Sunday, September 17, 2017

REAL - Bagian 4 (FINAL)


Aku ingin bangun sepagi mungkin keesokan harinya, namun ketika aku menemukan Miss Akagi pagi itu, beliau sudah menyelesaikan ibadah paginya.

“Selamat pagi, Tomohiko. Basuhlah wajahmu dan sarapanlah. Jika sudah selesai, kita akan pergi bersama-sama ke kuil utama.”

Sebelumnya akan kujelaskan. Agama Buddha memiliki banyak sekte dan Miss Akagi adalah pemimpin salah satunya. Sekte yang beliau pimpin memiliki sejarah panjang, bahkan disebutkan dalam buku teks. Ada banyak orang di penjuru Jepang yang mengikuti sistem kepercayaan yang sama. Walaupun sistem kepercayaan mereka sama, namun karena kondisi geografis, baik bagian timur dan barat Jepang memiliki kuil utamanya sendiri-sendiri. Karena aku berada di Nagasaki, maka kami berkiblat pada kuil yang ada di barat, yang letaknya cukup jauh dengan kuil dimana Miss Akagi tinggal.

Miss Akagi memberikan dua alasan mengapa kami harus pergi ke kuil utama. Pertama karena aku nampaknya memiliki suatu “skill” atau ketrampilan yang rasanya harus diasah. Aku sendiri tak bisa menjelaskannya, namun beliau mengatakan hal itu penting. Alasan lainnya karena kami harus melakukan semacam upacara peringatan bagi arwah yang mengikutiku, agar ia menemukan kedamaian dan jalan menuju ke sisi yang lain. Nenekku adalah yang paling bahagia ketika mendengarnya, namun ayahku tampak tak begitu setuju karena beliau belum begitu mempercayainya.

“Tak apa-apa Yah,” kataku pada beliau, “Aku akan kembali.”

Ketiika kami tiba, seorang pemuda sudah menunggu kami. Ia menyambut Miss Akagi dan kamipun pergi ke sebuah bangunan kecil di samping kuil utama ketika kami kembali disambut oleh lebih banyak orang yang bekerja dan tinggal di dalam kuil tersebut. Bahkan dengan penganut sebanyak itu, Miss Akagi masih tampak rendah hati. Di sana aku menyadari bahwa beliau cukup dikenal luas di Jepang dan akan mengunjungi berbagai kuil sepanjang tahun. Miss Akagi mengatakan bahwa perjalanan-perjalanan itu kadang membuatnya kesepian, namun beliau senang bisa berpergian di usia seperti itu.

Maka di sinilah aku, jauh dari kedua orang tuaku dan terpaksa tinggal di kuil ini sembari menunggu Miss Akagi pulang dari perjalanannya.
Awalnya aku merasa seperti sebuah beban bagi kuil ini karena diperlakukanseperti tamu. Oleh sebab itu aku kemudian membiasakan diri melakukan pekerjaan seperti yang dilakukan orang lain di sini agar tidak merasa canggung. Kupikir Miss Akagi juga berperan dalam meyakinkan semua orang di sini untuk menerima kehadiranku.

Ketika aku berada di sini, aku menyadari betapa beruntungnya aku. Aku berjumpa dengan seorang wanita yang dihantui siluman ular selama 40 tahun, dan bahkan keluarganya sudah porak poranda akibat kutukan iblis itu. Ia tak lagi memiliki kerabat, padahal keluarganya berasal dari garis keturunan samurai yang mashyur. Aku tak tahu jika ada orang-orang yang kondisinya lebih buruk ketimbang aku.

Entah apakah karena kebiasaan yang kulakukan di kuil ini, karena lingkungan dimana aku tinggal, ataukah karena bimbingan Miss Akagi sebelum ia meninggalkanku di sini, namun aku mulai secara perlahan mendapatkan kembali keberanianku. Namun itu tentu tidak berarti aku tak merasa takut ketika tiba-tiba aku merasa roh itu berada dekat denganku. Aku masih merasa takut akan hal itu.

Sebulan setelah aku tiba di kuil itu, Miss Akagi akhirnya kembali.

“Wah, tampaknya ada yang merasa lebih baik hari ini.” beliau tersenyum ketika melihatku dalam keadaan segar.

“Ini semua berkat Anda, Miss Akagi.”

“Dan apakah kau sudah melihatnya semenjak datang ke sini.”

“Tdak!” tentu saja aku tahu siapa yang beliau maksud, “Saya pikir ia sudah menyeberang ke alam lain. Lagipula, ini kuil utama bukan?”

