Wednesday, September 20, 2017

BORRASCA - Bagian 2

“Di bawah Triple Tree
Seseorang telah menanti
Akankah aku pergi atau tetap di sini
Nasibku takkan berbeda, tak berarti.”

“Selamat pagi.”

Kata-kata sebelumnya menguap ke awang-awang dan aku bangun dengan tergagap. Jimmy Prescott sedang berdiri menghadap tembok dekat pintu, wajahnya terlihat memesona seperti biasa, namun terlihat sedikit terganggu karena mendapatiku sedang tidur saat bekerja.

“Sial. Maaf, Tuan Prescott. Saya tidak mendengar Anda masuk.”

“Asal kau tahu, aku juga bekerja di sini waktu masih kecil. Aku memasang bel pada pintu untuk alasan seperti ini. Sayangnya, hal itupun tidak membuatmu bangun,” dia tertawa. Aku menggumamkan permintaan maaf lain dan meluruskan tumpukan kartu nama di depanku untuk menghilangkan kikuk.

“Begadang?”

“Ah … agak.” Padahal sangat.

“Kuharap, kau tidak di luar sana, mengelilingi api unggun dan menenggak alkohol bersama teman-teman peminum bawah umur lainnya.”

“Tidak, Pak.” Padahal tepat seperti yang ia katakan.

“Bagus. Aku di sini hanya untuk makan siang, sebenarnya. Aku mau ayam parmesan dengan alpukat di atas roti gandum.”

“Siap, Tuan.” Senang karena percakapan berakhir, aku berjalan menuju konter roti lapis dan membuka pembungkus roti gandum.

Jimmy Prescott berjalan mundur dari konter dan dengan malas mengamati foto-foto di dinding yang sudah ia lihat sebanyak ribuan kali. Kebanyakan foto-foto tersebut berasal dari keluarga Prescott, diambil pada abad sebelumnya. Aku selalu menganggap foto-foto itu sebagai hiasan dinding yang ganjil, namun, toko ini memang dinamai berdasarkan nama keluarga tersebut.

“Meera ada?” tanya Prescott saat aku membungkus roti lapisnya.

“Di belakang.”

“Ah … kupikir dia masih di St. Louis. Hmm … nanti setelah selesai, keberatankah kau memanggilkannya untukku?”

Sial.

“Tidak. Saya akan panggilkan nanti.”

Kuulurkan pesanannya dan pergi menuju tempat Meera. Dia berada di kantor, memencet tombol-tombol di kalkulator tanpa kenal lelah.

“Uh, Meera? Jimmy Prescott di depan. Dia ingin bicara denganmu.”

Dia menoleh dan memasang mimik ragu. “Dia bilang ini mengenai apa?” aku menggeleng.

“Baiklah,” desahnya. “Kau boleh pulang, Sam.”

“Tapi … kau yakin?” Jam kerjaku masih tiga jam lagi.

“Dia satu-satunya pelanggan yang datang sejak kita buka. Tak usah khawatir, kau tetap kubayar penuh, Nak.”

“Thanks, Meera. Eh, semoga lancar, kukira.”

Aku mengangguk simpatik dan dia menepuk lenganku. Aku benar-benar tidak mengerti bagaimana dia melakukannya. Mungkin, Meera merupakan manusia paling tertekan dan mempunyai beban hidup terberat di Drisking, namun, dia tidak pernah gagal untuk menjadi sosok yang luar biasa baik.

Aku pergi dari toko lewat pintu belakang sehingga tak perlu berpapasan dengan Jimmy Prescott. Mata kekuningannya yang aneh selalu membuatku tak nyaman. Ditambah lagi dia benar-benar tipe orang yang gemar mengawasi anak buahnya.

Aku melompat masuk ke dalam mobil dan mengirim pesan pada Kyle bahwa aku sudah keluar dari tempat kerja. Dia langsung membalas dan mengatakan agar aku cepat-cepat menyusul. Dengan senang kulepas apron dan memundurkan mobil. Danau Crystal merupakan tempat favoritku di Drisking.

Aku harus parkir lumayan jauh, sebab danau ini begitu terpencil. Akhirnya aku mendapati Kimber dan Kyle duduk di atas bongkahan batu besar menghadap pantai.

Kimber sedang berjemur dengan mengenakan bikini berwarna biru floral. Sedangkan Kyle mengenakan kacamata ‘tak seorangpun tahu mataku menatap ke mana.’

“Apa yang kulewatkan? Tanyaku sambil mengambil tempat duduk di sebelah Kimber.

“Nggak banyak,” jawab gadis itu sambil menggeliat dan kemudian duduk. “Cuma beberapa kaleng bir.” Dia merogoh kotak pendingin di belakangnya dan mengulurkanku sekaleng Blue Moon.

“Ugh! Nggak, deh!” kulambaikan tangan menolak. “Punya Excedrin?”

“Oh, sayangnya tidak.” Kimber mengerutkan bibir.

“Baiklah. Kalo gitu aku mau kacamata itu saja.” Kuulurkan tangan pada Kyle yang menatapku dengan gugup.

“Apa? Nggak! Mingir sana!”

“Ayolah, Kyle. Kasihkan saja. Nampaknya Sam tidak punya waktu tidur buat menghilangkan mabuknya semalam.”

Aku tersenyum dan Kyle memonyongkan bibir. Kami berdua paham benar apa yang sedang kulakukan. Kimber mengguncang lengan Kyle. “Tolonglah,” pintanya.

“Baiklah,” ujarnya sambil memberikan BluBlockernya padaku. Aku mengenakannya dan duduk dengan santai, kepala mengarah pada pemandangan mengasyikkan: para gadis berbikini yang sedang sibuk sendiri-sendiri. Phoebe Dranger – Si gadis berrambut gelap – sedang berbaring berselimutkan handuk di sebelah Si Wajah Bundar sambil terkikik. Masih terasa janggal bagiku tanpa kehadiran Si Mancung di antara mereka. Trio tersebut sungguh tak terpisahkan, layaknya jarum-jarum dalam arloji yang bergerak dinamis dalam kesatuan. Sampai kemudian, kristy jatuh cinta dengan seorang anak kuliahan dan memutuskan untuk minggat dari Drisking.

“Jadi, kenapa kau bisa selesai kerja begitu awal?” tanya Kyle.

“Prescott datang.”

“Ew.” Kimber bergidik. “Dia benar-benar membuatku gugup. Dia selalu menatapku sejak aku masih kelas lima.”

“Lain kali dia menatapmu, bilang padaku. Kucolok matanya dan kuhajar dia.” Kyle selalu melindungi Kimber, dan sejak mereka mulai pacaran, sikap melindunginya itu jadi sepuluh kali lebih besar.

Kimber mengedipkan sebelah matanya ke arah Kyle. “Ada perlu apa dia, Sam?”

“Bicara sama Meera. Mungkin mengenai toko roti lapis.”

“Maksudnya mengenai kenyataan bahwa tak ada seorangpun yang datang, dan bisnis tersebut mestinya sudah ditutup bertahun-tahun lalu namun tidak, karena Prescott terlalu perhitungan dan keras kepala?” kata Kyle.

“Mungkin saja. Meera terlihat agak khawatir. Sandwich yang kujual bulan lalu saja bisa kuhitung dengan jari.”

