Wednesday, September 20, 2017
THAT WASN’T MY HUSBAND WHO SLEPT NEXT TO ME LAST NIGHT - Bagian 9
Note 1: Semua ini terjadi ketika di perjalanan kami menuju ke rumah Ibuku, tepat sebulum aku mengupload cerita ini. Kejadiannya sangat banyak dan aku benar-benar tak ingin membuat cerita yang terlalu panjang.
Note 2: Aku melakukan diskusi cukup lama dengan Ibuku. Tentang ingatan Ibuku ditulis dengan huruf miring.
Di perjalanan, aku meminta Chris memberikan padaku dokumen yang kami dapat dari kantor polisi, aku ingin menyimpannya sendiri untuk memastikan jika semuanya aman. Tentu saja, karena di dalam dokumen itu telah tertulis secara lengkap apa yang kami alami, dan aku menjadi sedikit terobsesi untuk menyimpan dokumen itu di dekatku. Hanya untuk jaga-jaga.
Sekilas aku melihat ke kertas-kertas itu. Aku tidak kaget, aku bahkan tidak terkejut, aku hanya benar-benar ketakutan. Dokumen yang harusnya berisi rincian laporan kami yang terjadi tadi, halaman kertas itu hanya berisi pengulangan tiga kalimat yang sama:
niEw BeginNing TOmOreRow niEw BeginNing TOmOreRow niEw BeginNing TOmOreRow niEw BeginNing TOmOreRow niEw BeginNing TOmOreRow niEw BeginNing TOmOreRow niEw BeginNing TOmOreRow niEw BeginNing TOmOreRow niEw BeginNing TOmOreRow niEw BeginNing TOmOreRow niEw BeginNing TOmOreRow niEw BeginNing TOmOreRow
(besok adalah awal yang baru, besok adalah awal yang baru, besok adalah awal yang baru)
---
Anthony, Christoper dan aku mulai masuk ke pelataran kondominium Ibuku. Jalan itu memiliki jalan melingkar yang indah, sebuah gerbang yang memungkinkan orang dan kendaraan masuk dan keluar, dan air mancur yang sangat indah di tengah halaman. 24 jam parkir valet adalah salah satu kelebihan kediaman ini.
"Apakah kau yakin membiarkan seorang tukang Valet menyetir mobil ini? Bagaimana jika makhluk itu muncul lagi dan menggunakan mobil ini untuk hal lain?" ujar Anthony,
"Sejujurnya.. aku ragu makhluk itu akan menunjukkan dirinya selain padaku dan Chris. Maksudku, tentu saja kau adalah pengecualian, karena makhluk itu bahkan menunjuk ke arahmu." ucapku,
"Thanks, Rose, aku benar-benar senang kau ingatkan kejadian mengerikan itu," jengkel Anthony, tentu aku tak mengucapkan itu dengan sengaja untuk menakutinya. Aku paham benar jika Anthony masih syok dan ia telah lega ketika mengetahui makhluk itu tak mengincar dirinya saat kami terjebak di mobil tadi.
Seorang petugas Valet menghampiri kami, seorang wanita muda, berusia sekitar 25 tahun.
"Halo, Tuan Tillman, apa kabar?" sapa perempuan itu kepada Chris, "Apakah Anda kemari untuk menemui Mrs. Blochbauer?" aku mulai mengingat-ingat, seingatku petugas vale itu bernama Elise.
"Benar, tapi untuk sekarang kami tak perlu valet untuk parkir, kami akan mencari tempat parkir sendiri," jawab Chris. Tanpa perempuan itu ketahui, kami sedang menghindarinya dari bahaya atau kengerian apapun yang mungkin dapat terjadi nantinya. Tentu saja jika kami membiarkan orang lain terlibat, dan tiba-tiba seorang berwajah "Chris" melakukan tindakan berbahaya, ah, aku bahkan tak bisa membayangkannya.
