Thursday, September 14, 2017

Room 733 - Kamar 733 #Bagian 3 (FINAL)


“Mengakhirinya?” suara nyonya Stapley terdengar mengecil tapi lebih tinggi. “Jangan arogan, anak muda. Kau tidak bisa mengakhirinya. Yang tinggal disana akan selalu meninggal dan akan selalu. Tidak akan pernah habis jadi ada baiknya kau jauh-jauh dari hal itu.”
“Tapi jika kita tahu permulaannya-“
“Itu semua dimulai persis seperti yang kau pikirkan. Tapi semua yang bersangkutan sudah sangat tua atau sudah meninggal semua. Menjauhlah dari kamar itu. Konsentrasilah pada pelajaranmu.”
Aku menyender ke mejanya. “Well, aku ingin sekali tapi mereka membuat aku dan sahabatku tinggal disana di kamar sebelahnya. Mungkin kau bisa (pura-pura) melupakan kejadian itu tapi kami tidak. Mahluk itu tidak membiarkan kami.”
“Anak muda, aku tidak pernah lupa.” Suara nyonya Stapley makin dalam. “Ellen sahabatku adalah orang yang pertama kali terbunuh di ruangan itu. Dia adalah sahabat baikku dan tidak ada malam yang kulewati tanpa mengingat bagaimana dia bergelut untuk melompat dari jendela kecil itu, berdiri di pinggiran yang sempit dengan kaki telanjangnya dan lompat dari lantai 7 gedung itu.”
“Maafkan aku. Aku tidak tahu.” Kata Alice sambil menghela nafas.
“Itu adalah luka lama nak. Sekarang, aku sarankan kalian meminta pergantian kamar secepatnya. Tidak ada yang seharusnya tinggal disana. Dan hanya ini saja yang bisa kuinformasikan.”
Alice kembali menghela nafas dan hanya mengangguk. Kami tidak mempelajari apapun. Tapi, setidaknya kami mendapatkan sedikit informasi sekarang.

Alice berjalan keluar dan aku mengikutinya tapi kakiku tidak mau bergerak. Ada sesuatu yang kupikirkan – kecil namun terasa meringis kata-kata dari cerita nyonya Stapley; kata-kata yang kelihatannya sangat penting.
“Eh nyonya Stapley, mengapa kau mengatakan jendela di kamar 733 itu kecil? Karena yang aku lihat jendelanya besar, mungkin tingginya 5 kaki.”
“Sayang, kau sedang berpikir tentang ruangan dipojokan, itu adalah ruangan persediaan. Kamar 733 adalah kamar disebelahnya.”
“Tidak, tidak, itu kamar 734.” Kataku sambil tergagap.
“Sekarang memang betul. Ketika mereka membangun kamar tambahan di balai selatan mereka memindahkan semua nomor kamar.”
Oh tidak. Aku tiba-tiba merasa panas dingin dan pusing.
“Keparat licik itu,” Alice berbisik di sebelahku, wajahnya pucat.
“Lydia.”

Kami berlari melintasi kampus dengan cepat, disaksikan oleh beberapa siswa yang sedang dalam perjalanan ke kelas paginya. Ketika Reilly mulai terlihat aku tersandung di trotoar dan darahku terasa beku. Dari pandangan kami, jendela ruangan pojok itu tertutup – pertama dan satu-satunya waktu aku melihatnya tertutup. Dan jendela kamarku terbuka.
Kami berlari di lobi, harus mendorong beberapa siswa lainnya yang baru keluar lift. Aku menekan 7 dan waktu berjalan sangat lambat. Aku bersandar di dinding dan mencoba menenangkan diriku.
“Alice, mengapa ini bisa terjadi?”
“Aku tidak tahu!”
“Dia ada disana semalaman, Alice. Di kamar kami. Sendirian.”
Alice menggelengkan kepalanya tapi tidak mengatakan apapun.
Ketika lift terbuka di lantai 7, kami melihat lorong yang sunyi, dan kosong. Aku berlari menuju ke kamarku dengan Alice di belakang. Sampai di pojokan, aku berharap pintu itu tidak terkunci. Dan memang tidak terkunci.
Lydia melihatku. Dan aku masih terengah-engah, secercah harapan yang kejam melintas di air matanya.
Itu sudah terlambat. Beberapa saat berikutnya, dia sudah tidak terlihat.
Dia berteriak sepanjang jalan menuju ke bawah.
Alice berlari ke pijakan kecil tempat dimana Lydia berdiri tanpa bergerak. Dia mendongakan lehernya dari jendela dan mendengar banyak teriakan. Alice menutup mulut dengan tangannya dan kembali dari jendela dengan tangis di wajahnya yang seperti hantu.
Teriakan dari depan terdengar sangat kencang saat orang lain mulai menemukan apa yang tersisa dari sahabatku di trotoar dingin itu. Aku bersandar di lemari dan terjatuh ke lantai. Kematian karena jatuh. Lydia sangat tidak ingin kematian karena jatuh.

