Tuesday, September 12, 2017

WARUI HITO - わるい ひと - Sorry - Maaf


Malam itu kami habiskan lagi dengan menyesap kopi hitam di bawah taburan bintang. Baik di Jakarta maupun kota-kota lain yang pernah kudatangi, tidak pernah sekalipun aku melihat langit dengan bintang-gemintang yang bersinar cerah seperti ini. Sungguh, melihat keindahan ini membuatku percaya kalau Tuhan memang ada.

“Di sini tenang banget ya sob. Romantis lagi. Sayangnya gue malah berduaan di sini sama elo. Bukannya sama Cika atau Clara,” ujar lelaki yang tengah duduk menghadap sungai sambil memeluk lututnya di sampingku

Aku menoyor pelan kepalanya. Namun dapat kupungkiri kalau tempat ini memang sangat romantis. Bulan yang bersinar cerah, ditemani ribuan bintang yang berkelip manja. Serta Sungai Kapuas yang mengalir di depan kami. Bahkan di atas permukaannya pun lukisan langit malam terpantul dengan sempurna.

Saat itu kami, aku dan Harada, sedang berada di pedalaman Kalimantan Barat. Tepatnya di Kabupaten Landak. Kami berdua pergi ke tempat ini karena tugas di akhir masa perkuliahan kami. Ada sepuluh orang yang pergi ke Kalimantan Barat. Di propinsi ini, kami dipisah menjadi 5 kelompok yang masing-masing terdiri dari dua orang untuk mengambil sampel air Sungai Kapuas dari hulu ke hilir untuk kemudian diteliti kadar merkurinya.

“Elu bisa bayangi gak si Bejo sama Karin harus pergi ke hulu sungai ini. Gila, delapan belas jam naik bis dari Pontianak. Belum lagi itu tempat pasti lebih hutan dari daerah kita,” ujarnya pelan sambil menyesap kopinya.

Tempat kami memang paling dekat dari Pontianak. Berbeda dengan Bejo dan Karin yang harus pergi ke hulu sungai. Namun ini semua sebenarnya ditentukan oleh takdir, sebab kelompok dan tempat pengambilan sampel semuanya dilakukan dengan pengundian. Dan untungnya aku mendapat Harada sebagai partner, kawanku sedari semester satu sampai sekarang.

“Tapi seenggaknya mereka dikasih pemandu. Lha kita harus jalan sendiri. Buka tenda sendiri, masak sendiri. Untung ada yang antar jemput pake perahu.”

Harada masih terdiam. Dari kejauhan aku mendengar suara binatang yang entah apa namanya berteriak dan sahut menyahut satu sama lain. Sial, bulu kudukku kembali merinding.

“Udah mau tidur belum elo? Mata gue udah berat banget nih, banyak nyamuk lagi!” ujarnya perlahan.

Aku hanya mengangguk. Kemudian berdiri sambil menyiram air pada api unggun yang kami nyalakan tadi sore. Sedangkan Harada berjalan ke arah sungai sambil membawa senter kecil.

“Mau ngapain elo Harada?” tanyaku padanya.

“Buang hajat,” ujarnya.

Aku pun masuk ke dalam tenda kecil dan mengecilkan cahaya dari lampu emergency yang kami bawa. Dengan perasaan lelah kurebahkan badanku dan menarik selimut menutupi badanku. Saat sedang mencari posisi yang enak bagi kenyamanan punggungku, Harada membuka retsleting tenda dengan tergesa dan masuk ke dalam dengan muka sepucat bulan.

“Kenapa elo?” tanyaku heran sedikit takut.

“Tadi..., itu..., di sana,” ucapnya terbata sambil menunjuk ke arah sungai. Aku masih menunggu jawabannya dengan cemas sampai akhirnya ia terdiam dan menjawab dengan singkat, “gak jadi.”

Kemudian ia pun merebahkan badannya di sampingku. Lalu memunggungiku dengan segera. Mau tak mau aku pun terdiam. Sambil mencatat dalam hati kalau aku harus menanyakan masalah ini padanya esok pagi.

***

“Oi Harada, elo yakin itu ayam boleh kita makan?” bisikku pada Harada.

“Ssssstttt,” ujarnya tak kalah pelan, “nanti dia kabur.”

