Skip to main content

PANDORA - Bagian 5



baca bagian sebelumnya



Di keluarga tertentu di Jepang, seorang ibu akan meneruskan tiga tradisi kepada putri mereka. Biarkan kujelaskan mengenai tradisi-tradisi itu.

Pertama, anak perempuan adalah milik ibu mereka dan akan diperlakukan seperti itu. Jika seorang wanita melahirkan dua atau tiga anak perempuan, ia akan memilih salah satunya untuk menjadi “miliknya”. Putri yang terpilih ini akan diberikan dua nama, salah satunya adalah nama aslinya. Nama asli itu tak diketahui oleh siapapun, kecuali ibunya.

Nama tersebut juga akan memiliki cara pengucapan yang berbeda dengan huruf kanjinya, sehingga bila orang lain menemukannya dan membacanya, orang tersebut takkan tahu cara mengucapkan nama aslinya. Bahkan jika ibu itu sedang sedang berdua saja dengan putrinya, nama itu tetap takkan digunakan.

Nama itu digunakan untuk memperat ikatan antara ibu dan putrinya dan membuktikan bahwa anak tersebut adalah “milik” ibunya.
Sebagai tambahan, pada hari ibu itu memberi nama anak perempuannya, ia harus mempersiapkan sebuah meja rias. Putrinya tersebut tak diizinkan melihat meja rias tersebut kecuali pada hari ulang tahunnya yang ke-10, ke-13, dan ke-16.

Kedua, untuk meningkatkan nilai “barang miliknya” tersebut, ibu tersebut akan memaksakan “didikan” tersendiri kepada anaknya tersebut sejak usia dini (anak perempuan lain yang tak dipilihnya akan dididik secara biasa). Contohnya, ibu tersebut akan memaksa putrinya untuk:
* Menyayat wajah kucing atau anjing
* Menyimpan patung tanpa kepala sebagai “peliharaannya” (bahkan keluarga dan orang-orang lain yang ada di sekitar anak perempuan tersebut akan berpura-pura seolah patung tanpa kepala itu hidup untuk mengelabui gadis itu agar percaya bahwa mainannya benar-benar hidup).
* Memisahkan bagian-bagian tubuh laba-laba dan kemudian menyatukannya kembali seusai bentuk semula.
* Memakan kotorannya sendiri dan meminum air kencing (baik miliknya sendiri maupun milik orang lain)
Ini hanya sebagian kecil sebab aku tak sanggup untuk menulis keseluruhannya. Percaya saja kepadaku bahwa mendengar cerita selengkapnya akan membuat perutmu mual.

Namun ini belumlah seberapa. “Didikan-didikan” ini akan berjalan hingga anak itu berumur 13 tahun. Kemudian ibu tersebut akan melakukan tiga ritual upacara. Inilah tradisi yang ketiga.

Upacara pertama dilakukan saat anak itu berumur 10 tahun. Sang ibu akan mendudukkan anaknya di depan sebuah meja rias dan memerintahkan anaknya memberikan kukunya sebagai persembahan. Inilah pertama kalinya anak tersebut menyadari keberadaan meja rias tersebut. Dan tentu saja, persembahan itu dilakukan dengan cara mencabut kuku itu secara keseluruhan.

Anak tersebut akan mencabut kukunya sendiri dan memberikannya kepada ibunya. Ibunya kemudian akan menaruh kuku tersebut di dalam sebuah kertas bertuliskan nama rahasia putrinya di laci teratas meja rias tersebut.

Setelah itu, sang ibu akan duduk seharian di depan meja rias itu untuk mengakhiri upacara tersebut. Upacara kedua dilakukan saat sang anak perempuan berumur 13 tahun. Seperti upacara pertama, anak tersebut harus memberikan persembahan. Kali ini yang harus ia persembahkan adalah giginya.

Ia harus mencabut giginya sendiri dan kemudian ibunya akan menaruhnya ke dalam laci kedua berserta kertas bertuliskan nama rahasia sang anak. Sekali lagi, sang ibu akan mengakhiri upacara dengan duduk di depan meja rias tersebut hingga hari berakhir.

Tiga tahun kemudian, ketika anak itu berumur 16 tahun, upacara terakhir pun dilakukan. Dalam upacara terakhir, sang ibu akan memakan rambut anaknya sendiri di depan meja rias. Harus dipastikan bahwa sang ibu harus mencerna rambut itu agar menjadi satu dengan dirinya. Rambut anak perempuannya itu harus dicukur sampai habis dan ibunya akan menatap ke dalam cermin di meja rias, memakannya seolah-olah ia dalam keadaan kesurupan. Apa yang anak perempuannya hanya bisa lakukan hanyalah menatapnya.

Akhirnya saat ibu tersebut selesai memakan rambut, pada saat itu ia akan mengatakan nama asli anak gadisnya itu. Saat itu akan menjadi pertama sekaligus terakhir kalinya ia mendengar namanya yang sesungguhnya.

