Sunday, September 24, 2017
The Resort - Bagian 3
Selama aku makan, Makiko hanya tersenyum ke arahku. Misaki dan Ryuichi pasti juga merasakan sesuatu yang aneh, sebab mereka hanya menatap bolak-balik antara aku dan Makiko. Aku bertambah gugup, bahkan kadang tak mampu menggerakkan sumpitku. Di lain pihak, Takumi duduk dengan tenang dan menikmati makanannya.
Kami merasa tak nyaman, sehingga kami dengan cepat menghabiskan sarapan kami. Ketika kami selesai, kami kembali ke kamar untuk menjemput Shoji agar kami bertiga bisa segera berpamitan dengan Makiko.
Dalam perjalanan ke kamar, kami mendengarnya sedang berbicara. Tampaknya ia sedang menelepon seseorang. Takumi dan aku tak mau menganggunya, jadi kamu duduk dan menunggunya hingga rampung.
"Ya, harus dilakukan hari ini." Ia terdiam sejenak, menunggu jawaban dari orang yang diteleponnya. "Oh ... terima kasih ... ya ... ya .... aku akan menanyakannya ... terima kasih." Kemudian ia menutup teleponnya.
Tampaknya ia sudah merencanakan untuk pergi ke suatu tempat setelah kami menyelesaikan urusan kami dengan penginapan ini. Takumi dan aku merasa tak enak menanyakan urusannya, jadi kami hanya mengajaknya ke ruang makan bersama-sama.
Misaki sedang bersih-bersih, namun Makiko tak nampak. Kemudian aku berpikir, apa ia sedang berada di lantai atas sekarang? Bayangan ia sedang membawa senampan makanan ke lantai dua muncul di benakku. Ia pasti menumpuk makanan yang baru ke atas makanan yang lama setiap hari. Lama-kelamaan ia membuat semacam gunung penuh sampah di sana.
Tapi kenapa? Apa tujuannya? Namun aku segera menghentikan pikiran itu. Satu-satunya yang penting sekarang adalah pergi dari tempat ini secepat mungkin. Ini saatnya mengucapkan selamat tinggal dan melupakan apapun yang kami alami kemarin. Aku harus melupakannya!
Takumi bertanya pada Misaki dimana Makiko berada.
"Oh, Makiko-san sedang menyirami tanaman. Beliau akan segera kembali ke sini," ia berpaling pada Shoji, "Aku akan membuat onigirinya, tolong tunggu sebentar ya." Ia tersenyum dengan manis lalu pergi ke arah dapur.
Oh, Misaki yang cantik. Seandainya semua ini tak terjadi, sebenarnya aku ingin mengenalmu lebih jauh.
Kami menunggu Makiko kembali. Ketika ia tiba di ruangan, ia sepertinya sudah tahu ada sesuatu yang salah. Iapun duduk dan menatap kami.
"Ada apa ini? Kenapa kalian berkumpul di sini"
Aku menyiapkan diriku dan mulai berkata mewakili yang lain, "Bu, dapatkah kami berbicara sebentar dengan anda?"
"Tentang apa? Kalian tampaknya serius sekali?"
"Ehm. Langsung saja, kami ingin berhenti."
Ekspresi Makiko tak berubah. Ia terdiam selama beberapa saat. Kami sangat merasa tak nyaman dengan ia diam seperti itu. Tampaknya ia sudah menduga bahwa ini akan terjadi.
Akhirnya, kesunyian pun pecah.
"Oh, aku mengerti. Seperti aku tak bisa melakukan apapun untuk membuat kalian berubah pikiran kan, anak-anak?" ia tertawa sedikit lalu melanjutkan pembicaraan tentang gaji kami dan juga meminta kami membersihkan kamar kami sebelum pergi. Ia meminta kami menghadapnya lagi setelah kami selesai beres-beres.
Setelah percakapan singkat yang cukup menegangkan itu, kami bertiga merasa lega. Namun masih ada sesuatu yang terasa janggal bagiku.
Kami segera bersiap-siap. Kami membereskan barang-barang kami dan membersihkan kamar kami.
