Cerita ini terjadi awal tahun 70an, saat tanteku, Sarah, mulai kuliah di kampus di sebuah kota yang cukup ketinggalan zaman. Sarah tinggal di asrama kampus, sedangkan pacarnya, Jack (sekarang jadi omku) tinggal di rumah sewa di luar area kampus.
Kota itu sebenarnya kota industri peternakan, sehingga banyak penangkaran hewan-hewan ternak, dan pabrik daging yang beraktivitas 24 jam penuh dan banyak pekerja imigran yang ilegal sehingga identitas mereka tidak ada.
Sebagian mata kuliah dari tanteku adalah pergi ke bagian kota tersebut dan membantu keluarga imigran ilegal tersebut mendapat kebutuhan pokok untuk anak-anak mereka (makan siang gratis, atau kebutuhan seperti susu bayi misalnya). Kebanyakan suasana tersebut sangat membuat depresi. Keluarga-keluarga tersebut butuh kebutuhan pokok tapi mereka tidak ingin ketahuan status ilegalnya, sehingga ini menjadi dilema.
Om Jack tinggal di rumah yang terletak di seberang jalan sebuah apartemen jelek yang ditinggali beberapa keluarga imigran ilegal tersebut dan masih memiliki anak-anak kecil. Saat berkunjung kesana, tanteku melihat seorang anak kecil perempuan, umur lima atau enam tahun duduk sendiri di bawah balkon rumah yang hampir hancur. Setelah itu, kapanpun tanteku berkunjung di hari kerja, baik siang atau malam, anak kecil tersebut selalu ada di situ, tapi tidak ada saat akhir pekan.
Ada banyak orang yang tinggal di unit tersebut, jadi saat akhir pekan, banyak sekali anak-anak berbagai usia bermain di luar. Mereka pindah ke rumah tersebut bulan Agustus saat musim panas, jadi bisa dikatakan cuaca juga panas, dan anak-anak senang bermain di luar.
Asalkan di hari kerja, anak kecil tersebut selalu terlihat duduk sendiri, menatap anak lain yang bermain, hingga malam tiba. Tanteku bilang saat pertama kali melihatnya, dia pikir anak tersebut tidak memiliki wali.
Namun pada saat musim gugur mulai, hari lebih singkat dan lebih dingin. Suatu malam, omku mengantar tanteku ke mobilnya dan dia bilang kepadanya bahwa gadis kecil tersebut tidak ada di luar, membuat dia lega karena udara malam itu sangat dingin. Tapi saat sebuah mobil belok di jalan dekat situ, dan lampu sen menyinari balkon apartemen tersebut, anak tersebut masih ada disana.
Tanteku bilang dia pasti mengenakan pakaian hitam karena saat disinari lampu sen mobil, mereka berdua cuma bisa melihat wajah kecil yang pucat. Dia disana sepanjang waktu. Mereka hanya tidak sadar karena gelap juga keadaannya.
Hingga suatu ketika ada saat titik balik untuk tanteku. Saat itu dia sudah memasuki masa magang dan banyak bantu-bantu. Suatu sore di akhir pekan, dia dan omku menyambangi satu keluarga yang sedang berkumpul di luar. Dia bertanya tentang gadis kecil tersebut tapi tidak ada yang mau bicara padanya. Bahkan menurut dia, anak-anakpun pura-pura tidak bisa mengerti.
Musim dingin kemudian datang dan anak kecil tersebut masih terlihat duduk di balkon tersebut, dan bahkan seperti tidak mengenakan jaket. Saat itu pula tanteku memutuskan untuk turun tangan memberi dia jaket atau memasukkan dia ke sekolah. Dia pernah melihat dia di suatu pagi dan segera menyebrang jalan untuk naik ke lantai dua. Namun saat sudah di seberang, anak tersebut pergi. Tanteku tidak dengar langkah kaki, pintu tertutup atau apapun.
Tanteku berpikir mungkin ini sama seperti dulu, bahwa orang-orang disana takut pada orang asing. Hal ini membuat dia semakin kukuh membantu anak kecil tersebut.
Minggu itu bersalju, dan saat akhir pekan tiba, tanteku menyambangi tempat tersebut lagi dan melihat beberapa kumpulan anak-anak main lempar bola salju. Kali ini dia tidak mengajak omku tapi dia membawa permen, dan uang receh untuk jajan mereka.
