Wednesday, September 20, 2017
Revenant - Bagian 1
Namaku Jeff, 27 tahun. Sudah setahun ini aku menjabat sebagai supervisor yang mengepalai 4 orang staff. Mereka adalah Annie, Claire, Simon dan Andrew.
Aku bersyukur memiliki mereka di timku. Mereka adalah staff dengan kinerja terbaik yang pernah kukenal. Sebagai contoh, mereka tidak pernah terlambat ketika masuk kerja. Ketika aku datang 5 menit sebelum jam kerja dimulai, mereka sudah pasti ada di meja masing-masing sambil minum kopi dan mengobrol satu sama lain.
Prestasi tim kami sangat gemilang di kantor. Tidak pernah ada target kerja yang meleset selama tim kami berdiri. Namun suatu hari, sebuah musibah tiba-tiba datang. Claire kecelakaan, dan koma selama beberapa hari. Andrew segera mengambil cuti untuk menjaga Claire. Saat itulah baru aku mengetahui bahwa diluar kantor keduanya menjalani hubungan.
Sejak itu, kondisi tim kami mulai aneh. Annie dan Simon bahkan tidak bertegur sapa satu sama lain.
"Tidak... tidak ada masalah sama sekali Jeff, kami hanya sibuk dengan pekerjaan yang menumpuk semenjak Claire dan Andrew tidak di sini." Begitu kata Annie.
Sampai suatu hari, aku mendengar kabar dari Andrew bahwa Claire kembali sadar dan Andrew akan mulai kembali bekerja besok. Itu bagus, pikirku. Sayangnya, kondisi timku tidak kembali lagi seperti dulu.
Tidak ada lagi obrolan-obrolan santai ketika kami bekerja, bahkan setelah Claire pulih dan kembali ke kantor. Setelah beberapa hari, Claire mengajakku makan siang -tapi tidak mengajak Andrew.
"Aku sudah putus darinya," jawab Claire saat kutanya.
"Claire, dengar. Kita berlima adalah sahabat. Aku tidak masalah kau putus dengan Andrew, tapi kalian tidak bisa bermusuhan seperti itu saat bekerja."
"Tidak ada bedanya Jeff, aku tetap profesional dalam pekerjaan. Bukankah itu yang terpenting?"
"Y-ya.... ya, kau benar."
Aku tidak tahu apakah tindakanku mencampuri urusan mereka bisa dibenarkan atau merupakan satu hal yang salah. Mungkin memang seharusnya aku bertindak profesional layaknya seorang atasan. Lagipula, selama pekerjaan kami selesai dengan baik kurasa tidak ada masalah.
Namun, entah mengapa aku merasa tidak nyaman dengan keadaan kami sekarang. Akhirnya, setelah kami menyelesaikan rapat akhir tahun, aku mengajukan lima lembar permohonan cuti kepada managerku. Aku berinisiatif untuk mengajak rekan-rekanku berlibur ke sebuah villa. Mungkin dengan menghabiskan waktu beberapa hari bersama maka keadaan bisa kembali seperti dulu.
Claire sangat senang mendengar berita itu, tapi sepertinya yang lain tidak sama. Aku berusaha membujuk mereka agar acara yang kurencanakan dapat terwujud, dan dengan berat hati akhirnya mereka setuju.
Kami berangkat menggunakan SUV milikku. Aku yang menyetir. Claire duduk di kursi depan sementara yang lain di belakang. Aku sama sekali tidak mengerti mengapa mereka yang di belakang sama sekali tidak berbicara. Kuintip dari spion tengah mereka sedang sibuk dengan ponselnya masing-masing.
Butuh waktu empat jam untuk sampai di villa. Bukan villa mewah memang, karena saat akhir tahun seperti ini sangat sulit mendapatkan villa yang bagus. Villa kami lokasinya terpencil di pinggiran hutan. Ada sebuah jembatan yang harus kami lalui untuk sampai di sana, jembatan itu hanya berjarak belasan meter dari villa. Bangunannya sangat besar. Au bahkan tidak menyangka bahwa villa sebesar ini disewakan dengan cukup murah.
Hari sudah menjelang malam. Aku sempat khawatir rekan-rekanku akan tidak senang -terutama tiga orang yang duduk di belakang. Namun ternyata aku salah.
"Ini sempurna Jeff," kata Annie. Simon dan Andrew lalu berpandangan sambil tersenyum satu sama lain. Justru Claire yang sepertinya merasa tidak nyaman di sana. Aku tidak tahu alasannya, tapi sekarang itu tidak terlalu penting.
"Oke, kita bawa barang-barang ke dalam dulu, lalu kita pilih kamar masing-masing."
Sesampainya di dalam, ternyata ada lima kamar. Dua di atas, sementara tiga lainnya di bawah. Aku menyuruh Andrew dan Claire untuk menempati kamar di atas, namun Andrew menolak.
"Tidak... tidak... itu bukan ide yang bagus Jeff."
"Ohh, ayolah.... kalian berdua tidak bisa terus bertengkar seperti itu. Kami di bawah akan pura-pura tuli jika ada suara gaduh di atas. Tenang saja," candaku.
"Jangan repot-repot Jeff. Andrew tidak akan sudi bersebelahan denganku," ucap Claire. Ia lalu bergerak ke sisiku dan merangkul lenganku. "Bagaimana jika..., kau saja yang bersamaku di atas."
"Ohh tidak... tidak.... aku tidak bisa. A-aku...."
"Kau tidak keberatan jika Jeff bersebelahan kamar denganku kan?" Claire melirik Andrew.
"Nope... sama sekali tidak. Malah bagus aku tidak ada di dekatmu."
