I REGRET EVER WORKING IN THE SOUTH POLE - Keesokan paginya, kami berangkat, kecuali kedua terapis dan si pria tikus (mungkin dia tidur karena mabuk). Kami menyeret peti kayu berat itu ke ruang rekreasi, memutuskan untuk membukanya nanti saja setelah pulang. Kami pergi ke lokasi penggalian dan mencari-cari Jack, namun di sana tidak ada apa-apa atau siapapun. Pesan di atas salju itu sudah hilang; aneh, padahal semalam salju tidak turun. Tidak ada jejak kaki, tidak ada mayat...tak ada apapun. Kami pulang dengan perasaan depresi dan merasa bersalah atas hilangnya anggota tim kami. Akan tetapi, ketika kami sampai di fasilitas kami, ada sesuatu yang tak biasa.
Sebuah pesawat jet terparkir di depannya. Pesawat jet canggih yang dilengkapi seluncur salju di bawahnya, bukan pesawat bobrok yang mengantar kami ke sini. Ini pesawat jet pribadi yang mahal. Ketika kami masuk, kami disambut suara tawa menggelegar. Seorang pria pendek dan botak dengan jenggot putih duduk di ruang rekreasi bersama kedua terapis kami. Dia menikmati sebatang cerutu dan mengenakan jas yang sangat bagus. Ada dua pria besar berotot dan memakai kacamata hitam berdiri mengapit pintu. Kami semua terheran-heran.
"Wah, wah!" Seru pria itu, suaranya berat dan berlogat Selatan. "Bukankah ini anggota timku?"
"Siapa...."
Kata-kataku segera dipotongnya,
"Ijinkan aku memperkenalkan diri!" Serunya, mengulurkan tangannya yang memakai cincin emas besar. "Namaku Earl! Senang bertemu kalian!"
I REGRET EVER WORKING IN THE SOUTH POLE - Kami dengan kikuk balas memperkenalkan diri, menyadari bahwa pria inilah yang bertanggungjawab atas semua proyek kami. Dia mengajak kami duduk di kafetaria untuk rapat. Dia mengucapkan belasungkawa untuk Jack, dan berkata bahwa dia tidak menyalahkan kami.
"Dan soal pesan di salju itu," ujarnya, dengan suara lebih pelan, "tempat ini secara keseluruhan memang membuat orang ingin melarikan diri. Jangan terpengaruh karena itu."
Earl akhirnya mengungkapkan tujuan ekspedisi kami, yaitu untuk menemukan tanda-tanda penjelajahan manusia terjauh di tempat ini. Dia juga bilang bahwa dia ingin mendirikan koloni sendiri di Kutub Selatan, namun dia harus tahu efek psikologis yang ditimbulkan dari tinggal di tempat seperti ini. Itulah sebabnya dia mengirim dua orang ahli kesehatan mental dan seorang pendeta (Earl menunjukku saat mengucapkan kata-kata itu, membuatku sangat kikuk). Dia berterimakasih lagi pada kami dan menyuruh kami semua tidur setelah menjamu kami makan malam dengan steak yang enak. Pria ini rupanya serius; dia benar-benar mendatangkan koki pribadinya untuk memasak bagi kami.
Keesokan paginya, setelah sarapan, dia menyuruh kami masuk satu-persatu ke ruangan si terapis pria, untuk berbicara. Ketika sampai giliranku, dia bersikap sangat hormat; sikap yang akan kuterima dengan baik seandainya dia tidak tahu aku pendeta. Akan tetapi, bagiku, rasa hormatnya terasa sangat palsu.
"Bagaimana keadaanmu, pak pendeta?" Tanyanya lembut.
"Lumayan..." aku hanya bisa menyahut sekadarnya, tak yakin bagaimana harus menjawab pertanyaan itu setelah apa yang terjadi.
"Baguslah," dia tersenyum. "Aku akan jujur padamu. Kau adalah orang terpenting di sini."
"Kok bisa?" Tanyaku heran.
