Tuesday, September 19, 2017

ELLIOT


"Elliot itu..." Ibu Bell, gurunya kebingungan saat ia memilih kata katanya, "seorang anak lelaki yang sangat spesial."
"Dia tidak spesial. Dia disleksia," cetusku datar. ( Disleksia : semacam kelainan yang membuat penderita tidak bisa membaca dan menulis dengan benar )

Mulutnya terkunci rapat dengan tidak nyaman, dan dia mencuri pandang ke arahku sampai beratus ratus kali. Aku diam diam merasa malu dan ingin bersembunyi dari tatapannya yang menghakimi. Aku tahu apa yang sekarang ia lihat; rambutku belum disisir, pakaianku kumal dan penuh lubang, dan make up yang kemarin malam tak sempat kuhapus karena terlalu letih masih melekat di wajahku.

"Ya," ujarnya pelan, "Tapi Ibu Kensington, selain masalah akademik dia juga mempunyai masalah sosial. Dia tidak berbicara pada anak laki laki dalam kelas--ataupun anak perempuan. Dia kelihatannya tidak tertarik sama sekali untuk berteman."

Aku beralasan, "Dia anak yang penyendiri."

Mata tajamnya menusukku lewat kacamata tebalnya. "Saya minta maaf karena menanyakan pertanyaan yang sensitif, tapi apakah Elliot punya masalah di rumah?"

"Apa maksudmu?" Aku bertanya dengan terkejut.

Dia mendesah. "Aku tak bermaksud apapun, Nyonya Kensington, tapi aku percaya, tiap masalah selalu ada penyebabnya."

Ia meraih laci mejanya dan menyerahkan sebuah kertas kepadaku. Sebuah gambar rumah yang dibuat dengan kasar memakai krayon.

Di depan rumah itu, berdiri dua sosok: seorang anak laki laki kecil yang mengernyit, dan seorang wanita yang digambarkan menangis, air matanya mengalir dari matanya sampai bawah kakinya. Diatas rumah, digambar dengan warna hitam, melayang sesosok hantu. Tulisan tangan putraku yang berantakan menamai tiap sosok itu : IBU, AYAH, ELILOT.

Aku mengembalikan kertas itu padanya tanpa tenaga, tanpa berkata suatu apapun.

"Dia juga punya semacam memar di kakinya," tambah wanita itu.

"Anak anak itu terkadang hiperaktif!" Aku mengelak. Aku berbohong, aku tak mungkin memberitahunya memar itu adalah karena kekurangan zat besi; aku kehilangan pekerjaanku dan itu artinya aku hampir tidak mampu untuk sekedar memberi makan kami berdua.

"Benarkah? Karena dia menolak untuk bermain bola dengan anak laki laki lainnya. Dia selalu menolak untuk melakukan apapun." Dia kembali bersandar di kursinya, terlihat puas karena berhasil membongkar kebohonganku.

Ekspresi sombongnya mendorongku keluar dari zona aman. "Aku tidak melakukan kekerasan terhadap putraku," ujarku dengan suara yang gemetaran karena amarah, "dan ya, saya berbohong, dia punya masalah di rumah. Ini hampir dua bulan semenjak ayahnya meninggal. Aku melakukan yang terbaik untuknya dan aku tidak mau duduk di sini hanya untuk mendengar opinimu bahwa aku seorang ibu yang buruk."

Aku bangun tiba tiba, menarik kasar kursiku dan meninggalkan ruangan itu dengan cepat, mengabaikan protesnya. Elliot sedang menunggu dengan sabar di luar aula. Hatiku pecah berkeping keping saat aku melihat rambutnya yang tak terurus, sudah tumbuh terlalu panjang, dan pakaiannya, sama jeleknya dan compang camping seperti punyaku.

Ia melihat keatas, padaku, mata bulatnya menyiratkan aura khawatir yang terlalu besar untuk seorang anak sekolah dasar kelas satu. "Apa yang terjadi?" Tanyanya.

Aku mengembangkan senyum terbaikku dan menggapai tangan kecilnya dalam tanganku. "Ibu Bell membiarkan kita libur hari ini." Ujarku cerah. "Bagaimana kalau kita pergi makan sebentar?"

"Kacang lagi?" Selidiknya hati hati.

Aku memaksakan tawaku. "Bukan, sayang, kau tidak akan makan kacang lagi, aku berjanji. Mau burger?"

Tatapan ragu bercampur takutnya langsung tergantikan dengan senyum cerah. "Yeah!"