Kami mulai melaju lagi ke area parkir di basement. Kondominium ibuku kebetulan yang terbesar di bangunan ini, hingga ia memiliki 6 area parkir khusus untuk tamunya. Jujur, kami memiliki perasaan kurang menyenangkan saat ini. Setelah apa yang kami alami, dan sekarang kami melaju ke area basement yang sepi pada waktu selarut ini.
Tiga orang petugas keamanan yang sedang berkeliling area parkir menyambut kami dengan senyum lebarnya, hanya tuhan yang tahu betapa kami lega saat itu. Namun, meski begitu tetap saja kami sudah menyaksikan sendiri bagaimana makhluk itu mampu mereplika sebuah mobil tanpa disadari satu orang pun di sebuah restoran yang sedang ramai, tiga petugas keamanan mungkin tak akan berguna jika makhluk itu kembali. Persetan, bahkan satu pasukan Air Force pun bisa saja tak berkutik jika berhadapan dengan makhluk yang kami tak ketahui ini.
Setelah parkir, kami masih duduk di dalam mobil. Kombinasi dari syok akibat teror dan kelelahan, membuat kami tak tahu apa yang harus kami lakukan. Anthony, seperti biasa jadi orang pertama yang memecah keheningan kami,
"Kau yakin ingin melibatkan ibumu?" tanyanya padaku,
Christoper dengan tegas menjawab pertanyaan itu, Anthony, kau dengar apa yang Rose katakan. Makhluk ini tidak menginginkan apapun darimu. Satu ditambah satu adalah dua, kau aman, dan aku yakin Ibu (Rose) juga akan baik-baik saja."
Aku setuju dengan Christoper, aku lalu mengajak Anthony dan Chris agar bergegas keluar dari mobil untuk menuju kediaman ibuku. Kami naik menggunakan lift. Lingkungan tertutup lainnya selain mobil, tentu saja. Sial.
Christoper memencet tombol, di dalam elevator ada seorang petugas Valet bersama kami, "Selamat malam, Dr. Tillman, bagaimana kabarmu?" tanyanya ramah.
"Kau tak akan percaya jika aku katakan bagaimana keadaanku," itulah satu-satunya kalimat yang keluar dari mulutku. Aku tak tahu, tapi sepertinya jawabanku tadi membuat suasana selama di lift menjadi aneh.
"Well, Saya harap esok hari akan jadi lebih baik dari pada malam ini." ucap petugas itu masih dengan senyum ramah di wajahnya, keramahan itulah yang sejak tadi kami butuhkan. Setelah pembicaraan singkat kami, hanya terdengar kesunyian hingga bungi "ding!" berdenting tanda kami telah tiba di hallway. Kami bertiga bergegas keluar lift.
"Sampai jumpa, Dr. Tillman," ucap petugas valet itu dari dalam lift, aku berbalik dan tersenyum padanya.
"Dan jangan khawatir, saya yakin Anda akan menemukan koper Anda lagi. Koper itu akan ada di garasi ketika Anda tiba di rumah." ujar petugas valet itu sambil tersenyum. Kemudian pintu lift tertutup.
Aku terdiam di tempatku berdiri, masih tak percaya dengan apa yang ku dengar. Christoper dan Anthony sudah berjalan lebih dahulu jadi aku dapat pastikan ucapan tadi hanya aku yang dengan. Makhluk itu tahu kami di sini. Tak ada cara untuk menghindari makhluk itu. Entah aku harus hidup dengan makhluk ini atau membunuh diriku. Aku tak menemukan jalan keluar bagaimana kami bisa kembali normal..
Christoper yang telah berjalan lebih dahulu mulai berbalik dan melihat ke arahku yang masih tak beranjak dari depan lift, "Babe, kau baik-baik saja? Ayo, kita harus cepat masuk ke dalam" aku mencoba mengembalikan pikiranku ke dalam tubuh yang hampir ambruk karena tekanan yang tak ada hentinya ini.
Ada dua penthouse suites di lantai ini, masing-masing di kedua sisi aula. Kami membunyikan bel pintu dan nyanyian Westminster yang ceria, sedikit menghibur kami.
