Wednesday, September 20, 2017

THAT WASN’T MY HUSBAND WHO SLEPT NEXT TO ME LAST NIGHT - Bagian 5


Christoper, Anthony dan aku sedang menunggu di dalam kedai kopi. Bingung, marah, takut, benci dan semua perasaan beradu di antara kami bertiga. Tak satupun diantara kami yang bicara. Aku pikir kami semua duduk di sini, karena mempertanyakan akal sehati kami masing-masing. Kami semua masih tidak mengerti, apakah ‘Christoper’ lain ini mengetahui setiap gerak-gerik kami dan apa yang akan kami lakukan di masa depan, bagaimana cara untuk menhadari ‘Christoper’ ini? Bagaimana cara untuk melawannya?
Aku menggenggam erat tangan Christoper. Tangannya yang biasanya hangat kini terasa dingin. Kami berada di seberang jantir polisi tapi bagaimana kami bisa menjelaskan fenomena tak masuk akal ini kepada mereka? Kami memang memiliki bukti catatan, tapi bagaimana kami menceritakan kebenarannya?

“Halo, Pak Polisi, ada seseorang yang mengaku-aku sebagai suamiku, dia berpenampilan seperti suamiku, dia bahkan mereplika mobil sedan kami untuk menemui sepupu suamiku, sepupu suamiku adalah  seorang ahli sarat spesialis pediatri terkenal yang bekerja di Sick Kids Hospital.” Aku tak bisa membayangkan reaksi apa yang sedang ditampilkan polisi saat mendengar cerita tak masuk akal ini. “Doktor spesialis otak telah menyaksikan suatu hal yang tak masuk akal, aku pikir ada dopelganger berwujud suamiku, karena semua kejadian itu terjadi ketika suami ASLIku sedang berada di Viena.. Tidak, tidak.. Ini serius.. Tolong percayalah.. Oh, aku adalah dosen fisika!”

Sial. Benar-benar tak mungkin menceritakan hal ini ke orang lain karena memang semua ini terasa sangat tidak masuk akal.
Anthony bukanlah tipe pendiam, dia sangat aktif bicara dan aku dapat merasakan tekanan pada dirinya yang sejak tadi diam. Menyaksikan pembongkaran tengkorak kepala, memeriksa isinya lalu menjahitnya kembali? Tentu, bukan masalah. Menunggu sosok doppelganger atau kejadian paranormal di dalam sebuah kedai kopi di tengah-tengah kota metropolitan terbesar di Kanada? Hell, no.

“Aku akan memesan sesuatu, kalian mau?” tanya Anthony sembari beranjak dari kursi.
“Tetap duduk, Anthony. Kau tidak pergi kemanapun.” Christoper mulai tampak marah, dia dia adalah seorang pengacara dan pelatihan menahan diri yang telah ia lakukan sepanjang karirnya sepertinya tak lagi berguna. Aku dapat melihat dia mulai ada pada batas ambangnya.
“Chris, kau bisa melihatku. Konternya hanya di situ. Hanya 2 kaki. Kita tidak bisa hanya duduk di sini, kita harus pesan sesuatu. Ditambah aku haus, udara di luar sekitar 30 derajat saat ini. Kalian hanya perlu melihat ke arahku, dan aku akan terus melihat kearah kalian? Oke?” jelas Anthony,
“Aku mau IceCap (Es kapucino),” jawab Chris
“Aku mau kopi,” ujarku lemah. Aku baru sadar sejak bertemu Chris tadi, kami belum makan apapun dan karena semua hal yang terjadi sudah menguras tenaga kami, aku pikir kami butuh tambahan energi. “Dan roti, dibakar dengan butter.”

Anthony berjalan ke arah konter, sekitar 4 langkah dari tempat kami,
“Jadi, kita semua sepakat jika ‘seseorang’ ini tahu dimana kita berada, benar?” tanya Chris,
“Benar, dia tau kita ada dimana sebelumnya, bahkan sebelum kita datang ke sini.” jawabku
“Kita di tempat umum, kantor polisi ada di seberang jalan, tempat ini adalah yang teraman. Jika orang ini mulai melakukan sesuatu, semua orang di sini akan melihanya. Tempat ini cukup strategis, dan sekali lagi, Kantor Polisi ada tepat di seberang kita.”

