Seorang gadis bernama Lily bercerita kepada teman-temannya kalau dia memiliki rahasia gelap yang telah ia sembunyikan selama bertahun-tahun. Orang tuanya telah dibunuh ketika ia berusia 15 tahun. Ia mengatakan bahwa kakak laki-lakinya menggila dan dan menusuk Ayah dan Ibunya hingga tewas.
Teman-temannya terkejut mendengar cerita menyedihkan dari Lily tersebut.
“Aku turut prihatin mendengarnya” kata salah satu temannya.
“Lalu apa yang terjadi pada kakakmu?”
“Dia langsung dibekuk polisi” kata Lily. “
Setelah melalui persidangan, pada akhirnya kakakku dijatuhi hukuman atas pembunuhan dan akan segera di eksekusi mati. Kau tidak akan percaya betapa sulitnya itu. Aku menjalani hidup dengan penuh kesedihan. Aku tidak bisa makan dan tidur, dan segera ingin melupakan kenanganku yang kelam tersebut. Hingga pada akhirnya aku mengalami depresi berat yang benar-benar membuatku gila , bahkan amnesia yang memerlukan waktuku bertahun-tahun untuk pulih dan bisa menjalani hidup serti biasa lagi.
“Apakah kamu pernah menceritakan kisah ini pada orang lain sebelumnya?” Tanya temannya.
“Tidak pernah” sahut Lily.
“Aku mulai bertanya-tanya, tapi hal tersebut tidak pernah terjawab. Saat aku menemui kakakku sebelum eksekusi matinya, dia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Dia tidak pernah menjelaskan mengapa dia membunuh Ayah dan Ibu kita. Dia hanya memandangku dengan senyuman ketika eksekusi matinya dimulai.”
“Mungkin ada cara untukmu bisa mengetahui semua itu” kata salah satu temannya.
“Terserah padamu untuk mengikutinya atau tidak, tapi aku kenal dengan seorang peramal .
Dia bisa berkomunikasi dengan arwah, dan mungkin bisa membantumu mencari jawaban tersebut.”
Beberapa hari kemudian, Lily memutuskan untuk menemui sang peramal yang disarankan oleh temannya itu, dan berkonsultasi mengenai masa lalunya. Sang peramal mematikan lampunya, menyalakan lilin dan duduk dikursinya sambil menundukkan kepalanya, dan mulai masuk ke alam bawah sadarnya.
“Sekarang tanyakan padaku apapun yang kau inginkan” bisik sang peramal.
Lily lantas menanyakan “Apa yang membuat kakakku kehilangan akalnya?.”
Dengan suara lirih sang peramal menjawab “Sebenarnya kakak laki-lakimu itu tidak pernah gila. Dia sepenuhnya sadar.”
“Lantas apa yang menyebabkan kakakku membunuh kedua orang tuaku?” Tanya Lily.
“Kakakmu sebenarnya hanya bertanggung jawab atas kematian satu orang.” Jawab sang peramal.
TIba-tiba Lily menyadari semua itu. Dia lalu meneteskan air mata dan mulai menangis tersedu-sedu.
Saturday, September 30, 2017
Jinmenken
Di Jepang telah lama terdengar kisah urban legend mengenai seekor anjing yang mengerikan. Mereka serig terlihat saat hari mulai malam di sudut-sudut perkotaan di Negeri Sakura tersebut. Orang-orang yang pernah bertemu dengan anjing itu akan mengira itu adalah anjing-anjing biasa, namun saat berbalik dan melihatnya dengan saksama, mereka melihat dengan jelas anjing itu berwajah manusia. Itulah Jinmenken, anjing berwajah manusia dan bisa bicara.
Banyak sekali laporan yang datang dari orang-orang yang ketakutan setelah melihat Jinmenken. Ada yang pernah melihatnya ketika berada di luar rumah, ada yang bertemu saat anjing itu sedang mengais-ngais sampah di jalanan kota. Laporan juga pernah diberikan oleh seseorang pengendara mobil yang ketakutan saat berada pada Expressway. Lewat spion, ia dapat melihat ada seekor hewan yang berlari mengejar mobilnya. Padahal saat itu sang pengendara sedang melaju kencang sekitar 100 mil per jam. Makhluk itu berlari begitu cepat hingga pada saat tertentu ia berdampingan dengan mobil orang tersebut. Saat sang sopir berusaha mengamati makhluk apakah itu, ia melihat jelas anjing berwarna gelap kecoklatan dengan kepala manusia. Anjing itu berkata, “Jangan lihat aku!”
Kejadian itu membuat si sopir tidak fokus sehingga menyimpang dari lajur jalan dan mengalami kecelakaan mengerikan.
Dalam kisah lain, ada suatu restoran yang buka hingga tengah malam dan sampah-sampahnya di buang di pintu belakang. Suatu malam, sang koki mendapati seekor anjing yang mengobrak-abrik sampah untuk mencari makan. Koki pun berusaha mengusir anjing itu. Saat anjing itu sedikit berlari menjauh, ia berbalik lagi dan berkata, “Tinggalkan aku sendiri!” Koki tersebut juga melihat dengan jelas wajah manusia pada hewan itu.
Di Jepang, Jinmenken dianggap sebagai suatu pertanda buruk mengenai datangnya bencana atau kecelakaan. Pada tahun-tahun 1989 dan 1990, orang-orang di Jepang sangat heboh dengan penampakan Jinmenken. Orang-orang yang khawatir dan ketakutan seringkali memanggil polisi agar menyingkirkan Jinmenken dari lingkungan mereka. Berbagai kecelakaan mobil yang terjadi disebut-sebut akibat adanya penampakan Jinmenken. Pihak kepolisian pun kesulitan untuk mengatasi tuduhan itu, karena harus dibuktikan bahwa makhluk aneh itu benar-benar ada.
Ada berbagai macam spekulasi atas hebohnya penampakan Jinmenken di Jepang. Pertama, orang-orang beranggapan bahwa Jinmenken adalah roh-roh dari korban kecelakaan lalu lintas yang bereinkarnasi sebagai anjing. Kedua, ada yang beranggapan anjing berwajah manusia itu adalah peliharaan roh-roh jahat. Sementara yang terakhir lebih berkaitan dengan teori konspirasi mengenai percobaan biologi rahasia untuk menghasilkan hibrida manusia-anjing namun mereka berhasil melarikan diri dari laboratorium eksperimen.
The White Dress
Ini terjadi sebelum malam pesta dansa para senior, seorang gadis tidak memiliki gaun untuk dia kenakan. Gadis ini miskin dan tinggal di bagian kota yang padat oleh imigran dari Haiti serta dari pulau lainnya di Caribbean Sea.
Di hari yang sama, dia pergi menghadiri sebuah upacara pemakaman seorang tetangga untuk berbelasungkawa terhadap jasad renta-nya.
Sementara dia sampai di rumah duka, dia melihat jasad seorang gadis seusiannya dengan postur sama dengannya terbaring kaku di sebuah peti yang terletak di dalam salah satu dari banyak ruangan yang ada, yang telah salah dimasuki olehnya. Saat dia menunduk ke peti gadis itu, dia melihat gaun yang dipakainya tampak begitu indah dan masih baru pula. Pastinya sengaja dibeli untuk pemakaman si gadis.
Saat dia masih berada di ruangan itu, pengelola upacara melangkah masuk dan berkata bahwa peti itu sudah waktunya untuk di tutup. Dia mengencangkan tutupnya dengan kunci besar, semacam kunci inggris kemudian berucap bahwa mulai saat itu peti tersebut akan selamanya tersegel, dan penguburannya akan dilaksanakan esok pagi.
Setelah pengelola meninggalkan ruangan, gadis itu berjalan ke aula, menuju ke ruangan dimana almarhum sang tetangga diupacarakan. Saat itu sembari dia menunduk dalam hikmat, dia mendengar banyak suara sesenggukan dan tangisan dari sepenjuru aula. Tiba tiba seseorang jatuh pingsan oleh kesedihan di salah satu ruangan, dan semua pelayat, termasuk sang pemimpin upacara, berlari ke sana guna membantu keluarga itu.
Ketika si gadis berlari melewati ruangan yang didalamnya terdapat peti yang tersegel tadi, muncul sebuah ide di otaknya. Dia memasuki ruangan itu, membuka petinya dengan tang yang tergeletak di sana, dan secepatnya melucuti gaun putih yang dikenakan si mayat. Dia mengembalikan tang ketempatnya dan menutup peti lalu disegelnya lagi seperti semula. Dia jejalkan gaun putih itu ke dalam ransel, kemudian menyelinap keluar sambil berjingkat jingkat melewati ruangan lain yang riuh akan tangisan.
Esok malamnya, gadis itu mengenakan gaun putih yang dia curi, lalu pergi ke pesta dansa. 1
Saat dia berdansa bergantian dengan beberapa cowo yang dikenalnya, dia mulai merasakan semacam kekakuan di kedua tumitnya. Lama kelamaan rasa kaku itu semakin menjalar ke otot otot si gadis, mengakibatkan cara berjalan dan gerakan tari-nya tampak konyol. Dia menduga mungkin ada yang salah dengan gaun yang membalut tubuhnya, jadi dia pergi ke ruang ganti wanita. Dia menanggalkannya kemudian diperiksanya setiap sisi, namun tidak ada sesuatu pun yang aneh.
Maka gadis itu kembali memakainya.
Sembari dia berdansa, tubuhnya semakin terasa dingin dan kaku hingga akhirnya menjadi begitu kaku seperti papan. Ambulan di datangkan, dan gadis itu dilarikan kerumah sakit. Dokter yang menanganinya memvonis dia sudah meninggal - tapi sebenarnya dia masih hidup! Dia masih dapat mendengarkan pembicaraan semua orang, dan menyaksikan apa yang sedang terjadi. Dia hanya tak dapat bergerak bahkan berbicara.
Akhirnya, dia hanya bisa terbaring kaku dalam peti saat upacara pemakamannya berlangsung di rumah duka yang sama, dengan dikelilingi oleh suara tangisan dari keluarga dan teman temanya yang melayat.
Dia berusaha untuk bergerak atau berteriak, tapi dia tak mampu.
Pemimpin upacara perkabungan mengakhiri acara lalu menutup petinya. Hari berikutnya, peti itu dikuburkan. Sembari penggali makam menimbun petinya sedikit demi sedikit dengan tanah liat, gadis itu dapat mendengar perbincangan mereka,
"Apa kau sudah dengar tentang kejadian di tempat ini tadi pagi?" kata salah seorang penggali.
"Belum, ada apa sih?" kata yang satunya sambil terus menimbun peti dengan sekop demi sekop penuh tanah yang masih basah.