“Bagaimana kau bisa seyakin itu?”

Tiba-tiba aku merasa wajahku berkedut dan Miss Akagi langsung menyampaikan dengan gamblang apa yang beliau maksudkan.

“Maaf, Nak. Aku tak berniat menakutimu, namun kau harus mengerti. Ada banyak orang di sana ang merasakan sakit, ini sudah tugasmu untuk menolong mereka, kau tahu?” aku merasa bahwa roh yang selalu mengikutiku termasuk di antaranya. “Tomohiko, aku ingin kau tinggal di sini sedikit lebih lama lagi. Kau harus belajar terlebih dahulu.”

Aku melakukan apa yang beliau katakan. Aku masih merasa trauma atas pengalaman mengerikan yang aku alami dan kalau boleh jujur, aku menikmati tinggal di sini. Waktu terasa berjalan lebih lamban di sini dan aku merasakan secercah kedamaian.

Aku berakhir tinggal di sana selama 3 bulan. Miss Akagi baru pulang semenjak itu dan aku sebenarnya merasa agak tak nyaman ketika berbicara dengan beliau kali ini, sebab aku mulai merasakan suatu kesedihan. Aku mulai merasa jauh dengan cara hidup dimana aku dibesarkan dan mulai merasa tak nyaman dengan hal tersebut. Ketika Miss Akagi pulang, aku juga sudah bersiap-siap untuk kembali ke rumah keluargaku.

Aku berpakaian dengan baju yang formal dan mengucapkan terima kasih kepada semua yang ada di kuil. Aku berjalan keluar didampingi Miss Akagi dan aku merasa sangat senang akan bertemu kembali dengan keluargaku.

Namun pada suatu titik aku menyadari bahwa Miss Akagi tiba-tiba lenyap. Padahal sebelumnya ia berjalan di sampingku. Aku menoleh dan melihat dia berdiri jauh di belakangku. Berpikir bahwa aku mungkin berjalan terlalu cepat, akupun kembali ke tempat ia berada.
“Tomohiko, apa kau pernah berpikir untuk tinggal di sini saja?” matanya terasa bersinar ketika mengatakannya. Terlihat bahwa ia menyadari betapa besar perubahan yang kualami selama tinggal di sini dan itu membuatku senang. Namun tetap, yang kuinginkan hanyalah kembali pulang.

“Maaf, saya tak bisa hidup seperti orang-orang ini untuk selamanya. Aku pikir apa yang mereka lakukan itu hebat, namun itu bukan untuk saya.” Aku menatap mata beliau, mencoba untuk terlihat meyakinkan dan serius.

“Biarlah aku mengatakannya dengan bahasa lain: kau tak bisa pergi dari sini.”

“Apa?”

“Ia masih bersamamu.” Miss Akagi tampak sedang melihat sesuatu yang tak bisa aku lihat. Aku merasakan wajahku berkedut kembali.

Baru dua bulan kemudian aku bisa meninggalkan kuil itu, berarti dengan total aku sudah menghabiskan waktu hampir setengah tahun di sana.

“Kupikir kini kau akan baik-baik saja, Nak! Namun aku ingin kau kembali ke sini minimal sebulan sekali untuk berjaga-jaga.” Miss Akagi berkata ketika aku meninggalkan kuil. Bahkan beliau sendiri tak bisa mengatakan apakah makhluk itu benar-benar pergi ataukah ia hanya sekedar bersembunyi.

Butuh waktu memang, namun aku akhirnya mampu menyesuaikan diri dengan kehidupan lamaku. Ibuku-lah yang mengurus apartemenku selama aku pergi dan ada beberapa barang yang dipindahkan ke rumah kami. Beliau mengatakan, ketika beliau mengunjungi kamar apartemenku, seperti ada bau sesuatu yang terbakar dan ada serangga-serangga kecil mengerbungi tengah kamarku, di lantai. Aku tak memiiki keberanian untuk memeriksanya sendiri, namun ibuku mengatakan bahwa memang sebaiknya aku tak melihat serangga-serangga itu.

Satu hal yang paling aku syukuri semenjak keluar dari kuil itu adalah mendapatkan telepon genggamku kembali. Aku sudah tak memegangnya selama setengah tahun dan saat aku memeriksanya, ada ratusan SMS dan email memenuhi inbox-ku, kebanyakan berasal dari Ogawa. Ia menyalahkan dirinya atas segala yang aku alami – dan itu memang salahnya – serta meminta maaf, entah berapa kali. Banyak dari emailnya berisi saran tentang apa yang harus kucoba berikutnya – “Aku dengar kau bisa mencoba ini dan itu” serta “Aku menemukan orang yang mungkin bisa menolongmu.” – dan berbagai nasehat lainnya. Ia tampaknya mencoba membantuku sebisa mungkin. Ketika aku menceritakannya, ibuku bahkan mengaku bahwa ia bahkan datang berkunjung beberapa kali selama aku tak ada.

