Tuesday, September 19, 2017

UBLOO - Bagian 5


Poniku tersangkut di penutup mataku yang kusut. Semuanya dari keringat, tapi juga dari debu dan kotoran yang hidup di lubang kotor ini selama sebulan setengah lalu.
Aku mengangkat sedikit pinggangku dari tumitku di tempat aku berlutut untuk menghindari kram di pahaku, dan sedikit bergoyang dari sisi ke sisi saat aku sedikit pusing dari gerakan yang tiba-tiba dan aliran darah. Jikalau mereka tidak memberi kami makan sebelum kami bergerak lagi maka kami tidak akan bisa melewati perjalanan ini.
Dengkulku sedikit berbunyi saat aku duduk kembali. Dari lubang pecahan di pintu kayu itu aku bisa mendengar teriakan diantara pukulan yang keras. Apalagi hari ini? Batang sapu? Tongkat kriket? Apapun itu kedengarannya sedikit lebih ringan. Aku selalu berpikir betapa anehnya bahwa akan lebih sakit ketika kau dipukul dengan yang lebih ringan.
Suara pukulan sudah mereda, dan aku mendengar suara mendiamkan yang dibalas dengan amarah. Ada bunyi patah, berdenyit dan suara kaki yang diseret.
Pintu terbuka dengan keras, dan kudengar suara yang terbanting ke tanah di tengah ruangan tempat mereka melempar Mitch.

Si penjaga bercakap-cakap dengan Bahasa Arab, dan aku merasa penutup mataku terbuka, cahaya dunia kembali kulihat. Mereka menyeret kakiku ketika kurasakan mataku mulai kembali fokus. Ini bukanlah wajah yang biasanya. Yang ini orang baru. Dia berdiri di depanku dengan baju yang bersih, janggutnya tercukur rapi dan terawat.
Kami saling bertatapan untuk beberapa saat, dan dia tersenyum lebar. Menunjukkan gigi yang hilang.
“Kami menyiapkan yang terbaik untukmu.” Katanya dengan aksen Arab yang tebal.
Sambil mengatakan itu, mereka menyeretku ke ruangan lainnya dan kudengar sura pintu tertutup di belakangku. Dan mereka melemparku ke tengah ruangan.
Aku berputar menuju sisi lainnya dan melihat sekitar ruangan. Sang penerjemah menatapku tajam dari pojokkan, terlihat frustasi. Kedua orang lainnya yang menyeretku dan satu orang baru itu berdiri di dekat pintu, hanya melihat ke arahku.

Orang baru itu mengatakan sesuatu dalam Bahasa Arab yang sudah kumengerti. Mereka berjalan kearahku, dan mengangkatku agar duduk di kursi. Yang satu berjalan di belakang dan membuat bangku itu berdiri tegak, yang kedua perlahan menaikkanku ke bangku. Protokol yang sudah kuhafal.
Aku melihat wajahnya, dia menatapku dengan tajam. Dia terlihat sangat marah hari ini.
Orang baru itu berteriak dalam Bahasa Arab yang terdengar seperti lonceng boxing, dan orang yang marah itu pergi.
Dia memukulku 2 kali di perut dan membuatku terbungkuk.
“Apa rencana amerika untuk mengambil alih kota? Kapan mereka akan menyerang?” sang penerjemah bertanya.
Aku menjawab dengan tatapan tajam dan kesunyian.
Kepala bagian kiriku terasa meledak saat aku ditampar keras oleh tangan besar di telingaku. Sangat pengang rasanya.
“Tempat persembunyian dimana lagi yang mereka tahu? Dimana mereka pikir kami bersembunyi?”
Kesunyian lagi, dan pukulan keras mendarat di tulang iga, diikuti dengan beberapa pukulan di bagian kepala yang membuatku jadi gelap.
Ini berlanjut beberapa menit. Gencarnya dan pertanyaan yang diulang-ulang, pukulan, napas yang memburu dan keinginan untuk tetap tersadar. Bagaimanapun, aku masih khawatir dengan orang baru itu.
Ketika si pemarah itu sudah lelah, aku mendengar beberapa suara dalam Arab yang datang dari samping ruangan. Kepalaku masih berdenyut tak terkontrol dan sejajar dengan dadaku.
Aku mendengar suara pintu terbuka. Bagus ini sudah berakhir.
Tapi kemudian terdengar suara langkah kaki dari balik kursiku, dan yang lainnya mengangkatku ke ruangan yang lain.