Harada mengangkat senapan anginnya perlahan. Mengeluarkan moncongnya dari semak-semak tempat kami bersembunyi dan mengarahkannya ke ayam berbulu hitam yang sedang mengais tanah dengan cekernya. Dengan satu tarikan pelatuk, hal berikutnya yang kutahu adalah ayam itu sudah ambruk ke tanah.
Tidak kurang dari satu jam ayam itu sudah berbaring telanjang di atas api yang dibuat oleh Harada. Walaupun aku lumayan takut untuk mengkonsumsi ayam itu.

“Elo gak heran apa ada ayam cemani di dalam hutan gini?” ujarku perlahan.

“Biasa aja sih. Anggap aja rejeki, udah bosen gue makan mie terus lima hari ini!” katanya sambil mengipasi api unggun yang berada di tengah kami.

“Tapi kita kan bakalan pulang dua hari lagi. Tahan aja kenapa sih!”

Kami sudah membuat janji pada Bang Jaya, pengemudi perahu yang membawa kami ke bantaran sungai lima hari lalu. Dari sana kami menjelajah masuk ke dalam hutan dan membuat kesepakatan untuk bertemu lagi di titik temu sungai yang lain. Selama tujuh hari itulah kami mengambil sampel air.

“Kalau elo gak mau makan ya udahlah, gue yang ngabisin ini ayam,” jawabnya santai.

Akhirnya aku hanya terdiam. Sambil mendengar suara serangga dan sesuatu yang terjatuh dari kejauhan. Hampir setiap hari kami mendengar suara seperti itu sampai-sampai aku jadi terbiasa mendengarnya. Tiba-tiba aku jadi teringat pada sesuatu.

“Eh Harada, elo kenapa semalam?” tanyaku heran.

“Semalam gue ngeliat kayak ada lelaki kurus gak pake baju berdiri di seberang sungai. Gelap banget sih memang, tapi elo kan tahu semalam bulan terang banget. Samar-samar setelah gue ngelihat dia, laki-laki itu pergi begitu aja. Dan entah kenapa gue jadi takut banget,” ujarnya sambil memandang ke arahku.

“Elo yakin gak salah liat?”

“Gak tahu jugalah,” ia mengambil ayam berdaging hitam di depan kami dan menaruhnya di dalam piring, “jadi beneran elo gak mau makan ini?”

Aku menggeleng lemas. Saat ia mulai sibuk memamah biak daging itu, kurasakan kemihku berdenyut secara jumawa. Aku pun beranjak ke arah pepohonan.

“Mau kemana elo?” tanya Harada singkat. Walaupun tatapannya masih terpaku ke arah ayam cemani yang ia makan.

“Kencing!” jawabku singkat.

Aku bergegas berjalan ke arah semak-semak di dalam hutan. Lagi-lagi, aku mendengar suara benda terjatuh dari kejauhan. Namun desakan kemihku lebih kuat daripada rasa penasaranku. Aku pun membuka celana dan melepaskan hajatku di sana.

Saat sudah selesai, aku berbalik untuk kembali ke arah Harada. Mulanya aku mengira kalau sosok itu hanya khayalanku. Tapi dengan kecepatan yang luar biasa, seorang lelaki yang memakai celana cokelat yang sudah koyak disana-sini dan baju kekurangan bahan melempar parangnya tepat ke arahku. Aku hanya bisa berteriak sebelum akhirnya kesadaranku meninggalkan tubuhku dengan tergesa-gesa.

***

Aku melihat lelaki itu berlari. Seutas tali yang mengikat bakul masih menggantung di lehernya. Namun ia tidak peduli. Mukanya terlihat ketakutan. Tidak, mukanya adalah ekspresi kengerian yang tak pernah kulihat sebelumnya.

Lelaki itu tidak memakai baju, celana kain cokelatnya tampak berlubang di sana-sini. Saat ia berlari, untaian benang dan carikan kain menari dari celana. Tiba-tiba saja, salah satu akar tanaman mencuat dan menjegal kakinya. Ia terpelanting, lalu jatuh terbaring di lantai hutan.

Aku berjalan mendekatinya. Kemudian berlutut di sampingnya dan mencoba mengecek nadi lelaki itu. Namun baru separuh tanganku terjulur. Ia bangkit, matanya yang semerah darah menatapku lekat-lekat. Ia membuka mulutnya, berbagai jenis serangga terbang dari dalam sana.