Dua hari setelah kedatanganku kembali ke rumah orang tuaku, Ogawa meneleponku. Aku tak bisa mendengar apa yang ia katakan karena suara musik yang gaduh di belakangnya. Ia nampaknya tengah berada di sebuah pesta, jadi aku menutupnya. Aku hanya mengiriminya SMS berisi,
“Aku akan membunuhmu!”.

Ia membalasnya keesokan harinya mengatakan bahwa ia ingin meminta maaf. Ia berkata ingin datang dan berbicara langsung denganku. Aku setuju dan ia muncul malam itu juga. Ia tampak lelah setelah berkendara jauh dari Tokyo dan ia terlihat merasa sangat bersalah. Begitu membuka pintu, aku langsung memukulnya dua kalo. Satu untuk membuatnya berhenti meyalahkan dirinya atas apa yang terjadi, dan yang kedua untuk membuatnya tahu kalau mengetahui ia sedang sibuk berpesta ketika aku dalam kesusahan benar-benar membuatku kesal. Ia tampaknya menerima dengan legawa tinjuku itu (lagipula tidak terlali keras kok, walaupun mungkin yang kedua agak terlalu terbawa emosi).
Aku menceritakan kepadanya segala yang terjadi. Kami bersenang-senang malam itu, seperti waktu-waktu dulu.

Ia bercerita balik kepadaku, apa yang terjadi pada Hayashi malam itu. Setelah ia berlari keluar dari rumah orang tuaku malam itu, Ogawa sudah tahu ada sesuatu yang ganjil. “Ia bertingkah sangat aneh.” cerita Ogawa. “Ia hanya diam di dalam mobil, kemudian tiba-tiba tertawa terbahak-bahak tiba-tiba, dan beberapa saat kemudian ia gemetar ketakutan. Ia terus mengatakan hal-hal seperti ‘Aku berbeda!’ atau ‘Aku takkan melakukannya!’ Itu benar-benar membuatku ketakutan.”

Semua ini membuatku teringat dengan kejadian di malam Hayashi berbicara dengan iblis itu. Aku mencoba menghapus gambaran itu dari benakku, namun tak berhasil.

“Maaf sudah menjadi seorang pengecut dengan meninggalkanmu malam itu.”

“Lalu apa yang terjadi dengan Hayashi? Apa benar dia pengusir hantu, aku meragukannya.”

“Yah, mungkin ia mengira kasusmu adalah sebuah hoax dan berpikir bisa memerasmu, namun ...” Ogawa tampak terdiam sebentar.

“Ada apa?”

“Aku mendengar dari temanku, aku tak tahu apa ini benar, namun Hayashi menjadi gila sejak saat itu.”

Aku terdiam. Aku menyadari pentingnya berkunjung ke kuil Miss Akagi sejak saat itu. Tahun pertama aku mengunjungi kuil sebulan sekali, sesuai pesan beliau. Namun tahun berikutnya, aku cukup pergi ke sana tiga bulan sekali. Dan dua tahun setelah terakhir kali aku melihat makhluk itu, Miss Akagi akhirnya memiliki kabar gembira.

“Kupikir kau tak perlu mencemaskan tentang dia lagi, Tomohiko. Namun kau harus tetap mengunjungi kuil ini sesekali dan ingat, jangan melakukan hal yang aneh lagi!”

Apa ini benar-benar telah berakhir?

Aku tak tahu.

Tiga bulan kemudian Miss Akagi meninggal, jadi mungkin aku takkan pernah tahu.

Aku harap aku dapat belajar lebih banyak dari beliau. Namun yang hanya bisa kulakukan sekarang hanyalah berharap dan berdoa. Dua bulan setelah pemakaman beliau, aku akhirnya mampu merasa hidup normal kembali. Aku tiba di titik dimana aku hampir melupakan kejadian mengerikan yang pernah kualami itu. Aku tak perlu lagi membicarakannya dengan siapapun dan satu-satunya hal yang kuinginkan sekarang adalah hidup seperti biasa lagi.

