Monday, September 11, 2017

Hachishaku-sama - Eight Feet Tall


Hachishaku-sama - Kakek dan nenekku tinggal di Jepang. Setiap liburan musim panas, orangtuaku membawaku kesana untuk liburan dan mengunjungi mereka. Mereka tinggal di desa kecil namun halaman belakang di rumah mereka besar. Aku senang bermain disana setiap liburan musim panas. Saat kami sampai, kakek nenek tentu menerima dengan senang hati, karena aku cucu satu-satunya mereka dan mereka memanjakanku.

Terakhir kali aku melihat mereka saat aku berumur 8 tahun.

Seperti biasa, kami berangkat naik mobil ke rumah kakek nenekku dari bandara. Mereka senang melihatku dan punya sedikit hadiah untukku. Orangtuaku ingin pergi jalan-jalan berdua saja jadi mereka di daerah lain dan menitipkanku pada kakek dan nenek.

Suatu hari, aku bermain di halaman belakang itu. Kakek dan nenek di dalam rumah, hari itu panas sekali dan aku berbaring di rumput halaman. Aku memandang awan dan menikmati angin sepoi dan sinar matahari. Saat aku bangun, aku tiba-tiba mendengar suara:

“Po… Po… Po… Po… Po… Po… Po…”

Aku bingung suara apa itu dan sulit mencari tahu darimana asalnya. Seolah suaranya muncul dari mulut seseorang, seolah memang mengatakan “Po… Po… Po…” lagi dan lagi, dengan suara berat.

Aku mencari sumber suara, dimana tiba-tiba aku melihat sesuatu di atas pagar yang menutupi halaman. Semacam topi jerami. Posisinya bukan terletak di atas pagar, tapi di balik pagar, dari situ suaranya muncul.

“Po… Po… Po… Po… Po… Po… Po…”

Hachishaku-sama - Lalu topinya seperti bergerak, seperti ada yang memakainya. Lalu topinya berhenti bergerak, ada celah kecil antara pagar dan aku melihat sekilas wajah mengintip melalui celah itu. Seorang wanita. Tapi pagarnya itu setinggi 8 kaki (2,4 m).

Aku kaget melihat tinggi wanita tersebut. Aku jadi penasaran apakah dia pakai sepatu hak tinggi atau semacamnya. Lalu sekejap saja, dia berjalan dan suara anehnya juga menghilang di kejauhan.

Syok, aku bangun dan langsung lari ke rumah. Kakek dan nenekku ada di dapur minum teh. Aku duduk di meja dan sesaat kemudian, aku cerita ke mereka. Awalnya mereka tidak terlalu memperhatikanku, sampai aku menyebutkan suara aneh tersebut.

“Po… Po… Po… Po… Po… Po… Po…”

Sekejap setelah aku bilang itu, mereka langsung terdiam. Mata nenek terbelalak, dan dia menutup mulutnya dengan tangan tanda terkejut. Wajah kakek juga menjadi tegang dan serius dan menggenggam erat tanganku.

“Ini penting”, kata kakek dengan tegang, “Kamu ceritakan, setinggi apa dia?”

“Setinggi pagar taman”, aku menjawab dengan rasa takut.

Kakekku terus menanyaiku.. “Dimana dia berdiri? Kapan ini terjadi? Apa yang kamu lakukan? Apa dia melihatmu?”

Aku mencoba menjawab semua pertanyaannya sebaik mungkin. Lalu dia lari ke ruangan lain dan menelpon seseorang, aku tidak bisa mendengarnya. Aku melihat nenekku dan dia gemetar.

Kakek lalu kembali ke ruanganku dan nenek dan bicara dengan nenek.

“Aku harus keluar sebentar”, lalu kakek melanjutkan, “Kamu disini bersama dia, jangan alihkan pandanganmu sedikitpun”.

Aku terisak sambil bertanya, “Ada apa, Kek?”

Kakek melihatku dengan tatapan sedih dan mengatakan, “Kamu telah diincar Hachishaku-sama”.

Setelah itu, dia langsung keluar, naik truknya dan pergi.