Anak-anak yang lebih tua menghindari tapi anak yang lebih kecil mendatangi tanteku dan dia mulai bertanya gadis kecil yang sering dilihatnya. Anak-anak tersebut tentu lebih tertarik dengan permen dan uangnya dan menolak menjawab, hingga satu anak menyebut "Venka", yang dianggap itulah nama gadis kecil yang sering dilihat tanteku. Setelah itu, anak yang lebih tua memanggil semua anak yang lebih muda dan semuanya pergi.
Suatu malam musim dingin dimana saat itu juga gelap, tanteku melihat anak itu lagi. Keadaan waktu itu sangat dingin, ada badai salju kemarin dan anak itu masih di luar. Kaget, dia pun keluar kamar asramanya untuk menjemput anak tersebut dan menelpon polisi untuk meminta bantuan.
Saat dia sudah di tangga apartemen yang licin, anak tersebut hilang lagi, dan membuat tanteku mulai takut, karena MUSTAHIL seorang anak kecil bisa pergi secepat itu di permukaan licin dan dia tahu bahwa tak ada pintu di apartemen tersebut yang terbuka. Tapi tanteku mencoba memeriksa keadaan sekitar balkon untuk memastikan lagi.
Hingga setengah jalan saat dia melewati tempat si anak sering duduk, dia melihat sesuatu....tercetak dan dia tidak tahu itu apa. Itu bukan jejak kaki, karena sama sekali tidak berbentuk kaki, ataupun kaki anak kecil. Dan itu tidak hanya di atas permukaan es saja, tapi juga di ubin. Seolah si anak terus berdiri di situ sepanjang badai salju dan esnya tercetak di sekitar kakinya.
Takut, dia mulai lari keluar dari balkon dan turun di tangga namun dia terpeleset, dan kakinya tergores (masih ada bekas lukanya sampai sekarang.) Setelah dia mampir ke rumah omku dan cerita semua, dia dan kedua teman serumahnya pergi ke tempat tersebut untuk memeriksa dan tanteku di rumah tersebut mengobati lukanya.
Sekitar 10 menit mereka semua kembali dan mengatakan mereka juga melihat "jejak kaki" tersebut tapi tidak ada yang bisa menjelaskan dan masing-masing mencari penjelasan masuk akal. Mereka bilang kalau misalkan pagi hari nanti diperiksa lagi, mungkin ada benda seperti gelas yang membuat cetakan tersebut. Mereka juga bilang mungkin tanteku tidak melihat anak itu sama sekali saat itu. Sekedar tahu saja, mereka semua SUDAH pernah melihat anak kecil tersebut setidaknya sekali. Dia selalu duduk di balkon tersebut.
Saat ujian akhir di musim dingin selesai, omku dan teman serumahnya mengadakan pesta dan kumpul-kumpul sebelum pulang kampung untuk libur Natal. Saat itu pula juga pertama kalinya tanteku ke rumah sewa omku sejak kejadian di balkon tersebut. Tapi sepertinya semua baik-baik saja. Anak kecil tersebut tidak terlihat lagi.
Akhir pesta, hanya ada omku, teman-temannya, pacar-pacar mereka dan saudara wanita salah satu teman omku, Marisol. Malam semakin larut dan bada salju mulai muncul lagi, hingga padam listrik dan mereka menyalakan api di perapian.
Mereka semua sudah cukup mabuk dan salah satu teman serumah omku membahas jejak kaki tersebut, sesuatu yang mereka semua belum pernah bahas lagi. Mereka akhirnya mengaku itu sangat seram.
Salah satu pria berkata "Ini tidak mungkin tapi bentuknya seperti...."
"Seperti kaki kambing, atau kaki babi", kata temannya yang lain, dan omku berkata, "Iya, seperti sesuatu yang berdiri dengan dua jari kaki dan berkuku"
Suasana di ruangan tersebut menjadi semakin seram saat pria yang menyebut kaki kambing tersebut bertanya, "Siapa nama anak itu? Velma?"
"Venka," kata tanteku mengoreksi.
Suasana tersebut menjadi semakin sunyi, tapi akhirnya topik pembicaraan diganti dan mulai minum-minum lagi. Tanteku kemudian ke dapur dan diikuti Marisol. Saat di dapur, Marisol bertanya, "Tadi kamu bilang namanya Venka?"
Dan tanteku mengangguk, mengatakan bahwa itu yang disebut anak-anak lain.