Suatu hari, aku menemukan sebuah surat di dalam kotak surat, datang dari nenekku. Ketika aku membuka amplopnya, aku terkejut melihat bahwa di dalamnya ternyata ada selembar kertas dan sebuah amplop lain. Aku membaca surat yang ditulis oleh nenekku.

“Miss Akagi memintaku untuk memberikan surat ini kepadaku. Sudah cukup lama sejak kematian beliau, sehingga aku bisa memenuhi janjiku kepada beliau.”

Aku membuka surat lain itu, yang ditandatangani oleh Miss Akagi.
Ada dua lembar kertas dalam surat itu. Aku kemudian membacanya.

Tomohiko,
Maaf tidak menulis kepadamu sesegera mungkin. Ini Akagi, kau mengenali tulisanku kan? Udah cukup lama semenjak semua kejadian itu, bukan? Apakah kau masih baik-baik saja? Aku harap kau sudah melepaskan ketakutanmu seluruhnya.
Ketika kamu tiba di rumahku, aku merasa takut. Aku tak mampu menangani roh yang kamu bawa bersamamu. Ia terlalu kuat untukku. Namun kau saat itu sangat ketakutan, aku sangat mengingatnya. Karena itulah aku mengatakan pada diriku sendiri untuk memberanikan diriku. Jika aku jujur, saat itu aku tak tahu bisa menolongmu atau tidak. Aku pikir kita saat itu sedang beruntung.
Bagaimana waktumu yang kauhabiskan di kuil? Kuharap kau mampu beristirahat selama di sana. Setiap kali aku kembali untuk mengunjungimu, aku selalu mengatakan kau belum bisa pulang. Apa kau ingat itu? Aku tahu jika kau melakukannya, sesuatu yang buruk akan terjadi kepadaku. Aku tahu pasti sangat membosankan bagi anak muda sepertimu, namun aku tak bisa membiarkanmu pulang jika itu berarti akan membahayakan jiwamu. Aku berdoa untukmu setiap hari, namun ia tak pernah pergi dari sisimu.
Namun aku pikir kau aman sekarang. Aku menduga ia pergi ke suatu tempat yang sangat jauh. Namun Tomohiko, jika sesuatu terjadi padamu, segeralah kembali ke kuil. Di sana kau bisa menjadi lebih kuat. Kau tahu itu. Dan ia takkan mampu menyakitimu di sana.
Aku hanya bisa berpesan kepadamu, jika kamu merasa kehilangan arah, berpalinglah ke arah Tuhan. Ketika yang kau miliki tinggallah rasa sakit, maka serahkanlah dirimu kepada-Nya. Bukannya aku menginginkan hal-hal buruk terjadi padamu, tidak. Namun jika ini semua ternyata belumlah usai, akan ada banyak kesulitan menanti di depanmu.
Kau bertemu banyak orang di kuil, bukan? Makhluk-makhluk yang sangat jahat akan mencoba menyakitimu seperti cara mereka menyakiti orang-orang itu. Mereka takkan pernah melepaskanmu. Mereka merasakan kenikmatan ketika melihat manusia menderita. Walaupun sangat pedih bagiku untuk mengakuinya, namun ada kasus-kasus dimana kami tak berdaya untuk menolong sang korban. Kami ingin menolong mereka, sangat ingin, namun kadangkala semua itu berada di luar batas kemampuan kami.
Aku ingin menolongmu, lebih daripada yang lain, Tomohiko. Aku melakukan semua yang aku bisa, tapi waktuku tak panjang lagi. Aku sudah tak bisa lagi merasakan kehadirannya, namun jangan biarkan itu membuatmu lengah. Ia mungkin sedang menunggu waktu yang tepat, dimana kau rapuh, untuk kembali menyelesaikan apa yang telah ia mulai. Selalu, waspadalah dengan sekitarmu dan jauhi tempat-tempat yang angker, mengerti! Percayalah padaku akan hal ini!
Maafkan aku telah berbohong kepadamu. Aku tahu sangat egois untuk mengatakan semua ini kepadamu setelah aku tiada. Namun selama sisa waktuku, aku akan terus mendoakanmu. Dan jangan pernah kehilangan imanmu pada Tuhan. Jangan pernah!