"Seorang asisten muda di rumah makam ini mendengar suara ketukan yang berasal dari dalam salah satu peti. Jadi, dia membukanya, dan seorang gadis yang hanya mengenakan pakaian dalam bangkit lalu keluar dari peti itu. Gadis itu menjelaskan bahwa dirinya adalah korban dari ritual voodoo. Seseorang menghadiahkan sebuah gaun yang sudah di taburi dengan bubuk zombie, itu membuatnya tampak sudah mati padahal dia masih hidup."
"Hah," tanggap penggali makam satunya.
"Aku penasaran apa yang terjadi dengan gaun itu sekarang."
Tomino no Jigoku - Tomino's Hell
Tomino no Jigoku atau Tomino's Hell adalah sebuah puisi berbahasa Jepang yang telah populer sebagai urban legend. Masyarakat jepang percaya bahwa puisi ini tak boleh dibaca dengan lantang atau keras, hanya boleh dibaca dalam diam. Jika berani membacanya lantang-lantang, Anda harus menerima sendiri risikonya.
Tomino's Hell ditulis oleh Yomota Inuhiko dalam bukunya yang berjudul "The Heart is Like a Rolling Stone." Puisi ini juga terdapat dalam buku puisi ke-27 milik Saizo Yako, seperti dilansir oleh Creepy Pasta.
Tak ada yang tahu sejak kapan rumor ini muncul dan apa yang menyebabkannya. Namun dipercaya bahwa hal-hal tragis akan terjadi pada orang yang membacanya keras-keras. Dipercaya bahwa mereka bisa saja mengalami kecelakaan tragis, terluka, atau bahkan mati.
Cerita ini pernah sangat santer di 2ch, tempat di mana banyak orang membuat video ketika mereka membaca puisi ini keras-keras untuk mematahkan kepercayaan seram ini. Banyak dari pengguna 2ch yang mengaku tak ada hal apapun yang terjadi, namun tak sedikit pula pengguna yang tiba-tiba hilang setelah mengunggah video tersebut. Berikut adalah puisi Tomino's Hell atau Tomino no Jigoku dalam versi asli dan bahasa Indonesia.
Tomino's Hell ditulis oleh Yomota Inuhiko dalam bukunya yang berjudul "The Heart is Like a Rolling Stone." Puisi ini juga terdapat dalam buku puisi ke-27 milik Saizo Yako, seperti dilansir oleh Creepy Pasta.
Tak ada yang tahu sejak kapan rumor ini muncul dan apa yang menyebabkannya. Namun dipercaya bahwa hal-hal tragis akan terjadi pada orang yang membacanya keras-keras. Dipercaya bahwa mereka bisa saja mengalami kecelakaan tragis, terluka, atau bahkan mati.
Cerita ini pernah sangat santer di 2ch, tempat di mana banyak orang membuat video ketika mereka membaca puisi ini keras-keras untuk mematahkan kepercayaan seram ini. Banyak dari pengguna 2ch yang mengaku tak ada hal apapun yang terjadi, namun tak sedikit pula pengguna yang tiba-tiba hilang setelah mengunggah video tersebut. Berikut adalah puisi Tomino's Hell atau Tomino no Jigoku dalam versi asli dan bahasa Indonesia.
Tomino no Jigoku
"Ane wa chi wo haku, imoto wa hihaku,
kawaii tomino wa tama wo haku
hitori jihoku ni ochiyuku tomino,
jigoku kurayami hana mo naki.
muchi de tataku wa tomino no aneka,
muchi no shubusa ga ki ni kakaru.
tatake yatataki yare tataka zutotemo,
mugen jigoku wa hitotsu michi.
kurai jigoku e anai wo tanomu,
kane no hitsu ni, uguisu ni.
kawa no fukuro ni yaikura hodoireyo,
mugen jigoku no tabishitaku.
haru ga kitesoru hayashi ni tani ni,
kurai jigoku tanina namagari.
kagoni yauguisu, kuruma ni yahitsuji,
kawaii tomino no me niya namida.
nakeyo, uguisu, hayashi no ame ni
imouto koishi to koe ga giri.
nakeba kodama ga jigoku ni hibiki,
kitsunebotan no hana ga saku.
jigoku nanayama nanatani meguru,
kawaii tomino no hitoritabi.
jigoku gozarabamo de kitetamore,
hari no oyama no tomebari wo.
akai tomehari date niwa sasanu,
kawaii tomino no mejirushini."
Neraka Tomino (versi Indonesia)
"Kakak perempuan muntah darah, adik perempuan memuntahkan api,Seorang penyiar radio pernah mencoba membaca puisi ini keras-keras saat on-air. Dia mengaku semua baik-baik saja, namun sampai pertengahan puisi, dia merasa tubuhnya tak bisa bergerak, akhirnya dia tak melanjutkannya dan membuang puisi tersebut. Namun beberapa hari kemudian dia mengalami kecelakaan dan harus dijahit sebanyak tujuh jahitan. Meski begitu, dia tak ingin menganggap hal tersebut akibat membaca puisi Tomino.
Tomino yang lucu memuntahkan manik-manik kaca,
Tomino jatuh ke neraka sendirian,
Neraka yang gelap dan tak ditumbuhi bunga,
Apakah itu kakak Tomino yang membawa cambuk?
Cambukan meninggalkan bekas memerah yang mengerikan
Mencambuk dan memukul, terus memukul
Sebuah jalan menuju neraka
Apakah kau akan mengantarnya ke neraka yang gelap?
Untuk domba-domba emas, untuk burung bulbul
Aku penasaran berapa banyak yang dimasukkannya dalam kantong kulit
Sebagai persiapan untuk perjalanan ke neraka
Musim semi datang, di hutan dan sungai
Bahkan di sungai dalam neraka yang gelap
Burung bulbul dalam sarang, domba dalam gerobak,
Ada air mata di mata lucu Tomino
Menangis, burung bulbul terbang ke hutan yang hujan
Meneriakkan kerinduan pada adik perempuannya
Tangisannya bergema ke seluruh neraka
Bunga berwarna merah darah mekar
Mengelilingi tujuh gunung dan tujuh sungai di neraka
Tomino yang lucu berjalan sendirian
Untuk menjemputmu ke neraka
Jarum-jarum dalam neraka,
menancap ke dalam daging segar,
Sebagai tanda dari si lucu Tomino"
Sorry! Mom
Ada seorang ibu yang hidup di kota kecil di Spanyol bersama suaminya. Pasangan suami istri itu mempunyai anak laki-laki yang selalu membuat onar,Federico. Kedua orang tuanya selalu kecewa karena Federico selalu mebuat masalah di sekolahnya.
Suatu pagi, ibunya membangunkan anaknya dan menyuruhnya untuk siap-siap ke sekolah. Saat dia gosok gigi, ibunya membuatkannya sarapan. Setelah selesai sarapan, dia mengantarkan anaknya untuk naik bis sekolah.
Beberapa jam kemudian, ibunya sedang membersihkan rumah. Saat itu hampir jam makan siang saat ibunya pergi ke ruang keluarga. Dia terkejut karena melihat anaknya duduk di kursi dekat jendela, dan menatap keluar jendela.
"Federico!" katanya marah. "Apa yang kau lakukan di rumah sekarang? Kenapa kau tidak sekolah?"
Anaknya diam, lalu menatap ibunya. Ibu itu menyadari kalau ada darah di kepala anaknya.
"Federico, kenapa kepalamu berdarah?" tanyanya.
"Aku minta maaf, Ibu..." jawab anaknya.
"Apa kau berkelahi lagi?" tanya ibunya. "Apa gurumu menyuruhmu pulang?"
"Aku minta maaf, Ibu..." jawab Federico pelan.
"Aku tidak mau dengar alasanmu." kata ibunya marah. "Pergi ke kamarmu! Saat ayahmu sudah pulang, dia kan menghukummu."
Anak itu menunduk dan naik ke tangga menuju kamarnya. Ibunya menghela nafas sedih. Lalu, teleponnya tiba-tiba berdering. Ibu itu segera mengangkatnya.
"Halo." kata sebuah suara di seberang telepon."Bisakah aku bicara dengan ibu Federico?"
"Siapa ini?" tanya ibu itu.
"Ini kepala sekolah."
"Oh, tidak." kata ibu itu menghela nafas. "Apa yang dilakukan setan kecil itu sekarang?"
"Aku tidak tahu bagaimana harus mengatakan ini." kata kepala sekolah. "Pagi ini, Federico naik ke atap sekolah..."
"Aku disini meminta maaf atas kelakuannya." jawab ibunya. "Aku bisa meyakinkanmu saat ayahnya sudah pulang, dia akan mendapat hukuman."
"Tidak, kau tidak mengerti." jawab kepala sekolah. "Federico melompat dari atap sekolah dan kepalanya terbentur aspal..... aku sangat minta maaf...... dia langsung meninggal..."
Ibu itu menjatuhkan hp nya. Mataya berkaca-kaca. Dia langsung berlari menuju tangga dan langsung masuk
ke kamar anaknya. Kamarnya kosong.
Suatu pagi, ibunya membangunkan anaknya dan menyuruhnya untuk siap-siap ke sekolah. Saat dia gosok gigi, ibunya membuatkannya sarapan. Setelah selesai sarapan, dia mengantarkan anaknya untuk naik bis sekolah.
Beberapa jam kemudian, ibunya sedang membersihkan rumah. Saat itu hampir jam makan siang saat ibunya pergi ke ruang keluarga. Dia terkejut karena melihat anaknya duduk di kursi dekat jendela, dan menatap keluar jendela.
"Federico!" katanya marah. "Apa yang kau lakukan di rumah sekarang? Kenapa kau tidak sekolah?"
Anaknya diam, lalu menatap ibunya. Ibu itu menyadari kalau ada darah di kepala anaknya.
"Federico, kenapa kepalamu berdarah?" tanyanya.
"Aku minta maaf, Ibu..." jawab anaknya.
"Apa kau berkelahi lagi?" tanya ibunya. "Apa gurumu menyuruhmu pulang?"
"Aku minta maaf, Ibu..." jawab Federico pelan.
"Aku tidak mau dengar alasanmu." kata ibunya marah. "Pergi ke kamarmu! Saat ayahmu sudah pulang, dia kan menghukummu."
Anak itu menunduk dan naik ke tangga menuju kamarnya. Ibunya menghela nafas sedih. Lalu, teleponnya tiba-tiba berdering. Ibu itu segera mengangkatnya.
"Halo." kata sebuah suara di seberang telepon."Bisakah aku bicara dengan ibu Federico?"
"Siapa ini?" tanya ibu itu.
"Ini kepala sekolah."
"Oh, tidak." kata ibu itu menghela nafas. "Apa yang dilakukan setan kecil itu sekarang?"