“Oh.” Kimber meringis.

“Ya. Aku yakin Meera bakal kena omel habis-habisan. Aku benar-benar tak suka sama pria itu.” Aku membayangkan pria dengan mata kekuningan yang aneh itu berteriak pada si manis dan mungil Meera. Hal itu membuat darahku mendidih.

“Kau harus melihat ayahnya,” dengus Kyle. “Dia benar-benar elegan.”

“Ayahnya?”

“Ya, Tom Prescott,” ujar Kimber. “Keluarganya mengurung pria malang itu di sebuah rumah. Untuk ke sana kita harus melewati beberapa kota dulu.”

“Kenapa mesti dirumahkan?”

“Dengar-dengar, dia punya dimensia dan mempermalukan reputasi keluarga di depan umum,” kata Kyle.

“Aku dengar hal itu juga.” Kimber mengibaskan rambut ikal panjangnya. “Aku selalu suka Tom. Apa yang yang mereka lakukan padanya sungguhlah jahat.”

“Whoy anak-anak!” kami menoleh bersamaan dan melihat Phil Saunders datang dari semak-semak di belakang kami, kemudian diikuti oleh Mike Sutton. “Jadi di sini orang-orang keren pada ngumpul?”

“Apa kabar, Mike,” sapa Kyle tanpa memedulikan Phil. Sentimen itu disebabkan karena Phil pernah berpacaran dengan Kimber sebelum dirinya. Phil nampak santai; kemungkinan dia tak sadar dengan perilaku Kyle atau lebih memilih bersikap masa bodoh. Tentu saja, hal itu juga dikarenakan oleh Phil yang lebih kerap dijumpai dalam keadaan teler, dan saat ini juga bukan pengecualian.

Mereka duduk di sebelah kami dan Mike menyorongkan pipanya.

“Mau coba?”

Aku benar-benar ingin menghisapnya, dan sungguh sangat ingin. Aku mengulurkan tangan hendak menerimanya, namun, Phil menepis tanganku.

“Hati-hati, kawan, kau tidak mau ketahuan bikin teler anak Sherif. Pahami itu, Mike!” Mike mengangguk sebagai tanda mengerti dan menjejalkan pipanya ke dalam saku kembali.

Aku mendengus, “yang benar saja!”

“Maaf, Sammy. Satu-satunya alasan kenapa aku mengisap ganja di dekatmu adalah karena hari ini merupakan hari peringatan di mana sepupuku meninggal. Dan sumpah, aku nggak perduli hal lainnya.”

“Sepupumu? Hannah” tanya Kimber dengan wajah bersimpati.

“Ya. Sudah lima tahun.”

“Terlalu banyak orang menghilang di hutan ini,” kata Mike sambil menghisap gulungan asap.

“Benar.” Phil mengangguk. “Kadang, saat aku mabuk, aku bisa melihat mereka semua. Kemudian, aku merasa mengetahui jawaban atas semua misteri. Seolah-olah aku begitu dekat untuk memecahkannya.”

“Hal itu datang begitu saja. Seperti, seolah-olah, mereka semua adalah potongan puzzle, dan dalam pikiranku, kepingan-kepingan itu bersatu membentuk jawaban. Namun sialnya, aku tak bisa mengatakan kesatuan puzzle itu sebenarnya menunjukan gambar apa.”

“Kau benar-benar mabuk, Saunders,” ujar Kyle.

“Kita semua begitu, asal kau tahu. Kita semua. Semua yang ada di kota ini sedang meminum kool aid sialan itu.”

Kimber mengangkat alis padanya namun tak mengucap apa-apa.

“Semuanya, kecuali yang sudah mati. Aku bisa melihat seperti apa tampang mereka sebelum tertimbun tanah. Eh, tapi, atau justru mereka si penggali makam?”

“Sial! Aku tak tahu,” ucap Mike ke ruang kosong di depannya.

“Ya. Aku bisa melihat semua orang itu. Hannah. Paige. Jason Metley. Bahkan, aku pernah melihat kakakmu, Walker.”

Kyle, yang aku tahu betul mewaspadai bahwa percakapan akan sampai pada hal ini langsung bangkit, dan membuka mulutnya, membentak Phil.

“Tidak! Whitney Walker kabur ke St. Louis! Kau ingat hal itu?!” bentak Mike.

Dari balik kacamata, kulihat Kyle dan Kimber bertukar pandang singkat, sementara aku berusaha untuk tetap pasif.

“Benarkah itu?” tanya Phil. Dan di sanalah masalahnya.

Aku paham Kimber dan Kyle selalu penasaran mengenai pendapatku atas apa yang menimpa Whitney, juga pendapatku mengenai pernyataan resmi yang mengatakan bahwa dia dan Jay kabur bersama. Mereka cukup baik untuk tak mengungkit hal itu, namun aku mengerti bahwa mereka ingin tahu apa yang kupercaya, apa pemikiranku mengenai kejadian sebenarnya.

Aku menyayangi mereka berdua dan ingin sekali berbincang mengenai hal itu. Namun … aku benar-benar tak mampu. Semua orang berpikir aku memendam duka sendirian selama tujuh tahun terakhir, untuk kemudian melanjutkan hidup, meletakkan peristiwa itu sebagai masa lalu yang perlu ditinggalkan. Setidaknya, hal itulah yang ingin aku perlihatkan pada mereka.

Kenyataannya adalah bahwa aku tak pernah menyerah pada Whitney. Aku sudah menunggu Jay muncul selama bertahun-tahun di media sosial. Saat aku menemukannya tahun lalu, aku merasa remuk. Aku selalu berharap bahwa pernyataan resmi memang benar adanya, dan Whitney ada di tempat lain, jauh dari kami, masih hidup dan hidup bahagia bersama Jay Bower. Namun halaman MySpace ini menunjukan seorang remaja makmur yang masih hidup menumpang pada orangtuanya, sementara mantan kekasihnya, merupakan hal paling akhir yang akan menarik perhatiannya.

Saat kubawa bukti ini ke ayah, dia membaca halaman yang kuprint, menutup pintu ruang kerjanya dan membiarkanku mematung di depan pintu. Aku mendengarnya menangis di dalam selama berjam-jam sambil menunggunya untuk membuka kasus Whitney kembali serta menghajar kepala sherrif. Namun, keadilan tak pernah datang dan kami tak pernah menyinggung-nyinggung nama Jay Bower lagi.

Demi alasan apapun, aku tak pernah menceritakan Kyle dan Kimber mengenai hal itu. Mungkin dikarenakan aku merasa khawatir mereka bakal mengabaikannya sama seperti ayah, atau mungkin, dan kurasa inilah alasan sebenarnya, aku tak ingin mereka tahu betapa terobsesinya aku akan Borrasca dan Skinned Men. Aku tahu, setahu matahari bakal terbit esok hari, bahwa kematian Whitney terjadi di tempat itu; sama seperti orang-orang lain yang pergi ke Triple Tree.

Tiba-tiba aku merasa ada empat pasang mata tengah menatapku.

“Yah, benar. Dia kabur dengan Jay dari tempat tinggal kami sebelumnya,” jawabku. Hal itu lebih dari cukup bagi Kyle.

“Baiklah teman-teman, bagaimanapun dia anaknya sheriff. Kira-kira apa yang akan terjadi jika dia mendapati ganja di tangan kita?”