Sejak memulai pekerjaan kami, sebenarnya kami tak pernah menghabiskan waktu di kamar ini. Selepas bekerja, biasanya kami akan pergi ke pantai lalu pulang saat malam dan langsung tidur. Untungnya, ini berarti kami tak pernah membuat kamar ini terlalu berantakan dan dalam waktu singkat, kamar ini kembali seperti semula seperti sebelum kami datang.
ANDA JUGA MUNGKIN MENYUKAI
No stories available.
Setelah kami selesai bersih-bersih, kami memanggil Makiko. Ia, Ryuichi, dan Misaki yang terlihat sedih kemudian duduk bersama dengan kami.
"Kami di sini tak lama," aku mulai berpamitan dengan mereka, "Namun terima kasih sekali atas segala kebaikan kalian terhadap kami selama kami di sini. Maaf jika kami harus berhenti mendadak seperti ini." Kami bertiga kemudian membungkuk ke arah mereka.
"Tidak...tidak...justru kamilah yang harus berterima kasih." Makiko kemudian memberikan amplop kepada masing-masing dari kami, "Ini tidak banyak, tapi kumohon, terimalah! Ini juga ada hadiah untuk kalian." Ia juga menyertakan sebuah tas kecil, seperti tempat untuk uang koin.
"Jaga diri kalian baik-baik." Misaki berkata dengan raut wajah sedih, bahkan ia terlihat hampir menangis. Ia kemudian memberikan kami bungkusan berisi onigiri, "Aku membuatnya cukup untuk kalian bertiga."
Hei, hei ... kumohon, hentikan! Kau akan membuatku menangis! Aku bahkan tak bisa menatap wajahnya lama-lama. Aku bahkan sedikit tercekat, memikirkan kami akan berpisah dengan orang-orang yang sudah begitu baik dengan kami.
Kami mengucapkan selamat tinggal dan keluar dari penginapan itu.
Sebenarnya ada sebuah pemberhentian bus di dekat penginapan itu, namun kami setuju untuk naik taksi saja untuk kembali ke stasiun kereta. Ryuichi bertanya apa kami membutuhkan tumpangan, namun Shoji menolak dengan halus. Misaki kemudian memanggilkan taksi untuk kami.
Ketika taksi itu tiba, Makiko mengantar kami ke mobil. Situsasi saat itu memang tampak seperti perpisahan yang menguras emosi, namun sebenarnya kami sedang mencoba melarikan diri.
Tepat sebelum aku masuk ke taksi, aku menoleh. Aku melihat pintu menuju ke lantai dua sedikit terbuka. Ini aneh, pikirku, Makiko tak pernah membiarkannya terbuka sebelum ini dan selalu menutupnya rapat-rapat. Aku mengalihkan pandanganku dan masuk ke dalam mobil. Kami mengatakan pada sopir kemana kami akan pergi dan ia menyalakan taksinya.
Namun setelah kami berkendara sebentar dan pengiapan itu tak terlihat lagi, Shoji mengatakan pada sang sopir bahwa ia berubah pikiran dan memintanya mengubah arah. Ia memberikan catatan pada sang sopir kemana ia harus pergi.
"Benar kau mau ke sini?" tanya sang sopir dengan ragu, "Ongkosnya akan cukup mahal."
"Jangan pikirkan itu." Shoji bersikeras. Ia menoleh dan menatap kami berdua. "Aku harus pergi ke suatu tempat dan kuharap kalian berdua ikut denganku."
Takumi dan aku menatap satu sama lain dengan bingung. Kemana kami akan pergi? Kami ingin bertanya, namun kami berdua sangat gugup dengan perilakunya yang aneh sejak pagi ini. Ia mungkin akan marah lagi jika kami menanyakannya, sama seperti ia marah pada Takumi tadi. 2
Namun setelah kami berkendara beberapa saat,
"Hei, mobil itu mengikuti kita. Bukankah mobil itu berasal dari tempat kalian berangkat tadi?"
"Apa?" aku menoleh dan melihat sebuah mobil kecil mengikuti taksi kami. Benar, itu memang mobil dari penginapan. Mengapa mereka mengikuti kami?