Tanpa dia yang menahanku, aku terjatuh ke lantai masih sesak nafas. Aku membuka mataku saat mereka menyeret Danny masuk. Mereka membuka ikatan tangannya dan mendorong mereka ke bangku tempat si penerjemah biasa duduk. Kemudian mereka mengikat tangannya ke penahan tangan. Dan kakinya ke kaki bangku.
Ketika mereka selesai, mereka masuk ke ruang tamu dan menghilang. Aku melihat kearah Danny yang melihat sekitaran ruangan, ke semuanya, dan kearahku. Semuanya ketika orang baru itu perlahan berdiri sambil memilin janggutnya.

Suara langkah kaki kembali dari ruang tamu dengan suara dentingan kaca. Datang orang yang mengangkat kursiku, dan dia menaruh meja kecil di sampingku, dan si pemukul, yang menaruh botol besar berisi air yang sangat dingin sampai terlihat seperti berasap, dan piring berisi roti dan daging lembu. Dagingnya masih sangat dingin juga tapi aku sudah bisa menciumnya saat aku masih terdiam di tanah.
Berikutnya, 2 orang lainnya mendekat kearah lemari dan membuka pintunya. Aku mendengar mereka menyeret sesuatu tapi aku tidak bisa melihat dari tempat aku terbaring. Masih terdengar suara menyeret dan mengutak-atik dengan benda itu, kemudian beberapa gerakan lainnya, terdengar suara seperti mereka menjatuhkan barang berat ke lantai. Dan akhirnya mereka kembali membantuku duduk.

Kupaksa kepalaku untuk naik dari bahuku dan membuka mata. Disana Danny menatapku dengan tajam. Matanya melihat kearah meja milikku dan aku melihat miliknya, teko air, dan piring berisi roti dan daging sangat dekat untukku bisa merasakannya. Aku tahu dia juga bisa. Dan di ujung mataku, bisa kulihat 2 penjaga yang mengerjakan ini sepanjang waktu.
Di dekat dinding terdapat generator. Kabel berserakkan ke mesin hitam besar itu, dengan pipa panjang dan kelihatan seperti tongkat tercolok di ujung sana. Aku menatap dengan kebingungan. Kemudian satu dari penjaga itu berjalan kearah generator dan menyalakannya. Dari pipa itu terlihat sedikit oli. Pipa itu panjangnya dari mesin hitam itu sampai ke luar ruangan. Aku tersadar.
Itu adalah mesin penyemprot.

Orang baru itu perlahan berjalan dan mengambil pipa terujung yang menyemprotkan air. Dia membawa itu dengan tangannya sambil menatap ke mataku.
“Imma ‘an tashrab, ‘aw yafeal.” Dia berkata sambil menyeringai kearahku .
Aku melihat si penerjemah dengan wajah panik, yang dia sendiri juga terlihat takut.
“Antara kau yang minum, atau pria itu.”
Orang baru itu perlahan mendekati Danny, berbalik dan menatapku dengan seringaian yang sama, meninggikan tekanan dari mesin penyemprot seinchi dari betis Danny, dan menarik pelatuk.
Bau dari air hangat dan teriakan menggema di ruangan. Aku duduk dan menatap dengan ngeri saat tekanan itu merobek kakinya sedikit demi sedikit. Genangan kotoran dan darah terakumulasi di bawah kakinya dan muncrat ke kaki yang lainnya.
Setelah beberapa detik air itu berhenti, dan teriakan Danny memantul di dinding, meresap ke tulangku.
Orang baru itu berdongak ke penjaga, yang membungkuk di belakangku dan memotong ikatan di tanganku. Aku menarik tanganku dan mengusap tangan yang sudah pucat bekas terkena tali.
Lagi orang itu menatapku dengan senyuman lebar.
“Shurb.”
Si penerjemah berkata kepadaku.
“Katanya ‘Minum.’”
Aku melihat ke air tersebut dan kembali ke orang itu. Dia tersenyum.