"Aku tidak tahu bagaimana harus mengatakan ini." kata kepala sekolah. "Pagi ini, Federico naik ke atap sekolah..."
"Aku disini meminta maaf atas kelakuannya." jawab ibunya. "Aku bisa meyakinkanmu saat ayahnya sudah pulang, dia akan mendapat hukuman."
"Tidak, kau tidak mengerti." jawab kepala sekolah. "Federico melompat dari atap sekolah dan kepalanya terbentur aspal..... aku sangat minta maaf...... dia langsung meninggal..."
Ibu itu menjatuhkan hp nya. Mataya berkaca-kaca. Dia langsung berlari menuju tangga dan langsung masuk
ke kamar anaknya. Kamarnya kosong.
Stairs
Rumah saya sudah tua. Ini adalah rumah tertua di blok kami. Kami mencoba untuk membuatnya lebih hidup, untuk membuatnya nyaman, dan kami melakukanya dengan cukup baik. Kami menempatkan karpet berwarna-warni pada lantai, lampu di setiap sudut. Setiap kamar bagus dan modern kecuali ruang bawah tanah.
Ketika aku masih kecil, aku akan berlari menaiki tangga datang dari ruang bawah tanah. Aku tidak tahu apa yang membuatku takut. Mungkin hantu, atau monster dalam gelap di belakangku, menunggu untuk berbalik sehingga dapat menangkapku dan ... Aku tidak tahu apa yang akan dilakukanya.
Tapi sekarang, setelah berusia tujuh belas tahun, aku kembali berjalan menaiki tangga dari ruang bawah tanahku, dan ketakutanku saat masih anak-anak yang lama telah aku lupakan tiba-tiba datang kembali. Aku berkata pada diriku sendiri untuk tetap tenang, tapi bagian gelap di bagian belakang kepalaku memberitahu untuk lari, untuk pergi dari sini secepatnya !. Sesungguhnya aku sangat ingin berlari dan kabur secepatnya, seperti yang saya lakukan ketika masih kecil, tapi aku memaksakan kakiku untuk tetap berjalan, dengan langkah normal. Aku merasakan dorongan yang sangat kuat untuk melihat ke belakang , tapi aku juga ingin mengalahkan ketakutan di otak saya.
Jadi akupun perlahan-lahan berjalan menaiki tanggayang tampaknya tak berujung, telapak tanganku berkeringat dan jantungku berdebar kencang sepanjang jalan. Tapi sekitar sepuluh anak tangga lagi mencapai atas, Tiba-tiba aku merasakan tangan sedingin es memegang sekitar pergelangan kaki saya.
Ketika aku masih kecil, aku akan berlari menaiki tangga datang dari ruang bawah tanah. Aku tidak tahu apa yang membuatku takut. Mungkin hantu, atau monster dalam gelap di belakangku, menunggu untuk berbalik sehingga dapat menangkapku dan ... Aku tidak tahu apa yang akan dilakukanya.
Tapi sekarang, setelah berusia tujuh belas tahun, aku kembali berjalan menaiki tangga dari ruang bawah tanahku, dan ketakutanku saat masih anak-anak yang lama telah aku lupakan tiba-tiba datang kembali. Aku berkata pada diriku sendiri untuk tetap tenang, tapi bagian gelap di bagian belakang kepalaku memberitahu untuk lari, untuk pergi dari sini secepatnya !. Sesungguhnya aku sangat ingin berlari dan kabur secepatnya, seperti yang saya lakukan ketika masih kecil, tapi aku memaksakan kakiku untuk tetap berjalan, dengan langkah normal. Aku merasakan dorongan yang sangat kuat untuk melihat ke belakang , tapi aku juga ingin mengalahkan ketakutan di otak saya.
Jadi akupun perlahan-lahan berjalan menaiki tanggayang tampaknya tak berujung, telapak tanganku berkeringat dan jantungku berdebar kencang sepanjang jalan. Tapi sekitar sepuluh anak tangga lagi mencapai atas, Tiba-tiba aku merasakan tangan sedingin es memegang sekitar pergelangan kaki saya.
Angel Statue
Beberapa tahun yang lalu, Seorang ibu dan ayah memutuskan untuk pergi liburan keluar kota , Mereka memanggil babysitter kepercayaanya untuk anak yang mereka tinggal dirumah . Ketika pengasuh tiba, dua anaknya sudah tertidur lelap di tempat tidur. Jadi babysitter hanya duduk-duduk saja sambil memastikan keadaan anak baik-baik saja.
Malam itu, babysitter bosan dan ingin menonton TV, tapi ia tidak bisa turun ke lantai bawah untuk menonton TV(karna menjaga anak di lantai 2) . Jadi, ia menelpon orangtua mereka dan meminta mereka apakah ia bisa menonton kabel di kamar orang tua ?. Tentu saja, orang tua itu menyetujuinya, tapi babysitter punya satu permintaan terakhir.
Dia bertanya apakah dia bisa menutupi patung malaikat di luar jendela kamar tidur dengan selimut atau kain, setidaknya menutupi pandanganya, karena patung itu membuatnya takut. Sesaat percakapn di telpon menjadi hening, Tiba-tiba ayah yang sedang berbicara dengan pengasuh pada saat itu mengatakan, "Ambillah anak-anak dan keluar dari rumah! ... kami akan memanggil polisi. Kami tidak memiliki patung malaikat !. "
3 menit kemudian Polisi pun sampai kerumah orang tua tersebut dan menemukan tiga penghuni rumah telah tewas dengan kondisi yang mengenaskan . Hingga kini patung malaikat tersebut tidak pernah di temukan......
Malam itu, babysitter bosan dan ingin menonton TV, tapi ia tidak bisa turun ke lantai bawah untuk menonton TV(karna menjaga anak di lantai 2) . Jadi, ia menelpon orangtua mereka dan meminta mereka apakah ia bisa menonton kabel di kamar orang tua ?. Tentu saja, orang tua itu menyetujuinya, tapi babysitter punya satu permintaan terakhir.
Dia bertanya apakah dia bisa menutupi patung malaikat di luar jendela kamar tidur dengan selimut atau kain, setidaknya menutupi pandanganya, karena patung itu membuatnya takut. Sesaat percakapn di telpon menjadi hening, Tiba-tiba ayah yang sedang berbicara dengan pengasuh pada saat itu mengatakan, "Ambillah anak-anak dan keluar dari rumah! ... kami akan memanggil polisi. Kami tidak memiliki patung malaikat !. "
3 menit kemudian Polisi pun sampai kerumah orang tua tersebut dan menemukan tiga penghuni rumah telah tewas dengan kondisi yang mengenaskan . Hingga kini patung malaikat tersebut tidak pernah di temukan......
Shadows on Water
Kisah ini sudah menjadi urban legend yang diceritakan secara turun temurun, dan entah sumbernya berasal dari mana.
Dikisahkan, jika kita melihat ke bawah, ke arah sungai dari jembatan yang membentang di atasnya, dan melihat bayangan kita sendiri terpantul dengan jelas. Maka esoknya kau akan bertemu dengan makhluk halus/ hantu yang akan terus-terusan mengikutimu. Atau mungkin kau akan menemui hal-hal yang lebih buruk dari itu.
Dimasa lalu, jembatan itu pernah menjadi tempat bunuh diri paling popular di masanya. Dan berlanjut sampai sekarang. Sehingga memunculkan kejadia-kejadian aneh serta mistis yang berhubungan dengan jembatan tersebut.
Mia, dan teman perempuannya selalu melewati jembatan tersebut, yang menghubungkan desa tempat dia tinggal dan kota kecil dimana dia bersekolah. saat itu, seperti biasa. Mia dan temannya pulang sekolah dan melewati jembatan tersebut.
Mereka berjalan dengan saling mengobrol satu sama lain. Obrolan kali ini tentang kisah-kisah hantu yang berkeliaran di sekitar sekolah mereka.
Tiba-tiba, teman Mia berhenti saat melewati jembatan itu. Dan berkata ", hei, bukankah di sini juga ada kisah seram? Di jembatan ini.... ". Kata teman Mia sambil tersenyum dan menunjuk ke arah sungai.
"tapi itu hanya urban legend", sahut Mia.
"bagaimana kalau kita coba". Teman Mia tersenyum dan melongok ke arah sungai. "mungkin aku bisa melihat pantulan diriku dengan amat sangat jelas di sungai------", belum berhenti berbicara, teman Mia kaget akan sesuatu. Dia seperti melihat sesuatu yang mengerikan.
"ada apa?". Mia mendekati temannya, dan heran dengan wajah temannya yang tiba-tiba memucat, tak berkata apapun dan hanya menunjuk ke arah sungai. Tapi Mia tak melihat apapun di sana. Hanya pantulan kabur bayangan mereka berdua.
"ki-kita lebih baik pergi dari sini," teman Mia menggandeng Mia pergi dari tempat itu. Masih dengan wajah yang pucat.
Keesokan harinya.
Teman Mia bertingkah aneh seharian. Dia hanya diam dan menundukkan kepalanya sepanjang hari. Tak berkata apapun, tak makan/ minum apapun. Ketika temannya bertanya, dia hanya menjawab dengan singkat. Wajahnya memucat, begitu juga kulitnya. Membuat Mia cemas dan khawatir.
Dan pada saat pulang sekolah seperti biasa, ada hal yang membuat Mia shock. Temannya itu, tanpa berkata apapun, menceburkan diri ke sungai dari jembatan yang kemarin mereka lewati. Jembatan yang tingginya lebih dari 10 meter itu.
Tak ada seorangpun yang bisa menghentikannya. Hal itu terjadi begitu saja. Tanpa perhitungan siapapun.
Beberapa saat kemudian, saat tim penolong yang telah dipanggil tiba di tempat kejadian. Tubuh teman Mia yang hanyut beberapa meter dari tempat dia menceburkan diri ditemukan.
Dengan lubang mata yang menganga kosong.
Bola matanya telah hilang.
Atau mungkin dicongkel oleh sesuatu.......
Thursday, September 28, 2017
Crawlspace
Halo semua. Aku menulis cerita ini sebagai peringatan bagi kalian yang berencana hendak belajar ke luar negeri. Aku tak berniat untuk menakut-nakuti kalian agar tidak pergi, namun aku hanya ingin kalian waspada supaya hal yang sama tidak terjadi pada kalian.
Kurasa aku harus menjelaskannya sedikit awal mulanya. Aku terpilih untuk berpartisipasi dalam program pertukaran pelajar selama beberapa bulan di kota Roma. Tentu saja aku merasa sangat gembira karena aku belum pernah pergi ke luar negeri sebelumnya. Jadi ini benar2 akan menjadi petualangan bagiku.