Aku melamun dan mengambil gambar yang berserakan di lantai. Itu adalah gambar ibu Lydia. Dia sudah meninggal. Aku mengambil gambar lainnya. Itu adalah Babysister Lydia. Dia sudah meninggal juga. Ada banyak gambar seperti itu di lantai – Lydia pasti sangat sibuk malam kemarin. Hal-hal lain yang tergambar, aku tidak bisa memberitahukanmu. Lydia sangat berbakat dan aku hanya melihat beberapa sebelum aku merasa mual di lantai sebelahku.
Alice berdiri di lorong dan berteriak sesuatu ke orang-orang. Aku tidak tahu apa yang dia katakan karena aku hanya mendengar suara mendengung yang kencang di dalam ruangan. Tiba-tiba ada kertas yang mencuat dari antara pintu lemari kearahku. Kuambil dan kulihat beberapa saat.

Ini juga digambar oleh Lydia, tapi tidak seperti yang lainnya. Itu adalah gambar lemari yang tepat dari sudut pandangku. Di antara pintu yang terbuka sedikit dan ada sesuatu yang melihat dari kegelapan.
Aku menaruh kertas itu dan melihat lemari. Lemari itu terbuka persis seperti yang ada di gambar. Aku memicingkan mataku untuk melihat kedalam. Saat mataku mulai terbiasa, terlihat bayangan wajah panjang yang menatap kearahku, Alice menarikku sampai terjatuh.
“Kita harus keluar darisini.” Kurasa itu yang kudengar.
Aku tidak pernah lagi kembali ke kamar itu. Orangtuaku memindahkan semua barangku dan aku menghabiskan semester itu di apartemen luar kampus.

Setiap hari aku bermimpi soal Lydia memaksa masuk ke jendela kecil, menggigil hebat di pijakan kaki yang dingin, berdiri dan tahu bahwa tidak ada apa-apa lagi diantara tubuhnya dan jurang menakutkan di depannya. Aku melihatnya menatap ke trotoar hitam dibawah dan sadar, biarpun tidak menerima, takdir kelamnya. Aku melihat kengerian buta dibalik wajahnya. Aku juga bisa mendengar detak jantung kencangnya, mencoba untuk memegang apapun yang ada untuk tetap hidup, namun tahu bahwa semua itu hanya bertahan beberapa detik.
Aku melihatnya dan dia melihatku. Dan aku melihat dia jatuh.

Sudah 9 tahun berlalu semenjak malam itu. Dan setiap musim gugur semester aku selalu menelpon residen servis untuk melihat asrama mana yang dibuka untuk murid baru. Reilly selalu dibuka tapi lantai ketujuh ditutup.
Tahun ini aku agak sibuk dengan hidup dan pekerjaanku. Membuatku harus menelepon lebih lama dari biasanya. Aku sedang berada dalam daftar tunggu.
“Residen servis.” Seorang pria menjawab. “Apakah kau orang yang bertanya soal kamar yang kosong di Reilly?”
“Ya, benar sekali.”
“Kami sudah terisi penuh dan ada daftar tunggu untuk Reilly. Tapi, saat ini terjadi, kau memiliki timing yang tepat. Aku tidak bisa berjanji tapi kurasa kami bisa membantumu masuk. Kami sudah mendapat persetujuan pagi ini.”
“Persetujuan untuk apa?” Tanyaku perlahan.
“Kami membuka lantai tujuh.”

No comments:

Post a Comment

Creepypasta Indonesia, Riddle Indonesia, Cerita Seram, Cerita Hantu, Horror Story, Scary Story, Creepypasta, Riddle, Urban Legend, Creepy Story, Best Creepypasta, Best Riddle, short creepy pasta, creepypasta pendek, creepypasta singkat