Wednesday, September 20, 2017

BORRASCA - Bagian 3

“Menurutmu, Kimber menyalahkan diri sendiri?”

“Nggak tahu. Bisa saja.” Aku meregangkan tubuh di bangku Chevyku dan menarik ujung topi turun sehingga menutupi mata.

“Menurutmu dia akan baik-baik saja, ‘kan?”

Aku tak menjawabnya. Saat kehilangan Whitney, jelas aku tidak baik-baik saja, dan bahwa Kimber lebih dekat dengan ibunya dibanding aku dengan kakakku, merupakan fakta tak terbantahkan. Whitney jelas tidak baik-baik saja.

“Sam … aku benar-benar kalut. Ini sudah dua hari.”

Kulepas topi dan menoleh ke arah Kyle yang memang terlihat amat kacau. Matanya sangat merah, wajahnya pucat, dan rambut merahnya itu benar-benar kusut.

“Ibunya bunuh diri. Kau tahu sendiri betapa dekatnya dia dengan Ibunya. Dia cuma butuh waktu menenangkan diri, nanti, dia bakal pulih, kok.”

“Dia tidak mengangkat telepon atau membalas smsku. Pesan suara yang kutinggalkan kayaknya sudah lebih dari sepuluh. Aku bakalan gila kalau seperti ini terus.”

“Beri dia ruang, Kyle.”

“Iya. Tapi dia- dia- … “ Kyle tak mampu meneruskan kalimatnya. “Seharusnya, aku selalu menjaganya.”

Kusetel bangku mobil sehingga dalam posisi tegak. “Begini, Kyle, aku tahu kau ingin membantu. Aku juga. Tapi telepon kita nggak juga dibalasnya. Dia belum muncul juga di sekolah. Bahkan membuka pintu saat kita mampir juga tidak. Kimber masih belum ingin menemui kita, dan kita harus mengerti hal itu. Saat ini, cuma dia yang tahu apa yang terbaik buat dirinya.”

“Mengenai pesan bunuh diri itu, menurutmu, punya hubungan tersendirikah?

Aku mendesah.

“Pesan itu bukan sesuatu yang pasti, Kyle. Ayahnya saat itu sedang gusar dan emosinya kacau, lagipula, bisa jadi aku cuma salah dengar saat dia mengatakan hal itu. Saat kutanyakan ke ayah, dia juga bilang nggak ada pesan bunuh diri atau semacamnya.”

“Ya! Ayahmu kan Si Sumber Kebenaran!” Saat kulirik, wajah Kyle langsung menunjukan ekspresi menyesal. Aku hanya mengabaikannya.

“Aku tak tahu apa yang mesti kupercaya.”

Namun, kebenarannya adalah aku tahu betul apa yang kudengar. Tuan Destaro memang benar mengatakan sesuatu mengenai pesan. Namun, aku tak bisa mengatakan pada Kyle mengenai hal itu. Setidaknya untuk saat ini. Dia sudah terlalu khawatir bahwa hubungannya dengan Kimber merupakan salah satu penyebab ibunya menjadi begitu depresi.

Sebelumnya, aku sudah menanyakan tentang surat itu pada ayah saat dia pulang setelah malam panjang itu. Ayah hanya mendesah sembari mengelus kepala dengan kedua tangannya. Dalam kelelahan yang sangat, dia berkata, “Sam, Ayah tak tahu mesti bilang apa. Anne Destaro tidak meninggalkan pesan bunuh diri dan sejujurnya, ini pertamanya Ayah dengar mengenai hal itu.”

Dengan sahabat baik yang sdang berduka dan penyelidikan yang tertunda, aku dan Kyle sampai pada keadaan yang tak menentu. Kami malas-malasan untuk datang ke sekolah, membolos dari kelas, melewatkan tes akhir tahun dan mengisap ganja lebih banyak dari biasanya. Tanpa Kimber yang kerap menjadi sosok penengah, kami benar-benar menjadi malas, murung, dan tak bertanggungjawab. Aku tak penah menyangka betapa tergantungnya kami akan sosoknya.

Aku dan Kyle membolos dua mata pelajaran terakhir dan berdebat haruskah kami berangkat sekolah besok –yang merupakan hari terakhir tahun kedua kami- atau tidak. Kami memutuskan untuk hadir hanya sampai pada kelas kedua saja, yang sungguh kusyukuri sebab, Kimber muncul di kelas Biologi.

Awalnya, aku tidak melihatnya. Aku sedang telungkup bertumpu keduatangan di meja saat kemudian, sebuah tangan lemah menepuk pundakku. Aku menoleh dan mendapati Kimber berdiri dengan muka gundah dan lesu. Aku tersenyum lemah dan memeluknya. Namun, hal itu bukanlah pelukan khas Kimber. Pelukan itu jauh lebih lama dan lemah, aku merasa begitu ingin melindunginya sehingga merasa sedih saat berakhir.

“Gimana kabarmu, K?” tanyaku saat dia melepas pelukan.

Kimber menyeka air mata di pipinya. “Aku baik.” Kemudian dia menyunggingkan senyum rapuh, dan aku tahu dia tidak baik-baik saja.