Aku lalu bertanya hati-hati pada nenek, “Siapa itu Hachishaku-sama?”

Nenek menjawab dengan gemetar, “Jangan khawatir, kakek akan melakukan sesuatu, tak usah khawatir”.

Kami menunggu dengan cemas di dapur, lalu nenek menjelaskan apa yang terjadi. Dia bercerita bahwa ada sesuatu yang berbahaya yang menghantui wilayah tersebut. Mereka menyebutnya “Hachishaku-sama”, karena tingginya. Dalam bahasa Jepang, “Hachishaku-sama” artinya “Tinggi Delapan Kaki”.

Hachishaku-sama - Dia mengambil bentuk wanita yang sangat tinggi dan membuat suara “Po… Po… Po…” dengan suara berat pria. Bentuk luarnya juga berbeda tergantung siapa yang melihat. Ada yang bilang seperti wanita tua memaki baju kimono, ada juga yang bilang anak perempuan dengan baju seperti kain kafan putih. Yang tidak berubah adalah ciri khas tinggi dan suara yang dibuat.

Dahulu kala, makhluk tersebut ditangkap oleh biarawan setempat dan mereka berhasil mengurungnya dalam bangunan rusak di luar desa. Mereka mengurung dengan bantuan empat patung suci kecil yang disebut “Jizo” yang ditaruh di sisi Utara, Selatan, Barat, dan Timur dan bangunan dan dengan itu, harusnya makhluk tersebut tidak bisa bergerak, namun entah kenapa dia berhasil kabur.

Kemunculan terakhirnya adalah 15 tahun lalu. Nenekku bilang, siapapun yang melihat Hachishaku-sama, akan mati beberapa hari kemudian. Ini semua kedengarannya gila, dan aku tak tahu apa yang harus aku percaya.

Saat kakek kembali, dia mengajak wanita tua bersamanya. Dia memperkenalkan diri sebagai “K-san”, dan memberiku perkamen kecil yang sudah kusut, sambil mengatakan “Pegang ini”. Lalu dia dan kakek naik ke atas untuk melakukan sesuatu. Aku dan nenekku masih menunggu di dapur.

Aku perlu ke toilet. Nenekku mengikutiku sampai ke toilet dan tidak membiarkanku menutup pintu. Ini semua membuatku takut.

Beberapa saat kemudian, kakek dan K-san mengajakku ke atas dan mengantarku ke kamarku. Jendela ditutup dengan koran dan ada ukiran kuno yang ditulis diatasnya. Ada juga mangkuk diisi garam di keempat sudut kamar dan patung Budha yang ditaruh di pusat kamar di atas kotak kayu kecil. Ada juga ember biru cerah.

Aku bertanya, “Itu untuk apa embernya?”

Kakek menjawab, “Untuk buang air”.

K-san lalu duduk di tempat tidur dan bilang, “Sebentar lagi matahari tenggelam, dengar baik-baik. Kamu harus di kamar ini sampai besok pagi. Jangan sampai keluar dengan alasan apapun hingga jam 7 besok pagi. Kakek dan nenekmu sama sekali tidak akan memanggilmu atau bicara kepadamu hingga saat itu. Ingat, jangan coba pergi dari kamar ini dengan alasan apapun. Aku akan kabari orangtuamu tentang ini.”

Dia bicara dengan serius dan aku hanya bisa mengangguk pelan.

Kakek lalu menambahkan, “Kamu ikuti perintah dari K-san yang tertulis di kertas kecil, serta perkamen itu jangan sampai hilang, jika ada apa-apa, berdoalah kepada Buddha, serta kunci pintu ini saat kami keluar.”

Hachishaku-sama - Lalu mereka turun setelah aku bilang selamat tinggal, aku tutup pintu kamar dan menguncinya. Aku menyalakan TV dan menonton, tapi aku sangat gugup dan mual. Nenek menaruh cemilan dan onigiri untukku tapi aku tak bisa makan. Aku merasa ada dalam penjara dan aku depresi serta takut. Aku akhirnya berbaring di kasur dan menunggu, sebelum sadar, aku tertidur.