“Warui hito!” ia berteriak sampai semua urat di lehernya menegang . Ia menunjuk ke arahku dengan tangan kurusnya. Kengerian memuncak lagi di ekspresi. Ia berteriak lagi, saat itulah aku sadar ia tidak menunjuk ke arahku, tetapi ke bagian belakangku. Aku menoleh dengan perlahan dan melihat seseorang yang sepertinya pernah kulihat berlari ke arahku. Ia memakai pakaian tentara berwarna cokelat dan membawa samurai di tangannya.

“Dai nippon!” lelaki kurus itu kembali berteriak sambil berusaha kabur. Tetapi tentara itu sudah berada di depanku. Hal berikutnya yang kutahu, samurai itu telah berhasil menebas kepalaku dari tubuhnya. Menyisakan jeritan yang tertahan di ujung mulutku.

***

Aku mengerang perlahan. Lalu mengangkat tanganku dan mengarahkannya ke leher dengan panik. Masih tersambung! Pikirku lega. Harada sudah duduk di sebelahku sambil membantu duduk di lantai hutan.

“Elo gak apa-apa, Are?” ia bertanya perlahan. Namun belum sempat aku menjawab. Aku kembali tersentak melihat lelaki yang melempar parangnya tadi telah duduk di belakang api unggun sambil ikut mengunyah ayam cemani yang dibakar Harada.

“Udah, tenang aja. Dia orang baik kok!”

Setelah meminum air yang diberikan Harada untuk menenangkan diriku, kawanku yang berdarah Jepang itu mengajakku duduk di salah satu batang kayu dan mengenalkanku ke orang yang hampir membunuhku tadi.

“Ini Bang Sodon. Tadi dia ngelempar parang buat ngebunuh ular di belakang elo!” ujarnya sambil menunjuk seutas ular yang terpanggang di dalam api unggun.

“Kalau di hutan harus hati-hati. Jangan sembarangan!” ujar Bang Sodon pelan. Kemudian ia pergi dan beranjak. “Abang pergi dulu, masih mau noreh! Kalian hati-hati di sini, jangan takabur!”

Harada tersenyum dan mengucapkan terima kasih kepada orang itu. Setelah ia pergi, aku bertanya pada Harada.

“Dia orang yang elo lihat semalam?”

Harada menggeleng, “Bukan. Dia bilang di seberang sungai sana gak ada penghuninya.”

Lelaki itu terdiam, tampak menyembunyikan sesuatu dariku. “Terus?”

“Gue kasih tahu tapi elo jangan parno ya!” aku mengangguk walaupun tak yakin, “dulu di sini ada Tragedi Mandor. Waktu itu tentara jepang membantai seluruh pribumi di sini. Korbannya banyak banget. Mereka ditangkap dari rumah. Terus dibawa ke tanah lapang. Nah, di situ mereka disuruh gali lubang kubur sendiri. Habis itu kepala mereka ditutup pake bakul terus dipenggal. Peristiwa itu terkenal banget kata Bang Sodon, namanya Tragedi Mandor.”

“Dia juga bilang, banyak dari mereka yang kabur terus ngumpet di hutan ini. Dan katanya juga, banyak hantu tanpa kepala berkeliaran di sini buat nyari kepala mereka yang dipenggal!”

Aku bergidik mendengar ceritanya. Seketika, aku ingin cepat-cepat kembali ke rumahku di Jakarta.

“Tenang aja kali, besok kita udah balik kan!” ujarnya pendek.

Setelah beristirahat sebentar, kami melanjutkan perjalanan kami. Mengambil sampel air setelah berjalan satu kilometer. Kemudian beristirahat sejenak lalu berjalan kembali. Menjelajah hutan seperti ini seakan menyerap semua air di dalam tubuhku. Sudah enam hari belakangan ini tubuhku terasa lengket oleh keringat. Namun mau tak mau aku harus bertahan. Besok sudah selesai, pikirku dalam hati.

Langit sudah menjadi orange saat kami mengambil sampel yang kelima. Harada tiba-tiba saja menghentikan langkahnya. Aku melihatnya menunjuk sebuah gubuk yang ada menjorok di tengah hutan.

“Kita cek yuk, daripada capek-capek bangun tenda. Siapa tahu ada orangnya!”

Sebenarnya aku ingin menolak, namun aku tahu betul sifat lelaki ini. Jika ada satu ide bersemayam di otaknya. Maka akan ia jalankan sampai tuntas. Mau tak mau aku mengikuti langkahnya.