Anthony benar. Sangat sedikit sekali kemungkinan kami bertiga dibunuh di tengah-tengah restauran, tapi kami bertiga uakit jika ‘Chris’ palsu itu pasti akan muncul, terlebih setelah kejadian di King Edward Hotel; dia datang, dia menunggu -bahkan sampai melakukan check in, dan kemudian dia pergi. Dia pergi dengan alasan ‘pergi menjemput istrinya (aku)’ menurut resepsionis Hotel.

Chris memandang Anthony, waspada seperti biasanya. “Kau tau, Anthony benar. Tempat ini cukup ramai, terutama di malam rabu ini.” Aku memalinkan pandanganku ke arah pintu di belakang kami, meskipun pintu itu berlawanan arah dan aku bersumpah tidak akan melepaskan pandanganku darinya. Tapi mereka berdua benar, ada banyak orang di sini. Ada sekitar 4 anak kecil dan orang tuanya, dan beberapa anak lain.
Anthony mendekati meja konter untuk mengambil pesanan. Pelayannya, tampak tak terlalu senang karena pesanan pukul 11 malam ini (sial, masih 45 menit lagi), ia mengambilkan pesanan Anthony dan meletakkannya di nampan, ia memandang Anthony lalu berkata, “Jangan lupa, Roll up the Rim* untuk menang!” “Terima kaih,” ujar Anthony sambil melangkah ke arah kami.

Bagi Anda yang bukan merupakan Canadian, Roll up the Rim merupakan event undian berhadiah. Dua kali setahun mereka mengadakan kontes di mana Anda benar-benar menggulung tepi cangkir kopi Anda dan melihat apakah Anda telah memenangkan hadiah. Mirip seperti memeriksa di bawah tutup botol pop untuk melihat apakah Anda telah memenangkan undian. *SSearch di Google Roll up The Rim For Win

Kami bertiga masih terdiam sambil menikmati makananan kami. Sesekali melihat ke jam. Sekita 10 menit telah berlalu (11:11 pm),dan aku tak mulai tak tahan dengan keberisikan yang dibuat oleh anak-anak di dalam restoran itu. Aku melihat ke arah Anthony dan Chris, “Aku butuh rokok, bisa kita tunggu di luar saja? Kita bisa menunggu di samping pintu masuk, dan jika ada sesuatu, kita bisa segera beralri ke kantor polisi dengan cepat, kita bisa lakukan itu.” Chris dan Anthony saling berpandangan, mereka pun setuju, suara berisik anak-anak itu makin menjadi, dan kami sudah cukup tertekan menunggu ‘tamu’ kami, kami tak butuh tekanan lain.

Kami bertiga berdiri, hampir bersamaan, tidak ada seorangpun yan gingin ditinggal sendirian di dalam cafe. Kami mulai berjalan ke arah pintu. Kami berdiri di depan pintu masuk, dengan mobil kami terparkir di depan kami.

“Christoper, buka mobilnya, aku mau mengambil sweaterku di bangku belakang.” Chris memencet tombol pembuka otomatis mobilnya. Aku berjalan ke mobil, berhati-hati melihat ke dalam mobil khawatir jika aku menemukan sesuatu di sana. Tak ada apapun. Aku membuka pintu, secara berkala aku bergantian melihat ke arah Anthony dan Christoper yang berjarak kurang dari 1 kaki denganku, aku segera ambil sweaterku lalu menutup pintu mobil dan berjalan kembali ke arah mereka. Aku telah menghabiskan rokok ku dalam waktu yang cukup singkat dan kini aku ingin kembali ke restauran. Meskipun kami bisa lebih cepat berlari ke kantor polisi jika di butuhkan, tapi kesunyian di lahan parkir, dan suasana malam ini membuat perasaan kami lebih mencekam. Anthony dan Chris pun setuju kami kembali lagi ke dalam.