Thursday, September 14, 2017

6 Minutes


6 Minutes - Aku rasa aku harus memulai cerita ini dengan fakta bahwa aku bukanlah orang yang beragama. Maksudku, aku masih tidak beragama, tapi setidaknya sekarang aku tahu bahwa ada sesuatu yang lebih dari hanya “Kita.” Aku tidak tahu tentang apa itu Rencana Utama atau Penghakiman Terakhir, tapi aku benci untuk memberitahu kalian bahwa aku ini atheis, ada dunia lain yang menunggu ketika kalian meninggal.

Nah, sekarang, aku berharap aku bisa memberitahukan kalian bahwa aku meninggal dengan hormat dan penuh berkat, tapi sayangnya itu akan menjadi kebohongan yang keji. Aku adalah seorang yang lebih baik kukatakan sebagai orang yang menyediakan servis keintiman. Well, mungkin kalian lebih suka memanggilku pelacur. Dengan nafsu seksualku, digabungkan dengan masalah ayah, meninggalkanku sebagai anak ‘Broken Home’ yang mencari perhatian dimanapun aku bisa mendapatkannya. Tinder, Grindr, dan bahkan Craiglist. Dimanapun lelaki sedih dengan uang lebih mencari “teman” disanalah biasanya aku pergi. Usia 19 adalah usia yang sulit jikalau kau menjadi seorang prostitusi, tapi kau tidak bisa banyak memilih. Aku cukup cantik dan uangnya juga cukup untuk membuatku tidak tidur di kolong jembatan beralaskan kardus. Well, satu malam, setelah sebuah pesta bujangan dan aku sedang berargumen keras tentang apakah aku akan mendapatkan 200 dollar seperti biasa, semuanya berubah menjadi keras. Teriakan, lemparan barang, saling meninju, sebelum aku tahu bahwa sebuah pisau sudah menancap di pinggangku. Aku adalah seorang pelacur kebingungan yang mati karena kehabisan darah di ruang tamu seorang pria asing.

6 Minutes - Sang Kematian adalah seorang pria yang cukup keren. Mungkin sekitar umur 20an, rambut coklat terang, pria pekerja dengan jas dan dasi. Cukup tampan jikalau aku boleh jujur. Aku tidak bisa memberitahukanmu apa yang kurasakan saat hampir mati. Semuanya terjadi begitu cepat, dan sang Kematian cukup terburu-buru dan aku mengerti karena dia bukan orang yang suka membuat waktu. Aku hanya menerima bahwa aku sudah mati, tidak banyak yang bisa kulakukan.

Sang Kematian berjalan denganku menuju ke trotoar apartemen pria itu dan kami naik bus yang kelihatannya biasa saja, dan mulai berjalan. Bus itu terisi oleh beberapa orang. Orang-orang itu tidak terlihat semenarik yang dibelakang mereka. Aku mengambil tempat duduk di belakang sang Kematian.
“Jadi kemana kita pergi?” Aku bertanya sebagaimana seorang mati bertanya.
Sang Kematian hanya menghela nafas dan agak acuh tidak acuh, atau kesal? Menjawab “Tempat berikutnya.”
“Keren… dan apa itu?”
“Tidak tahu. Bukan pekerjaanku untuk tahu.”

6 Minutes - Aku tidak bisa bilang kalau jawaban itu menyenangkanku, tapi perduli setan. Sang Kematian tentunya tidak akan memberikanku informasi apapun, jadi aku hanya duduk dan menunggu. Kami menjemput beberapa orang lainnya yang berusaha sebaiknya untuk menjaga diri mereka. Setiap kali kami mencapai tempat baru sang Kematian selalu turun dari bangku pengemudi, meninggalkan bus, dan kembali dengan orang baru. Biasanya orang yang sudah tua. Aku adalah orang termuda disana.
Pemberhentian terakhir kami adalah di kota kecil dekat tempat tinggalku. Bau asap memenuhi bus. Ada rumah yang kebakaran dan kau bisa mendengar teriakan orang-orang. Sang Kematian berhenti di depan rumah, keluar, dan membawa 2 anak kecil yang tertutup abu. Ini pertama kalinya aku merasa negatif semenjak aku mati. Anak yang paling tua adalah lelaki berusia 11 tahun. Yang lainnya perempuan berusia 8 tahun. Aku juga memiliki adik seumuran mereka sebelum ayahku mengusirku keluar rumah. Itu adalah hal yang membuatku merasa sangat sedih sebelum memutuskan untuk move on dengan hidupku sendiri. Aku tidak bisa memberitahukan apa yang membuat mereka duduk di sebelahku. Mungkin karena hanya aku yang termuda disana? Apa karena aku sudah duduk di depan bus? Aku tidak tahu. Ketika mereka duduk gadis kecil itu menarik bajuku.