Aku mengamati gubuk itu. Seluruhnya terbuat dari kayu dan hanya sebagiannya masih utuh. Kebanyakan sudah berlubang dan lapuk. Namun itu tidak menyurutkan niat Harad sedikitpun. Aku melihat ada tulisan jepang berwarna merah di pintunya. Harada menyentuh tulisan itu dan menarik jarinya, cairan merah yang belum mengering itu tertempel di jarinya.

“Warui hito!” kata Harada perlahan, “itu tulisan yang ada di pintu, artinya orang jahat.”

Ia mencium jarinya yang terkena cairan merah itu, “Bau amis Re!”

Aku teringat mimpiku, dan tiba-tiba mendengar benda terjatuh dari kejauhan. “Oke Harada, gue gak peduli elo mau bilang apa. Kita pergi sekarang!”

Harada mengangguk mengiyakan. Aku pun membalikkan badanku dan beranjak pergi. Namun tiba-tiba aku mendengar hembusan angin dan suara orang tercekat. Saat aku menoleh. Harada sudah menghilang.

“Oi Harada,” teriakku, “gak usah main-main deh, ini gak lucu!”

Namun hening, aku berjalan panik ke arah gubuk itu dan berusaha membuka pintunya. Tetapi pintu itu tak bergeming. Aku pun berjalan memutari gubuk itu. Dan di salah satu jendela yang terbuka, aku melihat sosok kepala seseorang.

Saat aku sudah cukup dengan dengan orang itu, barulah kusadari kalau aku mengenal wajahnya, ia adalah lelaki dalam mimpiku. Aku mengucapkan salam untuknya, namun ia terdiam. Saat aku mengucapkan salam untuk yang kedua kalinya, kepala itu terjatuh dari jendela dan menggelinding ke arah kakiku.

Aku berteriak dengan luar biasa kencangnya. Sampai-sampai aku merasakan mataku akan melompat keluar dari rongganya. Aku berbalik dan berlari. Saat itulah, aku mendengar teriakan Harada berlari masuk ke dalam teriakanku.

“AREEEEE!!!!”

Suara teriakan penuh kengerian itu terdengar dari dalam gubuk. Aku berdiri bimbang. Rasa takutku menghalangi untuk menyelamatkan sahabatku. Mendengar teriakan tolong lagi dari Harada membuat ketakutanku hilang dan menuntun langkahku kembali ke arah gubuk itu.

Pintu masih tidak dapat terbuka. Aku memukul-mukul bagian atasnya sampai tanganku terasa sakit dan berdarah. Saat usahaku berhasil membuat celah di pintu kayu itu, aku mengintip di dalamnya.

Harada berlutut di tengah ruangan itu. Dapat kulihat putih tulang keringnya mencuat dari betisnya yang sudah dipenuhi darah. Aku merasa ngilu melihat kejadian itu. Di samping Harada tampak satu tengkorak utuh yang memakai baju tentara cokelat yang kulihat di mimpiku. Akan tetapi, hal berikutnyalah yang berhasil membuat seluruh tubuhku merinding.

Sosok badan tanpa kepala berjalan ke arah tengkorak tentara yang tergeletak pasrah dan mencabut samurai yang ada di kaitan celananya. Dapat kutebak kepala mahluk itu sudah menggelinding keluar dari jendela rumah ini. Badan tak berkepala itu berjalan ke arah Harada. Aku memukul pintu yang menghalangiku dengan panik dan penuh ketakutan. Harada melihat kepadaku dan berbisik pelan, “Tolong!”

Hal terakhir yang kulihat adalah bulir-bulir keringat di wajah putihnya dan ketakutan yang mengurat merah di putih matanya. Sebelum badan tak berkepala itu mengayunkan pedangnya dan memenggal kepala Harada. Aku berteriak ngeri. Apalagi saat sosok itu memungut kepala itu dan memakainya ke lehernya. Dapat kulihat ceceran darah serpihan daging beterbangan saat kepala itu diangkat.

Saat kepala itu terpasang, makhluk itu menoleh ke arahku. Dapat kulihat muka Harada bergerak dan menunjukkan ekspresi yang tak dapat kuekspresikan. “Dai nippon!” bibir itu melengkungkan senyum yang sangat mengerikan. “Halo, Are!”

No comments:

Post a Comment

Creepypasta Indonesia, Riddle Indonesia, Cerita Seram, Cerita Hantu, Horror Story, Scary Story, Creepypasta, Riddle, Urban Legend, Creepy Story, Best Creepypasta, Best Riddle, short creepy pasta, creepypasta pendek, creepypasta singkat