Salah seorang pelayan membukakan pintu untuk kami, "Selamat malam, Dr. Tillman, ibu Anda sedang membaca di teras, saya akan sampaikan padanya jika Anda telah tiba,"
Aku bukan anak berusia 12 tahun, jelas kini aku tahu jika 'membaca di teras' hanyalah sebuah kode untuk menghisap 'rokok'. Malam ini cukup dingin dak tak mungkin ibuku membaca buku di sana.
Kami semua berjalan ke ruang keluarga dan mulai melengser ke sofa-sofa nyaman di sana.
Sudah 24 jam sejak ini dimulai. Yah sedikit di atas itu, tapi baru malam kemarin makhluk itu tidur di sampingku, baru sekitar 8 jam sejak kami di Anthony dan baru 2 jam sejak rasionalitasku dipertanyakan oleh pertemuan kami dengan " Chris "di tempat parkir.
Berada di kondominium ibuku membuat aku merasa aman.
Ibuku memang seorang 'penghisap' sejak tahun 70an, tapi aku baru mengetahui kenyataan itu ketika aku sendiri terkena kecanduan obat-obatan. Kenyataan yang ia ceritakan membuatku jadi lebih merasa terhubung dengan ibuku dan membuat proses rehab menjadi lebih mudah untukku.
"Sayang! Apa kabarmu! Anthony, sudah lama sekali ya. Chris, bagaimana dengan Vienna?" ujar ibuku kepada kami saat ia mulai berjalan ke arah ruang keluarga. Gaun Diane Von Furstenberg (vintage, tentu saja) yang ia kenakan berkibar sedikit bersamaan dengan angin yang masuk dari pintu teras yang terbuka.
"Aku baik-baik saja, Mum, hanya kelelahan. Kami mengalami kejadian yang cukup mencekam tadi." aku memutuskan tak akan berbasa-basi dan hanya menyatakan langsung ke intinya kepada Ibuku.
"Rose, ada apa?" nada suara ibuku mulai berubah. Sekarang ia jadi terdengar khawatir, dan mau mengetahui setiap detail apa yang telah terjadi, kenapa kami ke sini tiba-tiba dan darimana saja kami pergi. Dia mulai mendekat dan duduk di samping Christoper, menghadap ke arahku.
"Mum, sesuatu telah mengikuti kami. Aku tak tau makhluk apa itu, aku tak tau sejak kapan penguntit itu ada di sekitar kami, tapi kemarin.. kemarin.." ini adalah ketiga kalinya dalam kurang dari 24 jam aku menceritakan cerita tentang sesuatu yang menyerupai Chris yang pulang ke rumah dan tidur di sebelahku, untuk beberapa hal menceritakan ini semua ke ibuku membuatku terluka. Aku tau betapa ia sangat peduli dengan ku, selama ini kami selalu saling menjaga "Ibuku dan aku" sejak Ayah meninggal, jadi aku tau menceritakan kejadian ini pasti akan menyakiti ibuku juga.
"Kemarin, aku dan makhluk itu tidur bersama,"
Ibuku adalah seorang yang memiliki karakteristik kulit berwarna pucat, tapi apapun warna wajahnya saat ini tampak jelas telah berubah makin pucat. Ia tak menyembunyikan emosinya, ia marah.
"Apa maksudmu tidur dengannya? Kalian melakukan seks? Dan siapa orang ini? Kenapa kau sebut dengan "makhluk", apa maksudnya?" nada suara ibuku berubah, tapi ia menanyakan pertanyaan itu dengan sangat jelas dan tenang.
"TIDAK! Aku tidak melakukan seks dengannya, Ibu!" suaraku meninggi, aku merasa aku harus mengklarifikasi pertanyaan Ibuku tadi, aku mulai tenang kembali dan menurunkan nada suaraku. "Makhluk ini... dia.. dia seperti Christoper. tapi dia bukan Chrisku Ia berwujud persis seperti Chris hanya saja lebih gemuk dan bibirnya sangat bengkak hingga tampak menjijikan."