Namun kenyataan yang menunggu setelah upacara itu selesai sangatlah mengerikan. Mulai hari itu, sang ibu bukanlah manusia lagi, melainkan sebuah “cangkang” kosong. Ia akan terus mengunyah rambut anaknya siang dan malam, seolah-olah jiwa dan kesadarannya tak ada lagi. Ia harus dibawa ke suatu tempat dimana tidak ada seorangpun yang tahu. Ia juga harus hidup dalam isolasi seumur hidupnya, tak boleh bertemu dan berhubungan dengan siapapun. Semua upacara ini bertujuan menyiapkan ibu tersebut ke tempatnya, yakni “surga” dalam keadaan murni dan suci.

Bagaimana dengan anak perempuannya? Ia akan dibawa untuk diasuh oleh bibinya. Oleh sebab itu, keluarga pada zaman itu memilih untuk memiliki lebih dari satu anak perempuan. Ia akan diasuh oleh bibinya itu sementara ibunya dipercaya “menghilang ke surga”.

Sang anak kemudian akan tumbuh dewasa, menemukan lelaki yang cocok dengan dirinya, menikah, dan memiliki anak. Kemudian siklus ini akan diulang terhadap putrinya sendiri.

Hanya itu yang berhasil kuperoleh tentang keluarga-keluarga ini. Ada banyak detail sebenarnya, namun terlalu panjang jika kujelaskan di sini. Aku tahu banyak yang tak mengerti, akupun juga. Namun ini adalah kunci untuk memahami apa yang berada di dalam rumah itu dan apa yang terjadi pada Saori.\

Bersambung

Comments

Popular posts from this blog

THE SCRATCHING CURSE

THE SCRATCHING CURSE - "Krekkk..krrekk kreett..." kudengar suara berderit-derit dari arah jendela teras. Aku pun melongok keluar, memeriksa keadaan. Sepi. Kosong. Melompong. Mungkin hanya perasaanku. Ya sudahlah. Esok malamnya, pada jam yang sama, "Krreeeeek... kreeeeeekkkk... kreeeerrrkk..." Lagi-lagi suara itu mengusik indera pendengaran. Namun kali ini terdengar dari luar pintu kamar. Bunyinya pun lebih keras dan seolah lebih dekat. Maka segera kubuka pintu kamar. Nihil. Kosong. Melompong. Sunyi. Ya sudahlah, mungkin engsel pintu kamar ini agak berkarat, pikirku sambil-lalu. Kemudian, keesokan malamnya, lagi-lagi... "Grrrreeekk... gggrrrrreeekkk.... grgrhrekkk!!!," Kali ini aku benar-benar tidak salah dengar, ada suara garukan. Terdengar lebih jelas. Amat jelas, karena... itu berasal dari kolong bawah ranjangku! Deg! Jantungku seketika berdegup tegang. Oleh sebab nalar yang menyadari suatu keganjilan, entah apakah itu, semakin mendekat... da...

KARMA

KARMA Catatan 1 Aku membuat kesalahan yang amat besar. Kupikir aku hanya paranoid awalnya, namun sekarang aku tahu bahwa dia mengikutiku. Dia tidak pernah membiarkan aku melupakan sebuah kesalahan bodoh itu. Aku tidak begitu yakin seperti apa wujudnya. Satu-satunya nama yang bisa kusebutkan adalah Karma. Kupikir dia akan melindungiku … namun aku salah. Mari kita mulai sejak dari awal. Ada sebuah ritual yang tidak begitu terkenal memang, dia disebut sebagai Pembalasan Karma. Untuk alasan yang bisa kalian pahami, aku tidak bisa menjelaskan detil ritual ini. sungguh terlalu berbahaya. Aku diceritakan mengenai ritual ini. Mitos yang mendasari ritual ini adalah, setelah kalian melakukan ritual sederhana ini, Karma akan mengadilimu, membalasmu. Jika dia memutuskan bahwa kalian merupakan orang baik-baik, maka hidup kalian akan seperti di sorga, disisi lain … well, itulah alasan kenapa aku menulis ini semua. Aku pasti telah melakukan kesalahan. Aku benar-benar orang yang baik, setidaknya...

WRITING ON THE WALL

WRITING ON THE WALL  - Ketika aku masih muda, ada sebuah bangunan hancur di bawah jalan. Semua anak-anak di daerah di jauhkan dari tempat itu, karena isu dan berita bahwa tempat itu angker. Dinding beton lantai dua dari bangunan tua yang sudah retak dan runtuh. Jendela yang rusak dan pecahan kaca bertebaran di lantai di dalamnya. Suatu malam, untuk menguji keberanian, sahabatku dan aku memutuskan untuk mengeksplorasi tempat tua yang menyeramkan itu. Kami kami naik melalui jendela belakang gedung. Seluruh tempat kotor dan ada lapisan Lumpur di lantai kayu. Saat kami membersihkan diri kami, kami melihat dan terkejut melihat bahwa seseorang telah menulis kata-kata "AKU SUDAH MATI" pada dinding langit-langit. "Mungkin hanya beberapa remaja yang mau mencoba untuk menakut-nakuti anak-anak", kataku. "Ya, mungkin saja...", jawab temanku dengan nada gugup. Kami mengeksplorasi lebih dari kamar di lantai dasar. Dalam sebuah ruang yang tampaknya pernah menjadi se...