Mobil itu semakin dekat dan kami bisa melihat Ryuichi melambai dari kursi depan. Kami berpikir apa mungkin kami meninggalkan sesuatu di penginapan dan meminta sopir taksi untuk berhenti. Ryuichi berhenti tepat di samping mobil kami dan menghampiri kami.
"Kalian tak bisa pulang begitu saja!" katanya.
"Kami takkan pulang," jawab Shoji, "Kami tak bisa pulang dengan keadaan seperti ini!"
Mereka sepertinya mampu memahami perkataan satu sama lain, namun aku dan Takumi kebingungan. Kami tak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan.
"Hei, apa yang kalian maksudkan?"
"Kalian naik ke sana, kan?" ia menatap langsung ke mataku.
Jantungku berdetak sangat kencang. Bagaimana ia bisa tahu? Aku merasa sangat takut. Aku merasa seperti ketahuan telah melakukan sesuatu yang sangat buruk.
"Ya." aku menjawab dengan jujur.
Ryuichi menghela napasnya, "Jika kalian pergi seperti ini, kalian hanya akan membawa-nya bersama kalian. Kenapa kalian harus naik ke atas sana? Seharusnya aku dengan tegas melarang kalian untuk naik ke sana."
Apa yang ia maksud? Membawanya bersama kami? Tapi, bukankah kami sudah mengakhirinya dengan pergi dari tempat itu?
Aku mulai cemas dan menatap Takumi. Namun ia sama cemasnya dengan kami. Ia menatap Shoji dan Shoji akhirnya berkata.
"Tak apa-apa, teman-teman. Kita akan diruwat. Kita akan membicarakannya ketika kita sudah sampai di sana."
Diruwat ? Semacam upacara? Aku tak mempercayainya. Apa kami kerasukan? Apa aku akan mati? Sial...sial! kenapa aku harus naik ke sana? Jika kami memang tak boleh naik sana, seharusnya sejak awal mereka mengatakannya kepada kami!
Perkataan Shoji sama sekali tak membuat Ryuichi terkesan.
"Upacara penyucian?" tanyanya.
"Ya." jawab Shoji dengan singkat.
"Kau bisa melihatnya, ya kan?" tanya Ryuichi lagi.
Shoji terdiam.
"Tunggu, apa yang kau lihat!" Takumi menuntut penjelasan.
"Maafkan aku, tapi tolong jangan tanyakan itu padaku."
Tanpa berpikir, aku segera meraih Shoji dan mengguncang-guncangkan tubuhnya, "Demi Tuhan! Apa yang terjadi! Katakan pada kami!"
Ryuichi berusaha memisahkan kami, "Hei, hentikan! Seharusnya kalian berterima kasih kepadanya."
"Tapi ia tak mau mengatakan apa yang terjadi! Kami berhak tahu!" emosiku mulai meninggi.
"Kalian beruntung kalian tak bisa melihatnya." seru Ryuichi, "Justru Shoji yang dalam masalah sekarang."
Mendengarnya, wajah Shoji berubah pucat.
"Apa yang sebenarnya terjadi? Aku yang naik ke sana, bukan dia!" seruku.
Ryuchi menjawab, "Kalian berdua tidak melihatnya kan?"
"Kalian terus berbicara tentang melihatnya dan tidak melihatnya. Apa yang sebenarnya kalian bicarakan?" tanyaku.
"Aku tak tahu." hanya jawaban itu yang meluncur dari mulut Ryuichi.
"Apa?" teriakku. Bagaimana ia bisa mengatakan hal seperti itu sementara nyawa kami mungkin terancam?
"Aku sendiri belum pernah melihatnya. Namun ...." Ryuichi menatap Shoji, "Walaupun kalian mendapat upacara penyucian, aku pikir itu takkan banyak membantu."
"Kenapa?" Shoji bertanya dengan tatapan penuh keraguan.
"Sesuatu seperti ini pernah terjadi sebelumnya. Hanya itu yang bisa kukatakan."
"Tidakkah ... tidakkah kita bisa mencoba? Siapa tahu itu bisa berhasil?" Shoji bersikeras.
"Ya, kalian bisa saja mencobanya. Namun jika itu tak berhasil, apa yang akan kalian lakukan?"
Shoji tak mampu menjawabnya.