Aku mengepak barang2ku dan haru kuakui, aku sedikit gugup sebab ini pertama kalinya aku meninggalkan orang tuaku dalam waktu yang cukup lama. Namun aku juag sangat excited menantikan kebebasanku selama tinggal di Eropa. Dan akupun terbang selama 19 jam menuju Eropa.
Di bandara, aku disambut oleh supervisor program pertukaran pelajar tersebut dan beberapa siswa lain yang akan belajar bersamaku. Mereka semua seumuran dan tampak sama bersemangatnya sepertiku. Setelah melalui orientasi, kamipun diberikan kunci apartemen kami.
Beberapa bulan sebelum tiba di Roma, kami bertanggung jawab untuk menemukan apartemen yang akan kami tinggal secara online. Aku sudah memutuskan akan tinggal bersama 3 orang gadis lainnya. Mereka semuanya tampak baik dan karena kami sama2 memiliki budget terbatas, akhirnya kami mencoba mencari apartemen termurah yang bisa kami dapatkan.
Setelah beberapa hari mencari, kami menemukan iklan sebuah apartemen tua di Campo di Fiori. Kami benar2 tak percaya masih ada apartemen yang tersedia di sana dengan harga yang sangat murah. Semula aku sempat merasa curiga. Namun akhirnya kami tidak memiliki pilihan lain selain menyewa apartemen itu.
Kami menerima satu set kunci beserta peta agar kami menemukan letaknya. Campo merupakan tempat yang cukup dikenal di Roma sehingga kami tak kesulitan mencarinya. Tempat ini benar2 luar biasa. Ketika siang, tempat ini dipenuhi dengan pedagang dan ketika siang, suasana ganti dimeriahkan oleh musisi jalanan. Semua bangunan2 di sini semua tampak tua dan setelah 3-4 kali berputar-putar, akhirnya kami menemukan sebuah pintu kayu tua yang amat besar. Tempat ini akan menjadi rumah kami untuk 3 bulan ke depan.
Aku memutar kunci hingga terdengar “klik” dan pintu tebal itu berayun ke dalam dengan suara berdecit yang keras. Kami kemudian menemukan sebuah tangga spiral yang panjang. Kami semua mengeluh. Tentu saja, seharusnya terlintas di pikiran kami. Karena apartemen ini amat tua, maka belum ada lift di sini. Maka kami harus menaiki tangga demi tangga yang tampak tak berujung, ditambah lagi saat itu kami harus membawa barang bawaan kami yang cukup berat.
Akhirnya kami tiba di depan pintu kamar apartemen kami dan masalah lain muncul begitu kami masuk. Hanya ada 3 kamar di sana, sedangkan kami berempat. Ini berarti dua dari kami harus berbagi satu kamar. Akhirnya dengan undina, aku dan seorang gadis bernama Stephanie akan berbagi kamar. Aku tak keberatan karena Stephanie tampak seperti gadis yang baik dan pendiam, benar2 teman sekamar yang ideal.
Selain 3 kamar tidur terdapat 2 kamar mandi, sebuah dapur, dan ruang tamu dengan satu set televisi kuno. Sekali lagi aku merasa kurang nyaman. Mengapa kamar sebagus ini memiliki harga sewa yang sangat murah. Kami kemudian menyadari ada bagian lain dari apartemen ini yang belum kami jelajahi. Terdapat sebuah lorong gelap dengan sebuah mesin cuci dan mesin pengering. Di belakang, terdapat sebuah pintu yang ternyata menuju kamar mandi utama.
Kami berempat langsung memperebutkan kamar mandi itu. Betapa tidak, kamar mandi itu amat luas dan lengkap. Ada sebuah bathub besar yang tak tedapat di kamar lainnya. Akhirnya Stephanie mengusulkan bahwa karena aku dan dia harus berbagi kamar, maka masuk akal jika kami berdua yang seharusnya mendapatkan kamar mandi itu. Semua setuju dan awalnya aku merasa sangat senang.
Namun perasaan itu berubah beberapa hari kemudian. Aku tak tahu bagaimana menjelaskannya. Namun tiap kali aku menggunakan kamar mandi itu, aku merasakan sesuatu tengah mengawasiku. Perasaan itu membuatku sangat tegang. Aku merasa, apapun yang tengah mengawasiku aku, ia sedang marah. Dia tidak menginginkan aku berada di sana dan ia ingin menyakitiku.
Aku mulai mencoba menghindari kamar mandi itu. Aku meminta Alisha, temanku yang lain, untuk bertukar kamar mandi. Aku beralasan kamar mandi utama terlalu jauh dari kamarku. Ia dengan senang menyanggupinya. Namun suatu malam, saat aku sedang menggosok gigi, aku mendengar Alisha sedang memakai kamar mandinya. Aku mendengar suara cekikikan dari ujung lorong. Pastilah dua temanku yang lain sedang menggunakan kamar mandi utama. Kurasa untuk sekali-kali tak apa-apa menggunakannya, pikirku. Lagipula ada teman2ku di sana.
Akupun bergabung dengan mereka. Hingga di tengah percakapan, tanpa sengaja Lindsay, temanku yang lain, bersandar pada dinding dan menyadari sesuatu. Di dinding kamar mandi, terdapat sebuah pintu yang tak pernah kami sadari keberadaannya. Bahkan pintu itu dicat dengan warna yang sama dengan dinding. Jelas sang pemilik apartemen tak ingin kami menemukannya. Karena penasaran, kami mencoba membuka pintu itu. Awalnya sulit, namun dengan bantuan pisau lipat, kami akhirnya berhasil membuka pintu itu.
Di baliknya terdapat sebuah ruang rangkak. Ukurannya cukup besar. Menurut perkiraanku, ruang itu bisa memuat 3 atau 4 orang. Stephanie dan Lindsay kemudian memanggil Alisha untuk melihat penemuan ini. Akhirnya kami menggunakannya sebagai tempat menyimpan handuk dan keranjang cucian.
Namun pada hari2 kemudian, semenjak kami menemukan ruang rangkak itu, situasi berubah dari “menakutkan” menjadi “sangat menyeramkan”. Alisha lebih sering menggunakan kamar mandinya sendiri, sehingga aku akhirnya terpaksa kembali menggunakan kamar mandi utama. Ruangan itu membuatku menjadi paranoid, bahkan suara sekecil apapun akan membuatku melompat karena terkejut.
Puncaknya ketika suatu malam aku sedang menggosok gigi sendirian di dalam kamar mandi itu, aku mendengar suara gemerisik yang sangat pelan. Seperti ada yang sedang bergerak dari dalam ... ruang rangkak. Aku terdiam membeku, teror mengisi benakku. Aku segera berlari keluar dan memanggil teman-temanku.
“Ada sesuatu ... di dalam ruang rangkak ...”
Teman2ku segera menemaniku masuk ke kamar mandi untuk memeriksanya. Kami kemudian menyadari bahwa jendela kamar mandi dalam keadaan terbuka. Stephanie rupanya lupa untuk menutupnya ketika menggunakan kamar mandi ini terakhir kali. Dan di luar kami melihat beberapa merpati di atap, tepat di atas jendela kamar mandi.
Mereka semua tertawa dan kembali ke kamar mandi masing2.
Mereka semua menganggap suara gemerisik yang kudengar berasal dari merpati2 itu, namun tidak. Tidak mungkin. Sebab saat aku meninggalkan kamar mandi, pintu ruang rangkak dalam keadaan tertutup.
Dan sekarang terbuka.
Jika memang merpati2 itu yang tadi berada di dalam ruang rangkak, bagaimana mereka masuk? Dan bagaimana mereka keluar?
Malam itu aku merasa ada sesuatu yang sangat aneh terjadi di apartemen ini. Akupun menghubungi sahabatku yang ada di Amerika dengan menggunakan skype. Untunglah dia mau mendengarkanku dan bahkan tak sedikitpun meragukan ketakutanku. Kemudian ia meminta foto dari ruang rangkak itu untuk memastikan. Akupun melakukan apa yang ia minta. Aku membawa kameraku dan menuju ke kamar mandi, lalu mengumpulkan semua nyaliku untuk memfoto bagian dalam ruang rangkak itu, lalu segera berlari kembali ke kamarku. Aku menghubungkan kameraku dengan komputer dan mengunggah foto itu. Ketika aku kahirnya membuka gambar itu, aku langsung membeku. 3
Di pojok kanan atas ruang rangkak itu, di dalam kegelapan, terlihat samar2 sebuah wajah, memamerkan gigi2nya.
Tubuhku langsung gemetaran.
Rasa takut mulai mengambil alih tubuhku. Seseorang telah mengunci makhluk itu di dalam ruang rangkak itu.
Dan kami membebaskannya.
Rasa panik menguasaiku hingga aku tak sadar teman sekamarku telah kembali. Aku segera mengunci pintu dan ketika Stephanie bertanya, aku hanya tertawa dengan gugup dan mengatakan bahwa Lindsay menyelinap masuk ke kamar kami dan mengambil Nutella-ku. Ia hanya tertawa dan membaringkan tubuhnya ke atas ranjang untuk tidur. Aku tak mau tidur. Aku tak mau membuatnya merasa takut seperti yang aku rasakan kini.
Akupun mulai mencoba tidur. Dan satu2nya yang bisa membuatku menutup mata malam itu adalah rasa aman karena keberadaan teman sekamarku. Namun rasa aman yang kurasakan saat itu terbukti palsu.
Sekitar jam 2 pagi, sebuah suara membangunkanku. Aku selalu mudah dibangunkan oleh suara sekecil apapun. Dan suara itu terdengar seperti suara pintu didorong terbuka, diikuti suara langkah kaki yang sangat pelan. Arahnya bukan dari kamar Alisha maupun Lindsay. Arahnya dari dalam lorong. Dari dalam kamar mandi utama. 3
Mungkin dari ruang rangkak itu.
Rasa takutku memuncak ketika langkah kaki itu terdengar mendekati kamarku.
Aku bisa melihat dari sela-sela yang ada di bawah pintu kamarku, sebuah bayangan tengah berdiri di luar kamarku.
Aku tak berani bergerak.
Apapun itu, ia hanya berdiri saja di luar pintu.
Puncaknya ketika aku mendengar suara kenop kamar pintu diputar dari luar.
Makhluk itu mencoba masuk ke kamarku.
Tiba2 Stephanie terbangun dan menyuruhku berhenti membuat suara itu. Ia mengatakan ini sudah malam. Namun aku menjawab, bukan aku yang melakukannya. Namun ia tak peduli dan kembali tidur.
Mungkin mengetahui Stephanie terbangun, suara itu berhenti.