Kuberi dia pelukan cepat lainnya, dan Phoebe Dranger melayangkan tatapan sebal ke arah kami. “Sudah bertemu Kyle?”

“Tidak. Sehabis ini aku ada kelas bareng.”

“Dia benar-benar khawatir.”

“Iya,” ujarnya dengan melempar pandang ke arah lantai. “Di rumah … semuanya terasa sangat berat.”

“Sudahlah,” ucapku, “kami selalu ada untukmu.”

“Iya. Itu yang kuharapkan.”

“Kapanpun dan apapun yang kau butuhkan.”

Karena hari itu merupakan hari terakhir kami, Tuan Fonder membagikan hasil tes dengan riang dan membiarkan kami mengobrol sepanjang sisa waktu. Kimber berbicara mengenai persiapan upacara pemakaman akhir pekan nanti dan mencaci, karena aku dan Kyle membolos tes akhir hanya demi ganja. Saat bel terakhir berbunyi, Kimber nampak senang sekaligus gugup karena akan bertemu Kyle. Saat berkemas-kemas, kuyakinkan padanya bahwa Kyle tidak marah, dia hanya mengkhawatirkannya. Kimber menyengkeram tali tas, mengeraskan rahang dan mengangguk. Dia berusaha begitu keras untuk menenangkan diri.

Begitu Kyle melihat Kimber dari ujung lorong, dia membanting pintu loker dan berjalan menghampiri kami dengan begitu tegang. Jujur saja, aku khawatir jika dia memang benar-benar marah. Dia mendorong lusinan orang tanpa mengalihkan tatapan ke arah kami sedikit pun. Saat akhirnya sampai di depan kami, Kyle melempar tasnya hingga membentur dinding dan merenggut Kimber sedemikian rupa, hingga adegan itu sungguh mirip layaknya adegan dramatis dalam film-film lawas. Semua orang yang melihat hal ini, termasuk aku, mengerang bersamaan.

Karena para guru sepertinya tidak memperdulikan daftar hadir, aku masuk kelas kalkulus bersama Kimber dan Kyle, di mana mereka berbincang mengenai topik yang sama dengan yang kubincangkan saat kelas terakhir sebelumnya. Menjelang kelas bubar, percakapan itu berubah menjadi tegang dan menggelisahkan. Kyle dan aku bertukar pandang lewat atas kepala Kimber, dan aku mengangguk padanya.

“Kimber,” ujar Kyle pelan. “Apa ibumu meninggalkan semacam surat?”

“Hah?” tanya Kimber kaget.

“Kudengar ayahmu bicara mengenai surat atau pesan saat itu –di hari itu … Pada hari Selasa itu,” kataku.

“Oh.”

Kami menunggu dia menjawab, namun kemudian bel berbunyi. Semua orang keluar, kecuali kami.

“Kimber,” ucapku akhirnya.

Dia mendesah sedih dan menatap Kyle. “Ya.”

“Apa isinya?” tanya Kyle gugup.

“Aku tidak tahu. Aku belum melihatnya. Waktu kutanya ayah tentangnya, dia bilang kalau aku pastilah sudah salah dengar. Tidak ada surat semacam itu. Ayah bilang agar aku tak membahas hal ini pada siapa pun, sebab, hal itu akan membuat orang-orang gusar.”

“Jadi … kita berdua telah salah dengar,” ujarku. “Dan hal itu sungguh kebetulan yang terlalu kebetulan.”

“Aku kenal ayahku. Aku tahu benar saat dia sedang bohong.”

Siswa lain mulai masuk kelas untuk mata pelajaran selanjutnya, mereka memberikan tatapan simpatik pada Kimber. Karena saat itu merupakan waktu makan siang kami, aku dan dua temanku pergi menuju mobil seperti yang biasa kami lakukan. aku duduk di bangku belakang, membiarkan Kimber dan Kyle berduaan di depan.

Kimber menghela nafas dalam-dalam dan melanjutkan. “Aku tahu ayahku berbohong, dan aku tahu dia menyimpan suratnya.”

“Kau yakin?” tanya Kyle. Aku paham bahwa Kyle merasa ngeri kalau-kalau isi di dalamnya, menyangkut-nyangkut namanya sebagai sumber depresi ibu Kimber.

“YA. Dan aku tahu di dalamnya menyebut-nyebut nama Prescott. Kurasa, aku tahu di mana ayah menyimpannya.”

“Prescott?” Namun, entah kenapa, aku tidak merasa terkejut. Dia merupakan pusat segalanya, khususnya saat hal-hal buruk terjadi.

“Bagaimana kau tahu ada nama Prescott di dalamnya? Tanya Kyle.

“Aku dengar ayahku saat bergumam membacanya. Kurasa, dia sering sekali membacanya. Dia terisak dan membisikan kata-kata, dan membanting barang-barang di ruang kerja. Ayahku … keadaannya buruk.”

“Apa kau pikir ibumu berselingkuh dengan Jimmy Prescott?”

Aku menggeleng. “Kurasa … kau harus melihatnya dalam gambaran yang lebih besar, Kyle.”