“Pria kecil ini benar, Phil. Ayo pergi. Aku nggak butuh tambahan perkara dengan polisi di sekitar sini,” ujar Mike.

“Sampai nanti, Walker, Kimber, Pria Kecil.” Phil berdiri, membersihkan celana, dan melompat dari batu besar menuju hamparan pasir di bawah. Dia menebar sejumput pasir ke arah beberapa gadis yang kemudian Cumiik dan memakinya sebagai keparat tak tahu diri. Phil menjentikan topi imajinernya pada mereka dan berseru “Ladies” sebelum melenggang pergi.

Mike mengikutinya dan saat mengamati mereka berjalan menuju pantai, kusadari sedang ada percakapan yang terjadi di belakangku.

“Aku nggak bilang ingin pergi. Kubilang aku harus pergi,” kata Kimber.

“Baru jam dua, Kimber, lagian sekarang Minggu!”

“Aku tahu. Tapi akhir-akhir ini orangtuaku sering bertengkar. Aku nggak mau ninggalin ibuku lama-lama.”

“kupikir keadaannya sudah membaik?”

“Sedikit. Tapi dia masih depresi, Kyle.”

“Mau menginap di rumahku malam ini?”

Suara Kimber melirih menjadi bisikan.

“Tidak … Aku benar-benar belum siap untuk itu.”

“E-eh – nggak! Bentar! Bukan itu maksudnya. Aku bakal tidur di basement dan kau di kamarku.” Keheningan canggung mengikuti. “Orangtuaku sayang banget sama kamu, tahu?” tambah Kyle.

Kimber tertawa. “Aku tahu. Aku hanya ingin menemani ibuku. Tapi terimakasih, sayang.” Kemudian kudengar suara menjijikan saat dua sahabatku berpagutan. Sungguh, aku tak akan terbiasa dengan hal itu.

“Ugh. Asal kalian tahu, di tempat ini ada aku juga!” Aku berdiri dan memasang tampang malu.

“Waduh, Sam, jangan cemburulahh … ntar kami cariin pacar buat kamu, deh,” gurau Kyle.

“Kalau untuk itu, aku nggak butuh bantuan,” gumamku sambil melayangkan pandang pada sosok Emmaline Addler di bawah sana yang sedang berjemur. “Sampai ketemu besok.”

“Minggu terakhir sekolah!” teriak Kimber girang.

Oh Akhirnya.

Besok merupakan Senin terakhir sekolah, dan walau seharusnya bersyukur karena tahun keduaku bakal berakhir, aku tidak merasa lega sama sekali. Musim panas berarti tak ada sesuatu untuk mengalihkan perhatian. Lebih banyak waktu untuk berpikir dan tentu saja, lebih banyak waktu membosankan yang harus kulalui di Prescott Artisan Sandwiches.

Namun, aku punya alasan sendiri tidak menungu-nunggu besok: disamping hari Senin, besok juga merupakan ‘Hari Membolos Berjamaah’ bagi anak-anak tahun kedua. Ayah mewaspadai hal ini, dan sejak beberapa minggu lalu, dia mengingatkanku untuk menjadi contoh baik dan tetap berangkat sekolah. Terkadang, menjadi anak seorang polisi merupakan hal yang benar-benar kubenci.

Kimber dan Kyle sungguh simpatik, mereka bersedia menjadi kawan untuk saling berbagi derita. Saat itu aku, tentu saja, setuju, walau kesedihan Kyle tetap terlihat jelas di mataku.

Seperti yang kusangka, ayah sedang menungguku saat aku pulang. Kami berbasa-basi sebentar mengenai keseharian yang kami jalani, dan akhirnya, dia sampai pada pokok permasalahan.

“Ingat, Sammy, tahun ini kami bakal menindak siapapun yang membolos. Ayah harus melihatmu di sekolah besok.”

“Aku tahu, Ayah.”

“Dan semoga, Ayah tidak perlu menuliskan surat pelanggaran untuk Kyle juga.”

Aku mendesah. “Ini semacam tradisi, bahkan para guru sepertinya juga mendorong hal itu. Waktu Jum’at kemarin, mereka bilang-“

“Ayah nggak perduli apa kata mereka, Sam. Di samping seorang sherif, Ayah ingin putra ayah di sekolah besok.”

Aku tertawa dan menggeleng. Konyol sekali. “Aku kan nggak bisa mengatur Kyle.”

“Cukup adil. Tapi kau bisa mengatur apa yang harus kau lakukan.”

Aku tak berkata-kata lagi dan ayah mendesah.

“Sudah nyaris berakhir, kok, Sam. Cuma tersisa lima hari lagi. Selanjutnya, kau bisa mengucap cukup pada sekolah selama beberapa bulan.”

“Iya, deh.” Aku berjalan menuju dapur dan mengakhiri percakapan dengan kasar. Aku mendaki tangga dan melewati pintu kamar Whitney. Lampu dinyalakan dan hanya keheningan yang ada di balik pintu itu. Aku tahu ibu di dalam. Dia selalu di sana, entah melakukan apa.

Aku berjalan menuju kamar, menutup pintu dan menguncinya. Keesokan hari di sekolah terasa jauh lebih memalukan dari apapun juga. Hanya sedikit siswa yang tidak membolos, jumlahnya mungkin hanya sekitar sepuluh termasuk kami. Dari muka masam yang mereka tunjukkan padaku, jelas sudah ayahkulah penyebab kehadiran mereka di sini.

Kimber, layaknya sahabat yang baik, dengan riang pergi ke kelasnya seperti pada hari-hari normal. Kyle menghadiri kelas bersamaku. Para guru, yang mengharapkan datangnya hari santai, nampak tidak perduli.

Tidak lama sebelum makan siang, seorang petugas mendatangi seluruh kelas dan meminta kopian dari daftar kehadiran siswa. Ayah benar-benar tidak bercanda. Aku harus menyiapkan diri untuk mendapatkan cibiran selama musim panas.

Saat makan siang, aku dan Kyle pergi ke mobilku untuk menghisap ganja. Biasanya kami bersembunyi di balik lusinan truk-truk besar, namun hari ini, kami ada di ruang terbuka dan rentan. Kutempatkan mobil di pojokan gelap parkiran dan kemudian Kyle mengeluarkan bungkusannya.

“Kimber kau kirimi smskah?” tanyaku saat dia mulai menghisap.

“Yep,” jawabnya dari sela-sela bibir yang terkatup rapat, saat dia berusaha menempatkan asap di paru-parunya, kemudian dia mengembuskannya ke arah dashboard. “Dia tadi pulang saat kelas keempat. Katanya, ibunya menelepon dan Kimber harus pulang untuk merawatnya. Aku nggak tahu persisnya.”

“Ibunya membencimu, ‘kan?” tanyaku sambil mengambil giliran.

“Iya. Wajar juga kupikir sejak kami berhubungan. Tapi aku cukup yakin ibunya selalu membenciku dan dia jauh lebih pintar menyembunyikannya sebelumnya. Sekarang, saat dia depresi, semuanya jadi lebih mudah buat dimuntahkan.”

Sulit bagiku untuk membayangkan seseorang bisa membenci Kyle. “Kenapa ayahnya tidak bisa menjaganya?”