Tanganku bergetar ketika aku membacanya. Aku mulai merasa mulai dan berkeringat dingin. Jantungku berdetak amat kencang.
Apa yang harus kulakukan? Kupikir aku sudah bebas, namun menurut surat ini ....
Tiba-tiba aku merasa sedang diawasi. Tapi kemana aku bisa lari? Jikapun aku bersembunyi, bukankah tidak sulit bagi makhluk itu untuk tiba-tiba muncul di hadapanku? Sekali benih keraguan telah ditabur, maka ia akan bersemi. Tidak ada lagi yang dapat kupercaya. Apakah Miss Akagi disakiti oleh makhluk ini? Apakah ini alasan kenapa ia meninggalkan surat ini, untuk memperingatkanku? Apakah semuanya akan kembali seperti semula? Miss Akagi kukuh berbohong hingga akhir hayatnya. Seberapa burukkah ini sampai dia terus menyimpan kenyataan ini hingga napas terakhirnya? Aku tahu banyak orang beranggapan bahwa bertemu hantu itu “keren” atau bahkan konyol. Namun, seperti yang kusampaikan di awal kisahku ini, bahwa semuanya tak telihat seperti di film-film. Mengalami kerasukan atau diikuti oleh sesuatu yang bukan berasal dari dunia ini bukanlah sesuatu yang bisa ditertawakan. Ini bukanlah lelucon. Karena itulah kau tak boleh lengah sedikitpun.

Tanganku masih bergetar dan aku tersadar, masih ada satu lembar surat lagi yang belum aku baca.

Masih ada satu rahasia lagi.

Akupun membaca lembar kedua tersebut.

Dan terakhir, ada sesuatu yang ingin kusampaikan kepadaku. Ini berada jauh di luar pemahamanku, namun aku pikir kau harus mengetahuinya.Aku tak mengerti dengan sisi psikologis seperti aku mendalami sisi spiritual. Namun ada hal yang harus kau tahu tentang dirimu, sebab aku yakin kau sendiri pasti belum pernah menyadarinya.
Orang tuamu mengatakan hal-hal ini kepadaku sebelum kau datang. Mereka sangat khawatir denganmu dan berpikir bahwa mungkin ini alasan kamu mengalami semua ini. Aku ragu akan hal itu, namun mungkin saja itu semua ada kaitannya.
Aku pernah mengatakan bahwa kamu lemah, Tomohiko, dan kamu mungkin tak menyadarinya. Bukan lemah dalam sisi fisik, namun di dalam jiwamu ... ada sesuatu yang kosong dalam dirimu. Entahlah, mungkin engkau kesepian tinggal jauh bersama orang tuamu tanpa ada banyak teman yang bisa kau ajak bicara. Mungkin karena pekerjaanmu, mungkin karena sekolahmu yang berat, atau mungkin karena alasan yang jauh lebih sederhana, karena kau dibesarkan sebagai anak tunggal.
Karena itulah kau mungkin membayangkan hal-hal yang sebenarnya tak ada untuk mengisi kekosongan itu. Bukan makhluk itu yang aku maksudkan. Ia bukan sekedar imajinasimu, aku sendiri bisa melihatnya. Namun mungkin alasan kenapa ia bisa merasukimu, karena sisi lain dirimu ini.
Mungkin harus kuperjelas. Kau mengatakan memiliki sahabat bernama Ogawa. Namun ketika ibumu menelepon kantormu untuk menyampaikan pengunduran dirimu, bosmu dan rekan-rekan sekerjamu mengatakan hal yang tak mereka duga. Kata mereka, engkau sering berbuat aneh di kantormu. Kau sering berbicara sendiri saat makan siang dan menanyakan pria bernama Ogawa, yang mereka sendiri tak kenal.
Kau mengaku bahwa Ogawa yang membawa Hayashi ke rumahmu, namun kenyataannya orang tuamu mengatakan bahwa Hayashi datang sendirian malam itu karena kau sendiri yang memanggilnya. Beberapa hari setelah kau pulang, kau menyambut seseorang di pintu. Seseorang yang orang tuamu tak bisa lihat, namun kau tetap bercakap-cakap dan bercanda dengannya. Orang tuamu hanya mengikuti permainanmu, menganggap bahwa Ogawa itu ada, bahkan mengatakan bahwa ia sesekali mengunjungi rumah. Semua itu hanya agar kau tak kehilangan kewarasanmu.
Namun aku harus jujur kepadamu, sebab mungkin jika kau sadar akan semua ini, maka kau bisa mencoba lebih tegar dalam menghadapi hidupmu.
Tomohiko, kaulah Ogawa.

TAMAT

1 comment:

Creepypasta Indonesia, Riddle Indonesia, Cerita Seram, Cerita Hantu, Horror Story, Scary Story, Creepypasta, Riddle, Urban Legend, Creepy Story, Best Creepypasta, Best Riddle, short creepy pasta, creepypasta pendek, creepypasta singkat