“Aku setuju,” ucap Kimber sambil menatap kedua tangannya yang dipangku. “Dengan segala informasi yang kita tahu mengenai keluarga Prescott, aku cukup yakin kalau ini bukanlah masalah perselingkuhan. Semuanya saling terkait. Kalian berpikir seperti itu, nggak? Ayah merupakan cinta sejati ibu, namun surat itu ditujukan padaku. Kurasa, ibu menyalahkanku alih-alih ayah. Kurasa, ibu melakukan sesuatu padaku. Atau mungkin … ibu mengakhiri hidupnya karena aku.” Suara Kimber pecah saat dia mengucap kalimat terakhir. Kyle merengkuhnya, mengecup kening gadis malang itu dan membisikan kata-kata yang tak bisa kudengar.

“Jadi … kita mesti mendapatkan surat itu,” ujarku setelah memberi mereka waktu.

“Ya. Aku perlu membacanya.” Suara Kimber masih bergetar.

“Bagaimana caranya?” tanyaku.

“Jika di ruang kerja, kita cuma perlu menunggu ayahnya pergi,” ucap Kyle sambil menerawang pada pemandangan di luar jendela.

“Pikirmu aku belum merencanakan itu?” desah KImber. “Ayah tak pernah meninggalkan ruang kerja sejak kami pulang dari rumah sakit. Dia tidur di sana.”

“Jadi, kita perlu membuatnya keluar.”

“Nggak. Kita perlu cara untuk membuatku masuk. Besok pemakaman ibuku, dan setengah dari Drisking akan hadir, termasuk ayah. Aku perlu waktu untuk bisa pergi tanpa diketahui olehnya.”

“Gampang,” ucapku.

“Tanpa ayah tahu, loh! Dan aku harus bisa kembali sebelum acara berakhir.” Kami berdua mengangguk namun tetap bungkam, sebab, Kimber seperti menahan beban berat untuk mengucap kata-kata selanjutnya.

“Ayah … dia menjadi begitu dingin. Kurasa … dia menyalahkanku,” ucap Kimber akhirnya.

“Omong kosong!” dengus Kyle.

“Kalian bisa bantu aku, ‘kan?”

“Pasti.”

“Tentu.”
Kami menghabiskan sisa waktu dengan menyusun rencana yang mungkin diperlukan. Aku dan Kyle akan mengajak ngobrol Tuan Destaro, kemudian Kyle akan mendapatkan sms dari Kimber yang berisi bahwa Kimber merasa sangat sedih dan menangis di kamar mandi. Kyle akan pergi untuk menenangkannya dan mereka akan membawa mobilku ke rumah keluarga Destaro. Aku akan tetap di sana untuk mengawasi ayah Kimber sementara itu, mereka berdua menyelesaikan bagian selanjutnya.

Sore itu aku bekerja lagi sejak hai Senin. Meera nampak dalam suasana hati yang lebih bagus dan mengijinkanku untuk pulang lebih awal. Namun, aku tak bisa tidur nyenyak. Aku bangun pukul 4 dan mencari-cari baju berwarna hitam untuk kukenakan pada acara pemakaman.

Ayah menengokku sebelum berangkat kerja dan mendapati anaknya yang berambut kusut sedang panik mencari setelan warna hitam. Dia tersenyum iba dan meminjamkan salah satu miliknya. Selain mempunyai wajah yang luar biasa mirip, postur tubuh kami juga sama besar, sehingga untuk masalah seperti ini bisa dipecahkan dengan gampang. Aku berterima kasih, dan menitip salam sekaligus permohonan maaf pada Kimber karena harus bekerja.

Pemakaman Anne Destaro diadakan di gereja Episcopalian di pinggiran kota. Aku menjemput Kyle pukul 9 dan melihatnya menggunakan setelan ayahnya juga, hanya saja, ukurannya tidak sepas diriku. Kyle tidak beruntung karena tubuhnya lebih kecil dari ayahnya.

Kami memarkir mobil sejauh mungkin dari gereja. Kami berharap tak seorangpun melihat saat nanti, ada sebuah mobil yang pergi dari tempat itu.

Saat memasuki gereja, kami melihat bahwa Kimber tak perlu banyak akting untuk menunjukan orang-orang betapa bersedihnya dirinya. Kami mendapati dirinya di belakang ruang sedang duduk di kursi kayu dengan wajah tertutup rambut oranye kemerahan dan air mata.

Kyle duduk di sampingnya dan merengkuhnya. “Oh Tuhan. Ada apa, Kimber?”

Kutendang kakinya karena belum saatnya berakting dan mendelik, seolah mengucap “yang benar saja!” Kyle menggigit bibir. “Eh maksudnya- ah kampret!”

“Nggak ada siapapun di sini,” bisik Kimber dari dada kyle. “Ibuku besar di sini, dia punya ratusan kenalan di kota, tapi tak seorangpun yang datang!”

Kami mengamati sekitar dan memang kuakui, ruangan nampak lengang. Hanya beberapa kumpulan dari tiga atau empat orang yang sedang berdiri bersama, ayah Kimber yang duduk di ruang sebelah sambil menutupi muka dengan kedua tangan, dan beberapa keluarga yang kujumpai saat pesta berbekyu di halaman rumah Kimber. Mantan Sherif Clery bersama istrinya hadir, berkumpul bersama beberapa deputi ayah dan berbicara pelan di pojokan. Aku bisa mengerti kenapa Kimber merasa kesal.