Hari berikutnya, aku menemuiku supervisorku dan mengatakan bahwa aku harus pulang hari itu juga. Ia kelihatan bingung dan mencoba mengatakan bahwa “homesick” memang sering terjadi dalam pertukaran pelajar semacam ini, namun lama-kelamaan perasaan itu akan menghilang. Namun aku tak peduli, bahkan meminta orang tuaku untuk memesan tiket penerbangan kembali ke Amerika untuk besok pagi. Walaupun kebingungan, orang tuakupun menyanggupinya.
Ketika kembali ke apartemen, aku mencoba mengatakan apa yang terjadi pada ketiga temanku. aku menceritakan semuanya bahkan menunjukkan foto yang kuambil. Namun tak ada yang percaya kepadaku. Mereka menganggapku seakan aku gila bahkan menuduhku memanipulasi foto itu. Mereka takkan mau pergi dari sini, aku tahu. Kesempatan belajar ke luar negeri seperti ini memang suatu kesempatan langka yang sulit diperoleh. Namun aku takkan mengorbankan nyawaku demi hal semacam itu.
Akupun menuju ke kamarku dan dengan berat hati menghabiskan satu malam kembali di apartemen itu. Aku tak punya pilihan lain. Namun mengetahui bahwa besok aku akan kembali ke rumah membuatku sedikit tenang.
Namun seharusnya aku tak kembali ke apartemen itu, bahkan untuk semalam saja.
Sekitar waktu yang sama, jam 2 dini hari, suara itu kembali terdengar.
Suara langkah kaki kembali terdengar mendekati kamarku. Aku bahkan kali ini bisa mendengar suara napasnya, berat dan pelan. Aku langsung terduduk dengan panik dan kemudian menyadari hal yang mengerikan.
Aku belum mengunci kamarku.
Makhluk itu ada di luar dan sebelum sempat melompat dan mengunci pintu, pegangan pintu membuka.
Pintu terbuka dengan perlahan, menimbulkan suara berderit yang menyakitkan telinga.
Aku membeku tenggelam dalam ketakutan ketika aku akhirnya melihat wujudnya.
Matanya seakan menonjol dari tengkoraknya, bersinar agak kebiruan. Ia tak memiliki hidung, hanya celah kecl dimana lubang hidung seharusnya berada. Giginya seperti yang dimiliki manusia, namun ia tak memiliki bibir. Kulitnya kebau-abuan dan seakan hanya membungkus tulang2 di tubuhnya.
Setelah berhenti di muka pintu sejenak, ia mulai berjalan mendekatiku. Ketika ia bergerak, suara tulang2nya memberikan suara seakan retak. Nafasnya tak hanya terdengar seperti suara mendengus, namun mengeluarkan bau yang busuk. Seperti campuran sulfur dan daging membusuk.
Aku menjerit sekuat tenagaku.
Stephanie langsung terbangun seketika itu juga.
Dengan cepat makhluk itu merangkak dengan keempat kakinya dan berlari seperti laba2 keluar dari ruangan.
Stephanie tak sempat melihatnya dan mulai menjerit apa masalahku. Aku mencoba menjelaskan apa yang terjadi, namun ia hanya berdiri dan sambil menutup pintu kamar. Ia menyebutku gila.
Taksi datang menjemputku pagi2 buta. Bahkan matahari belumlah terbit. Tak ada satupun di antara ketiga gadis yang tinggal bersamaku mau mengantarku keluar. Aku sudah tahu hal itu akan terjadi. Namun begitu aku masuk ke dalam taksi dan kendaraan itu mulai berjalan, aku tak pernah merasa selega itu.
Ketika aku menyandarkan kepalaku dan melihat ke jendela, mencoba memandang apartemen itu untuk terakhir kalinya. Aku bisa melihat jendela kamarku dari dalam mobil dan lagi2 aku membeku ketakutan.
Di sana, di balik jendela, tampak makhluk itu.
Matanya tak berkedip, terpaku ke arahku.
Mulutnya yang tak berbibir melengkung, seolah sedang tersenyum. Menyeringai.
Aku mencoba memperingatkan mereka. Aku berusaha sekuat tenagaku untuk memperingatkan mereka bahaya yang ada di apartemen itu. Namun tak ada yang mendengarkanku. Aku benar2 tak kuasa menghentikan apa yang terjadi berikutnya.
Ketika aku kembali ke Amerika Serikat, aku mendapat telepon dari supervisorku.
Ketiga teman satu apartemenku telah menghilang. Tak ada satupun yang tahu dimana mereka.
Supervisorku sudah menghubungi pihak kepolisian, namun bahkan mereka pun tak dapat menemukan keberadaan ketiga temanku itu. Ketika mereka memeriksa apartemen, makanan2 yang ada di dalam sudah membusuk. Tak ada tanda2 seseorang memaksa masuk dan tak satupun barang berharga ditemukan hilang.
Satu2nya hal penting yang mereka rasakan ketika pertama tiba adalah bau seperti campuran sulfur dan sesuatu yang membusuk.
Bau itu berasal dari kamar mandi.
Seperti yang bisa kuduga, asalnya dari ruang rangkak itu.
Pihak berwajib memberikan pernyataan bahwa mereka diculik. Namun aku tahu kenyataannya.
Mereka sudah mati sekarang.
Aku merasa bersalah karena aku tak bisa menyelamatkan mereka.
Dengan menulis ini, aku ingin memperingatkan, apapun yang terjadi, jangan menyewa apartemen yang berharga sangat murah di Campo di Fiori itu. Berhati-hatilah jika kalian mengunjungi Roma.
Sekali bertemu dengannya, mungkin kalian takkan bisa meloloskan diri.
Sebab di rumahku juga terdapat ruang rangkak. Dan ketika aku mulai mencium bau belerang itu, aku memfoto bagian dalamnya dan inilah hasilnya.
Kurasa aku harus menjelaskannya sedikit awal mulanya. Aku terpilih untuk berpartisipasi dalam program pertukaran pelajar selama beberapa bulan di kota Roma. Tentu saja aku merasa sangat gembira karena aku belum pernah pergi ke luar negeri sebelumnya. Jadi ini benar2 akan menjadi petualangan bagiku.
Aku mengepak barang2ku dan haru kuakui, aku sedikit gugup sebab ini pertama kalinya aku meninggalkan orang tuaku dalam waktu yang cukup lama. Namun aku juag sangat excited menantikan kebebasanku selama tinggal di Eropa. Dan akupun terbang selama 19 jam menuju Eropa.
Di bandara, aku disambut oleh supervisor program pertukaran pelajar tersebut dan beberapa siswa lain yang akan belajar bersamaku. Mereka semua seumuran dan tampak sama bersemangatnya sepertiku. Setelah melalui orientasi, kamipun diberikan kunci apartemen kami.
Beberapa bulan sebelum tiba di Roma, kami bertanggung jawab untuk menemukan apartemen yang akan kami tinggal secara online. Aku sudah memutuskan akan tinggal bersama 3 orang gadis lainnya. Mereka semuanya tampak baik dan karena kami sama2 memiliki budget terbatas, akhirnya kami mencoba mencari apartemen termurah yang bisa kami dapatkan.
Setelah beberapa hari mencari, kami menemukan iklan sebuah apartemen tua di Campo di Fiori. Kami benar2 tak percaya masih ada apartemen yang tersedia di sana dengan harga yang sangat murah. Semula aku sempat merasa curiga. Namun akhirnya kami tidak memiliki pilihan lain selain menyewa apartemen itu.
Kami menerima satu set kunci beserta peta agar kami menemukan letaknya. Campo merupakan tempat yang cukup dikenal di Roma sehingga kami tak kesulitan mencarinya. Tempat ini benar2 luar biasa. Ketika siang, tempat ini dipenuhi dengan pedagang dan ketika siang, suasana ganti dimeriahkan oleh musisi jalanan. Semua bangunan2 di sini semua tampak tua dan setelah 3-4 kali berputar-putar, akhirnya kami menemukan sebuah pintu kayu tua yang amat besar. Tempat ini akan menjadi rumah kami untuk 3 bulan ke depan.
Aku memutar kunci hingga terdengar “klik” dan pintu tebal itu berayun ke dalam dengan suara berdecit yang keras. Kami kemudian menemukan sebuah tangga spiral yang panjang. Kami semua mengeluh. Tentu saja, seharusnya terlintas di pikiran kami. Karena apartemen ini amat tua, maka belum ada lift di sini. Maka kami harus menaiki tangga demi tangga yang tampak tak berujung, ditambah lagi saat itu kami harus membawa barang bawaan kami yang cukup berat.
Akhirnya kami tiba di depan pintu kamar apartemen kami dan masalah lain muncul begitu kami masuk. Hanya ada 3 kamar di sana, sedangkan kami berempat. Ini berarti dua dari kami harus berbagi satu kamar. Akhirnya dengan undina, aku dan seorang gadis bernama Stephanie akan berbagi kamar. Aku tak keberatan karena Stephanie tampak seperti gadis yang baik dan pendiam, benar2 teman sekamar yang ideal.
Selain 3 kamar tidur terdapat 2 kamar mandi, sebuah dapur, dan ruang tamu dengan satu set televisi kuno. Sekali lagi aku merasa kurang nyaman. Mengapa kamar sebagus ini memiliki harga sewa yang sangat murah. Kami kemudian menyadari ada bagian lain dari apartemen ini yang belum kami jelajahi. Terdapat sebuah lorong gelap dengan sebuah mesin cuci dan mesin pengering. Di belakang, terdapat sebuah pintu yang ternyata menuju kamar mandi utama.
Kami berempat langsung memperebutkan kamar mandi itu. Betapa tidak, kamar mandi itu amat luas dan lengkap. Ada sebuah bathub besar yang tak tedapat di kamar lainnya. Akhirnya Stephanie mengusulkan bahwa karena aku dan dia harus berbagi kamar, maka masuk akal jika kami berdua yang seharusnya mendapatkan kamar mandi itu. Semua setuju dan awalnya aku merasa sangat senang.
Namun perasaan itu berubah beberapa hari kemudian. Aku tak tahu bagaimana menjelaskannya. Namun tiap kali aku menggunakan kamar mandi itu, aku merasakan sesuatu tengah mengawasiku. Perasaan itu membuatku sangat tegang. Aku merasa, apapun yang tengah mengawasiku aku, ia sedang marah. Dia tidak menginginkan aku berada di sana dan ia ingin menyakitiku.
Aku mulai mencoba menghindari kamar mandi itu. Aku meminta Alisha, temanku yang lain, untuk bertukar kamar mandi. Aku beralasan kamar mandi utama terlalu jauh dari kamarku. Ia dengan senang menyanggupinya. Namun suatu malam, saat aku sedang menggosok gigi, aku mendengar Alisha sedang memakai kamar mandinya. Aku mendengar suara cekikikan dari ujung lorong. Pastilah dua temanku yang lain sedang menggunakan kamar mandi utama. Kurasa untuk sekali-kali tak apa-apa menggunakannya, pikirku. Lagipula ada teman2ku di sana.