“Nggak tahu.”

Aku menghisap pipa lagi.

“Hey. Bagaimana kalau kita juga tak perlu kembali ke kelas?” tanya Kyle.

“Menurutmu begitu?” tanyaku balik.

“Yah … kau kan sudah sampai pada kelas keempat. Kau sudah jadi anak baik. Lagipula, Petugas Janbret sudah datang dan mengambil kopian daftar hadir siswa.”

“Janbret? Yang benar saja. Masa sudah mabuk?”

“Petugas … Cuk … Jan?”

“Wah, Kyle … Teler niye!”

“Waduh, parah! Ayo pergi saja!”

Aku menimbang-nimbang sebentar. Kyle benar, aku sudah bersikap layaknya anak yang baik dan jika pergi sekarang, aku punya cukup waktu untuk pergi ke Gamestop sebelum kerja.
“Halah, Persetan!” Kunyalakan mobil.

Kyle menurunkan jendela untuk membersihkan asap. “Eh … bisa kau turunkan aku di tempat Kimber?”

“Bisa saja. Tapi bagaimana kau pulang nanti?”

“Bisa kau jemput aku sehabis kerja?”

“Bagaimana kalau ibunya mengusirmu lagi?”

Kyle memutar bola mata. “Itu cuma sekali … dulu.”

“Kenapa tidak kuantar kau ke rumah dank au naik mobilmu sendiri?”

“Mobilku sedang butuh ban baru.”

Ban baru, tentu saja. Yang Kyle maksudkan adalah tabungannya menipis dan dia tak punya uang untuk membeli bensin. Mobilnya dia beli pada musim panas lalu setelah bekerja shift dobel selama setengah tahun. Mobilnya lumayan, lebih baru, namun aku tahu bahwa dia melakukan itu semua hanya untuk membuat Kimber terkesan, sesuatu yang selalu dia sangkal. Apakah hal itu berhasil? Menurutku tidak.

Mereka mulai berkencan pada musim gugur dan Kyle memutuskan untuk keluar kerja demi meluangkan lebih banyak waktu dengan Kimber. Kimber bukan merupakan tipe gadis yang bisa dibuat terkesan dengan Pontiac Bonneville, namun Kyle bersikukuh bahwa Kimber berhasil ia taklukan dengan cara itu. aku cukup yakin bahwa satu-satunya hal yang berhasil dilakukan mobil itu hanyalah memberi suntikan kepercayaan diri, sehingga akhirnya, Kyle punya keberanian untuk mengajak Kimber keluar. Sekarang, saat bagian dari romantika itu berakhir, mobil itu hanya teronggok di garasi keluarga Landy, dipenuhi debu alih-alih kenangan.

Gamestop tak memberikan apa yang kucari, begitu juga Drisking Games & Media. Karena tak ada hal yang bisa kulakukan, kuputuskan untuk datang bekerja lebih awal dengan harapan, Meera akan mengijinkanku pulang lebih awal juga.

Setelah memarkir mobil, aku berjalan masuk. Kenyataan bahwa tidak ada seorangpun di konter depan tidak membuatku terkejut. Hanya ada kami bertiga yang bekerja di toko itu. Hal yang lebih menyedihkan adalah aku tak pernah bertemu dengan gadis pekerja satunya, Emmaline, yang bekerja pada hari berbeda denganku. Sungguh mengecewakan, mengingat dia merupakan separuh alasan bagiku bekerja di tempat itu.
Aku pergi ke belakang untuk memberi tahu Meera bahwa aku datang. Di sana, kudapati dia tengah duduk dengan wajah telungkup di atas meja di belakang kertas-kertas kerja dan gunungan kwitansi. Bukan hal aneh menemukan Meera dalam posisi seperti itu, namun ada sesuatu yang berbeda hari ini. Seketika, aku merasakan sesuatu yang tidak beres, dan sebelum bisa kabur, dia mendongak ke arahku dan melihatku tengah bersiap untuk pergi; Meera sedang menangis.

“A-apa kau, um … , apakah-“
“Maaf, benar-benar maaf,” ujarnya cepat sambil menyeka air mata. “Sudah jam empatkah sekarang?”
“Tidak juga, baru 2:15. Kupikir jika bisa datang lebih awal-“

“Oh iya. Sekarang hari membolos, ya?” Meera terus menyeka matanya, namun sepasang mata itu selalu basah oleh air lagi. “Aku tak mengerti, Sam. Toko ini sudah beroperasi begitu lama sejak aku dipekerjakan sebagai manajer. Apa kesalahan yang kubuat sebenarnya?”

“Aku … tidak tahu,” jawabku kaku. Keinginan untuk kabur dari situasi ini tak pernah mengendur.

“Tak ada seorangpun yang mampir. Dan Tuan Prescott tak pernah setuju saat aku berkeinginan untuk mengiklankannya! Katanya semua hal itu tak perlu, tapi bagaimana caraku untuk menjalankan bisnis?! Aku butuh pekerjaan ini, Sam. Oh Tuhan, aku …”

Aku pasti telah nampak seperti seekor rusa ketakutan, sebab saat Meera melirik ke arahku, dia terlihat berusaha menenangkan diri dengan susah payah. “Pergilah ke depan. Akan kuurus absensimu.”

Dia tak perlu meminta dua kali. Aku benar-benar menyukai Meera dan aku sungguh benci melihatnya seperti ini.

Bagian depan tidak lebih baik. Tangis Meera masih terdengar di antara alunan musik. Tangisnya berubah dari isak tersedu menjadi suara sesenggukan yang tertahan. Setelah sekitar setengah jam, kuputuskan untuk melakukan sesuatu. Boleh dikatakan aku sepenuhnya buta dalam menghadapi emosi wanita, maka tanpa pikir panjang, kutelepon suaminya, Owen. Syukurlah, pria itu ada di rumah dan cepat-cepat mengangkat telepon.

“Aku segera ke sana,” katanya cepat setelah kuceritakan secara garis besar mengenai Meera.

Sungguh lega rasanya saat tak berapa lama kemudian, suara mobil yang diparkir terdengar di luar dan kulihat sosok Owen yang tinggi dan buncit keluar. dia berjalan tergopoh sementara istrinya masih terus terisak.

“Maaf harus meneleponmu, Pak Daley. Aku benar-benar tak tahu mesti berbuat apa …”

“Nggak masalah, Sam. Tindakanmu tepat.” Dia nampak lelah, dan bisa kusimpulkan bahwa keadaan semacam ini bukanlah hal baru baginya.

“Tapi Meera bakal baik-baik saja, ‘kan?”

“Oh … ya.” Dia mengangguk. “Kami Cuma sedang ada beberapa masalah.”

“Oh. Meera juga bilang toko bakalan bangkrut.” Aku mengernyit seketika saat kata terakhir terlontar begitu saja dari mulut.

“Yah.” Owen mengelus rambut. “Itu salah satunya, biar kupikir, Jim akan berusaha setengah mati untuk mencegahnya. Hal yang lebih membuat Meera gusar adalah …” dia mendesah. “Meera pernah bicara tentang, ah, janji temunya?”

“Wah, sepertinya nggak pernah.”

“Hmm … Yah … sudah lama kami mengusahakan kehamilan. Sudah bertahun-tahun. Penting sekali baginya untuk punya seorang bayi. Apa kau tahu kalau dia menyalahkanku atas masalah itu?”

