaha berlari ke arah Andrian, mencoba untuk menarik saudaranya kembali, namun ia menyadari bahwa separuh tubuh Andrian sudah berada di dalam air danau.
“Sial!” pekiknya, saat melihat salah satu dari putri duyung tadi menghampiri Andrian.
Putri duyung yang sedari tadi bernyanyi kini sudah menghentikan nyanyiannya, dan ikut menghampiri tubuh Andrian yang separuh sadar.
Sementara putri duyung yang sudah berada tepat di hadapan Andrian, meraih tubuh Andrian, dan memeluknya. Tak lama, putri duyung tadi tersenyum, memperlihatkan gigi-gigi runcing dan lekas menggigit leher Andrian.
“Orghhh!” Andrian seakan kembali sadar, ia mencoba bergerak saat menyadari sudah ada empat putri duyung yang mengepungnya.
Joan merasa kakinya sangat lemas. Ia mundur perlahan dan berlari menjauh dari danau tadi. Tak sadar, air matanya perlahan menetes. Joan terus berlari, dan beberapa kali terjatuh karena tersandung akar pohon atau bebatuan. Ia berlari. Terus berlari tanpa arah, hanya mengandalkan instingnya.
Sampai instingnya membawa tubuhnya ke perbatasan hutan, di pinggir jalan raya.
“Aku selamat!” teriaknya senang diiringi rasa bersalah. Ia mengenal jalan raya ini. Tidak jauh dari jalan raya akan ada terminal bus, dan dirinya bisa sampai di rumah dengan selamat. Yeah, hanya dia yang selamat.
***
Selama di dalam bus, Joan berpikir keras. Ia tidak tahu bagaimana cara menyampaikan kejadian mengerikan yang menimpa saudaranya itu. Orang tuanya pasti akan marah besar, terlebih kecewa karena dibohongi. Hukuman urusan belakangan, pikir Joan. Ia harus memberi tahu rahasia “Hutan Lupa” kepada masyarakat.
Joan bersiap untuk berdiri dari duduknya. Pemberhentian di depan kompleks dirinya tinggal sudah dekat.
***
Joan berdiri di depan pintu rumahnya, menekan bel berkali-kali, namun tidak ada jawaban. ‘Apakah mereka sedang ada urusan?’ batin Joan, menenangkan diri.
Hari sudah malam dan lampu rumah menyala terang. Mungkinkah orang tua Joan belum pulang? Joan kerap menekan bel sampai terdengar bunyi ‘Klek’ dari gagang pintu yang diputar.
Adalah ayahnya yang menyambut Joan dengan wajah bingung.
“Maaf, ada keperluan apa?” tanya laki-laki berambut putih yang menggunakan piama warna putih.
“Apa yang kau katakan, Dad? Aku tahu kau akan marah soal ini, tapi setidaknya biarkan aku memberi penjelasan …,” Joan tergagap saat mendapati tingkah laku aneh dari ayahnya.
“Siapa itu, Sayang?” tanya seorang wanita yang juga memakai piama tidur berwarna putih. Ia berjalan mendekat ke pintu.
“Entahlah, anak ini … hei! Siapa tadi yang kau panggil Dad, hah? Apa kau sudah gila?”
Joan tidak bisa menyembunyikan kekalutan di wajahnya. “Tapi … hei, Mom, Dad, ini aku, Joan, putra kalian!”
“Kau menghina kami, hah? Apa kau mengejek aku dan istriku karena tidak mempunyai seorang anak pun di usia setua ini? Persetan kau gelandangan! Pergi sana!” itu ucapan terakhir dari pria yang dipanggil Dad oleh Joan, sebelum ia membanting pintunya.
Pintu terbuka lagi, menampakkan wajah wanita berbalut piama tadi. “Sebaiknya kau cepat pergi, dia memang agak sensitif akhir-akhir ini. Cepatlah, sebelum dia memanggil polisi,” ucapnya sebelum menutup pintu kembali.
Joan tidak bisa berkata-kata. Ia bingung, takut, sekaligus kalut. Terlebih ia harus mencari cara sekarang. Mencari cara agar ia bisa memberitahu kepada dunia bahwa legenda dari “Hutan Lupa” itu benar adanya. Bahwa jika seseorang bisa kembali dengan selamat dari hutan itu, maka orang tersebut akan menghilang dari ingatan semua orang yang dia kenal. Dengan kata lain, dilupakan.
Sekarang Joan hanya berpikir untuk mencari cara memberi tahu ke semua orang tentang realita dari “Hutan Lupa” itu.
Namun sekarang ia bingung. Ia mencoba berpikir, apa rahasia dari “Hutan Lupa” itu? Apa yang membuat orang lain dilupakan?
"Lagipula, mengapa aku pergi ke hutan itu, sendirian?" kini Joan mulai berbicara sendiri.