Akupun bergabung dengan mereka. Hingga di tengah percakapan, tanpa sengaja Lindsay, temanku yang lain, bersandar pada dinding dan menyadari sesuatu. Di dinding kamar mandi, terdapat sebuah pintu yang tak pernah kami sadari keberadaannya. Bahkan pintu itu dicat dengan warna yang sama dengan dinding. Jelas sang pemilik apartemen tak ingin kami menemukannya. Karena penasaran, kami mencoba membuka pintu itu. Awalnya sulit, namun dengan bantuan pisau lipat, kami akhirnya berhasil membuka pintu itu.
Di baliknya terdapat sebuah ruang rangkak. Ukurannya cukup besar. Menurut perkiraanku, ruang itu bisa memuat 3 atau 4 orang. Stephanie dan Lindsay kemudian memanggil Alisha untuk melihat penemuan ini. Akhirnya kami menggunakannya sebagai tempat menyimpan handuk dan keranjang cucian.
Namun pada hari2 kemudian, semenjak kami menemukan ruang rangkak itu, situasi berubah dari “menakutkan” menjadi “sangat menyeramkan”. Alisha lebih sering menggunakan kamar mandinya sendiri, sehingga aku akhirnya terpaksa kembali menggunakan kamar mandi utama. Ruangan itu membuatku menjadi paranoid, bahkan suara sekecil apapun akan membuatku melompat karena terkejut.
Puncaknya ketika suatu malam aku sedang menggosok gigi sendirian di dalam kamar mandi itu, aku mendengar suara gemerisik yang sangat pelan. Seperti ada yang sedang bergerak dari dalam ... ruang rangkak. Aku terdiam membeku, teror mengisi benakku. Aku segera berlari keluar dan memanggil teman-temanku.
“Ada sesuatu ... di dalam ruang rangkak ...”
Teman2ku segera menemaniku masuk ke kamar mandi untuk memeriksanya. Kami kemudian menyadari bahwa jendela kamar mandi dalam keadaan terbuka. Stephanie rupanya lupa untuk menutupnya ketika menggunakan kamar mandi ini terakhir kali. Dan di luar kami melihat beberapa merpati di atap, tepat di atas jendela kamar mandi.
Mereka semua tertawa dan kembali ke kamar mandi masing2.
Mereka semua menganggap suara gemerisik yang kudengar berasal dari merpati2 itu, namun tidak. Tidak mungkin. Sebab saat aku meninggalkan kamar mandi, pintu ruang rangkak dalam keadaan tertutup.
Dan sekarang terbuka.
Jika memang merpati2 itu yang tadi berada di dalam ruang rangkak, bagaimana mereka masuk? Dan bagaimana mereka keluar?
Malam itu aku merasa ada sesuatu yang sangat aneh terjadi di apartemen ini. Akupun menghubungi sahabatku yang ada di Amerika dengan menggunakan skype. Untunglah dia mau mendengarkanku dan bahkan tak sedikitpun meragukan ketakutanku. Kemudian ia meminta foto dari ruang rangkak itu untuk memastikan. Akupun melakukan apa yang ia minta. Aku membawa kameraku dan menuju ke kamar mandi, lalu mengumpulkan semua nyaliku untuk memfoto bagian dalam ruang rangkak itu, lalu segera berlari kembali ke kamarku. Aku menghubungkan kameraku dengan komputer dan mengunggah foto itu. Ketika aku kahirnya membuka gambar itu, aku langsung membeku. 3
Di pojok kanan atas ruang rangkak itu, di dalam kegelapan, terlihat samar2 sebuah wajah, memamerkan gigi2nya.
Tubuhku langsung gemetaran.
Rasa takut mulai mengambil alih tubuhku. Seseorang telah mengunci makhluk itu di dalam ruang rangkak itu.
Dan kami membebaskannya.
Rasa panik menguasaiku hingga aku tak sadar teman sekamarku telah kembali. Aku segera mengunci pintu dan ketika Stephanie bertanya, aku hanya tertawa dengan gugup dan mengatakan bahwa Lindsay menyelinap masuk ke kamar kami dan mengambil Nutella-ku. Ia hanya tertawa dan membaringkan tubuhnya ke atas ranjang untuk tidur. Aku tak mau tidur. Aku tak mau membuatnya merasa takut seperti yang aku rasakan kini.
Akupun mulai mencoba tidur. Dan satu2nya yang bisa membuatku menutup mata malam itu adalah rasa aman karena keberadaan teman sekamarku. Namun rasa aman yang kurasakan saat itu terbukti palsu.
Sekitar jam 2 pagi, sebuah suara membangunkanku. Aku selalu mudah dibangunkan oleh suara sekecil apapun. Dan suara itu terdengar seperti suara pintu didorong terbuka, diikuti suara langkah kaki yang sangat pelan. Arahnya bukan dari kamar Alisha maupun Lindsay. Arahnya dari dalam lorong. Dari dalam kamar mandi utama. 3
Mungkin dari ruang rangkak itu.
Rasa takutku memuncak ketika langkah kaki itu terdengar mendekati kamarku.
Aku bisa melihat dari sela-sela yang ada di bawah pintu kamarku, sebuah bayangan tengah berdiri di luar kamarku.
Aku tak berani bergerak.
Apapun itu, ia hanya berdiri saja di luar pintu.
Puncaknya ketika aku mendengar suara kenop kamar pintu diputar dari luar.
Makhluk itu mencoba masuk ke kamarku.
Tiba2 Stephanie terbangun dan menyuruhku berhenti membuat suara itu. Ia mengatakan ini sudah malam. Namun aku menjawab, bukan aku yang melakukannya. Namun ia tak peduli dan kembali tidur.
Mungkin mengetahui Stephanie terbangun, suara itu berhenti.
Hari berikutnya, aku menemuiku supervisorku dan mengatakan bahwa aku harus pulang hari itu juga. Ia kelihatan bingung dan mencoba mengatakan bahwa “homesick” memang sering terjadi dalam pertukaran pelajar semacam ini, namun lama-kelamaan perasaan itu akan menghilang. Namun aku tak peduli, bahkan meminta orang tuaku untuk memesan tiket penerbangan kembali ke Amerika untuk besok pagi. Walaupun kebingungan, orang tuakupun menyanggupinya.
Ketika kembali ke apartemen, aku mencoba mengatakan apa yang terjadi pada ketiga temanku. aku menceritakan semuanya bahkan menunjukkan foto yang kuambil. Namun tak ada yang percaya kepadaku. Mereka menganggapku seakan aku gila bahkan menuduhku memanipulasi foto itu. Mereka takkan mau pergi dari sini, aku tahu. Kesempatan belajar ke luar negeri seperti ini memang suatu kesempatan langka yang sulit diperoleh. Namun aku takkan mengorbankan nyawaku demi hal semacam itu.
Akupun menuju ke kamarku dan dengan berat hati menghabiskan satu malam kembali di apartemen itu. Aku tak punya pilihan lain. Namun mengetahui bahwa besok aku akan kembali ke rumah membuatku sedikit tenang.
Namun seharusnya aku tak kembali ke apartemen itu, bahkan untuk semalam saja.
Sekitar waktu yang sama, jam 2 dini hari, suara itu kembali terdengar.
Suara langkah kaki kembali terdengar mendekati kamarku. Aku bahkan kali ini bisa mendengar suara napasnya, berat dan pelan. Aku langsung terduduk dengan panik dan kemudian menyadari hal yang mengerikan.
Aku belum mengunci kamarku.
Makhluk itu ada di luar dan sebelum sempat melompat dan mengunci pintu, pegangan pintu membuka.
Pintu terbuka dengan perlahan, menimbulkan suara berderit yang menyakitkan telinga.
Aku membeku tenggelam dalam ketakutan ketika aku akhirnya melihat wujudnya.
Matanya seakan menonjol dari tengkoraknya, bersinar agak kebiruan. Ia tak memiliki hidung, hanya celah kecl dimana lubang hidung seharusnya berada. Giginya seperti yang dimiliki manusia, namun ia tak memiliki bibir. Kulitnya kebau-abuan dan seakan hanya membungkus tulang2 di tubuhnya.
Setelah berhenti di muka pintu sejenak, ia mulai berjalan mendekatiku. Ketika ia bergerak, suara tulang2nya memberikan suara seakan retak. Nafasnya tak hanya terdengar seperti suara mendengus, namun mengeluarkan bau yang busuk. Seperti campuran sulfur dan daging membusuk.
Aku menjerit sekuat tenagaku.
Stephanie langsung terbangun seketika itu juga.
Dengan cepat makhluk itu merangkak dengan keempat kakinya dan berlari seperti laba2 keluar dari ruangan.
Stephanie tak sempat melihatnya dan mulai menjerit apa masalahku. Aku mencoba menjelaskan apa yang terjadi, namun ia hanya berdiri dan sambil menutup pintu kamar. Ia menyebutku gila.
Taksi datang menjemputku pagi2 buta. Bahkan matahari belumlah terbit. Tak ada satupun di antara ketiga gadis yang tinggal bersamaku mau mengantarku keluar. Aku sudah tahu hal itu akan terjadi. Namun begitu aku masuk ke dalam taksi dan kendaraan itu mulai berjalan, aku tak pernah merasa selega itu.
Ketika aku menyandarkan kepalaku dan melihat ke jendela, mencoba memandang apartemen itu untuk terakhir kalinya. Aku bisa melihat jendela kamarku dari dalam mobil dan lagi2 aku membeku ketakutan.
Di sana, di balik jendela, tampak makhluk itu.
Matanya tak berkedip, terpaku ke arahku.
Mulutnya yang tak berbibir melengkung, seolah sedang tersenyum. Menyeringai.
Aku mencoba memperingatkan mereka. Aku berusaha sekuat tenagaku untuk memperingatkan mereka bahaya yang ada di apartemen itu. Namun tak ada yang mendengarkanku. Aku benar2 tak kuasa menghentikan apa yang terjadi berikutnya.
Ketika aku kembali ke Amerika Serikat, aku mendapat telepon dari supervisorku.
Ketiga teman satu apartemenku telah menghilang. Tak ada satupun yang tahu dimana mereka.
Supervisorku sudah menghubungi pihak kepolisian, namun bahkan mereka pun tak dapat menemukan keberadaan ketiga temanku itu. Ketika mereka memeriksa apartemen, makanan2 yang ada di dalam sudah membusuk. Tak ada tanda2 seseorang memaksa masuk dan tak satupun barang berharga ditemukan hilang.