Dia mondar-mandir sambil menatap foto-foto yang dipajang, seolah, dia sudah tidak bicara denganku lagi.

“Aku bisa paham kenapa hal itu begitu penting baginya. Cuma yang tak habis pikir adalah kenapa hal itu menjadi semacam obsesi? Apa karena dia merupakan anggota keluarganya yang terakhir? Apa karena dia satu-satunya McCaskey yang masih tersisa di Bumi? Duh! Apa dia pernah sadar bahwa bayi kami kelak, tidak bakalan jadi seorang McCaskey melainkan seorang Daley?! Saranku, Sam, jangan pernah menikahi wanita yang ayahnya gila dan empat paman yang mati. Obsesi itu sepertinya diturunkan dan-“

“Empat paman? Mati?”

“Eh? Kau belum tahu? Ini cukup terkenal, loh. Kau tahu empat bersaudara yang tewas di pertambangan Drisking? Nah, yang tersisa cuma ayahnya itu. Dan orangtua Meera hanya bisa melahirkan Meera seorang. Jadi dia merupakan garis keturunan terakhir McCaskey dan pemikul beban langgengnya garis keturunan. Bisa kau pahami sendiri kenapa kemudian, aku jadi pihak yang disalahkan atas masalah kami.”

Aku menatapnya dengan pandangan kosong dan dia mendesah lagi.

“Maaf sekali, Nak. Ini bukan masalahmu dan dengan mendengarnya, kau juga tak dapat bayaran. Aku cuma benar-benar stress akhir-akhir ini. Masalah kesuburan dan sikap Meera hanya menyisakan satu pilihan, yaitu-“

“Sebentar, bagaimana mereka bisa tewas?” Aku benar-benar tak tertarik akan pokok pembicaraan lain, namun kisah para paman Meera sungguh menggelitik rasa ingin tahu.

“Bocah-bocah McCaskey maksudmu? Aku tak begitu paham juga. Mereka mati di gunung atau sekitarnya.”

“Oh. Um … kau pernah dengar tentang Skinned Men?”
“Skinned men?”
“Iya.”
“Sepertinya tidak.”
“Kalau Borrasca?”

Owen Daley memejamkan mata dan mengurut kening dengan jemari. “Apa? Memangnya ada apa dengan Borrasca?”

“Owen?” Suara Meera muncul dari ambang pintu.

“Oh, Sayang, kau sehat? Sam menelepon tadi-“

“Aku mau melakukannya.”

“Benarkah?” tanya Owen ragu.

“Aku menelepon pria itu tadi.”

Mata Owen melirik padaku dan aku segera berpaling: percakapan lain yang tak ingin kudengar, atau meibatkan diri di dalamnya.

“Sam, gimana kalau kau libur saja hari ini? Aku dan Meera bisa mengatasi semua kerjaan di sini, kok.”

“Oke,” gumamku dan langsung bergegas menuju pintu. Begitu sampai di mobil aku langsung menelepon Kyle.

“Woy! Kota ini benar-benar kacau!”
“Apaan?”
“Aku nggak bisa membahasnya lewat telepon. kau di mana?”
“Di tempatnya Kimber. Kau selesai kerja?”
“Ya. Kujemput kau sekarang.”

Yang dimaksud dengan “di tempatnya Kimber” adalah duduk di pinggiran jalan di depan rumah. Diusir lagi nampaknya. Saat menepi, Kimber keluar dan mendatangi kami.

“Maaf, yah Kyle,” katanya. “Ibu benar-benar sedang gusar hari ini. Dia bahkan nggak ngijinin aku menemuimu.”

“Nggak masalah, kok,” jawab Kyle. “Tak usah khawatir. Aku cuma ingin memastikan tak ada masalah baik denganmu atau ibumu.”

“Kami baik-baik saja. lagian, ayah juga pulang sebentar lagi.”

“Kirim sms kalau dia pulang, nanti kau kami jemput,” kataku.

“Kalau saja bisa. Aku mesti kerja mengasuh anak sampai 7:30. Kalau setelah itu bagaimana?”

“Boleh, deh.”

Kyle dan Kimber berpelukan sebelum kami pergi, kemudian dengan tergesa, Kimber masuk lagi saat mendengar ada sesuatu yang pecah dari dalam rumah.

“Jadi, ada apa sebenarnya? Tanya Kyle sambil membuka kaleng Dr. Pepper hangat yang ada di dalam mobil. “Apronmu masih kau pakai, loh.”

“Meera nampak sedih sekali dan bermasalah sepertinya,” kataku mulai menjelaskan.

“Masa? Bagaimana bisa?”

Kuceritakan pada Kyle keseluruhan hal yang kutahu dengan menekankan pada empat pamannya yang meninggal.

“Oh ya, keluarga McCaskey. Aku pernah dengar hal itu. Sungguh nggak menyangka kalau Meera termasuk anggota kelaurga itu. Kupikir, mereka semua telah mati.”

“Ya. Dia merupakan yang terakhir. Jadi … emm … apa kau pikir kematian para McCaskey ada hubungannya dengan hilangnya orang-orang?” Cukup lama aku tidak menyingung tentang Borrasca sehingga Kyle sedikit tersedak.

“Nggak tahu … nggak tahu juga, sih. Maksudnya, apa hilangnya orang-orang mulai terjadi di saat yang sama?”

“Ada cara biar kita bisa mengkonfirmasi hal itu?”

“Mungkin pihak kepolisian bisa. Mereka punya catatan kepolisian, bukan?”

“Oke. Tapi, bagaimana kalau aku nggak bisa menanyakan hal itu pada ayahku.”

Kyle menggeleng. “Aku juga nggak tahu.”

“Kalau catatan? Catatan Historis seseorang, misalnya?”

“Wah, iya,” ujarnya. “Bisa dicoba. Ada diujung 2nd. Mereka berbagi kantor dengan Pusat Seni dan Budaya Drisking.”

Aku memutar mobil dan mulai mengebut, kembali menuju kota.

“Hei, kita sebenarnya mau ngapain?”

Aku tahu betul pertanyaan ini akan keluar. Aku sungguh berharap punya jawaban untukku sendiri daripada untuknya.

“Tentang … Whitney,” hanya itu yang bisa keluar dari mulutku. Kyle tak menanyakan apapun lagi. Badan Catatan Sejarah Masyarakat Drisking ada di belakang bangunan dan kami harus melewati toko barang antik, di mana pemiliknya, Tuan Dranger, mengawasi kami dengan curiga. Di ujung lorong pendek, kami sampai di sebuah ruangan dengan dua meja yang disatukan. Satunya kosong, sementara satunya lagi dipenuhi dengan gunungan buku, map, dan lembaran kertas. Dari balik gunungan itu, kami dengar suara seseorang sedang mengetik.

Aku berdeham. “Halo?” Seorang perempuan kecil muncul dari belakang meja. Kukenali dirinya sebagai orang yang sama yang memberi pengarahan saat aku kelas lima. “Halo. Ada apa, nak?” tanyanya sambil berjalan menyambut.

“Eh- umm … Saya ada pertanyaan mengenai Drisking … sejarahnya.”

