Thursday, September 14, 2017

Room 733 - Kamar 733 #Bagian 1


Kamar bunuh diri. Itu adalah panggilan untuk kamar 733 - seolah-olah aku tidak perlu khawatir pada hari pertamaku sebagai mahasiswa baru.

Kami diharuskan mengisi kamar nomor 734 yang, boleh dikatakan, itu bukanlah kamar tambahan yang bagus di balai utara. Tidak, kami mendapati tempat di pojokan lama pada gedung ini di lantai ke-7. Aku tidak terlalu kecewa, setidaknya mereka mengabulkan keinginanku untuk sekamar dengan para teman baikku.

Lydia dan aku menghabiskan pagi hari untuk pindah. Ketika pembimbing residen kami datang, kami sedang menempel poster dan Lydia sedang membaca.
“Halo, gadis-gadis, aku Beth!” Kata seorang gadis pirang ketika dia masuk ke ruangan kami. “Aku adalah pembimbingmu tahun ini.”
“Hi,” aku melambai kearahnya.
“Wow, kalian bekerja sangat cepat,” katanya sambil melihat kamar kami dan duduk di ranjang yang baru saja kubereskan.
Beth mengambil cthulhu hasil gambar Lydia musim panas lalu. Dia membalik, dan menatapnya dalam dalam.
“Apakah ini kraken dari Pirates of the Carribean?”
Lydia hanya melotot kearahnya dari atas buku.
“Jadi, aku tahu bahwa balai utara ini tidak sebaru balai selatan tapi percayalah padaku, ada banyak sejarah disini. Gedung ini sendiri sudah 60 tahun usianya.”
“Ya, aku bisa melihatnya. Ruangan ini juga cukup sempit.”
“Well, orang tahun 50-an lebih kecil daripada sekarang.” Kata Beth sambil mengangkat bahu.
“Oh begitu.” Sambung Lydia datar.
“Ya, betul sekali.” Kata Beth sambil menggigit bibirnya, setelah itu di dalam kamar hanya ada keheningan.
“Jadi, ruangan di pojokan sebelah ini – 733, bukan? Itu kelihatannya lebih besar dari kamar kami yang ini. Apakah ada orang yang tinggal disana atau mungkin kami bisa-“
“Oh, kau tidak akan mau kamar itu.” Beth memotong. “Ada 2 kasus bunuh diri disana. Gantung diri dan melompat dari gedung kalau aku tidak salah. Mereka sudah tidak memberikan kamar itu untuk ditinggali lagi. Dan aku juga ingin mengingatkan ke kalian bahwa ini hanyalah lantai khusus wanita dan pria tidak diperbolehkan setelah jam 11.”
Sebelum kami bisa menjawab Beth sudah menepukkan tangannya dan berkata dengan cepat “Well, senang bertemu dengan kalian semua” dan dia langsung keluar dari kamar ini.
Lydia menjatuhkan bukunya dan melotot kearah balai. “Aku benci orang itu.”
“Kau dengar lelucon yang dia katakana?”
“Aku akan memanggilnya Beth si Bodoh.”
“Lydia, bunuh diri? Apa kau bercanda?”
“Oh, santailah Becca. Setiap kampus pasti ada yang bunuh diri.”
“Ya, tapi di kamar yang sama?”
Lydia menghela nafas. “Siapa yang perduli? Itu bukan kamar kita.”
“Yeah, kupikir betul.” Aku melihat ke jendela kecil di kamar. “Coba bayangkan kau naik ke jendela kecil itu dan loncat? Kau akan hidup setidaknya 5 detik sebelum tubuhmu menghantam tanah.”
“Bajingan kau, Becca, kau tahu aku takut ketinggian dan membicarakan hal ini saja membuat tekanan darahku meninggi.” Kata Lydia sembari melihat ke jendela dan mengangkat bahunya.
“Kita bisa kapan saja pindah ke kamar bunuh diri itu,” aku meledeknya, “Kamar itu memiliki jendela di setiap dindingnya.”
“Keparat kau!”
“Okay, okay. Tapi aku serius, coba pikirkan tentang itu. Itu membutuhkan komitmen tinggi untuk menjejali tubuhmu ke jendela kecil itu.”
“Ya, kau tahu kan, orang jaman dulu badannya lebih kecal.” Lydia kembali mengomel dan mendorong ranjangnya jauh dari jendela.