Saat aku bangun, ternyata waktu masih menunjukkan jam 1. Tiba-tiba aku mendengar suara ketokan di jendela.

“Tok..tok..tok..tok..”

Aku merasa pucat seketika dan jantungku berhenti cepat. Aku mencoba tenang dan berpikir mungkin hanya angin atau pohon. Aku mengencangkan volume TV untuk menghilangkan suara ketokan di jendela. Akhirnya suaranya berhenti.

Lalu tiba-tiba aku dengar suara kakek memanggilku.

“Kamu tidak apa-apa disana? Kalau kamu takut, kakek bisa temani kamu, kamu tidak perlu sendiri.”

Aku senang dan lari ke pintu, tapi aku berhenti. Aku merasa merinding di seluruh badanku. Suaranya memang seperti suara kakek, tapi..berbeda. Aku tidak tahu bedanya dimana tapi aku tahu begitu saja.

Kakek lalu bilang, “Kenapa? Buka saja pintunya”.

Aku melirik ke kiri dan langsung merinding, garam yang ada di mangkok tiba-tiba berubah menjadi hitam.

Aku mundur dari pintu. Sekujur tubuh aku gemetar takut. Aku terjatuh lemas di depan patung Budha dan memegang perkamen dengan erat, aku lalu berdoa memohon pertolongan dan mengatakan sambil terisak, “Selamatkan aku dari Hachishaku-sama.”

Lalu aku dengar suara dari depan pintu:

“Po… Po… Po… Po… Po… Po… Po…”

Hachishaku-sama - Ketokan di jendela mulai lagi, aku mulai takut dan aku merangkak ke patung Budha dan berdoa sambil menangis sepanjang malam. Rasanya ini tidak akan berakhir sampai akhirnya pagi datang. Semua garam di mangkuk berubah jadi hitam.

Aku periksa jam, sudah jam 7.30 pagi. Aku membuka pintu dengan hati-hati. Nenek dan K-san berdiri di luar menungguku. Saat dia melihatku, nenek menangis dan berkata, “Bersyukurlah kamu masih hidup.”

Aku turun ke bawah dan kaget melihat orangtuaku ada di dapur. Kakek lalu masuk dan berkata, “Cepat! Kita harus pergi sekarang.”
Kami akhirnya ke depan dan ada mobil van hitam menunggu. Beberapa orang dari desa berdiri dekat van dan sambil menunjukku, berbisik, “Itu anaknya.”

Van-nya sendiri memiliki 9 bangku dan aku duduk di tengah, dikelilingi 8 orang, K-san menyetir.

Bapak di kiriku bilang, “Kamu kena masalah yang cukup besar, aku rasa mungkin kamu khawatir. Jangan takut, tundukkan kepalamu dan tutup matamu. Kami tidak bisa melihatnya tapi kamu bisa. Jangan berani buka mata sampai kami bisa mengeluarkanmu dari sini.”

Kakek menyetir dengan mobil lain dan berada di depan kami, sedangkan ayahku menyetir di mobil belakang. Saat semua siap, kita berangkat. Kecepatan kami pelan, hanya sekitar 20 km/jam atau kurang. Beberapa saat kemudian, K-san mengatakan, “Di sini baru mulai sulit”, sambil berdoa.

Lalu aku dengar suaranya.

“Po… Po… Po… Po… Po… Po… Po…”

Aku memegang erat perkamen yang diberikan K-san. Aku tetap tunduk tapi sedikit mengintip. Aku melihat kain putih ikut terkena angin, dan bergerak seiring van. Itulah Hachishaku-sama. Dia ada menempel di jendela sehingga tetap bersama kami.

Dan tiba-tiba dia membungkuk dan mengintip ke van.

Aku kaget dan teriak, “Tidak!”

Bapak di belakangku bilang, “TUTUP MATANYA!”

Aku lalu menutup mataku sebisa mungkin dan mengencangkan eratan di perkamen. Lalu ketokan khasnya dimulai.

“Tok..tok..tok..tok..”