“Wah! Ini buat laporan akhir tahun? Duduklah, Nak.” Dia menunjuk kursi kosong yang ada di meja lain. Aku mengangguk pada Kyle dan dia duduk dengan ketidaknyamanan yang susah disembunyikan.

“Iya. Untuk tugas esai kami. Jika tidak salah, Ibu memberi pengarahan pada kami sekitar tujuh tahun yang lalu, bukan?”

“Oh iya! Aku memberi pengarahan itu tiap tahun bersama Tuan Prescott,” katanya dengan senyum lebar.

“Iya. Ibu di sana dengan orang lain juga. Yang botak itu,” ujar Kyle sambil mencari posisi duduk yang nyaman di kursi kayu.

“Iya. Dia tunanganku, Wyatt Dowding. Dia meninggal beberapa tahun lalu.”

“Oh,” gumam Kyle.

“Jadi, ah, Nona …, “

“Scanlon. Tapi panggil saja Kathryn,” katanya. “Dan tak perlu resmi-resmian dengan sebutan ‘Saya’ dan ‘Anda.’ Aku suka situasi yang santai,” tambahnya lagi.

“Kathryn.” Aku mencoba. Sungguh bukan hal menyenangkan untuk memanggil orang yang lebih dewasa dengan nama depan. “Um … kami ingin tahu tentang anak-anak McCaskey.”

“Ooh,” Kathryn menggeleng. “Sungguh sejarah kelam. Namun sejarah tetaplah sejarah.”

“Iya. Jadi apa yang terjadi saat itu?”

“Dan bagaimana mereka bisa tewas?” tambah Kyle.

“Well, mereka tidak tewas. Maksudnya, mereka menghilang di dalam pertambangan namun mayatnya tak pernah ditemukan. Jadi kami nggak punya sebutan yang pas untuk hal itu. Aku menyangka dehidrasi, kelaparan, dan kelelahanlah yang membuat mereka tewas setelah berhari-hari tersesat di dalam pertambangan. Dan untuk pertanyaan satunya, peristiwa ini terjadi di tahun 1953 seingatku.”

“Apakah pertambangan mulai ditutup tahun itu?”

“Resminya, pertambangan ditutup setahun setelahnya. Ada perselisihan di meja hijau antara pihak kota dan keluarga Prescott. Pihak Prescott menginginkan agar pertambangan tetap dibuka sampai mayat-mayat itu ditemukan. Namun, pihak kota menang dan pertambangan ditutup.”

“Sebentar. Kenapa juga keluarga Prescott perduli dengan hal semacam itu?”

“Tidakkah lebih baik kau mencatat semua hal ini? tanya Kathryn.

Kyle mengetuk kepalanya dua kali layaknya Sherlock Holmes dadakan. Kathryn hanya mengangkat bahu dan meneruskan.

“Jadi … Keluarga Prescott dan McCaskey masih kerabat dekat. Tom Prescott membayar satu tim yang berisikan para penambang yang menganggur untuk mencari mayat-mayat itu. Pihak kota nampaknya sampai pada batas kesabaran, gunung di sana tidak stabil dan mereka tidak mau ambil resiko akan jatuhnya korban lagi. Pertambangan sudah ditinggalkan bertahun-tahun sebelumnya dan tak stabil secara struktur. Setelah pihak kota melarang tim evakuasi, anggota keluarga Precott turun tangan sendiri. Akhirnya, pihak kota kehabisan akal dan mangambil keputusan untuk meruntuhkan pertambangan.”

“Dengan bom?” tanya Kyle.

“Peledak, pokoknya. Hal itulah yang menyebabkan terjadinya “kecelakaan.” Pada titik ini, pertambangan tidak menghasilkan keuntungan selama beberapa tahun dan kota bangkrut. Perusahaan yang mereka sewa untuk meledakkan pertambangan nampaknya tidak kompeten, saat peledakan dilakukan, secara tidak sengaja, dampaknya berpengaruh besar pada penampungan air Drisking. Pihak kota jadi punya beban tambahan untuk memurnikan air dari timbunan lumpur dan bijih logam. Sampai dua tahun kemudian, segalanya membaik. Semua itu berkat keluarga Prescott yang melakukan revitalisasi pada Drisking.”

Ponsel Kyle bergetar dan dia mengelaurkannya dari saku. “Kimber. Dia mau kita menjemputnya.”

“Baiklah, terima kasih, Nona Scanlon. Eh, maksudnya Kathryn.”

“Tak masalah. Jika ada pertanyaan lain, datang saja ke sini. Kami nyaris terus buka saat siang. Oh! Kau bisa mengirim email.” Dia merogoh saku dan mengeluarkan kartu nama kusut dan bernoda debu.

“Terima kasih.”

“Jadi, bagaimana menurutmu?” tanya Kyle saat kami sampai di mobil.

“Aku tak tahu. Bukankah hal ini ganjil? Kenapa juga pihak Prescott perduli terhadap kota ini setelah mereka menolak membantunya untuk mencari anggota keluarga mereka? Kota sungguh ngotot melawannya, untuk apa membantu –katakanlah- musuh?”

“Mungkin mereka bersikap memaafkan dan melupakan,” ujar Kyle sekenanya.

“Apa Jimmy Prescott terlihat orang yang seperti itu?”

“Ugh! Nggak sama sekali! Ayahnya malah jauh lebih parah!”

“Itu dia! Mungkin kita harus-“

“Belok di sini. Kimber masih mengasuh dan dia ada di Amhurst.” Saat menepi, Kimber sedang ada di halaman depan dengan dua bocah yang sedang bermain di pinggiran jalan. Dia menggendong bayi yang tengah tidur dan melambai ke arah kami. Kami turun dan dia mengenalkan kami pada dua bocah yang lebih tua itu. mereka menyapa dan kemudian melanjutkan bermain.

Begitu mereka pergi, kami menjelaskan semuanya pada Kimber yang menyimak dengan tekun dan terus mengayun bayi dalam gendongannya.

“Sam benar. Semua itu tidak masuk akal. Masalahnya, ngapain juga kita mesti perduli pada sesuatu yang terjadi beberapa dekade lalu?”

“Whitney.” Kyle mengatakannya sehingga aku tak perlu melakukannya. Kilatan keterkejutan melintas di wajah Kimber dan kemudian, dia meletakkan bayi di gendongannya ke dalam boks bayi. Kemudian dia merengkuhku dan memberi pelukan khasnya. Setelah melepaskanku, dia mulai berjalan mondar-mandir. “Baiklah, jadi kita mengira jika Whitney –entah bagaimana caranya- terlibat dalam semua hal ini. Dan kau benar, jika ingin memecahkan semua ini, kita mesti memulainya dari sumbernya. Phil benar: semua misteri di sni merupakan potongan teka-teki yang lebih besar, semuanya berhubungan …” dia berhenti sejenak dan menatap kami. “Kita mesti mendatangi sumbernya untuk mendapatkan jawaban.”

“Yah. Bukan ide buruk,” kata Kyle setuju. “Aku tahu dia suka nongkrong dan mabuk bareng dengan mantan sheriff Clery.”

“Bukan, Kyle. Bukan Jimmy. Ayahnya.”

“Tom? Dia kan gila?!”

“Bagaimanapun, dia yang paham segalanya. Jimmy? Separuhnya saja aku nggak yakin dia tahu.”