Sembari menunggu acara dimulai, aku baru sadar ternyata belum pernah mendatangi upacara pemakaman. Betapa berharapnya aku agar kami bisa mengadakan hal yang sama untuk Whitney, namun takkan pernah bisa, sebab, secara legal, Whitney masih hidup. Sungguh menyedihkan bagiku membayangkan Whitney takkan pernah beristirahat dengan tenang.

Hadirin yang datang berkumpul, dan kemudian, Pastur mengijinkan mereka duduk untuk memulai acara. Aku melihat peti matinya untuk yang pertama kali dan lega karena benda itu dalam keadaan tertutup. Namun, aku masih tak habis pikir kenapa mereka memilih peti mati sederhana, tanpa hiasan secuilpun, dan sejujurnya, boleh kukatakan kalau peti itu sangat jelek. Aku tahu jika keluarga Detaro punya banyak uang untuk bisa membeli sebuah peti bagus. Sungguh pilihan yang bagiku kurasa sebagai penghinaan. Kimber yang malang ….

Aku dan Kyle memapah Kimber untuk berdiri, dan menguatkan mental untuk menjalankan rencana. Namun kemudian Kimber berhenti tiba-tiba. “Aku Siap,” katanya sambilmenyeka air mata dan membereskan rambut.

“Siap ngapain?!”

“Ya berangkat! Aku nggak kuat di sini. Sungguh penghinaan buat ibu!” Kimber menegakkan kepala dan mengeraskan rahang. Aku kenal raut muka ini, artinya, tak seorangpun bisa mendebatnya.

Aku dan Kyle saling menatap. Bukan ini rencananya. Akan terlihat jelas bahwa Kimbr menghilang dari acara, ditambah lagi dengan sedikitnya yang datang.

“Kalian ke tempat ayahku dan alihkan perhatiannya. Kyle, aku akan sms kamu setengah menit lagi.”

Kyle mengangguk dan aku mulai melangkah. Aku tahu tidak ada gunanya membantah dalam titik ini. Tuan Destaro akhirnya berdiri, menatap bangku depan yang dipersiapkan untuknya dan Kimber dengan ragu.

“Tuan Destaro,” sapaku. “Saya ikut berduka. Beliau sungguh … “ Sial! Aku lupa kata-kata yang kupersiapkan!

“-wanita hebat yang membesarkan putri luar biasa,” sambung Kyle.

“Ohya?!” dengusnya. “Apa wanita hebat akan bunuh diri untuk meninggalkan putri luar biasanya sendirian?!”

“Ah…” Sial!

“Apa seorang wanita hebat akan meloncat dari gedung untuk dijadikan bahan tontonan? Dan kemudian, meninggalkan keluarganya untuk menghadapi cibiran dan berduka?”

Ponsel Kyle berdering. Oh, untunglah!

“Oh, ini Kimber,” kata Kyle terlalu cepat. Dia belum benar-benar melihat layar ponselnya. “Oh Tuhan, dia sungguh kacau. Katanya, dia sedang menangis dan tak enak badan. Aku akan menemaninya.”

“Tidak!” bentak Tuan Destaro begitu tiba-tiba sehingga ponsel Kyle terjatuh dan berderak keras saat membentur lantai. “Bukan kamu! Kau tidak boleh menemani putriku! Kau tidak boleh bicara dengannya! Dia boleh pergi,” kata ayah Kimber seraya menunjuk ke arahku.

“B-Baik,” ujarku tergagap. Rencana berubah terlalu banyak. Aku harus mengambil kunci mobil dari Kyle tanpa terlihat. Kyle mengangguk kecil dengan gemetar, kemudian dia dan ayah Kimber duduk. Jelas sekali ayah Kimber mengawasi Kyle. Mengambil kunci darinya sungguh hal yang nyaris mustahil.

Aku mundur ke belakang ruangan yang redup, sementara Sang Pastur memulai acara. Aku mengirim pesan ke Kyle untuk meminta bantuan, namun dia tak berani menyentuh ponselnya. Dia hanya bisa duduk tegak dan kaku sambil melirik cemas ke arah Tuan Destaro nyaris tiap detiknya. Setelah beberapa menit berlalu, aku pergi untuk menemui Kimber, namun, aku tak menemuinya di tempat yang telah disepakati. Rencana kami gagal total.

Kuraih ponsel dan mengiriminya pesan.
Aku: Kau di mana?

Aku: Kyle di sebelah ayahmu. Aku nggak bisa ambil kunci.

Aku menunggu di lorong sambil mengirim pesan dengan gugup. Setelah sekitar satu-dua menit, ponselku bergetar.

Kimber: maaf. Aku pergi tanpa kalian. Aku harus keluar dari sana. Maaf sekali. Aku bakal sampai sebelum acara selesai. Aku janji.

Sial!

Aku: hati-hati.