Ibuku seketika bangun dari duduknya dan berdiri menatapku dengan tegas, "Rose Jurge Tillman! Kau menggunakan narkoba lagi, huh? Apa yang kau gunakan sekarang?! Cocaine! LSD! Methamphetamine! Heroine lagi??!" Ibu mulai berteriak. Ibuku tak pernah marah tapi saat ini ia meninggikan suaranya di depan ku sampai pelayan yang sedari tadi dia ikut menunduk ketakutan.
"Ibu, aku tidak menggunakan narkoba!" aku ikut berdiri dan meninggikan suaraku,
"Paola, Rose mengatakan yang sebenarnya. Aku juga tak percaya awalnya, tapi kemudian aku melihat makhluk ini dengan mata kepalaku sendiri" Chris menengahi kami, ia berdiri memegang tanganku sebentar lalu beralih menyentuh bahu ibuku, "Aku akan menceritakan semuanya."
"Tidak perlu, aku tak ingin mendengar apapun saat ini, sudah cukup. Kalian harus istirahat, kita akan bicara lagi besok pagi. Aku lelah dan pikiranku belum siap untuk mendengar kisah monster dan boogeymen sekarang!" ujar Ibuku. Aku tahu itu hanya akting jika ia tak tertarik dengan cerita kami, ini terlalu aneh. Ibuku tak pernah meragukanku, dan ia bukanlah tipe orang yang bisa mengabaikan berita terbaru atau bahkan gosip panas yang sedang terjadi.
"Demi Tuhan, Ibu, kami diikuti dan kami bisa jadi dalam bahaya!" aku tak tahan lagi.
"Kau berada di salah satu gedung paling aman di kota ini, tak ada yang bisa sesuka hati datang kemari. Anak-anak, silakan kalian ganti pakaian dan buat dirimu nyaman. Anthony, aku minta maaf tapi aku tak memiliki pakaian untuk ukuranmu. tapi aku bisa menyediakan toiletries dan jubah. Kau bisa mandi air hangat. Christoper, Rose, kalian juga bersihkan diri kalian."
Ibu langsung bergerak menuju pelayannya, seorang pelayan shift malam yang tampak jelas jelas sedang mencoba tampak 'biasa saja' seolah tak mendengar pertengkaran singkat kami. Pelayan itu bertugas membantu Anthony mengantar ke ruangannya.
"Sylvie, ini Anthony, tolong bantu Anthony ke ruangannya dan buat ia nyaman." pesan Ibuku.
Christoper telah meninggalkan ruangan untuk pergi ganti baju. Dia mandi lagi, memang tadi saat ia sampai di rumah dari bandara Chris telah mandi, tapi setelah ketegangan yang terjadi beberapa jam terakhir, semua keringat dan kegilaan yang telah kami alami, menurut Chris dengan mandi yang nyaman sekali lagi mungkin bisa menenangkan dirinya. Aku menolak untuk meninggalkan Chris dan aku bahkan memohon padanya agar membiarkan pintu tetap terbuka ketika ia mandi. Aku benar-benar tak ingin melepaskan pandanganku dari Chris.
Aku berdiri sendirian di ruang keluarga yang luas sambil melihat ke luar jendela. Kota yang sangat indah, tapi satu-satunya yang ada di dalam pikiranku hanyalah kapan makhluk itu akan datang kembali. Makhluk itu telah mengirimkan pesannya untukku melalui petugas Valet lift tadi. Dia tau aku disini. Apa yang akan terjadi. Apa yang makhluk itu inginkan, kenapa aku?
“Ikut aku ke teras,” ujar ibu yang tiba-tiba muncul di belakangku. “Jesus! Jangan menakutiku seperti itu, aku sudah cukup syok hari ini!” aku berkata padanya. “Sudah cukup menyakitkan ketika kau pikir aku gila.”
“Pakai jaketmu dan ikut aku ke teras. Bawa rokokmu.” perintahnya. Ibu tidak menungguku dan langsung berjalan terlebih dahulu ke teras, ini adalah rokok kedua atau mungkin ketika yang ia hisap malam ini. Dia menarik napas panjang, “Duduk” ia menyuruhku samping menunjuk ke kursi panjang yang berjarak hanya 3 kaki dari ku.