"Begitu kau melihatnya, maka hal itu akan akan terjadi sangat cepat."
Aku sama sekali tak paham apa yang dimaksudkannya datang dengan cepat, namun begitu mendengarnya, Shoji langsung menangis. Takumi dan aku hanya berdiri di sana, tak tahu harus berbuat apa.
Merasa ada sesuatu yang terjadi, sang sopir taksi membuka jendela mobilnya dan memanggil kami, "Apa semuanya baik-baik saja?"
Kami tak mampu menjawabnya. Shoji sudah ambruk di tanah, berlutut sambil menangis. Ryuichi-lah yang kemudian berbicara dengan sopir itu.
"Maaf sudah membawa anda sejauh ini, namun bisakah anda menurunkan mereka di sini saja?"
"Hah? Tapi ..." ia menatap ke arah kami, tak yakin dengan apa yang harus ia lakukan. Ryuichi tak mengindahkan tangisan Shoji dan berbicara kepadanya.
"Kalian tahu kenapa aku sampai mengejar kalian sampai ke sini? Aku mengenal seseorang yang tahu mengapa ini semua terjadi. Aku ingin membawa kalian kepadanya sehingga ia bisa membantu kalian. Kita tak punya banyak waktu. Kumohon, percayalah kepadaku!"
"Ba ... baik ..." Shoji masih terisak. Tampak ia seakan-akan menanggung beban yang sangat berat sendirian di pundaknya. Semenjak kami mulai bersahabat, tak pernah aku melihatnya menangis seperti ini. Mendengarnya menyetujui saran Ryuichi, akupun berbicara dengan sang sopir taksi.
"Maaf, tapi sepertinya kami akan turun di sini saja. Berapa ongkosnya?" setelah membayar, kami masuk ke dalam mobil Ryuichi. Takumi dan aku duduk di bak belakang, sementara Shoji duduk bersama Ryuichi di kursi depan.
Ryuichi melajukan mobil ini secepat setan. Baik aku dan Takumi ketakutan, tak tahu apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang akan kami alami setelah ini.
Aku tak tahu berapa lama kami berkendara, namun sepertinya sangat jauh. Yang kuingat, ketika sampai, punggungku terasa sangat sakit.
Kami akhirnya berhenti di depan sebuah rumah yang tampak sangat normal. Di samping rumah itu berdiri sebuah torii (gerbang kuil) kecil dan tangga batu. Kami berjalan ke rumah itu dan Ryuichi menekan belnya. Setelah beberapa lama, seorang wanita keluar menyambut kami. Ia terlihat masih muda, sekitar 20 tahun.
Ia meminta kami masuk dan mengajak kami ke sebuah ruangan bergaya Jepang di bagian lain rumah tersebut. Di ruangan itu, duduk seorang biksu, seorang pria paruh baya, dan seorang lelaki tua. Ketika kami masuk, sang pria tua mulai berkomat-kamit.
Biksu itu hanya menatap kami ketika kami datang.
"Duduklah!" perintah biksu itu. Kamipun duduk dan Ryuichi duduk di samping kami.
"Ini tiga anak yang saya ceritakan kemarin ..."
"Tunggu!" tiba-tiba sang biksu menyetop perkataan Ryuichi saat ia memperkenalkan kami.
"Apa kalian yakin kalian tak membawa orang lain?" tanya sang biksu sambil memperhatikan lekat-lekat pintu geser kertas yang ada di samping kami.
Aku menoleh, dan tetap, aku tak melihat apapun di balik pintu kertas itu. Namun aku memperhatikan raut wajah Shoji amat ketakutan.
Biksu itu menoleh ke arah kami, "Jadi mana anak yang katamu bisa melihat mereka itu?"
"Shoji, anak ini." ketika Ryuichi mengatakan hal itu, pria paruh baya dan pria tua itu saling menatap satu sama lain.
Sang biksu kemudian berbicara.
"Apa dia juga yang masuk ke dalam kuil?"
"Tidak." Ryuichi menggeleng, "Itu adalah Yuuki."
"Hmm..." hanya itu yang bisa dikatakan biksu itu.
"Shoji hanya di luar dan hanya mengamati, kurasa." sambung Ryuichi.