Satu2nya hal penting yang mereka rasakan ketika pertama tiba adalah bau seperti campuran sulfur dan sesuatu yang membusuk.
Bau itu berasal dari kamar mandi.
Seperti yang bisa kuduga, asalnya dari ruang rangkak itu.
Pihak berwajib memberikan pernyataan bahwa mereka diculik. Namun aku tahu kenyataannya.
Mereka sudah mati sekarang.
Aku merasa bersalah karena aku tak bisa menyelamatkan mereka.
Dengan menulis ini, aku ingin memperingatkan, apapun yang terjadi, jangan menyewa apartemen yang berharga sangat murah di Campo di Fiori itu. Berhati-hatilah jika kalian mengunjungi Roma.
Sekali bertemu dengannya, mungkin kalian takkan bisa meloloskan diri.
Sebab di rumahku juga terdapat ruang rangkak. Dan ketika aku mulai mencium bau belerang itu, aku memfoto bagian dalamnya dan inilah hasilnya.
Seasoning
Ada sebuah keluarga di Italia yang telah menerima paket kiriman dari seorang Bibi yang baru saja berimigrasi ke Amerika Serikat. Setelah membuka bungkusan paket, mereka telah menemukan botol berwarna hitam yang berisi bubuk. Secara otomatis mereka berpikir bahwa botol itu berisi rempah-rempah masakan, karena bibi adalah koki yang bekerja di salah satu hotel di Italia. 11
Mereka semua telah berpikir rempah bumbu yang ada di dalam botol adalah bumbu pasta seperti biasanya. Malam itu, ibu dari keluarga tersebut membuat saus pasta untuk hidangan makan malam dan menggunakan bumbu dari botol pemberian bibi, kali ini rasanya sangat unik namun sangat menggugah selera makan mereka. 16
Setelah mereka selesai makan malam, kemudian mereka mendapat kiriman surat dari pihak pos. Dan surat itu dikirim dari bibi. Mereka sangat senang dan berpikir, mungkin karena bumbu ini terlalu enak maka dia akan mengirimkannya lagi.
Saat itu, mereka mulai membuka amplop dan mengambil surat, surat itu bertuliskan:
"Dear my family, aku sungguh menyesal aku lupa mencantumkan surat ini ke dalam satu paket dan aku sungguh menyesal sekali selama aku berimigrasi ke Amerika aku tidak memberi kabar duka pada kalian bahwa paman kalian telah meninggal dua hari yang lalu, jenazahnya sudah di kremasi di sore hari. Dan aku mengirim abu jenazah pada kalian dalam botol dan aku mengirimkannya pada kalian untuk selalu mengingat paman kalian. Maaf jika surat ini telat. Aku sangat mencintai kalian, dari bibimu, Vionna!"
Mereka semua telah berpikir rempah bumbu yang ada di dalam botol adalah bumbu pasta seperti biasanya. Malam itu, ibu dari keluarga tersebut membuat saus pasta untuk hidangan makan malam dan menggunakan bumbu dari botol pemberian bibi, kali ini rasanya sangat unik namun sangat menggugah selera makan mereka. 16
Setelah mereka selesai makan malam, kemudian mereka mendapat kiriman surat dari pihak pos. Dan surat itu dikirim dari bibi. Mereka sangat senang dan berpikir, mungkin karena bumbu ini terlalu enak maka dia akan mengirimkannya lagi.
Saat itu, mereka mulai membuka amplop dan mengambil surat, surat itu bertuliskan:
"Dear my family, aku sungguh menyesal aku lupa mencantumkan surat ini ke dalam satu paket dan aku sungguh menyesal sekali selama aku berimigrasi ke Amerika aku tidak memberi kabar duka pada kalian bahwa paman kalian telah meninggal dua hari yang lalu, jenazahnya sudah di kremasi di sore hari. Dan aku mengirim abu jenazah pada kalian dalam botol dan aku mengirimkannya pada kalian untuk selalu mengingat paman kalian. Maaf jika surat ini telat. Aku sangat mencintai kalian, dari bibimu, Vionna!"
HELP
Di malam yang dingin di bulan Desember, ada seorang remaja yang sedang mengasuh 2 anak kecil. Mereka adaah Taylor yang berumur 7 tahun dan Selena yang berumur 6 tahun. Orang tua mereka sedang menonton bioskop dan meninggalkan mereka sendiri di rumah. Pukul 9 malam, tiba-tiba telepon berdering.
Kathy mengangkatnya dan hanya mendengar suara jeritan. "Tolong aku!! Tolong aku!!" Akhirnya Kathy menutup telepon itu dan hanya menganggap itu telepon iseng. 30 menit kemudian, telepon kembali berdering. Kathy menjawabnya dan lagi-lagi mendengar jeritan yang sama. "Seseorang, tolonglah aku!! Aku mohon!!"
Kathy mulai cemas. Taylor dan Selena pun mulai bertanya. Kathy bilang tidak perlu khawatir. 30 menit kemudian, Kathy menerima telepon lagi. Kali ini suaranya terdengar begitu menakutkan... "Tolong aku!! Tidakkah ada yang mau menolongku?" Kemudian telepon itu terputus. Tidak lama kemudian, terdengar suara ketukan pintu. Kathy memeluk mereka sangat erat. Mereka ketakutan. 2
Ketukan pintu terus terdengar, Kathy tahu itu bukan kedua orang tua anak-anak asuhnya, karena mereka akan kembali beberapa jam lagi. Lalu terdengar suara dari luar. "Tolong aku.... Tolong aku...." Kathy tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
Tetapi akhirnya "Aku akan membiarkannya masuk. Dia membutuhkan bantuan." ujar Kathy.
Melewati tengah malam, kedua orang tua itu tiba di rumah. Mereka mendapatkan keadaan rumah mereka sunyi dan gelap. Mereka masuk ke dalam ruang tamu dan menyalakan lampu. Seketika itu juga mereka mendapatkan pemandangan yang begitu mengerikan.
Kathy dan kedua anak mereka telah terbunuh dengan tangan dan kaki yang terpotong-potong. Dan mereka mendapati dinding rumah mereka tertulis beberapa kata dengan darah.
Tulisan itu mengatakan "Tolong aku sebelum aku membunuh lagi. Aku tidak bisa mengontrol diriku."
Kathy mengangkatnya dan hanya mendengar suara jeritan. "Tolong aku!! Tolong aku!!" Akhirnya Kathy menutup telepon itu dan hanya menganggap itu telepon iseng. 30 menit kemudian, telepon kembali berdering. Kathy menjawabnya dan lagi-lagi mendengar jeritan yang sama. "Seseorang, tolonglah aku!! Aku mohon!!"
Kathy mulai cemas. Taylor dan Selena pun mulai bertanya. Kathy bilang tidak perlu khawatir. 30 menit kemudian, Kathy menerima telepon lagi. Kali ini suaranya terdengar begitu menakutkan... "Tolong aku!! Tidakkah ada yang mau menolongku?" Kemudian telepon itu terputus. Tidak lama kemudian, terdengar suara ketukan pintu. Kathy memeluk mereka sangat erat. Mereka ketakutan. 2
Ketukan pintu terus terdengar, Kathy tahu itu bukan kedua orang tua anak-anak asuhnya, karena mereka akan kembali beberapa jam lagi. Lalu terdengar suara dari luar. "Tolong aku.... Tolong aku...." Kathy tidak tahu apa yang harus ia lakukan.
Tetapi akhirnya "Aku akan membiarkannya masuk. Dia membutuhkan bantuan." ujar Kathy.
Melewati tengah malam, kedua orang tua itu tiba di rumah. Mereka mendapatkan keadaan rumah mereka sunyi dan gelap. Mereka masuk ke dalam ruang tamu dan menyalakan lampu. Seketika itu juga mereka mendapatkan pemandangan yang begitu mengerikan.
Kathy dan kedua anak mereka telah terbunuh dengan tangan dan kaki yang terpotong-potong. Dan mereka mendapati dinding rumah mereka tertulis beberapa kata dengan darah.
Tulisan itu mengatakan "Tolong aku sebelum aku membunuh lagi. Aku tidak bisa mengontrol diriku."
Bad cat
"Ayah, mengapa Whiskers selalu meninggalkan tikus mati di depan rumah kita?" Tanya putriku yang manis dengan polosnya. 9
Aku senang sekali dengan rasa ingin tahunya yang besar. "Begini sayang, penjelasannya agak lucu. Kucing tak mengerti bahwa kita manusia tidak berburu seperti mereka, jadi mereka membawa tikus-tikus kemari untuk membantu kita karena berpikir bahwa kita adalah kucing yang payah."
Kemudian, aku mengantar gadis mungilku tidur lalu kukecup keningnya dan kedua matanya mulai terpejam. Setelah itu aku kembali ke pekerjaanku untuk menyempurnakan rencana besarku. Malam ini adalah saatnya. Malam dimana aku akan menuntut balas pada si brengsek yang telah merenggut nyawa ibu putriku dari kami. Ku selesaikan susunan rencanaku, menyiapkan peralatan, lalu pergi menuju rumahnya.
Namun dia tak ada. Aku tak mengerti-aku sudah mengawasi setiap gerak-geriknya dengan seksama. Seharusnya dia ada di sini. Akhirnya aku putuskan untuk kembali, merasa frustasi dan bingung, mulai meratapi nasib istriku lagi atas ketidakadilan hukum yang menampar kami. Dengan lunglai aku membuka pintu rumah.
Dan aku melihat lelaki itu.
Atau setidaknya, mayat lelaki itu. Tergeletak kaku di lantai. Seseorang menusuknya sampai mati, namun genangan darahnya sudah dibersihkan. Tanpa kekacauan sedikitpun. Otakku mulai dipenuhi kabut kebingungan, kesedihan, dan kemurkaan. Hingga kemudian aku mendengar pintu kamar putriku berderit membuka.
"Jangan khawatir ayah, aku tahu ayah memang payah dalam hal ini, jadi aku ingin membantu ayah."
Aku senang sekali dengan rasa ingin tahunya yang besar. "Begini sayang, penjelasannya agak lucu. Kucing tak mengerti bahwa kita manusia tidak berburu seperti mereka, jadi mereka membawa tikus-tikus kemari untuk membantu kita karena berpikir bahwa kita adalah kucing yang payah."
Kemudian, aku mengantar gadis mungilku tidur lalu kukecup keningnya dan kedua matanya mulai terpejam. Setelah itu aku kembali ke pekerjaanku untuk menyempurnakan rencana besarku. Malam ini adalah saatnya. Malam dimana aku akan menuntut balas pada si brengsek yang telah merenggut nyawa ibu putriku dari kami. Ku selesaikan susunan rencanaku, menyiapkan peralatan, lalu pergi menuju rumahnya.