Marisol mengangguk dan diam sebentar, tapi saat tanteku mau pergi dari dapur, Marisol menahannya dan mengatakan, "Bukan Venka, tapi 'venga', artinya 'kemarilah' dalam bahasa sehari-hari Spanyol."
Saat itu Marisol mulai bercerita: Ini terjadi pada tahun pertama distrik tersebut dan kampus memulai program magang dan bantu-bantu pertama kali, dan Marisol ikut serta, dan mulai mendatangi satu-satu penghuni di distrik tersebut dan mencari anak-anak yang butuh sekolah. Marisol mendapat kemudahan karena dia bisa bicara Spanyol lancar. Memang Marisol tidak disukai karena ingin membantu dan ikut campur tapi setidaknya Marisol bisa mengobrol dengan mereka.
Marisol pergi ke apartemen jelek lainnya, yang cukup dekat dengan rumah sewa omku. Saat itu dia melihat anak-anak bermain, tapi ada satu gadis kecil yang mengenakan pakaian hitam yang sendirian.
Marisol mengobrol ke anak-anak yang lebih mudah didekati untuk diajak bersekolah. Saat itu dia bertanya tentang gadis kecil yang dilihatnya. Saat menyebut hal tersebut, seorang wanita tua, mungkin nenek, mungkin nenek buyut dari salah satu anak tersebut langsung mendatangi dia dan menjelaskan sambil menggelengkan kepala. Dia mengatakan bahwa apa yang Marisol lihat bukan anak kecil, tapi roh jahat, dan dia harus melupakan dia pernah melihatnya.
Saat itu Marisol berpikir, mungkin anak tersebut juga ilegal, bisa diculik, atau dijual ke keluarga lain. Tapi saat dia mengingat bagian fisik gadis tersebut, tidak ada yang bisa diingat, hanya ingatan tentang gadis kecil berpakaian hitam.
Minggu hingga bulan berlalu, Marisol mulai mencari tahu dan mendengar tentang Venga ini. Rupanya dia disebut begitu karena dia sering membisikkan "venga" dan mencoba mengajak orang ke hutan. Marisol tidak tahu jelas apa yang akan terjadi kalau ada yang sungguhan menuruti ajakan tersebut. Lagipula jika anak-anak sungguhan menuruti ajakan tersebut dan malah ketahuan nenek mereka, mereka malah dipukul. Dia juga bersumpah pernah melihat gadis kecil tersebut di berbagai tempat di kota tersebut.
Saat bagian cerita tersebut, tanteku sudah sangat mabuk dan ketakutan. Dia lalu kabur ke ruang tamu dan meminta omku mengantar pulang ke asrama. Mereka kemudian naik mobil melewati hutan sekitar namun entah karena badai salju, atau kecerobohan mengemudi omku, ban mobilnya kempes. Keadaan di tengah malam dan dingin, dia meninggalkan tanteku sendirian di mobil dan mengganti ban dengan bantuan suar, satu satunya sumber cahaya yang dipunya.
Dalam mobil, tanteku sudah ketakutan. Cahaya dari suar memantul kesana kemari karena terkena es, dan sekitar 6 meter dari situ, di dalam hutan, ada gadis kecil tersebut. Cahaya suar tersebut cukup terang untuk tanteku melihat wajah si gadis tersebut, namun....tidak ada wajah sama sekali. Wajah tersebut sangat pucat, dan halus, tanpa mata, tanpa hidung, tanpa mulut.
Meski ada suara pemanas mobil dan radio, tanteku bilang dia bisa mendengar anak tersebut berkata "venga" ke dia dan menggerakkan jarinya seolah mengajak. Saat itulah pertama kalinya tanteku melihat tangan anak tersebut, berdarah dengan kuku rusak dan panjang, dan kakinya bukanlah kaki manusia, melainkan kaki hewan berkuku dua.
Saat itu, omku masuk ke mobil lagi dan tanteku menunjuk ke anak tersebut, dan anak tersebut sudah hilang.
Besok pagi, tepat matahari terbit, mereka berbenah dan langsung pulang ke rumah untuk liburan. Setelah itu, tanteku tidak mau kembali lagi ke rumah tersebut dan tidak pernah lagi melihat anak kecil tersebut.
No comments:
Post a Comment
Creepypasta Indonesia, Riddle Indonesia, Cerita Seram, Cerita Hantu, Horror Story, Scary Story, Creepypasta, Riddle, Urban Legend, Creepy Story, Best Creepypasta, Best Riddle, short creepy pasta, creepypasta pendek, creepypasta singkat