Sungguh penting agar aku tak terlihat oleh siapapun. Aku masuk ke wc pria, mengunci diri dan bermain Snake selama duapuluh menit terlama dalam sejarah hidupku. Acara takkan berjalan lebih lama lagi, jadi aku mengirimi Kimber sms lagi.

Aku: Sudah dalam perjalanan pulang? Ketemu?

Aku duduk menunggu menit-menit berlalu. Kusms dia lagi.

Aku: Acara bakal selesai sebentar lagi. Kau di mana?

Setelah tujuh menit berlalu tanpa jawaban, aku mencoba meneleponnya namun tersambung ke pesan suara. Aku mencaoba lagi dan hasilnya sama. Sungguh tak bisa kukatakan betapa gugupnya aku. Saat hendak mencoba lagi untuk ketiga kalinya, dan saat ada dua orang masuk ke kamar mandi, ponselku bergetar. Dari Kyle – acara selesai.
Kyle: kuncinya di Kimber. Kenapa kalian belum balik? Kalian menemukan sesuatu?

Aku pergi dari kamar mandi tanpa mencuci tangan sehingga dua orang tadi menatapku dengan jijik. Kudapati Kyle sedang menengok ke kanan-kiri, mencari-cari mobilku lewat jendela.

“Kyle.”

Dia tersentak. “Mana Kimber? Apa yang kalian temukan?’

“Nggak tahu. Dia pergi tanpaku!”

“Hah?! Di mana dia?!”

“Nggak tahu, sumpah! Dia pergi tanpaku!” ulangku. “Telepon atau sms nggak dibalas!”

“Sial! Aku juga!”

“Kita harus mengawasi ayahnya sampai dia kembali!”

“Nggak cuma kita,” ujar Kyle sambil menunjuk ke seberang ruang dengan kepalanya. “Ada apa ini sebenarnya?”

Tiga pria sdang berbicara dengan ayah Kimber di pojokan ruang. Chief di antara mereka adalah Killian Clery, yang diapit oleh dua deputi anyar. Pensiunan Sherif itu menyengkeram lengan Tuan Destaro dan berbicara dengan nada marah dan berbisik. Ayah Kimber berulangkali menggeleng dan menolak sesuatu dengan putus asa. Dua deputi itu kemudian berjalan menuju pintu keluar gereja, dan Tuan Destaro, dengan tubuh terkulai didudukkan Killian Clery di kursi. Ada sesuatu yang tidak beres di sini.

“Telepon Kimber sekarang,” kata Kyle. Kucoba lagi dan kali ini kudengar dua kali deringan sebelum masuk pesan suara. Panggilan kututup dan mengangkat tangan dengan putus asa.

“Lagi!” katanya sambil mengeluarkan ponselnya. Hasilku sama namun merasa kejutan lega saat kudengar ada seseorang yang mengangkat panggilan Kyle. Namun bukan Kimber.

“Phil, kau di mana? Aku butuh tumpangan. Ini darurat!” Aku menunggu.

“Ya. Aku di Gereja Utara. Secepatnya. Aku sama Sam.”

Kyle menutup telepon dan langsung menghubungi Kimber. “Pesan suara juga.”

Kami berdiri menghadap jendela dengan cemas menunggu Mazda perak Phil muncul. Kyle menggigit bibir dan aku mengetuk-ketuk ponsel.

Ayolah, Saunders.

Beberapa kali kami mencuri pandang ke arah ayah Kimber sampai kemudian Clery membangunkannya dan mengantar –setengah memaksa- pria yang nampak tak bisa ditenangkan itu keluar gereja.

Tiba-tiba ponsel Kyle bergetar dan mata kami berdua langsung melihat layar: Kimber. Lutut Kyle seperti nyaris lepas karena lega dan dia bersandar pada dinding.
Kimber: Ketemu!

Kyle membaca pesan dan dengan cepat membalas.

Kyle: mereka datang ke tempatmu, K

Mata kami berdua seakan enggan lepas dari layar ponsel menunggu jawaban. Saat cahaya keperakan dari pantulan sedan silver phil menyilaukan mata kami, satu pesan jawaban masuk.

Kimber: Mereka di sini.

Itu adalah pesan terakhir yang kami dapat dari Kimber. Saat Phil menurunkan kami di kediaman Destaro, kami dapati pintu depan rumah tak terkunci dan tak seorang pun di dalamnya. Mobilku tergeletak begitu saja di tengah jalan dengan kunci menempel di lubangnya.

Aku dan Kyle kembali ke gereja namun acara pemakaman telah usai; segelintir orang yang datang juga telah pulang. Kmi kembali ke rumah Kimber namun keadaan masih sama seperti terakhir kali kami lihat. Pada titik ini, Kyle benar-benar hancur dan tak bisa menahan emosi. Dia menghubungi Kimber tanpa henti, aku cukup yakin, dia membuat baterai Kimber habis. Panggilannya langsung menuju pesan suara, sementara smsnya tak pernah dibalas.

Setelah setengah jam memohon pada Kyle, akhirnya aku menelepon ayah. Dia langsung menjawabnya.

“Sammy? Ada apa?”