“Dimana mommy?”
Bocah lelaki itu terdiam dan menahan tangis. Aku tidak tahu apa yang harus dikatakan. Sangat aneh ketika usia muda dan kau memahami apa itu kematian. Aku pikir semuanya belajar pada waktu yang berbeda di hidupnya, tapi untuk keluarga ini diantara 8 dan 11.
“Bukankah dia sudah memberitahumu? Dia tinggal untuk menjaga Daddy, tapi mommy berkata untuk membawamu jalan-jalan. Apa kau suka itu?”
6 Minutes - Gadis kecil itu mengangguk dan tersenyum lebar ke arahku. lelaki itu melihatku dari balik adiknya. Dia melihatku cukup lama dan melihatku dengan tajam. Aku menaruh tanganku di bahunya dan tersenyum meyakinkan sebisaku. Dia hanya membuang muka dan menaruh wajahnya di tangan.
Kami naik bus itu sudah beberapa jam. Sang Kematian terus menyetir tanpa mengedipkan mata. Tidak banyak orang yang berbicara. Beberapa saling mengobrol tentang kehidupan sebelum meninggalnya dan bagaimana mereka meninggal, tapi sisanya tidak mengeluarkan suara sama sekali. lelaki itu berhenti menangis beberapa saat setelah adiknya tidur. Aku mencoba berbicara dengannya tapi dia tidak menjawabku. Aku tetap mencoba. Untungnya setelah 9 atau 10 lelucon yang aneh, dia mulai tertawa kecil, dan untuk pertama kalinya aku merasa bahagia setelah mereka masuk ke bus.

“Namaku Tommy.”
“Namaku Cal, senang bertemu denganmu Tommy.”
Tommy tersenyum.
“Tommy, siapa nama temanmu ini?” kataku, sambil mengelus kepala gadis kecil.
“Dia adik kecilku, Sarah.”
“Aku sangat senang bertemu kalian berdua.” Kataku sambil tersenyum lebar. “Kau sungguh kuat. Kau lebih kuat daripada aku saat seusiamu.”
6 Minutes - Tommy tersenyum dan kami berbicara tentang banyak hal. Tapi akhirnya dia pun tertidur. Aku tetap terjaga. Aku tidak bisa tidur. Bus ini sudah bergerak sangat lama tapi aku tidak merasa capai sama sekali. Diluar hanyalah padang pasir sejauh mata memandang. Kami sudah jauh melewati apapun yang mewakili peradaban manusia, dan masih seperti itu sampai, beberapa kilometer terlihat, sebuah figur hitam. Semakin kami dekat, semakin terlihat bahwa itu adalah rumah.

Rumah itu hanya satu lantai dan terbuat dari batu bata dan semen. Kelihatannya seperti seseorang mengambil rumah dan melemparkannya ke tengah-tengah kekosongan. Rumah itu benar-benar tidak pada tempatnya di tengah padang pasir, dan tentu saja, sang Kematian tidak perduli sedikitpun.
Kami berhenti di depan dan sang Kematian berdiri dan mengambil catatan dari balik jaketnya. Dia melihat dan membacakan dengan suara monoton alanya.
“Pemberhentian pertama. Thomas Gables. Sarah Gables. Theodore Witchem. Ayo berdiri dan turun.”
Anak-anak itu bangun mendengar nama mereka dipanggil dan melihat sekitar, bingung. Aku menarik mereka mendekat kearahku, sedikit berpikir mengapa namaku tidak terpanggil dan mungkin saja aku akan kehilangan beberapa hal yang aku sayangi di dunia ini. Aku melihat sekeliling bus dan seorang pria yang kuasumsikan sebagai Theodore berdiri dan bergerak dengan gelisah ke depan bus. Dia menggumamkan sesuatu yang kacau. Sang Kematian mulai menghentakan kakinya dan akhirnya berjalan menemui Theodore di tengah bus, menarik bajunya, dan melempar dia keluar dari bus. Theodore panik dan mulai berteriak kalau dia tidak tidak bisa masuk ke dalam. Bahwa ini tidak terjadi. Aku bisa merasakan Sarah memegang tanganku sangat erat dan kepalanya dibenamkan di dadaku. Dia tahu ini bukan liburan. Dia tahu ada yang salah.