Karena Lydia adalah orang yang ramah dan mudah bergaul, kami berteman dengan cepat. Ada banyak pesta di minggu pertama, di salah satu pesta ini pasti Lydia akan bertemu pria. Aku sudah mengenal dia sejak kami masih menggunakan popok jadi aku mengantisipasi penuh dia memiliki pacar di akhir September. Namanya Mike, dan tidak ada satupun yang special dari orang ini; hanya orang mengesalkan dengan standard normal.
Setelah tepat sebulan, tahun ajaran dimulai. Lydia dan aku menemukan sedikit kesulitan dan kami menghabiskan akhir minggu dengan belajar daripada berpesta. Ujian tengah semester akan datang 2 minggu lagi dan aku harus memastikan nilaiku 4.0 di tahun pertamaku ini.

Suatu malam di awal Oktober aku terbangun oleh suara keras. Aku terduduk di ranjangku dan mencoba mendengarkan suara itu lagi. Lydia juga terbangun dan mendengarkan.
BRAK!
“Apa itu?” tanya Lydia.
Ini adalah bunyi yang tidak normal karena suara ini bukan muncul dari balai, tapi dari kamar sebelah – kamar pojok.
SRAK!
“Apakah itu-“
“Ya,” Bisik Lydia. “Itu adalah jendela di kamar sebelah.”
Karena Lydia memaksa, maka jendela tidak pernah kami buka. Tapi, tidak mungkin salah mendengar suara jendela di kamar 733 sedang dibuka dan ditutup lagi pada jeda yang regular.
BRAK!
“Siapa disana?”
Lydia mengangkat bahu.

“Apakah ada orang yang bercanda dengan kita? Apa mereka sedang mengerjai kita?”
Lydia mengangkat alisnya dan berkata. “Mengerjai untuk apa?”
“Aku tidak tahu. Kampus? Mungkin mereka sedang memplonco murid baru?”
SRAK! (Terbuka)
“Siapa yang memplonco murid baru?”
Aku mengangkat bahu.
BRAK! (Tertutup)
“Becca, aku menyayangimu, tapi itu sangat bodoh.”
Aku melempar bantal ke Lydia. “Well siapapun itu, beritahu mereka untuk diam.”
“Aku? Tidak akan. Aku tidak mau dilempar keluar jendela.”
SRAK!
“Well, aku tidak akan melakukan ini!”
“Aku anak seni. Kau anak politik sains. Pergilah kau dengan hukummu.”
“Persetan dengan hal itu.”
“Lebih baik kita panggil Beth si bodoh. Bukankah ini omong kosong yang seharusnya dia urus?”
BRAK!

“Aku tidak akan memanggilnya. Jangan kau panggil iblis itu.”
“Baik,” Lydia berbisik cukup keras, “Kalau begitu kita harus mengabaikan suara itu.”
“Aku ada kelas jam 7:30!” Bisikku.
SRAK!
“Jadi lakukanlah sesuatu!”
“Ugh!” aku bangun dari kasur dan membuka pintu dengan keras, kemudian membantingnya dengan keras juga. Aku berjalan menuju ke kamar 733 yang di depannya tertulis ‘Ruang Persediaan’.
“Ini waktunya orang tidur, berhentilah bersuara bajingan!” aku berkata tapi tidak ada jawabannya.
BRAK!
“Ayolah, kawan…” aku menghela nafas.

Aku mundur dari pintu dan mendadak melihat adanya masalah. Kamar 733 itu terkunci dengan gembok dari depan. Aku langsung berlari ke kamarku.
“Apa yang terjadi?” Tanya Lydia.
“Aku tidak akan pernah mendekati kamar itu lagi, selamanya. Kamar itu terkunci dari luar; aku tidak tahu bagaimana orang bisa masuk kesana.”
“Jadi menurutmu ini adalah ulah hantu?” Dia tertawa.
“Tidak, menurutku sedang terjadi sesuatu yang menyeramkan di dalam kamar yang sehari-hari dipanggil ‘Kamar Bunuh Diri’.”
Lydia mengejek dan kembali tidur. “Kau seharusnya masuk kelas Drama.”
Kami tidak mendengar suara lagi dari kamar sebelah malam itu tapi pagi berikutnya kau bisa melihat dari luar bahwa jendela itu sekarang terbuka lebar.