"Begitukah?" biksu itu terdiam sesaat lalu berbicara dengan Shoji, "Apa ini kali pertamanya kamu mengalami hal seperti ini?"
"Mengalami hal seperti ini?" ia bertanya, tak yakin dengan apa yang dimaksud biksu itu.
"Ya, melihat roh atau hal-hal seperti itu."
Shoji mengangguk, "Ini kali pertamaku."
"Jadi begitu? Hmm...ini cukup aneh."
"A...." Shoji tampak hendak berbicara dan semuanya menoleh ke arahnya.
"Bicaralah." kata sang biksu.
"Apa aku akan mati?" ia tampak bergetar saat mengatakannya.
"Ya," sang biksu menjawab tanpa tedeng aling-aling, "Jika ini terus berlanjut, kau pasti akan mati."
Shoji kehilangan kata-kata. Gemetarnya berhenti seketika dan kepalanya menunduk.
Melihatnya, Takumi langsung berbicara, "Apa maksud anda dengan dia akan mati?"
"Maksudku ia akan dibawa pergi," sang biksu menjawab. Takumi dan aku masih tak mengerti dengan apa yang ia maksud. Sesuatu akan membawa Shoji pergi?
Sang biksu melanjutkan perkataannya,
"Aku tak terkejut kalian tak memahami perkataanku." Ia berpaling kepadaku, "Yuuki, ketika kamu masuk ke dalam kuil, apa kamu merasakan ada yang aneh?"
Kuil? Aku mengasumsikan yang ia maksud adalah lantai kedua hotel itu.
"Aku mendengar sesuatu. Suara garukan dan ada suara napas yang aneh. Ada banyak jimat menancap di pintu ..."
"Begitu," kata sang biksu, "Kamu mungkin tak menyadarinya, namun yang tinggal di sana bukanlah manusia."
Aku tak terkejut. Aku sudah menduganya sejak awal.
"Aku percaya bahwa kau dapat merasakan keberadaan mereka dengan indra pendengaranmu. Sedangkan Shoji, temanmu, bisa merasakan mereka lewat indra penglihatannya." biksu itu menjelaskan, "Biasanya manusia tak mampu merasakan mereka. Mereka tinggal di suatu tempat, tanpa ada yang memperhatikan, meringkuk dalam kesunyian.
"Shoji," ia berpaling ke temanku itu, "Apa kau melihatnya sekarang?"
"Tidak, namun aku bisa melihat bayangannya," ia menoleh dengan gugup, menatap pintu geser kertas yang berada di samping kami. "Ia mencakari pintu dengan sangat keras."
"Ia tak bisa masuk. Aku melindungi tempat ini, namun tetap saja ia berusaha menghancurkan pelindung itu." Ia berhenti beberapa saat sebelum kembali melanjutkan, "Tapi kalian tak bisa tinggal di sini selamanya. Aku akan meminta kalian pergi ke suatu tempat. Dan Shoji, kau harus mengerti... mereka akan mencoba muncul kembali di hadapanmu. Aku sadar ini akan sangat sulit bagimu. Namun kau harus tetap tenang dan mengikuti apapun perintahku."
Shoji hanya mampu mengangguk tanpa menjawab sepatah katapun. Kami mengikuti biksu itu dan meninggalkan rumah yang melindungi kami. Kami berjalan masuk ke torii dan menaiki tangga batu itu ke atas. Ryuichi hanya mengikuti kami sampai ke luar rumah. Ia kemudian membungkuk dan meninggalkan kami di tangan biksu itu.
Merasa ditinggalkan oleh satu-satunya orang yang kami kenal, kami bertiga mengikuti biksu itu dengan enggan. Shoji terlihat sangat lelah dan ketakutan. Berupaya melindunginya, aku dan Takumi berjalan sambil mengapitnya. Kami berusaha sebisa mungkin menjaganya dari apapun yang ia lihat.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Creepypasta Indonesia, Riddle Indonesia, Cerita Seram, Cerita Hantu, Horror Story, Scary Story, Creepypasta, Riddle, Urban Legend, Creepy Story, Best Creepypasta, Best Riddle, short creepy pasta, creepypasta pendek, creepypasta singkat