6 Minutes - Menyadari bahwa sang Kematian tidak membiarkan dia masuk lagi ke dalam bus Theodore melihat sekali lagi ke rumah itu, bergumam sesuatu, dan mulai berjalan kearah bus datang. Sang Kematian puas bahwa dia sudah menyelesaikan pekerjaannya disini dan kembali melihat di dalam bus dan mengecek orang-orang sampai tatapannya berakhir di anak-anak sebelahku. Tommy memegang tanganku dan meremasnya sangat kencang.
“Saatnya turun dari bus.” Kata sang Kematian.
- itu bergetar, tapi tetap terduduk di tempat mereka. Sang Kematian dengan berhati-hati mencengkram Tommy.
“Tunggu!” Kataku tergagap. Aku berdiri dan aku berada di tengah-tengah antara sang Kematian dan anak-anak itu. “Aku akan pergi dengan mereke.”
Alis sang Kematian mulai mengkerut. “Tapi ini bukan pemberhentianmu.”
“Aku tidak perduli.”
“Baiklah.” Kata sang Kematian sambil menghela nafas. “Lakukan apa yang kau inginkan. Cepatlah turun dari busku.” Katanya sambil melambaikan tangannya ke anak-anak itu.

Aku berbalik dan berlutut. “Well anak-anak, ini adalah pemberhentian kita.” Sarah melingkarkan tangannya ke leherku dan Tommy menggandeng tanganku sambil kami berjalan keluar dari bus. Segera setelah kami turun, bus itu langsung melaju lagi, meninggalkan kami di tengah-tengah debu. Aku melihat kearah kami datang dan Theodore tidak terlihat dimanapun. Aku menatap rumah itu dan aku merasa familiar dengannya. Rumah ini mirip dengan rumah tempat aku tumbuh besar. Kami bertiga berjalan ke pintu dan mengetuk.
6 Minutes - Aku berpikir yang terburuk. Iblis dan rantai adalah apa yang ingin aku lihat semenjak aku duduk di bus. Jadi kalian bisa berimajinasi tentang kekagetanku saat orang yang membuka pintu adalah pria tertampan yang pernah aku lihat. Usianya mungkin hampir 30, rambutnya berantakan dan pirang, dengan penampilan kasual.
“Keren. Aku mulai berpikir kapan rumah ini akan kedatangan tamu. Namaku Erick, ayo masuk!”
Erick menjelaskan bahwa rumah ini sama dengan ruang tunggu yang sangat besar. Kami menunggu sampai ada seseorang datang untuk menjemput kami. Semuanya pasti dijemput. Tapi dia tidak tahu kapan, namun itu pasti terjadi.

Rumah ini sangat luar biasa. Semua yang kau inginkan ada disana. Dapurnya selalu terisi makanan dan permen, kamar tidurnya juga terisi dengan semua permainan yang ingin kumainkan tapi tidak pernah bisa sebelumnya, dan ruang tamunya terisi dengan semua film yang paling bagus. Sangat mudah untuk hidup disana. Namun tentunya sangat sulit untuk melihat waktu. Hanya ada 1 jam dinding di dalam rumah tersebut dan hanya ada di ruang tamu. Itu adalah jam digital berwarna biru. Aku benci mengakuinya, tapi aku selalu terobsesi dengan jam dinding itu. Seperti aku bisa terhipnotis dengannya. Aku tidak pernah bisa berhenti untuk melihat.