“Tapi-“

Saat Kyle dan Kimber berdebat, aku menatap anak-anak yang saling kejar di sekitar pohon di halaman depan. Di sana, ada sesuatu yang terukir di batangnya, kata-kata, tidak berbeda dengan yang ada di Triple Tree di Benteng Ambercot. Aku terlalu jauh untuk bisa menerka apa bunyinya.

“Dia menangkapmu!” kudengar suara yang lebih muda berteriak pada kakaknya. “Skinned Men menangkapmu. Kau akan mati sebentar lagi!”

“N-nggak, Peter! Aku kan cuma menyentuh pohonnya.”

“Nggak! Kau tukang bohong! Kalau kau sudah ditangkap, kau bakalan bertemu dengan Shiny Gentleman!”

“Aku nggak tertangkap, kok!”

“Kimber, Josh curang!”

Aku merinding dan mengalihkan pandangan dari mereka. “Di mana rumah sakit jiwanya?” aku memotong perdebatan Kimber dan Kyle. “Dekatkah?”

“Bukan semacam rumah sakit jiwa, sih. Lebih mirip rumah jompo,” dengus Kimber. “Sejauh yang kudengar, dia di Golden Elm, letaknya di Cape Girardeau.”

“40 menit perjalanan,” ujar Kyle sambil mengeluarkan ponsel. “Biar kucek jam besuk buat hari Selasa. Kau besok kerja, Sam?”

“Tiap hari, tapi aku akan mengurusnya,” janjiku.

“Sip! Kita bahas lagi sehabis sekolah.”

Hari berikutnya berjalan layaknya Selasa terakhir bersekolah sebelum libur panjang. Kebanyakan siswa berbicara mengenai kegiatan mereka saat membolos atau mengeluhkan datangnya polisi yang memberikan surat peringatan. Tentu saja yang terakhir itu disertai raut masam yang mereka tujukan padaku.
Saat bel terakhir berbunyi pada pukul 3:30, aku segera meraih mengemasi barang-barangku dan segera menuju mobil. Kyle dan Kimber sudah menunggu.

Perjalanan makan waktu lebih lama dari yang kuperkirakan, sebab, kami sempat tersesat di Cape Girardeau. Kota ini jauh lebih besar dari Drisking, serta lalu lintasnya sungguh semrawut. Saat akhirnya tiba di Golden Elm, waktu besuk yang tersisa hanya selama duapuluh menit.

“Kami hendak menjenguk Tuan Thomas Prescott,” kata Kimber pada petugas penerima tamu. Kami menyerahkan tugas itu padanya sebab, Kimber punya semacam pesona magis tersendiri yang bisa menyulap orang paling ketus sekalipun, menjadi sosok yang amat sangat ramah dalam sekejap.

“Si Tua Tom? Wah! Dia tidak pernah kedatangan tamu lain sejak kedatangan putranya Natal yang llau. Tanda tangan di sini dan silahkan pakai tanda pengenal pengunjung. Kalian masih kerabat kalau begitu? Apa kalian tahu di mana ruangnya berada?” Perawat itu mengangkat alisnya sedikit sebagai tanda curiga.

“Maaf sekali, kami tidak tahu,” ucap Kimber. “Ibu memintaku menjenguk Paman saat berada dalam urusan penting. Seharusnya, aku meminta informasi lebih banyak darinya, tapi sayangnya, dia tak punya banyak waktu untuk menelepon.”

“Oh, tentu … tentu, Sayang. Mari kutunjukan tempatnya.”

Kemudian kami dipandu ke kamar Tom Prescott yang ternyata dalam keadaan kosong. Dia kemudian menunjuk ke aula dan berkata “Dia suka membaca di tempat terang sana.”

Kami berjalan menyusuri lorong dan mendapati seorang pria tua yang kurus sedang duduk tanpa teman dan berbisik pada dirinya sendiri, sebuah papan catur bersama bidak-bidak yang ia atur sedemikian rupa, terhampar pada meja di hadapannya.

“Tom Prescott?” sapa Kimber dengan senyum mengembang.

Dia tidak menoleh dan aku berpikir jika dia tidak mendengarnya sama sekali. Kimber menghela nafas dalam-dalam sebelum mencoba lagi, namun tiba-tiba, pria tua itu menghantam meja dengan keras.
“Akulah dirinya! Akulah Tuan Thomas Prescott! Jangan panggil aku Tom; anak-anak, dulu lebih punya sopan santun.”

“Maaf, Tuan,” ucap Kimber lembut sambil mengambil posisi duduk di seberang meja menghadapnya.

“Anak muda seperti kalian ini benar-benar tak tahu adat! Kau tahu siapa aku? Semua ini gara-gara anakku. Ibu anak itu mestinya memecut bokongnya! Tapi dia terlalu lunak. Akibatnya bocah sialan itu kini mondar-mandir di kotaku membual, memamerkan kebejatan dan kekurangajarannya!”

“Mohon maaf, Tuan Prescott. Kami tak bermaksud tidak sopan. Kami sungguh menghormati Anda. Andalah sosok yang membangun kota hingga maju seperti sekarang ini. Semua orang tahu benar akan hal itu. Dulu, Drisking begitu menderita dan sekarat, kemudian, Anda datang dan menyelamatkannya. Kami paham akan itu.”

“Kulakukan apa yang seharusnya,” gerutu pria tua itu. “Kota itu punyaku. Sampai sekarang masih milikku! Siapa kau, Nona cilik, datang-datang mau mengatakan sebaliknya, heh?!”

“Oh, tidak. Bukan. Bukan itu yang saya katakan.” Kimber mengubah taktik. “Dan kami … kami adalah anak-anak Meera McCaskey. Anda ingat keluarga McCaskey?”

“Heh? Jadi kau cucunya Aida. Pantas kau tak ada di sana.” Kami bertiga saling menatap bingung.

“Kami tepat di sini, Tuan Prescott,” kata Kimber.

“Kau tahu betul apa maksudku, Nona cilik! Semua! Mereka semua tahu. Mereka tahu aku menyelamatkan kota. Kota itu milikku! Tentu saja mereka membiarkanku melakukan apa saja asal uang terus mengalir. Karena itulah kota itu punyaku.”

“Apakah uang masih terus mengalir?” selidik Kimber.

“Nah, kau di sini sekarang, ‘kan? Mereka tak suka hal itu, tapi tetap saja mengantongi uangnya. Mereka tak tahu. Tidak semuanya, namun, mereka menyurigai beberapa. Dan pastilah mereka tidak keberatan! Soalnya, mereka terus memilih Clery dan mengambil uangnya!”

Prescott mengambil sebuah pion dan memainkannya menggunakan jemari sambil bicara. “Semua itu ibarat kata sebutir debu. Sebutir debu yang bagus dan lembut. Debu tak tahu apa sebenarnya diirnya, dia tak tahu apa itu keburukan. Orang-oranglah yang mengatakannya buruk. Namun hal itu harus dilakukan. Kau tahu itu, Aida, kau tahu betul kita mesti melakukannya!”

Kimber memancingnya. “Saya tahu. Saya tahu kita harus melakukannya. Masalahnya adalah putra Anda. Saya pikir dia melakukan kekeliruan.”