Simon dan Annie hanya diam tanpa mencampuri obrolan kami. Aku menatap mata mereka dan melihat tatapan aneh di sana.
"Oke..., karena sudah sepakat, maka kita ada baiknya kita segera naik." Claire melepaskan lenganku dan membawa tasku naik ke atas.
"H-hei... itu tasku."
Claire sudah naik ke tangga. Ia tidak mendengarkan protesku sama sekali. "Aku tahu Jeff, karena itulah aku membawanya. Bisa tolong bawakan tasku? Kalau kau tidak keberatan...."
Aku menoleh ke arah Andrew. Tidak ada sorot mata keberatan dalam tatapannya. Ia justru tersenyum dan menepuk pundakku. Ia memungut tasnya sendiri yang masih ada di lantai, lalu berjalan melewati punggungku sambil berbisik. "Hati-hati kawan."
Salah satu pintu kamar terdengar menutup pelan. Andrew sepertinya sudah memilih kamarnya. Sementara aku... masih berdiri di sana dan berusaha mencerna ucapan Andrew. Apakah itu sebuah ancaman? Apakah Andrew marah karena Claire bersikap seperti mendekatiku? Ini tidak masuk akal.
"Oke kapten, aku pilih kamar di dekat toilet. Kau tidak keberatan tidur di antara kami kan Annie?"
"Tidak ada bedanya. Tidur dimanapun sama saja bagiku."
"Ahhh... bagaimana kalau kau tidur di atas bersebelahan dengan Claire?" Tanyaku spontan. Sejujurnya, aku merasa akan ada hal buruk yang terjadi jika aku bersebelahan kamar dengan Claire -terutama tentang Andrew."
"Not a chance captain. Aku malas jika harus naik turun tangga." Annie tanpa basa-basi segera memungut tasnya dan memasuki kamarnya.
"H-hei Annie...," belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Annie sudah menutup pintunya.
Tinggal aku dan Simon sekarang. Tapi Simon sudah memungut tasnya dan berjalan ke kamar di dekat toilet.
"Ahh, Simon. Bagaimana jika...." belum sempat aku menyelesaikan kalimatku -lagi, Simon sudah membuka pintu kamar itu.
Ia menoleh sejenak ke arahku, lalu berkata. "Selamat malam kapten," lalu Simon menutup pintunya.
Sekarang, tinggal aku sendirian berada di sana. Di sebelah kakiku ada tas milik Claire. Aku memungut tss itu, mengunci pintu depan, lalu berjalan ke atas.
Salah satu pintu kamar terbuka. Kemungkinan Claire ada di sana. Aku masuk ke kamar itu dan mendapati Claire sedang duduk di samping jendela. Ia menatap ke luar dengan pandangan kosong, seperti ada yang ia pikirkan.
"Claire, ada apa sebenarnya antara kau dan Andrew?" Tanyaku sambil meletakkan tasnya di atas ranjang.
Claire menoleh. Ia memandangku dengan tatapan yang tak bisa kupahami. Ia memandangku seperti sebuah objek yang menarik, tapi aku tidak mengerti sedikitpun.
Claire bangkit dan berjalan ke arahku. "Apa yang dikatakan Andrew padamu?"
"Umm.... yang mana?"
"Jangan bohong Jeff, aku tahu ada yang kau sembunyikan," entah mengapa, meski nada bicara Claire terdengar santai namun membuatku takut.
"Hati-hati kawan."
Ucapan Andrew terngiang di pikiranku. Meskipun aku bukan detektif, namun aku bisa merasakan ada yang tak beres sedang terjadi.
"Jeff...?" Claire semakin mendekat. Entah apa yang dipikirkannya. Claire merangkulkan kedua tangannya pada leherku. Aku mundur perlahan hingga punggungku bertemu dengan dinding, namun Claire mengikutiku.
"Eenngg.... ehh... yang itu? A-Andrew bertanya apa yang akan kita makan malam ini."
Claire terdiam. Ia menatapku lekat-lekat. Tubuh kami berhimpitan cukup rapat hingga wajah kami sedemikian dekat.
"Begitukah?"
"Y-ya..., menurutku kita bisa mencari makan di restoran. Mungkin steak. Aku lihat ada restoran ketika kita menuju ke sini."
"Steak?"
"Ya... steak. Kau mau makan steak?"
"Aku suka steak."
Aku mulai tidak nyaman dengan posisiku sekarang. Aku tahu Claire adalah wanita yang cantik, tapi aku merasa melakukan kesalahan besar.
"Eemmhh... Claire. A-aku rasa kita tidak pantas berdiri berhimpitan di tembok seperti ini."
"Kenapa?"
"Ya... menurutku kita tidak seharusnya seperti ini. Bagaimana kalau...."
"Andrew?"
"Y-ya.... biar bagaimana pun kalian pernah...."
"Aku tidak keberatan dia melihat kita seperti ini."
"Tapi aku keberatan, oke. Aku tidak ingin menyakiti siapapun."
Claire diam sejenak, lalu perlahan melepaskan tangannya dari leherku. Ia lalu menundukkan wajahnya dan berkata. "Aku minta maaf." Claire menjauh dariku, ia kembali duduk di dekat jendela lalu memandang ke luar.
"Apa yang terjadi padamu, Claire. Apa yang terjadi pada kalian?" tanyaku
"Nanti kau akan tahu."
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment
Creepypasta Indonesia, Riddle Indonesia, Cerita Seram, Cerita Hantu, Horror Story, Scary Story, Creepypasta, Riddle, Urban Legend, Creepy Story, Best Creepypasta, Best Riddle, short creepy pasta, creepypasta pendek, creepypasta singkat