"Begini..." ujarnya, seolah mencari kata-kata yang tepat. "Sebenarnya, ekspedisi ini lebih mirip penelitian psikologis."
"Apa?"
"Kami sengaja merekrut tokoh religius serta minimal dua orang terapis untuk mendata tanda-tanda tekanan mental dalam kehidupan di tempat ini. Kami ingin membangun peradaban baru, namun kami harus menguji kelompok-kelompok kecil terlebih dahulu dalam periode waktu berbeda."
"Jadi, kenapa aku?"
I REGRET EVER WORKING IN THE SOUTH POLE - Earl tersenyum. "Nah, aku sendiri juga Protestan. Tapi aku sengaja memilihmu karena artikel yang pernah kau tulis. Kalimat terakhirmu di artikel itu mencerminkan filosofi pribadiku."
"Apa itu?"
"Untuk memahami Tuhan, kita harus memahami iblis."
Aku seketika teringat artikel itu. Artikel yang kutulis untuk seminari tentang demonologi dalam masyarakat modern. Aku sedikit bergidik mengingatnya, karena subyeknya membuatku tak nyaman. Akan tetapi, aku masih tidak yakin mengapa artikel pendek itu memberiku kualifikasi dalam misi penting ke Antartika.
Aku meninggalkan ruangan bersama Earl dan kami bergabung dengan yang lain. Kami semua mengobrol, atau lebih tepatnya, kami mendengarkan sementara Earl mendominasi pembicaraan. Rasanya tidak benar. Kami merasa hangat dan nyaman di sini, dengan pria kaya ini mengoceh di depan kami, sementara Jack ada di luar sana, kedinginan dan sendirian.
Belakangan aku tahu bahwa si ahli biologi dan pasangan suami istri ahli geologi itu minta pergi. Mulanya, Earl dengan santai menolak permintaan mereka. Akan tetapi, setelah didesak berkali-kali, dia jadi mengancam dan berkata bahwa ketiganya sudah dikontrak. Ketiganya akhirnya masuk ke kamar masing-masing setelahnya. Earl pergi malam itu juga, dengan instruksi untuk segera melaporkan penemuan kami, apapun itu. Dia naik ke pesawatnya bersama para bodyguard-nya dan segera terbang pergi.
Keesokan harinya, badai salju dahsyat yang panjang menerpa. Kami memutuskan bahwa Jack mungkin sudah mati di luar sana, karena tak mungkin ada manusia yang bisa bertahan hidup di tengah badai salju bersuhu di bawah nol selama tiga hari. Inilah saat dimana situasinya menjadi semakin buruk.
Kami akhirnya memutuskan untuk membongkar peti terkunci yang ditemukan tim kami di luar. Peti itu disegel rapat, dan butuh waktu beberapa lama sampai dua anggota tim maintenance berhasil membukanya. Mereka harus susah payah mengangkat tutupnya yang sangat berat. Kami berkerumun di sekitar peti yang terbuka, dan aku berdiri paling dekat dengan benda itu. Si orang maintenance kemudian mundur setelah berhasil membongkar kuncinya. Ketika aku mengangkat tutupnya. serbuk mirip debu hitam berhamburan dari dalamnya. Beberapa dari kami terbatuk-batuk sebentar, namun ketika awan debu itu lenyap, kami akhirnya melihat bagian dalam petinya.
I REGRET EVER WORKING IN THE SOUTH POLE - Peti itu nyaris kosong. Tidak ada sesuatu yang terlihat penting di dalamnya. Tapi ada sehelai benang, penutup jari, dan garam di dasar peti.
Kami berkerumun dalam diam di sekitar peti itu, menggaruk kepala dan saling menatap. Kami bertanya-tanya mengapa peti berisi ketiga benda ini terkubur di salju yang bermeter-meter dalamnya. Saking asyiknya berbicara, kami nyaris tak menyadari ketika si terapis pria berjalan pergi. Dia nampak sepucat hantu, sehingga aku harus mengejarnya dan bertanya ada apa.