“Tentu saja!” Prescott tua menghantam meja lagi, dua benteng jatuh dan menggelinding di atas lantai. “Mereka milikku! Dia merebutnya dariku. Pikirnya, dia bisa mengurusnya dengan lebih baik, tapi dia merebut milikku dan menghancurkan warisanku. Berpuluh-puluh tahun kerja keras, sekarang dikuasai oleh debu-debu. Semua itu cuma hamparan debu dari reruntuhan sebuah dinasti!”

“Bagaimana tentang Skinned Men?” tanyaku terbawa suasana.

“Kau ngomong apa, Bocah?!”

“Dan rumah pohon! Triple Tree, apa arti semua itu? apa fungsinya?”

“Triple Tree? Aku tak pernah memerintahkan yang semacam itu. Kami membayar tiga kali lipat tapi cuma untuk sementara saja, saat semuanya berjalan lambat. Kami tak pernah menentukan harga tiga kali lipat; buruk buat bisnis.”

“Di mana itu Bor-“

“Apa anak tolol itu bilang hal semacam itu padamu?! Jadi dia menawarimu harga tiga kali lipat? Dia menghancurkan kotaku, yah?! Bajingan, Jimmy! Bawa dia ke sini! Aida, telepon anakku, bilang ke Jimmy aku mau bicara! Bilang padanya mereka masih milikku! Aida! Aida, telepon Jimmy sekarang!”

Kimber melompat bangkit dan Kyle menahan punggungnya saat si tua Prescott berdiri, tubuhnya yang jangkung terlihat mengintimidasi. Kami berjalan mundur, dan kemudian, petugas jaga sebelumnya yang mengantar kami muncul dengan muka kesal dan mengusir kami. Lama setelah kami sampai lobi, suara Tom Prescott yang meneriakan nama anaknya masih bisa terdengar.

Perjalanan pulang diliputi diam yang tegang. Dalam kebisuan itu, aku mencoba menyusun kepingan-kepingan misteri, berusaha mencari jawaban. Skinned Men, Triple Tree, Shiny Gentleman, dan debu. Semua hal itu nampak muncul dari antah berantah, sungguh acak dan tanpa makna. Kabut misteri yang menghalangi pandanganku begitu tebal, namun, aku semakin dekat dengan Borrasca dibanding sebelum-sebelumnya. Aku bisa merasakannya di sekitarku namun, aku tak bisa melihatnya. seolah-olah, aku nyaris bisa menyentuhnya namun aku tak mampu untuk memahaminya.

Tiba-tiba aku tersadar Kyle telah menepikan mobil dan pikiran yang berkecamuk dalam kepalaku tersingkirkan. Dia berhenti di sebuah taman dan kemudian menoleh ke arahku yang duduk di bangku belakang.

“Apa ini benar-benar mengenai Whitney, Sam?”

“Ya.”

Kimber mengawasi kami dengan tatapan khawatir.

“Apa yang kau pikirkan? Polisi, bahkan ayahmu yakin bahwa Whitney kabur.”

“Aku tak memercayai mereka,” kataku dari balik gemertak gigi yang saling beradu.

“Begini, Sam, kita masuk kian dalam kini, dan aku selalu mendukungmu. Tapi aku harus tahu alasan kenapa kita melakukan semua hal ini. Ditambah lagi dengan melibatkan Kimber … aku mesti tahu bahwa semua ini benar-benar berharga dan dengan alasan masuk akal, bukan hanya semata-mata … obsesi buta.”

Aku menglihkan pandangan ke arah jendela, kusadari kemudian kami menepi tidak jauh dari Jalur Penambangan Prescott Lingkar Barat. Dia punya hak untuk khawatir terlebih lagi demi melindungi KImber. Kyle memikirkan hal ini, begitu juga aku: debu itu … jika Borrasca berarti berhubungan dengan gunungan narkoba, apakah aku harus melibatkan sahabat-sahabatku lebih jauh? Semua ini bukanlah pertempuran mereka. Aku menyayangi mereka, berhakkah mereka menanggung resiko untuk kehilangan nyawa hanya demi rasa penasaran dan dendamku semata? Namun, semakin aku berharap bisa merelakan mereka, aku sadar benar bahwa keberadaan mereka sungguh kuperlukan.

“Aku mesti tahu apa yang menimpa Whitney sebenarnya,” desisku.

Kyle membalikan badan tanpa berkata-kata dan Kimber meletakkan tangannya pada tannganku. Kukibaskan tangannya dan bersidekap, namun kemudian langsung meminta maaf. Kimber menyunggingkan senyum penuh pengertian.

Kyle mendesah, “Sam …,”

Kalimatnya terpotong oleh nada dering ponsel Kimber. Kimber berusaha untuk mematikannya, namun saat melihat nama pemanggil di layar, dia menjawab dengan cepat.

“Ayah?”
…..
“Apa? Sebentar, ap-apa maksudnya?”
…..
“Ayah?”
……
“Sebentar, pelan-pelan. Halo?” Dia menjauhkan ponsel dari telinganya. “Sesuatu menimpa ibuku, dia di rumah sakit sekarang!” Air mata mulai menggenang di mata hijaunya yang lembut.

Kyle langsung memasukkan persneling dan menginjak pedal gas dalam-dalam. Perjalanan sepuluh mil kami tempuh hanya dalam hitungan menit, sungguh sebuah pelanggaran mengebut yang luar biasa. Kyle menghentikan mobil di pintu depan ruang gawat darurat, aku dan Kimber langsung berlari masuk.

Seorang deputi menunggu. Dia menolak menjawab pertanyaan putus asa dari Kimber, dia hanya mengantar kami pada ayahku. Saat deputi itu membuka pintu, kulihat ayahku berdiri di samping ayah Kimber. Aku mencoba tegar untuk menghadapi segala kemungkinan terburuk.

Ayah Kimber membimbing putrinya ke sebuah pojokan dan ayahku membimbingku kea rah lainnya. Sebelum ayah mengucap sepatah kata pun, kulihat Kimber jatuh merosot lemas di ruang sebelah. Aku menatap ayah dengan putus asa, dan dia mengangguk simpatik untuk kemudian mendekapku erat-erat.

Kami duduk di pojokan dan aku hanya bisa menatap kosong kedua tanganku saat ayah menjelaskan dengan suara pelan: Nyonya Destaro berbelanja sekitar pukul satu, pulang, meletakkan belanjaan, membuat dua lasagna dan daging lapis untuk kemudian ia letakkan dalam kulkas. Kemudian wanita itu masuk ke mobil, berkendara menuju rumah sakit, memarkir mobil, menaiki tangga hingga sampai pada lantai tujuh dan kemudian melompat dari sana. Dia bertahan hidup cukup lama untuk memohon maaf pada petugas jaga gawat-darurat yang menemukannya.

Aku melihat tubuh Kimber yang lemas itu jatuh di atas lantai, sementara tubuh ibunya, perlahan menjadi semakin dingin di ruang jenazah, satu lantai di bawah kami.

No comments:

Post a Comment

Creepypasta Indonesia, Riddle Indonesia, Cerita Seram, Cerita Hantu, Horror Story, Scary Story, Creepypasta, Riddle, Urban Legend, Creepy Story, Best Creepypasta, Best Riddle, short creepy pasta, creepypasta pendek, creepypasta singkat