Aku sudah memperhatikan jendela kamar 733 selama seminggu ini tapi mereka tetap terbuka. Kadang tengah malam aku pikir aku mendengar suara dari kamar sebelah seperti bola marmer terjatuh dan menggelinding di lantai. Tapi Lydia tidak pernah terbangun, jadi aku tidak mengatakan apapun.
Suatu siang aku sedang sendirian di asrama untuk mengedit catatan di laptopku. Aku mendengarkan lagu dengan headset tapi suaranya tidak terlalu kencang untuk mendengar orang mengetuk pintu.
“Masuk!” Kataku tanpa melepaskan pandangannku dari laptop.
Beberapa saat ada ketukan lagi. Aku melepaskan headsetku dan menutup laptop.
“Masuk-“ Kataku sambil berbalik.
Tunggu, seingatku aku membuka pintu kamarku dengan sengaja karena Ian (pacarku) seharusnya kesini. Aku mendengar ketukan lagi di belakangku dan aku melompat dari kursiku.
Ketukan ini berasal dari sisi lain kamar – pintu lemari. Itu adalah lemari yang dindingnya bersama dengan kamar 733.
“Lydia, kau tidak lucu.”
Tidak ada apapun.
“Lydia, aku bersumpah, aku akan meninju wajahmu.”
Hening. Aku berjalan kearah lemari dan memegang gagang pintunya.
“Lydia, kau seorang-“
“Seorang apa?”
Suaranya ada di belakangku. Aku melepaskan gagang pintu dan mundur, sambil melotot.
Lydia melempar barangnya ke kasur dan menyilangkan tanganya.
“Jadi aku seorang apa?”
“Aku… pikir kau sedang bersembunyi dibelakang lemari. Kataku dengan lemah.
“Hah? Mengapa?”
“Karena seseorang mengetuknya barusan.”
“Ya ampun, Becca.” Lydia mengusap jidatnya dan berjalan menuju ke lemari itu, membuka pintunya. Tidak ada apapun disana kecuali baju dan kotak. Dia membuat gerakan tangan seperti berkata: ‘apa lagi sekarang?’
“Aku bersumpah-“
“Becca, tidak ada siapapun disini.”
“Aku tahu apa yang kudengar.”

Kami saling menatap sampai Ian datang.
Dia langsung mengetahui tensi yang cukup panas diantara kami. “Halo para gadis… ada sesuatu yang baru?”
Aku memberi sahabatku tatapan bermusuhan. “Ada yang aneh dengan kamar disebelah ini. Tapi ini bukan sesuatu yang baru.”
“Kamar mana? 735? Atau yang kosong?”
“Yang Kosong.” Lydia menekankan.
“733? Hah, aku tidak kaget. Itu adalah kamar bunuh diri.”
“Benar, kami mendengar tentang kematian itu.” Aku terduduk di kasurku.
“Ya, itu sangat gila. Coba bayangkan 3 kasus bunuh diri di tempat yang sama.“
“Tiga?” Lydia menaikkan alisnya. “Kami diberitahu hanya 2.”
“Well ada sepasang yang bunuh diri di 70-an dan pria 10 tahun yang lalu. Dia lompat dari jendela.”
Lydia dan aku sama sama merinding. Biarpun dia lebih parah, kami berdua takut akan ketinggian. Mati dari ketinggian adalah hal terburuk yang pernah kupikirkan.

“Bisa kukatakan bahwa 3 kasus bunuh diri di tempat yang sama itu sangat mengerikan.” Kata Lydia dengan nada meminta maaf.
“Yeah, kudengar ada sesuatu juga di kamar itu.” Ian melanjutkan.
“Seperti apa?”
“Tidak ada yang tahu, tapi setiap tahun selalu ada teori baru, biasanya tepat sebelum Halloween sesuatu selalu ditulis di berita kampus. Apapun yang tertulis disana, sangat tidak baik.”
“Jadi, apakah ada orang lain yang bunuh diri di ruangan lain? Seperti yang disebelah ini?”
“Nah, hanya 733 saja. Sejujurnya, aku kaget mendengar mereka mendengar balai utara tahun ini.”
“Aku dengan angkatan kami adalah angkatan dengan siswa baru paling banyak di 20 tahun terakhir ini.” Kataku sambil terbengong.
“Ya, aku juga mendengar itu. Kau bisa meminta untuk pindah ruangan.” Ian duduk di kasur di sebelahku dan aku merebahkan kepalaku ke bahunya.
“Ya, tapi mereka bisa membuat kami 1 kamar.” Potong Lydia. “Becca dan aku sudah bersahabat 15 tahun lamanya. Kami tidak bisa bersama orang lain.”
“Jadi kita harus tetap tinggal disini, bersama iblis?” Aku menatap ke pintu lemari itu lagi.
Lydia mengangkat bahu. “Setidaknya kita punya cerita saat kita lulus.”
“Ini bukan cerita yang ingin kusampaikan.”