"Hei!" Seruku ketika berhasil menyusulnya. "Kau baik-baik saja?"
Dia menggelengkan kepalanya.
"Ada apa?" Aku penasaran kenapa dia mendadak bersikap aneh. Saat itu, aku melihat yang lain juga keluar dari kafetaria, tapi aku tak melihat si pria tikus berjaket jingga itu.
"Apa kau melihat tulisan di peti itu?" Si terapis akhirnya berkata dengan suara pelan.
"Tidak," ujarku bingung. Mungkin aku melewatkannya.
"Apa kau bisa membaca huruf Ibrani?" Tanyanya dengan suara tercekat.
"Tidak," ujarku. "Aku belajar bahasa Yunani...tunggu, kau bisa bahasa Ibrani?"
"Ya. Aku Yahudi. Dulu, paling tidak. Tapi aku masih bisa membaca tulisan Ibrani," suaranya bergetar. "Sekarang aku berharap aku tak bisa."
"Apa tulisan di peti itu?"
"Dibbuk."
Sebutir air mata menetes setelah dia mengucapkannya. Aku belum pernah melihatnya seperti itu. Tapi aku tahu maksudnya. 'Dibbuk' adalah salah satu sebutan untuk iblis dalam bahasa Ibrani.
"Ayolah, kau tak bisa percaya kalau..."
"Tidak!" Serunya tiba-tiba, memotong kata-kataku. "Kau juga pasti tahu kalau ada yang salah dengan tempat ini! Membuatmu gila! Minggu-minggu pertama, aku mendengar langkah kaki di kamar mandi setiap pagi, sebelum aku menyadari kalau aku sendirian!"
"Dengar," ujarku tegas, menaruh tanganku di bahunya. "Kita akan baik-baik saja."
I REGRET EVER WORKING IN THE SOUTH POLE - Aku berharap aku jujur sepenuhnya saat berkata begitu, tapi sejujurnya, peti itu memang memberi perasaan aneh. Malam itu, aku terbangun oleh suara langkah kaki yang nyaring, cukup nyaring sehingga aku bisa mendengarnya lewat earphone-ku. Aku mengecek keadaan di luar kamarku, tapi tidak ada siapa-siapa. Samar-samar, aku mendengar isak tangis dari kamar si pasangan suami istri, tapi aku tak mau mengganggu mereka. Ini memang masa-masa yang sulit.
Ketika aku kembali ke kamarku, aku berjalan melewati kafetaria...dan melihat pemandangan paling mengerikan yang pernah kulihat seumur hidupku.
Semua meja dan kursi nampak berantakan dan terbalik. Makanan berceceran di tembok dan langit-langit. Di tengah-tengah ruangan, ada salib besi besar berkarat...dengan tubuh Jack terpaku di sana. Dia berlumuran darah dari kepala sampai kaki, dan matanya nampak seolah semua pembuluhnya meletus. Kawat berduri membelit lengan dan kakinya, dan pasak-pasak besar menembus pergelangan lengan dan kakinya.
Mata kami bertemu, dan mendadak tubuhnya bergetar, lantas mulutnya terbuka dan mengeluarkan teriakan,
"BELPHEGOR!"
Detik berikutnya, aku lepas kendali. Aku terjatuh ke belakang, lantas merangkak keluar sambil menjerit kuat-kuat. Semua orang langsung keluar dari kamar dengan bingung, bertanya apa yang terjadi. Aku menyadari kalau aku buang air di celana. Dengan gemetar dan berurai air mata, serta napas tersengal, aku menunjuk ke dalam kafetaria.
Tapi di dalam tidak apa-apa. Semuanya normal. Tidak ada kekacauan. Tidak ada salib. Tidak ada Jack.