“Aku sedang tak ingin duduk, aku akan berdiri.” kataku sambil menyalakan rokok.
Ibuku memalingkan tubuhnya membelakangiku sambil melihat ke arah kota. Aku tak pernah melihatnya seperti ini, tidak sejak Ayah meninggal. Ibuku adalah sosok yang selalu ceria dan penuh energi.
“Katakan padaku apa yang kau rasakan pertama kali, bau nya, atau sosoknya.” Tanya ibuku, masih menghadap ke hamparan lampu kota di depan kami.
Aku batuk. Aku telah merokok selama 15 tahun, aku paham benar cara merokok tapi pertanyaan Ibu barusan sama sekali tak pernah kubayangkan. Aku batuk-batuk, aku mencoba untuk bernapas.
“Apa? APA YANG KAU KATAKAN??!” Aku berusaha berteriak, tapi aku terlalu syok seperti halnya Anthony ketika baru tiba dikantor polisi tadi.
“Apa tanya, apa kau melihatnya lebih dahulu atau kau mencium bau nya?” ujar ibu lagi.
“Bagaimana kau tau tentang bau itu? Apakah makhluk itu pernah ke sini? Apakah ia menyakiti ibu?”
“Jawab pertanyaannya, Rose. Apakah kau mencium baunya terlebih dahulu atau kau melihat sosoknya dulu?”
“Tentu saja baunya. Aku tak akan mengatakan apapun sebelum kau menjelaskan padaku apa maksud pembicaraan ini.”
“Bibirnya atau matanya?”
“Apa?” tanyaku, aku benar-benar tak paham
“Apakah bibirnya yang bengkak atau matanya? Yang mana? Aku dengar tadi kau bilang tentang bibirnya yang bengkak, tapi aku ingin memastikannya.”
Ibu tak memalingkan wajahnya ke arahku. Tidak sama sekali. Aku dapat mengatakan jika suara ibu mulai bergetar seperti ia menahan tangisnya. Aku benci melihat ibuku menangis, tapi aku benar-benar membutuhkan petunjuk apapun sekarang.
“Bibirnya” jawabku akhirnya
“Apakah dia memberikanmu sesuatu? Apakah dia meninggalkan catatan atau kartu?”
Aku mengambil dokumen laporan polisi yang aku lipat di saku celanaku, aku berikan itu padanya. Aku menunjuka ke kertas yang hanya berisi tulisan aneh:
niEw BeginNing TOmOreRow niEw BeginNing TOmOreRow niEw BeginNing TOmOreRow niEw BeginNing TOmOreRow niEw BeginNing TOmOreRow niEw BeginNing TOmOreRow niEw BeginNing TOmOreRow niEw BeginNing TOmOreRow niEw BeginNing TOmOreRow niEw BeginNing TOmOreRow niEw BeginNing TOmOreRow niEw BeginNing TOmOreRow
“Baiklah, saatnya untuk membayar hutang. Semua hutang harus dibayar. ” Ibu bicara sambil berbalik ke arahku, air matanya telah membasahi wajahnya. Aku berjalan pelan ke arahnya,
“Rose, kita perlu bicara mengenai masa depanmu, tentang apa yang akan terjadi.” ia berkata disela-sela tangisnya. Aku tahu ini adalah kesempatan untukku akhirnya mendapatkan petunjuk, untuk akhirnya mengetahui apa yang terjadi. Tapi, kenyataan jika ibu mengetahui sesuatu dan tak mengatakan apapun membuatku marah.
“Bagaiamana bisa kau tak mengatakan apapun padaku tentang ini? Bagaimana bisa kau menyimpan semua ini selama ini? aku bertanya dalam keadaan terluka dan marah. Meski sebagian dari diriku saat ini didominasi oleh perasaan marah.
“Kami diberitahu jika kau masih memiliki waktu, mereka bilang pada kami jika mereka hanya akan datang ketika aku dan ayahmu sudah meninggal. Ketika kau telah memiliki anak,” ibu bicara sambil memegang bahuku tapi aku menepisnya.