“Kimber. Dia hilang, Yah! Kami mencari ke mana-mana tapi tak ada jejak dia dan ayahnya. Dia meninggalkan pemakaman lebih awal, terus Killian Clery bicara dengan ayahnya, kemudian Sampson dan Gregg pergi dan kupikir mereka pergi ke rumahnya dan mereka menangkap Kimber, Ayah. Kupikir mereka masih kerja buat Clery untuk masalah tertentu dan kupikir mereka melakukan sesuatu yang jahat. Kimber-“

“Whoa! Hei! Hei! Pelan-pelan! Bicara di kantor saja. Ayah akan mencatat keterangan dari kalian dan akan Ayah kirim beberapa petugas buat memeriksa rumah mereka sekarang. Tenang, Sam, akan kami urus masalah ini.”

Telepon kututup dan kuputar mobil dengan kasar sehingga roda bagian kiri naik ke trotoar.

“Sam. Sam, apa kita yakin? Apa kita bisa percaya polisi?”

“Bukan polisi. Aku percaya ayahku,” kataku. Suaraku terdengar putus asa, bahkan di telingaku.

Aku langsung menuju kantor Sherif dan Kyle meloncat turun begitu aku melambat untuk memarkir mobil. Saat sampai di dalam, kulihat ayahku sedang memegang pundak Kyle dan mengangguk-angguk murung atas semua keterangan yang Kyle ucapkan. Saat melihatku, ayah memerintah seorang petugas untuk mengantar kami ke ruangannya. Setelah beberapa menit, dia masuk dan duduk di seberang meja.

“Baiklah, aku akan meminta Opsir Raminez sebentar lagi untuk mencatat keterangan kalian. Asal kalian tahu, pada titik ini, nampak sepertinya keluarga Destaro meninggalkan kota tanpa paksaan.”

“Tidak. Tidak, Tuan Walker. Kimber nggak bakal-“

Ayahku mengangkat tangannya agar kami tak bersuara. “Biar kuulang: Jacob Destaro meninggalkan kota secara sukarela. Kimber hanyalah bagian kecil dalam proses rumit ini, dia tak punya hak legal untuk masalah seperti ini. Jika ayahnya bilang pergi, maka mereka akan pergi tanpa harus memperhatikan pendapat Kimber.”

“Tapi dia tidak menjawab telepon dan kami pergi ke rumahnya, Ayah. Mereka tak berkemas sama sekali.”

“Mungkin mereka hanya pergi sebentar. Mungkin ke tempat saudara. Aku tak bisa memberi penjelasan kenapa Kimber tak mengangkat teleponnya, atau mungkin, dia hanya ingin sendirian selang beberapa waktu.”

Kyle tampak sangat gusar. “Tapi-“

“Dengar, aku tahu kalian susah untuk mengerti … tapi kehilangan anggota keluarga bisa sangat mempengaruhi seseorang. Kau tahu hal itu sendiri, Sam. Kami tak tahu bagaimana cara orang untuk mengatasi rasa dukanya, dan kami tak punya hak untuk mengatur bagaimana cara mereka berduka. Kupikir, Kimber pastilah akan kembali saat musim gugur nanti dan kembali bersekolah.”

“Musim gugur?! Sherif Walker, itu dua bulan lagi! Ini harus diselidiki sekarang!”

“Kyle, aku tahu kau gusar, dan tak ada yang bilang kami takkan menyelidikinya secara mendalam.”

“Seperti kau menyelidiki hilangnya Whitney secara mendalam?!” umpatku tanpa penyesalan sedikitpun.

“Sam!” bentaknya keras. Aku belum pernah mendengar bentakan ayah yang sekeras itu sebelumnya. “Aku capek mendengar keluhanmu bahwa aku tak melakukan apapun demi Whitney! Aku menyayangi kakakmu lebih dari yang kau bayangkan. Dia putriku, Sammy! Aku takkan menyerahkan dia pada siapapun!”

“Lantas, bagaimana tentang dua deputi yang meninggalkan pemakaman untuk mengejarnya?” potong Kyle. Ayah menaikan alis padaku.

“Sampson dan Grigg.” Aku menggeram dari geligi yang saling beradu. Dia mendesah. “Sampson dan Grigg pergi dari pemakaman karena aku memanggil mereka.”

Aku berdiri cepat dengan marah bercampur geram yang tak bisa kutahan, sehingga kursiku jatuh berderak. “Yang benar sajalah!”

“Cukup!” Sang Sherif menghantamkan kedua telapak tangannya pada meja dan berdiri.

“Aku sudah mengatakan apa yang kupunya dan kutahu. Aku paham teman kalian penting, dan asal kau tahu saja, sialan! Keluarga Destaro juga temanku! Aku berjanji bakal mengerahkan segala yang kupunya untuk mencari mereka. Camkan ini baik-baik! Dan kupastikan di sini tidak ada yang namanya konspirasi atau hal busuk lainnya! Kalian tak usah ikut campur, biar kami yang tangani ini semua! Sekarang … Ramirez menunggu kalian di lorong untuk mencatat keterangan. Selanjutnya, kalian langsung pulang. Paham?”