I REGRET EVER WORKING IN THE SOUTH POLE - Tiga jam kemudian, aku tersadar di sofa ruang rekreasi, tubuhku tertutup selimut. Jane, si terapis wanita, tertidur di sofa lain di depanku. Aku yakin dia pasti kecewa melihat sikapku yang tidak profesional. Ketika aku berdiri, semua orang nampaknya sudah tidur, sementara badai salju masih menderu di luar. Aku berjalan menyusuri lorong dan mendengar isak tangis dari kamar pasangan suami istri ahli geologi. Aku menyadari bahwa mereka mungkin perlu pertolongan. Aku mengetuk pintu mereka dengan lembut, namun suara tangisan tetap berlanjut. Aku hendak mengulang ketukanku, namun tiba-tiba merasa sangat mual. Aku lari ke kamar mandi dan muntah di kloset. Ketika berdiri sambil mengusap mulut, aku melihat sekelebat bayangan meninggalkan kamar mandi, tinggi dan gelap.
"Cukup sudah," pikirku, dan memutuskan kembali ke kamarku. Tidurku gelisah malam itu, dan aku terbangun ketika seseorang mengguncang lenganku.
"Bangun."
Pelan-pelan, aku berusaha memfokuskan pandangan, sebelum melihat salah satu anggota tim maintenance berdiri di atasku.
"Lampunya mati, dan ada orang yang hilang."
Aku berdiri dengan grogi, tapi dia sudah keluar. Aku mendengar suara-suara dari kafetaria dan bergegas ke sana. Ketika aku masuk ke kafetaria, lilin dinyalakan di beberapa meja. Aku melihat si ahli biologi, Jane si terapis wanita, si dokter Finlandia, dan orang maintenance yang satu lagi. Mereka melihatku, dan si orang maintenance bertanya,
"Wah, wah, coba lihat siapa ini. Mau menakut-nakuti kami lagi, pak pendeta?"
Aku tidak tersenyum atau menyahut. Aku duduk di sebelah si dokter dan bertanya mana si suami istri ahli geologi.
"Mereka tidak menjawab ketika aku mengetuk," ujar Jane, matanya nampak tua dan lelah. "Si terapis yang satu lagi juga tidak ada."
"Kita akan pergi," ujar si ahli biologi. "Setelah badai salju berhenti, kita pergi. Persetan dengan kontrak."
"Bagaimana caranya? Kita berjarak ribuan mil dari pangkalan terdekat," aku benci jadi orang yang negatif, tapi aku tak mau kami mempertaruhkan nyawa hanya karena demam kabin begini.
"Aku punya ide," ujar si orang maintenance yang membangunkanku tadi, "kita punya kendaraan seluncur. Kita akan muati dengan semua jerigen bensin yang kita punya, lalu kita pergi sejauh 50 mil ke pos kecil terdekat yang punya sambungan radio. Kita punya GPS, dan kita akan pergi bergiliran."
"Semua setuju?" Tanya si dokter. Semuanya mengangguk.
"Kalau begitu," lanjutnya, "sebaiknya kita tinggal dulu di sini selama beberapa hari, mudah-mudahan anggota tim yang hilang kembali. Kalau mereka tidak ada...yah, sebaiknya kita minta maaf pada mereka di neraka."
I REGRET EVER WORKING IN THE SOUTH POLE - Hari-hari berikutnya, aku menghabiskan waktu dengan pikiran berkabut. Aku tak tahu kenapa, tapi kami semua begitu gelisah. Kami duduk bersama di kafetaria yang gelap, saling berdekatan. Kami mencoba mengobrol untuk mengisi keheningan. Cahaya lilin seolah memainkan trik di depan mata kami, namun kegelapan di sekeliling kami terasa sangat menekan. Kami hanya duduk, dan menanti.
Akhirnya, Jane menyeletuk bahwa kami sebaiknya memeriksa keadaan suami istri ahli geologi itu. Kami berjalan berdekatan, dan mendengar suara isak tangis dari kamar mereka.