Perlahan aku mengambil air tersebut.
Kemudian dia mengatakan sesuatu dalam Bahasa Arab yang membuatku bergidik.
“Katanya setiap teguk, kau harus menjawab satu pertanyaanku.”
Aku menatap kembali ke si penerjemah yang sekarang juga tersenyum.
Sekarang aku mengerti permainannya.
“Dan jika aku minum, dan aku tidak menjawab?” Aku bertanya.
Terjadi percakapan dalam Bahasa Arab lagi, dan respon yang cepat.
“Maka dia juga.” Si penerjemah menengok kearah Danny, yang teriakannya sudah berubah menjadi rintihan. Kepalanya menatap kepada apa yang tersisa dari kakinya.
Perutku terasa mulas, aku merasa dadaku tercekik seperti dicekik ular.
Aku melihat kembali ke orang yang memegang alat itu mengangkat 1 tangan Danny yang terikat dan menarik pelatuknya.
Sekali lagi di ruangan terisi dengan kelembaban dan teriakan serta bau dari luka yang segar. Aku mencoba berdiri tapi 2 penjaga itu menahan bahuku. Danny menyentak tubuhnya mencoba untuk berlari dari rasa sakitnya. Jarinya berkedut dan ototnya bergetar hebat. Seperti kaki dari laba-laba yang terluka.

Semuanya terasa lambat sampai air tersebut berhenti, dan aku melihat apa yang tersisa dari tangannya. Daging robek dan tulang yang putih pucat. Danny menangis sekarang. Tubuhnya lemas.
“SHURB.” Pria itu berteriak.
Aku mulai menangis juga.
“Danny, mereka akan membunuhmu.” Aku tersenguk.
Dia terengah-engah dan cegukan, tapi tidak bisa mengeluarkan suara. Kami duduk bersama terdiam dan menangis. Hanya beberapa kaki jauhnya tapi dunia kami terasa jauh.
“Aku tidak bisa melakukannya, aku tidak bisa hanya duduk diam disini ketika mereka membunuhhmu.”
Orang baru itu tersenyum lagi. Dan perlahan dia membungkuk agar matanya sejajar dengan kami.

“Kita sudah membuat kesepakatan Jeff.” Dia berkata sambil tersenguk. “Kita tahu hal seperti ini akan terjadi. Kita tidak takut.”
“Tapi aku takut saat ini Danny.” Aku juga tersenguk, menyadari apa yang dia katakan. “Aku tidak bisa. Aku tidak bisa!”
Danny mengangkat kepalanya dan melihatku dengan matanya.
“Lakukanlah.”
Aku memejamkan mataku dan tangis turun ke wajahku, aku menangis tak terkontrol. Dengan tangan kiri kupukul meja itu dan semuanya berantakan.
Kami sama-sama terduduk dan menangis.
Terdengar teriakan dalam Bahasa Arab tapi aku tidak mendengarnya lagi. Aku hanya menatap sahabatku untuk yang terakhir kalinya, satu dari penjaga itu mengeluarkan parang. Aku tidak tahu siapa yang memberikannya, aku tidak perduli.
Mesin penyemprot jatuh terbanting ke tanah oleh amarah, memegang parang di kedua tangannya. Dia terus menunjuk kearahku dan berteriak dalam Bahasa Arab tapi aku tidak mendengarnya. Aku terlalu sibuk minum dengan sahabatku untuk terakhir kalinya.

Salah satu penjaga berjalan dan menjambak rambut Danny, menarik kepalanya sampai dia membungkuk dan berteriak lagi. Mengangkat parang tersebut tepat di atas lehernya.
“TIDAK! TOLONG HENTIKAN!” aku berteriak di ruangan yang remang-remang seperti neraka itu.
Parang itu menyambar leher Danny dan tiba-tiba semuanya meledak.