Aku tak mengucap apa-apa, hanya melotot ke ayah dengan darah mendidih. Kyle berdiri dan keluar ruang tanpa emosi tersisa. Dia berjalan begitu saja melewati Ramirez dan aku membuntutinya menuju mobil. Kami masuk dan aku menunggu Kyle berkata-kata. Kudengar suara ingus disedot keras-keras dan aku menatap wajahnya yang basah oleh air mata. Itu pertama kalinya aku melihat Kyle menangis. Namun bukan yang terakhir.

“Dia bohong,” desisnya.

Aku menggeleng. Aku benar-benar tak tahu mesti percaya siapa.

Kyle memutar tubuhnya menghadapku. “Aku tahu dia bohong. Sesuatu yang buruk tengah terjadi, dan dia bohong tentang hal itu.”

“Apa? Apa yang tengah terjadi?”

Suara membersihkan hidung terdengar lagi saat Kyle berusaha mengatur emosi.

“Bicara padaku, baik! Menurutmu, apa yang tengah terjadi?!”

“Kimber menghilang seperti yang lain. Jadi dia ada di tempat di mana hal-hal buruk terjadi.”

Aku menghantam setir mobil. Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi? Jangan Kimber, Jangan Kimber! Apa ini semua salahku? Apa ibunya bunuh diri karena perbuatanku? Sesuatu yang kami temukan? Apa Kimber diculik karena aku? Jika hal itu kenyataannya, aku sungguh hancur.

“Jangan. Jangan Kimber, ya Tuhan! Jangan!”

“Iya, Sam! Pikirkan baik-baik, goblok!” bentak Kyle. “Ini tentang rumah pohon itu! semuanya tentang hal yang sama! Borrasca, Skinned Men, Triple Tree, kakakmu, gunung itu; semuanya sama! Ini tentang Kerajaan Prescott dan sekarang Kimber dijadikan tumbal untuk mereka!”

“Jadi bagaimana?” bisa kurasakan air mata keputusasaan mengalir. “Apa- kita mesti bagaimana? Apa yang bisa kita perbuat?!”

Kyle mengangkat tangan dengan frustasi. “Kita harus ke Ambercot. Semua bermula dan berakhir di Triple Tree, Sam. Tentu kau sudah tahu itu.”

“Kita sudah ribuan kali ke sana, Kyle! Nggak ada apa-apa di sana!”

“Sumpah! Aku nggak ngerti mesti ke mana lagi, Sam!”

TAP TAP TAP

Aku terlonjak saat seseorang mengetuk jendela mobil dan segera menyeka air mata dari wajahku. Kuturunkan kaca dan Petugas Grigg membungkuk memeriksa isi mobil. “Kalian langsung pulang, oke?”

“Ya,” ujarku pendek sembari menyalakan mobil. Grigg melambai saat kami keluar dari parkiran, namun kami tak membalas.

“Ke rumah pohon,” ujar Kyle.

Kami berkendara dengan membisu, masing-masing, sibuk dengan pikiran yang berkecamuk dalam kepala dan menenangkan diri. Jika ingin membantu Kimber, pikiran harus jernih dan logis. Aku memarkir mobil di sebelah jalan setapak dan melihat beberapa sepeda yang disandarkan pada tanda masuk. Saat kami mulai mendaki, kami berpapasan dengan Parker dan beberapa temannya sedang turun.

Aku mengangguk, namun pandangan Kyle tetap lurus ke depan. Saat sampai di Ambercott, hari sudah mulai gelap. Hanya tersisa sedikit cahaya yang membantu kami menemukan apa yang Kyle harap bisa ia temukan. Satu setengah jam berlalu hingga akhirnya, aku bisa meyakinkan Kyle bahwa tak ada apapun di sana yang bisa membantu kami menemukan Kimber.

Walau kami tak pernah mengatakannya, aku tahu bahwa dia dan aku sama-sama memasang telinga baik-baik akan suara-suara yang muncul di malam hari dengan sangat was-was. Kami takut, benar-benar ngeri, jika suatu saat mendengar suara gesekan, lengkingan logam yang saling beradu, dari monster di Borrasca yang sudah begitu akrab di telinga bertahun-tahun lamanya. Ketakutan akan suara itu tak mampu tergambarkan, kami berdua berharap sungguh-sungguh takkan pernah mendengar suara itu lagi, dan kami berusaha tak menyebutnya.

Kuturunkan Kyle di rumah dan berjanji akan menemukan Kimber besok. Aku bersumpah akan menemukannya. Dia hanya membalas dengan anggukan lemah dan masuk, menghilang di balik pintu dengan lesu. Ayah sedang menungguku di dapur saat aku pulang beberapa menit kemudian. Aku tidak menatapnya dan berjalan menuju kulkas, sadar tak makan apapun seharian.

“Sammy. Duduklah, Ayah ingin minta maaf atas hari ini.”

Kuambil ayam dan keju kemudian pergi ke pantry untuk meraih roti.

“Ayah paham kau takut. Dan Ayah tahu begitu banyak hal terjadi tanpa sepemahamanmu,” ucapnya dengan mendesah. “Anne … dia mengalami depresi sejak begitu lama, Sam. Sejak duapuluh tahun lalu. Sungguh beban yang begitu berat bagi siapa pun.”