Jane mengetuk. Menunggu. Mengetuk lagi. Kemudian dia berseru bahwa dia akan masuk, tapi pintunya terkunci. Salah satu orang maintenance menggedor-gedor pintu, dan akhirnya mengancam akan mendobrak masuk. Akhirnya, dia memutuskan mengutak-atik kuncinya. Setelah berhasil, dia membuka pintu perlahan-lahan.
Pemandangan di dalam adalah mimpi buruk.
I REGRET EVER WORKING IN THE SOUTH POLE - Hal pertama yang kulihat adalah darah dimana-mana. Di dinding, kasur, langit-langit, dan lantai. Darah memercik ke lampu yang menyala dan membanjiri kamar dengan sapuan warna merah. Si ahli geologi pria terbaring di kasur. Matanya melotot dan mulutnya menganga dalam ekspresi terkejut. Tenggorokanya koyak, dan kakinya nampak seolah sudah dikunyah-kunyah sampai ke tulang-tulangnya. Istrinya duduk di sampingnya dengan punggung menghadap kami. Ketika dia berbalik, dia juga berlumuran darah. Dia masih menangis, sambil mengunyah sesuatu. Serpihan daging sesekali muncrat keluar dari mulutnya saat dia terisak. Ekspresinya mendadak berubah dari sedih menjadi marah. Dia membuka mulutnya untuk menjerit, namun yang keluar hanyalah suara-suara tercekik dan semakin banyak serpihan daging.
Si orang maintenance langsung mundur karena panik, dan menutup pintunya.
"Tahan pintunya!" Seru si dokter. Kami buru-buru pergi ke kafetaria dan menarik beberapa meja, menumpuknya di depan pintu untuk menghalangi...makhluk buas apapun yang ada di kamar itu.
Ketika kami lari ke ruang rekreasi, semuanya menangis, dan Jane meringkuk di lantai sambil gemetar ketakuran.
"Kita pergi besok," ujar si dokter akhirnya, suaranya bergetar.
Badai salju masih menggila di luar. Aku merasa angin yang kencang mengeluarkan suara seolah mengejek kami. Aku pasti tertidur, karena yang kuingat kemudian hanyalah terperanjat bangun saat mendengar suara ledakan di luar. Kami buru-buru bangkit berdiri dan memanjat tangga yang menuju ke dek observasi. Di luar, kami melihat kegelapan tanpa batas...kecuali kobaran api raksasa beberapa meter jauhnya dari kami.
SUV kami terbakar, dan jerigen-jerigen bensin ditumpuk di atasnya. Dan di balik kobaran api, di atas atap SUV, kami melihat...seseorang. Seseorang yang berdiri telanjang bulat.
"Oh Tuhan," ujar si ahli biologi. "Jane!?"
Orang itu Jane. Dia terbakar api. Lolongannya bergema di tengah badai salju. Kami hanya bisa menatap nanar ketika api akhirnya melahap seluruh tubuhnya, dan jeritannya menghilang.
I REGRET EVER WORKING IN THE SOUTH POLE - Kami perlahan turun kembali, merasa semakin tak berdaya. Kami duduk di ruang rekreasi, dan tak ada seorangpun yang bicara. Si ahli fisika nampaknya tidak keluar dan masih di kamarnya. Si terapis pria masih hilang. Aku merasa mendengar langkah-langkah kaki di kamar-kamar yang kosong, namun aku sudah menyerah. Kalau aku harus mati di tempat ini, biarlah. Kami duduk berdempetan sambil membungkus diri dengan jaket dan selimut. Lilin menjadi satu-satunya sumber penerangan kami. Aku mencoba menutup mataku sekuat-kuatnya supaya tak perlu melihat bayang-bayang gelap yang ditimbulkan cahaya lilin.
To Be Continued
No comments:
Post a Comment
Creepypasta Indonesia, Riddle Indonesia, Cerita Seram, Cerita Hantu, Horror Story, Scary Story, Creepypasta, Riddle, Urban Legend, Creepy Story, Best Creepypasta, Best Riddle, short creepy pasta, creepypasta pendek, creepypasta singkat