"Ayo pergi!" Ujarku, dan menuntunnya keluar.

Ia tak pernah berhasil memakan burgernya.

Memberikan keterangan kepada polisi bukanlah bagian tersulitnya. Aku menceritakan ceritaku tiga kali dengan hati yang mati rasa kepada tiga petugas polisi yang berbeda: aku meninggalkannya di samping mobil selama semenit karena tasku tertinggal di ruang Ms Bell. Dan saat aku keluar dia sudah hilang. Itu cuma semenit. Dan putraku telah hilang.

Bagian tersusahnya juga bukan buntutnya. Polisi kota kami mengeluarkan peringatan; mereka berpikir ada pencuri anak yang berkeliaran karena Elliot hilang di area sekolah, dan mereka ingin para orang tua untuk berjaga jaga.

Orang orang yang cuma pernah sekedar berbasa basi denganku mulai berbisik bisik di belakangku di manapun aku berada, seolah aku tak bisa mendengar mereka; rumor tak enak mulai menyebar, bahwa aku adalah ibu yang suka menganiaya anaknya, bahwa sebenarnya anakku takut padaku, sehingga dia melarikan diri.

Dan orang orang yang sama itu pun berkunjung ke rumahku dengan membawa makanan buatan sendiri dan memberi bualan simpati kosong, meyakinkanku bahwa Tuhan tetap memperhatikanku dan para polisi serta mereka sendiri sedang melakukan apapun yang mereka bisa untuk meyakinkan bahwa putraku akan ditemukan dan pulang lagi.

Tidak, bagian tersusahnya adalah aku harus merelakan bahwa aku takkan pernah bisa melihat buah hatiku lagi.

Aku takkan pernah bisa melihat putraku lagi karena setelah aku pergi untuk mengambil tasku, dia tidak hilang. Dia berdiri tepat dimana aku meninggalkannya. Anakku yang penyabar. Kami masuk ke dalam mobil murah itu dan mulai mengemudi, tapi ia bilang ia mengantuk. Elliot ingin tidur sebentar dulu sebelum makan siang. Jadi aku membawanya pulang dan membaringkannya di ranjang. Aku membacakannya sebuah cerita sampai akhirnya irama nafasnya teratur dan tubuhnya berhenti bergetar.

Memperhatikan paras muka putraku yang kecil dan polos, aku pun merasakan gelombang keputusasaan yang melandaku. Anakku hampir berumur 8 tahun dan dia sudah ditakdirkan untuk hidup menderita. Ayahnya telah meninggal, ibunya berantakan dan telah gagal membahagiakannya, baik secara emosional maupun finansial, dan dia selalu gagal dalam pelajarannya. Setidaknya dia tidak terbeban di dalam tidurnya. Dia tidak khawatir akan apapun. Ia hanya akan bermimpi.
Hening.
Sebelum aku menyadari apa yang tengah kulakukan, tanganku sudah menekan bantal ke wajahnya. Dia tidak berontak. Dia bahkan tidak bangun, malah ia mulai masuk ke dalam tidur permanen. Aku berharap aku bisa berkata bahwa itu sulit dilakukan, nyatanya tidak, mungkin karena aku sebelumnya sudah pernah latihan. Lagipula, suamiku yang suka melakukan kekerasan padaku dan Elliot mungkin takkan pernah jatuh dari tangga jika aku tak memberikannya sedikit senggolan.
Dengan tenang, meskipun kedua tanganku tak bisa berhenti bergetar, aku memasukkan Elliot ke dalam kantong plastik hitam yang besar. Kantong itu terlalu besar dan aku benci bagaimana Elliot terlihat begitu kecil di dalamnya, jadi aku mengisinya dengan buku dan mainan favoritnya. Kemudian aku memasukkannya ke dalam bagasi mobilku dan melarungkannya ke sungai. Aku menangis menyaksikan kantong itu terbawa pergi oleh arus, kemudian tenggelam secara perlahan ke bawah.
Ia selalu ingin melihat lautan. Mungkin sekarang akhirnya ia bisa mewujudkannya.
Aku tahu ini kelihatannya seperti apa. Aku terlihat seperti ibu yang buruk.

Tapi aku benar benar sayang anakku. Aku hanya ingin ia punya hidup yang lebih baik, namun itu tidak mungkin. Sekarang aku punya lebih sedikit tagihan yang harus kubayar, lebih sedikit mulut yang harus kuberi makan.

Dan Elliot?

Sekarang ia sudah bebas.