Beberapa hari kemudian Lydia mulai mempercayai ceritaku. Aku terbangun di tengah malam dan terdengar suara orang sedang berbisik. Aku melihat kea rah Lydia, yang sudah menatapku dengan tajam. Dia memberikan gestur agar aku tidak bersuara.
Aku mendengarkan dengan fokus, mencoba mendengar apa yang suara ini katakan dan darimana itu datang tapi aku tidak mengerti satu katapun. Aku pindah dari ranjangku ke Lydia. Suara bisikan ini semakin terdengar jelas, karena Lydia ranjangnya persis di samping dinding ini. Aku mendengarkan lebih fokus lagi.
..jangan.. mendengar… mulut.. orang bodoh..

Apa ini? Lydia mendekatkan telinganya ke dinding. Bisikkan itu tiba-tiba berhenti dan aku mendekat. Tiba-tiba terdengar suara pukulan kencang dari sebelah. Lydia tersentak mundur dan memegang telinganya yang kesakitan.
Seseorang ada disana. Aku bangkit dengan penuh amarah daripada takut, aku menggedor pintu yang seharusnya jadi ruang persediaan itu. Menggedor sekencang mungkin tanpa perduli ada yang bangun.
“Apa kau bercanda denganku bajingan?!” aku berteriak. “Ini sudah tidak lucu lagi. Keluarlah dari ruangan ini keparat!”
Hening. Dan gagang pintu berputar.

Aku tidak tahu apa yang aku nantikan untuk terjadi tapi bukan itu. Aku mundur sangat jauh dari pintu itu dan berlari sedikit ke dinding seberangnya. Ketika gagang itu berhenti bergerak, sesuatu mendorong dari dalam. Pintu itu berbunyi kencang, tapi pintunya terkunci rapat.
Aku menahan nafasku sampai tekanan dari pintu itu memudar dan gagangnya kembali ke posisi normal.
Lydia yang muncul dari balik pintu mengangkat tangannya seperti bertanya apa yang terjadi?
“Seseorang berpikir mereka lucu.” Jawabku dengan kencang. Dia menggelengkan kepalanya dan masuk ke dalam kamar kembali.
Aku berlutut dilantai dan membawa kepalaku ke karpet, mengintip diantara celah pintu bawah. Ini pertama kalinya aku melihat ruangan di pojokan ini.

Kamar 733 betul-betul ruangan persediaan. Ada bangku yang tersusun di satu dinding dan ada bingkai ranjang juga di sisi lainnya. Ada juga matras buluk yang ditumpuk dibawah jendela dan debu yang tebal menutupi seluruh ruangan. Jendelanya terlihat besar, sesuatu yang tidak bisa kau ketahui tanpa melihat langsung di gedung ini. Selalu terbuka dan aku lihat betapa mudahnya orang bisa naik keatas dengan tangga.
Kamar itu tidak terlihat seperti pernah ditinggali lagi sejak 70-an yang membuatku merinding.
Cahaya bulan, yang membuatku bisa melihat kedalam kamar tiba-tiba hilang, dan aku hanya melihat kegelapan didalam. Aku berkedip untuk membuat mataku melihat dalam kegelapan. Aku menutup mataku dengan rapat rapat dan ketika aku membukanya, ada mata kuning yang melihat kearahku, hanya beberapa inchi dari wajahku didepan pintu.
Aku berteriak dan membangunkan setengah asrama.

No comments:

Post a Comment

Creepypasta Indonesia, Riddle Indonesia, Cerita Seram, Cerita Hantu, Horror Story, Scary Story, Creepypasta, Riddle, Urban Legend, Creepy Story, Best Creepypasta, Best Riddle, short creepy pasta, creepypasta pendek, creepypasta singkat