Lalu ada suara khasnya.

“Po… Po… Po… Po… Po… Po… Po…”

Suara ketokannya ada di semua jendela van. Semua orang dalam van tegang dan berdoa, mereka tidak bisa melihat Hachishaku-sama dan suaranya, tapi mereka mendengar jelas ketokan di jendela. K-san semakin keras suaranya dalam berdoa dan hampir seperti berteriak, keadaan di van sangat tegang.

Setelah beberapa saat, suara ketokan hilang dan juga suaranya.

Semua orang akhirnya menghela lega. Van-nya menepi sebentar dan semua orang keluar. Mereka memindahkanku ke mobil ayahku, aku dipeluk erat ibuku sambil menangis.

Kakek dan ayah memberi hormat kepada para pria tersebut dan berpisah. K-san lalu menghampiriku dan memintaku menunjukkan perkamen yang diberikan. Saat aku membuka tanganku, kertasnya langsung hitam.

K-san lalu berkata, “Aku rasa kamu aman sekarang, tapi agar lebih aman, pegang ini.”, dan dia lalu memberiku perkamen baru.

Hachishaku-sama - Setelah itu, kami langsung pergi ke bandara dan kakek mengantarku. Saat itu ayahku bilang bahwa saat dia kecil dia juga mendengar cerita tentang Hachishaku-sama, bertahun-tahun lalu, temannya juga diincar olehnya, dan kemudian temannya menghilang tanpa jejak.

Ayahku juga bilang ada korban incaran Hachishaku-sama yang selamat dan bisa menceritakan pengalamannya, namun harga yang dibayar adalah, mereka harus meninggalkan Jepang dan tinggal di luar negeri. Mereka sama sekali tidak bisa kembali ke Jepang.

Hachishaku-sama selalu memilih anak-anak sebagai korbannya, karena anak kecil masih tergantung orangtua dan anggota keluarga lain, sehingga mudah ditipu saat Hachishaku-sama menyamar.

Ayahku juga bilang bahwa orang yang di dalam van adalah anggota keluarga, alasan mengapa kakek naik mobil di depan kami dan ayah naik mobil di belakang kami untuk mengecoh Hachishaku-sama. Butuh waktu lama untuk menghubungi mereka dan makanya itu menjadi alasan aku harus dikurung di kamarku semalaman.

Ayah lalu bilang patung Jizo (yang berfungsi mengurungnya) rusak dan akhirnya dia kabur.

Aku merinding mendengarnya dan senang akhirnya bisa pulang.

Semua ini terjadi lebih dari 10 tahun lalu, aku belum bertemu lagi dengan kakek dan nenekku, alasannya aku tidak bisa lagi ke Jepang, aku hanya bisa menghubungi melalui telepon setiap beberapa minggu sekali.

Selama ini aku mencoba meyakinkan diriku itu semua legenda saja, dan itu semua hanya lelucon konyol, namun aku meragukannya juga.

Kakekku wafat dua tahun lalu, dan saat dia sakit dia berwasiat agar aku tidak usah menjenguknya dan tidak usah datang ke pemakamannya

Nenek kemudian menelponku beberapa hari lalu, dia bilang dia terkena kanker. Dia rindu kepadaku dan ingin aku menjenguknya terakhir kali sebelum dia wafat.

"Nenek yakin? Memang sudah aman?", tanyaku.

Nenek lalu menjawab, "Itu sudah 10 tahun lalu, sudah lama sekali, kamu juga sudah besar, nenek yakin ini bukan masalah lagi."

Aku lalu bertanya, "Tapi.....bagaimana dengan Hachisaku-sama?"

Kemudian hening, lalu ada suara:

“Po… Po… Po… Po… Po… Po… Po…”

No comments:

Post a Comment

Creepypasta Indonesia, Riddle Indonesia, Cerita Seram, Cerita Hantu, Horror Story, Scary Story, Creepypasta, Riddle, Urban Legend, Creepy Story, Best Creepypasta, Best Riddle, short creepy pasta, creepypasta pendek, creepypasta singkat