6 Minutes - Kami menghabiskan beberapa hari pertama untuk mengobrol dan mengenal satu sama lain. Kami mengerti siapa kami waktu masih hidup. Tentu saja, aku meninggalkan beberapa aspek hidupku demi kenyamanan itu, tapi tidak dengan Erick. Hari berganti ke minggu, yang mana kami isi dengan film dan permainan. Berkompetisi dan pesta. Minggu berganti ke bulan. Kami mulai terikat secara emosional. Aku merasa untuk pertama kalinya perduli dengan orang lain dan orang-orang ini adalah orang yang sangat kuperdulikan daripada hidupku sebelumnya. Anak-anak itu tertawa dan tersenyum dan aku sangat bahagia. Bulan berganti dengan tahun dan itu semua mulai melelahkan kami. Kami tidak pernah menua. Kami tetap sama dengan hari dimana kami meninggal, tapi tanpa tanda-tanda kematian pastinya. Tapi biarpun begitu kesehatan kami didapat dari pertengkaran. Ketidaksepakatan tentang dunia yang kami tahu sebelumnya menjadi bahan pembicaraan kami dan opini yang tidak terlalu penting. Sejujurnya, aku menikmati itu. Kelihatannya seperti kami adalah keluarga utuh. Tahun berubah menjadi dekade dan mulai menurunkan semangat kami. Menghantam Erick sangat keras. Dia sudah lebih lama daripada kami di rumah itu, dan dia mulai membicarakan mengapa dia belum juga dijemput. Erick mulai depresi dan kami tidak bisa melakukan apapun untuk menenangkan dia.

48 tahun berlalu semenjak aku dan anak-anak turun di rumah itu ketika Erick membawa kami ke ruang tamu. Dia tidak pernah memberitahu kami apa yang dia rencanakan atau memberikan kami peringatan. Dia hanya melakukannya. Aku tidak tahu bagaimana rumah mulai terbakar, yang kutahu Erick yang mulai membakar. Api menjalar sangat cepat di tembok sampai aku tidak bisa melarikan diri. Api juga membakar lantai dan kaki kami dan aku mendengar teriakan sebelum aku merasakan panasnya api itu.
Aku tidak yakin kapan api itu berhenti. Mungkin karena kami sudah mati, tapi itu tidak membuatku menjadi lebih mudah. Akhirnya rasa terbakar itu berhenti dan berganti dengan dingin yang melumpuhkan. Mungkin kalian berpikir aku beruntung, tapi kau tidak perlu mendengar teriakan yang lain. Itu adalah yang terburuk. Aku tidak tahu berapa lama aku disana sebelum aku menyadari jam dinding.
6 Minutes - Bagaimana mungkin aku bisa melewatkan itu? Dengan angka yang muncul dengan warna biru terang melawan nyala api merah itu, itu seperti lampu tembak ke wajahku. Aku hanya bisa melihat fokus kesana. Melihat dan menghitung setiap menit aku mendengar keluargaku terbakar.
Menit menjadi jam. Jam menjadi hari. Hari menjadi minggu. Minggu menjadi bulan. Bulan menjadi tahun. Aku berhenti menghitung setelah 60. Aku tidak yakin apakah aku sudah gila. Ketika aku memulai aku meminta maaf atas apa yang tidak bisa kulakukan. Kuberitahukan padamu itu tidak mudah.

Aku diberitahukan bahwa aku terbangun di rumah sakit sambil berteriak. Suster disana sampai harus memberikanku bius dan membuatku dalam keadaan koma selama beberapa jam dan membangunkanku perlahan. Kata mereka aku beruntung karena tetangga memanggil polisi ketika mereka mendengarkan teriakan di apartemen sebelah. Aku diberitahukan bahwa jika ambulans tidak datang kesana tepat waktu aku tidak akan bisa kembali lagi.

Aku diberitahukan bahwa aku sudah mati selama 6 menit.
6 menit terasa selamanya di neraka

No comments:

Post a Comment

Creepypasta Indonesia, Riddle Indonesia, Cerita Seram, Cerita Hantu, Horror Story, Scary Story, Creepypasta, Riddle, Urban Legend, Creepy Story, Best Creepypasta, Best Riddle, short creepy pasta, creepypasta pendek, creepypasta singkat