“UBLOO!”
******
Aku merasakan diriku berteriak sebelum aku terbangun. Ketika semuanya mulai terlihat nyata lagi aku merasakan dadaku berdegup kencang sembari aku meronta sampai terduduk.
Teriakanku sudah terganti dengan dengungan penyejuk ruangan, setelah aku terduduk sambil mengambil nafas. Aku berkeringat dan terengah-engah, bulu kuduk merinding saat aku teringat dengan mimpi buruk barusan.
Lampu di ruangan sebelah menyala dan akhirnya gelap itu sudah terang.
“Kau baik-baik saja?” Kata Mary dengan penuh rasa takut. “Kau tadi sedang meronta-ronta.”
“Ya, Ya aku tidak apa-apa.” Aku kembali membuang nafas. “Hanya mimpi buruk.”
Ada sedikit kesunyian diantara kami dan aku kembali bernafas normal.
“Tentang Kotak?” Dia bertanya, masih terlihat ketakutan.
Aku kembali rebahan di bantalku dan menaruh tanganku di atas kepala.
“Tentang Kotak.” Jawabku.

Dia juga merebahkan diri dan memelukku, menaruh kepalanya di dadaku. Aku merangkulnya dan mengelus kepala belakangnya. Perlahan dia menangis.
“Hey, aku tidak apa-apa, aku disini saying.” Aku menenangkannya, mengangkat kepalaku agar aku bisa melihat matanya. “Itu hanya mimpi buruk.”
Kami masih terbaring disana dalam keheningan. Dia berhenti menangis, aku sedang memikirkan mimpi itu. Apa suara yang kudengar di akhir itu? “Ubloo?”
Aku sedikit mengerti Bahasa Arab tapi aku tidak ingat pernah mendengar itu. Aku berusaha menghilangkan pikiran itu dari kepalaku. Saat itu pintu kamarku terbuka sedikit.
Istriku sudah kembali tidur saat aku terbangun dan berjalan menuju ke pintu, dan berjongkok disana.
“Maaf kawan, apakah aku membangunkanmu?”
Dia mengangguk dari depan pintu, sambil memeluk boneka tuanya.
“Maaf aku membangunkanmu kawan, Daddy hanya mengalami mimpi buruk.”
Dia mengangguk lagi dan menatap ke lantai, bingung dan malu.
Aku menghela nafas.
“Kenapa kau tidak masuk dan menemaniku kawan? Aku tidak ingin Mommy tahu bahwa aku ketakutan. Aku tidak seberanimu.” Kataku lagi
Matanya terbuka.
“Tentu saja Daddy.”

Aku membuka pintu dan dia berlari kearahku dengan setengah mengantuk. Kututup pintu dan menggendong dia. Kubaringkan dia ditengah-tengah antara aku dan Mary.
Mary tersenyum saat aku memberikan anakku bantal dan berbalik untuk menutup lampu.
Ditengah kegelapan anakku memegang tanganku. “Aku menyangimu Daddy.” Katanya setengah mengantuk.
Aku tersenyum. “Aku menyayangimu juga Danny.”


Telepon berbunyi saat para manusia yang masih setengah ngantuk itu berjalan di kantor. Aku menyesap sedikit dari kopi hitam dan mengerutkan kening saat aku merasakan kopi itu rasanya gosong.
“Hey Bill, kopi yang kau buat ini nikmat kawan!” kataku dengan sinis ketika aku melewati mejanya.
“Terima kasih Jeff!” Dia menjawab dengan semangat, tidak tahu apa yang kumaksud.
Aku melempar map ke mejaku dan menggoyangkan mouse sampai layar komputerku kembali menyala.
Di dalam map itu terdapat foto dan data tentang Thomas Abian.
Kopi yang masih hangat itu kuminum kembali dan melihat file itu sekali lagi.

Penduduk Stoneham, Massachusetts. Seorang psikiater dan jika benar apa yang resepsionis itu katakan, harganya sangat mahal. Suatu hari dia pergi meninggalkan itu semua, dan menuju ke Tawson, Louisiana dengan mobil yang dikemas sampai penuh dengan sampah, obat dan botol alcohol kosong dengan pistol di mulutnya di rumah hantu lokal.
Aku menggelengkan kepala. Para wartawan pasti akan mendapatkan berita dengan ini. Banyak mobil berita yang sudah mengelilingi tempat itu. Aku bersyukur kami yang menemukan tubuh itu duluan sebelum mereka.
“Hey, Jeff.” aku mendengar suara Reg, kepala bagian kami menaruh berkas ke meja sebelahku sambil berkata “Hasil autopsimu.”
“Bagus sekali, terima kasih bos.” Kataku saat dia berjalan sambil menyesap kopinya.
Aku senang dengan cara kerja Reg. Dia bukanlah orang yang suka omong kosong, orang militer cara lama sepertiku. Meski kuakui, dia sudah jauh lebih berpengalaman dariku.