Aku mengabaikannya dan melanjutkan membuat sandwich. Isi dalam diriku telah begitu hampa, bertanya-tanya apakah bisa memercayai pria yang kupanggil ‘Ayah’ selama sisa hidupku.

“Dia begitu menderita, Sam, dan kadang, orang yang menderita begitu dalam, tak tahu jalan keluar lain. Dia tahu depresinya menyakiti suami … dan putrinya. Dan mungkin, dia keliru dengan menganggap tindakannya bisa mengakhiri derita mereka.”

“Ibu juga depresi,” ujarku tanpa mengalihkan pandangan dari apa yang sedang kukerjakan.

Dia menghela nafas. “Ibumu pura-pura baik-baik saja, hal ini sangat berbeda, Sam. Ibu Kimber sudah depresi sejak umurnya duapuluh tahun. Pada awal pernikahan, begitu banyak masalah yang ia hadapi. Masalah kesuburan bisa jadi masalah serius bagi beberapa pasangan, bahkan kelahiran Kimber tidak serta merta menghapus lukanya.”

“Dengan segala hormat, Yah, aku capek dan mau tidur. AKu dan Kyle harus bangun pagi dan mencari Kimber.” Kulempar pisau di wastafel sehingga menghasilkan dentangan nyaring. Kemudian, kutatap ayah untuk pertama kalinya sejak aku masuk. “Bilang padaku, kalau kalian masih terus mencari Kimber. Tolong.”

Sang Sherif berdiri. Dia terlihat kacau dan lelah sama sepertiku. “Ayah janji, Sammy.” Dan akhirnya … aku memercayainya.

Keesokan pagi, saat menepikan mobil untuk menjemput Kyle, Parker keluar menemuiku.

“Hai, Parker,” sapaku sambil menurunkan kaca jendela.

“Kyle nggak ada. Dia pergi sekitar jam 5 tadi. Dia mencuri mobil ayah. Ayah marah besar, mendingan kau pergi.”

“Oh … Thanks, yah,” kataku untuk kemudian menutup kaca jendela dan segera memacu mobil. Sepanjang pagi aku mencari-cari Kyle dan meneleponnya, namun baru menjelang sore dia mengangkatnya.

“Maaf. Aku nggak bisa tidur.” Kyle terdengar sedikit lebih tenang dari kemarin.

“Nggak apa-apa. Kau di mana?”

“Tepatnya aku tak tahu. Di sini aku dapat sinyal.”

“Kau di dalam hutan?”

“Ya. Dia di luar sana, Sam. Di suatu tempat di antara bukit-bukit. Aku bisa merasakannya. Aku tahu itu.”

“Baiklah. Boleh aku menemuimu?”

“Ok. Datang saja ke jalur barat. Kita ketemu di sana.”

Hanya sekitar lima menit dari tempatku berada, aku segera berangkat sebelum Kyle berangkat sendirian lagi. Dodge Ram merah Tuan Landy diparkir dengan sembarangan, kupikir, saat kami kembali nanti, mobil itu pasti sudah diderek. Aku ragu Kyle perduli akan hal itu.

Aku bersidekap dan bersandar pada mobil sambil menunggunya dengan tak sabar. Saat Kyle muncul setengah jam kemudian, dia dipenuhi keringat, debu, dan keputusasaan.

“Gimana?” tanyaku sambil beranjak.

“Tak ada hasil.”

“Baiklah. Ayo terus mencari.”

Kami mendaki bermil-mil jauhnya hari itu namun tak menemukan sedikitpun tanda-tanda kehidupan. Hari-hari setelahnya, saat matahari muncul, kami berdua berangkat. Kyle semakin putus asa seiring lewatnya waktu: melanggar batas properti pribadi untuk mencari peralatan pertukangan, dan menyisir sekaligus memetakan tambang-tambang di negara bagian untuk mencari bangunan-bangunan kosong. Namun pegunungan itu terlalu besar, dan jarum telah terkubur begitu dalam di tumpukan jerami. Seiring berlalunya hari-hari, begitu juga dengan kewarasan Kyle.

Tiap kali aku memandang ayah, dia hanya memberikan raut muka murung dan berjanji bahwa mereka akan terus melakukan pencarian. Jelas bagiku bahkan ayah juga semakin khawatir. Rumah Destaro tetap kosong dan segelap langit tanpa bintang di atasnya.

Pada hari kesebelas tanpa keberadaan Kimber, aku terbangun dari tidur tak nyenyakku oleh desingan, lengkingan suara kematian dari Borrasca. Tangisku meledak bercampur jeritan. Suara itu merupakan tanda remuknya harapan, tanda sebuah kenyataan pahit telah terjadi. Tak bisa kubayangkan betapa menderita dan hancurnya Kyle.

Kami gagal menyelamatkannya.

Kimber telah pergi.

No comments:

Post a Comment

Creepypasta Indonesia, Riddle Indonesia, Cerita Seram, Cerita Hantu, Horror Story, Scary Story, Creepypasta, Riddle, Urban Legend, Creepy Story, Best Creepypasta, Best Riddle, short creepy pasta, creepypasta pendek, creepypasta singkat