Aku membuka laporan itu dan mulai memeriksanya. Kematian karena tembakan senjata api, sudah jelas pikirku. Sudut pandang memperlihatkan penderitaan diri, tidak ada keanehan terduga.
Laporan itu terus kubaca, sampai ada sedikit informasi yang kutangkap:
“Jenazah menunjukkan tanda-tanda yang cepat dari bahaya kardiovaskular terkait dengan kurang tidur yang ekstrim, bersamaan dengan kerusakan hati dini intermiten yang menunjukan penyalahgunaan alkohol yang tiba-tiba.
Ini cukup membuatku penasaran. Kurang tidur bisa disebabkan oleh Adderall. Orang itu memiliki 10-15 botol kosong di mobilnya, dan minum aku bisa membayangkan kelihatannya orang itu meminum semua gin di perjalanannya kesini, tapi mengapa mendadak?
Aku terduduk kembali di kursiku dan mengusap janggut pendekku.

Mengapa dokter yang kaya, dan hidupnya nyaman meninggalkan segalanya, kemudian harus menghabiskan hidupnya dengan botol minuman dan obat dan menuju ke Louisiana? Ini tidak masuk akal. Aku kembali mengusap janggutku, dan mengambil telepon di mejaku.
Aku membuka google dan mencari hotel di area tersebut, dimulai dari yang terdekat dengan sekolah itu dan terus mundur. Di telepon ke-4, hanya sedikit diluar Tawson, aku mendapatkan apa yang kucari.
Perjalanannya sangat singkat dan menyenangkan. Masih cukup pagi sehingga tidak ada macet, dan aku bisa mendengar akhir dari siaran radio olahraga yang biasa kudengarkan kalau sedang patroli.
Kuparkirkan mobilku di depan lobi hotel dan masuk. Salah satu dari keuntungan menjadi polisi adalah kau tidak perlu bersusah payah mencari tempat parkir.

Lobi hotel menyambutku dengan udara yang dingin. Aku mendatangi resepsionis pemalu yang baru saja membantu pasangan tamu yang sudah cukup berumur dengan bellboy ke kamar mereka. Ketika dia melihatku mendatanginya dia tersenyum dan matanya yang biru memandangiku.
“Halo ma’am.” Kataku. “Jeff Danvers dari kepolisian Tawson, aku percaya kita berbicara di telepon tadi?”
“Betul sekali pak.” Dia merespon dengan senyuman yang menggoda lagi. “Kami sudah menunggumu.”
Dia mengetik di keyboar beberapa saat dan mengambil kunci dari laci di dekatnya.
Dia melihat ke layar dan menekan angka di belakang kartu ke dalam komputernya.
“Ini dia.” Dia memberikanku kunci. “Kamar 359, ada di pojokan gedung.”
Aku tersenyum dan mengambil kunci. Aku ingin berbalik tapi kutahan.

“359, apakah ini ruangan di pojokan?” tanyaku.
“Well, kenyataannya seperti itu pak.”
Aku berpikir beberapa saat.
“Ruangan itu tepat di sebelah pintu darurat bukan?
Dia terkejut, siapapun akan terkejut.
“Ya, itu betul.”
Ini menarik. Sambil aku berlalu kudengar dia mulai berbicara lagi.
“Pak polisi!” Dia memanggilku. Aku berbalik dan dia menatapku. “Apakah betul.. kalau dia..”
Dia membuat gestur mengiris dengan jarinya ke leher. Bayanganku meliar dan membuatku berpikir tentang parang.
“Itu rahasia, sayang.” Aku berkata sekalem mungkin, dan masuk ke lift.
Terdengar bunyi saat pintu terbuka. Karpet merah yang cocok dengan lantai lobi. Ada 2 tanda di depan lift itu.
“301-325” dan tanda panah ke kiri. “325-360” dan tanda panah ke kanan.
Aku melihat ke kedua arah. Tidak ada seorangpun disana. Cukup panjang jalan menuju ke kamar 359.
Lorong ini agak menyeramkan. Fakta itu adalah sesuatu yang tidak bisa kutolak. Aku tidak yakin apakah itu karena menonton film seri The Shining dengan ibuku ketika aku kecil di liburan musim dingin tapi jika aku adalah pria penjudi aku akan berkata sepakat. Aku berpikir lagi tentang perasaan bahwa kau hanya punya satu arah untuk pergi jika kau dikejar. Satu pilihan, tidak ada lagi pilihan lainnya.

Sebelum aku menyadari, aku sudah sampai di depan kamar 359. Aku mengambil nafas dalam-dalam, memasukkan kartu ke dalam mesin pintu, dan akhirnya kubuka setelah ada lampu hijau yang berkedip.
Bau dari gin yang basi langsung membuatku pusing.
Aku menyalakan lampu dan melihat ruangan yang penuh denan botol gin kosong. Di antara itu ada beberapa kotak berisi pekerjaan. Kasus yang dia bawa? Entahlah, pikirku sambil mengangkat bahu, aku berjalan di dalam ruangan sambil mengenakan sarung tangan karet.
Selain daripada botol, kamar ini terlihat relatif rapi. Ada sedikit laundry yang terlipat rapi di sebelah jendela dan seperangkat kunci mobil cadangan, dengan sepatu baru. Aku membuka penutup jendela untuk melihat apakah itu langsung menuju ke pintu darurat dan ternyata kecurigaanku betul. Seseorang sedang mengejar orang ini. Dia sudah mengatur rute kabur sedemikian rupa dan memiliki pikiran untuk meninggalkannya ketika dia pergi, untuk berjaga-jaga kalau dia lupa untuk mengaturnya ketika dia kembali. Aku mengaggumi persiapannya. Dia mendapatkan uang dari pikiran pintarnya, aku bisa mengkonfirmasi itu.

Aku membuka lemari baju dan isinya kosong. Pengganjung jaket yang di lemari ini kosong dan tidak ada apapun di karpet kecuali botol gin kosong dan botol obat kosong.
Kembali aku berjalan kearah meja dan membuka lacinya. Yang paling bawah kosong. Aku merasa sesuatu menggelinding saat aku menarik yang kedua dan kulihat itu adalah peluru dan Adderall. Aku mengambil barang itu dan memeriksa. Magnus .357, sesuai dengan senjata yang digunakan. Aku mengembalikan peluru kedalam laci dan membuka laci paling atas. Isinya membuat mataku terbelalak.
Perlahan dan dengan hati-hati, aku menarik catatan itu dan memeriksa apakah itu asli. Itu adalah buku catatan berwarna biru, terikat spiral dengan sebuah penulisan yang terkesan buru-buru di bagian depan.

Aku mendengar lantai kayu di depan kamar berdenyit. Aku berbalik tiba-tiba untuk melihat sesuatu berdiri di lorong. Ketika aku tersadar dari ketidaksadaranku aku baru menyadari kalau itu adalah seorang pria. Dia menggunakan celana panjang coklat dan sepatu yang senada dengan celananya. Dia menggunakan suspender didepan kemeja berwarna putih yang sewarna dengan rambut dan janggutnya. Aku bisa melihat kacamatanya berada di tengah hidungnya, kulitnya berwarna coklat gelap, dan kulihat dia adalah seorang pria kulit hitam tua dengan keriputnya.
Kami berdiri dan menatap satu sama lain, dan ketika dia melihat apa yang sedang kupegang, aku ikut melihatnya. Buku catatan yang kupegang bertuliskan:

“Buku Harian seorang Thomas Abian”

To be Continued..
*cerita dari original writernya masih segini...

No comments:

Post a Comment

Creepypasta Indonesia, Riddle Indonesia, Cerita Seram, Cerita Hantu, Horror Story, Scary Story, Creepypasta, Riddle, Urban Legend, Creepy Story, Best Creepypasta, Best Riddle, short creepy pasta, creepypasta pendek, creepypasta singkat