Namun dia tak ada. Aku tak mengerti-aku sudah mengawasi setiap gerak-geriknya dengan seksama. Seharusnya dia ada di sini. Akhirnya aku putuskan untuk kembali, merasa frustasi dan bingung, mulai meratapi nasib istriku lagi atas ketidakadilan hukum yang menampar kami. Dengan lunglai aku membuka pintu rumah.
Dan aku melihat lelaki itu.
Atau setidaknya, mayat lelaki itu. Tergeletak kaku di lantai. Seseorang menusuknya sampai mati, namun genangan darahnya sudah dibersihkan. Tanpa kekacauan sedikitpun. Otakku mulai dipenuhi kabut kebingungan, kesedihan, dan kemurkaan. Hingga kemudian aku mendengar pintu kamar putriku berderit membuka.
"Jangan khawatir ayah, aku tahu ayah memang payah dalam hal ini, jadi aku ingin membantu ayah."
The Peephole
Seorang gadis bernama Donna yang berumur 15 tahun tinggal bersama ayahnya di sebuah rumah kecil di pinggiran kota. Semenjak ibunya meninggal, Donna selalu mengandalkan ayahnya untuk segala urusannya. Mereka memiliki hubungan yang harmonis dan saling menyayangi satu sama lain. 7
Suatu pagi, ayah Donna pergi untuk perjalanan bisnis. Saat mereka sarapan, ayah Donna berkata jika dia akan pulang larut malam. Setelah itu, ia mencium kening anaknya, mengambil tas, dan kemudian berjalan keluar dari rumah. 1
Kemudian pada hari itu, ketika Donna pulang dari sekolah, ia mengerjakan beberapa pekerjaan rumah dan menonton TV. Ketika tengah malam, ayahnya masih belum pulang sehingga ia memutuskan untuk pergi ke tempat tidur. 1
Pada malam itu ia mengalami sebuah mimpi. Dia melihat bahwa dirinya sedang berdiri di tepi jalan raya yang begitu sibuk. Mobil dan truk melaju dengan kecepatan tinggi. Dia memandang ke seberang jalan dan melihat sosok seseorang yang sepertinya ia kenal. Itu adalah ayahya, tanganya seperti membentuk sebuah corong disekitar mulutnya dan tampaknya ia berteriak ke pada Donna, tetapi dia tidak bisa mendengar apapun. 2
Saat mobil-mobil melaju dengan sangat cepat, ia berusaha mendengar apa yang ayahnya katakan. Mata ayahnya begitu sedih. Dia tampak sangat putus asa untuk mengatakan kepadanya. Dia berhasil mendengar beberapa kata dari ayahnya: "Jangan..... buka..... pintunya!!!"
Tiba-tiba, Donna terbangun dari mimpinya oleh suatu suara yang aneh.
Tap Tap Tap.
Kemudian ada seseorang yang membunyikan bel di lantai bawah.
Ding ding ding.
Dia bergegas bangun dan langsung memakai sendal tidurnya. Kemudian, dengan hanya menggunakan baju tidurnya ia bergegas menuruni tangga menuju pintu depan.
Dia kemudian mengintip melalui lubang pintu untuk mengecek. Ia melihat ayahnya sedang berdiri di luar sambil terus menatap kepadanya. Sedangkan, bel pintu terus berdering.
"Ok, tunggu! Aku datang!", teriaknya.
Dia kemudian membuka kunci pintu dan hendak membuka pintu, sampai ia berhenti. 10
Ia kembali mengintip ayahnya melalui lubang pintu. Sesuatu tentang ekspresi ayahnya terlihat janggal, matanya terbuka lebar, sepertinya ia sangat ketakutan.
Dia kembali mengunci pintu rumahnya.
"Ayah!" teriaknya dari balik pinut, "Apakah kau lupa kuncimu?" 1
Ding ding ding.
"Ayah, jawab aku!!"
Ding ding ding.
"Ayah, tolonglah! Aku perlu kau menjawab ku!"
Ding ding ding.
"Apakah ada orang lain, bersamamu?"
Ding ding ding.
"Kenapa kau tidak menjawab ku?"
Ding ding ding. 55
"Aku tidak mau membukakan pintu, sampai kau menjawab ku!"
Bel pintu terus berdering dan berdering, tetapi untuk beberapa alasan ayahnya menolak untuk menjawab teriakan putus asa dari anaknya. 2
Selama sisa malam, gadis yang ketakutan itu terus menerus meringkuk di sudut lorong, tak berdaya sambil terus menerus mendengar bel dari pintu yang terus menerus dibunyikan. Tampaknya hal itu sudah berlangsung selama beberapa jam, dan akhirnya ia terlelap kedalam tidur yang begitu gelisah.
Saat fajar tiba, ia terbangun dan sadar bahwa segalanya begitu tenang. Dia merangkak ke pintu depan dan kemudian melihat melalui lubang pintu. Ayahnya masih ada disana, terus menatap kepadanya.
Dia dengan sangat hati-hati membuka pintu dan dihadapkan dengan sebuah pemandangan yang begitu mengerikan.
Kepala ayahnya tergantung dari paku yang berada diatas pintu. Ada sebuah catatan yang melekat di bel pintu. 67
Disitu tertulis: "Gadis pintar!"
Suatu pagi, ayah Donna pergi untuk perjalanan bisnis. Saat mereka sarapan, ayah Donna berkata jika dia akan pulang larut malam. Setelah itu, ia mencium kening anaknya, mengambil tas, dan kemudian berjalan keluar dari rumah. 1
Kemudian pada hari itu, ketika Donna pulang dari sekolah, ia mengerjakan beberapa pekerjaan rumah dan menonton TV. Ketika tengah malam, ayahnya masih belum pulang sehingga ia memutuskan untuk pergi ke tempat tidur. 1
Pada malam itu ia mengalami sebuah mimpi. Dia melihat bahwa dirinya sedang berdiri di tepi jalan raya yang begitu sibuk. Mobil dan truk melaju dengan kecepatan tinggi. Dia memandang ke seberang jalan dan melihat sosok seseorang yang sepertinya ia kenal. Itu adalah ayahya, tanganya seperti membentuk sebuah corong disekitar mulutnya dan tampaknya ia berteriak ke pada Donna, tetapi dia tidak bisa mendengar apapun. 2
Saat mobil-mobil melaju dengan sangat cepat, ia berusaha mendengar apa yang ayahnya katakan. Mata ayahnya begitu sedih. Dia tampak sangat putus asa untuk mengatakan kepadanya. Dia berhasil mendengar beberapa kata dari ayahnya: "Jangan..... buka..... pintunya!!!"
Tiba-tiba, Donna terbangun dari mimpinya oleh suatu suara yang aneh.
Tap Tap Tap.
Kemudian ada seseorang yang membunyikan bel di lantai bawah.
Ding ding ding.
Dia bergegas bangun dan langsung memakai sendal tidurnya. Kemudian, dengan hanya menggunakan baju tidurnya ia bergegas menuruni tangga menuju pintu depan.
Dia kemudian mengintip melalui lubang pintu untuk mengecek. Ia melihat ayahnya sedang berdiri di luar sambil terus menatap kepadanya. Sedangkan, bel pintu terus berdering.
"Ok, tunggu! Aku datang!", teriaknya.
Dia kemudian membuka kunci pintu dan hendak membuka pintu, sampai ia berhenti. 10
Ia kembali mengintip ayahnya melalui lubang pintu. Sesuatu tentang ekspresi ayahnya terlihat janggal, matanya terbuka lebar, sepertinya ia sangat ketakutan.
Dia kembali mengunci pintu rumahnya.
"Ayah!" teriaknya dari balik pinut, "Apakah kau lupa kuncimu?" 1
Ding ding ding.
"Ayah, jawab aku!!"
Ding ding ding.
"Ayah, tolonglah! Aku perlu kau menjawab ku!"
Ding ding ding.
"Apakah ada orang lain, bersamamu?"
Ding ding ding.
"Kenapa kau tidak menjawab ku?"
Ding ding ding. 55
"Aku tidak mau membukakan pintu, sampai kau menjawab ku!"
Bel pintu terus berdering dan berdering, tetapi untuk beberapa alasan ayahnya menolak untuk menjawab teriakan putus asa dari anaknya. 2
Selama sisa malam, gadis yang ketakutan itu terus menerus meringkuk di sudut lorong, tak berdaya sambil terus menerus mendengar bel dari pintu yang terus menerus dibunyikan. Tampaknya hal itu sudah berlangsung selama beberapa jam, dan akhirnya ia terlelap kedalam tidur yang begitu gelisah.
Saat fajar tiba, ia terbangun dan sadar bahwa segalanya begitu tenang. Dia merangkak ke pintu depan dan kemudian melihat melalui lubang pintu. Ayahnya masih ada disana, terus menatap kepadanya.
Dia dengan sangat hati-hati membuka pintu dan dihadapkan dengan sebuah pemandangan yang begitu mengerikan.
Kepala ayahnya tergantung dari paku yang berada diatas pintu. Ada sebuah catatan yang melekat di bel pintu. 67
Disitu tertulis: "Gadis pintar!"
The Beauty Queen
Saudara perempuanku, Sarah, hilang seminggu yang lalu. Ibuku tidak pergi ke polisi. Kami belum memasang poster pencarian kehilangan. Kami tidak mencari dia sama sekali. Itu semua karna kami tahu betul dimana dia sekarang.
Tetangga kami berpikir kami tidak peduli soal Sarah. Mereka pikir kami tidak melakukan sesuatu yang cukup untuk menemukannya. Beberapa orang menyebar rumor bahwa kami membunuh nya dan menguburkan mayatnya di suatu tempat. Lainnya menduga bahwa kami menyembunyikannya di basement.
Mereka semua salah. Tidak ada mayat dan dia tidak disembunyikan, tapi tak seorangpun akan menemukannya. Aku ingin memberitahukan mereka tentang apa yang terjadi, tapi mereka tidak akan pernah mempercayaiku.
Ada sebuah botol parfum kosong di meja rias di kamar ibuku. Aku tidak pernah tahu kenapa dia menaruh itu disana. Sepanjang waktu aku bisa mengingat, itu tetap ada disana.
Ibuku dulunya adalah ratu kecantikan. Dia dimahkotai ajang Miss Virginia tahun 1990. Dia memutar vidionya untuk kami berkali-kali. Dia terlihat sempurna, berdiri di atas panggung dengan rambut coklat panjangnya, mata hijau besarnya, gigi-gigi nya yang sempurna dan gaunnya yg berkilauan.
Dia bernyanyi "God Bless America." Dia memukau semuanya. Dia menjawab semua pertanyaan juri dengan jawaban yang lembut dan senyuman yang bersinar.
"Jika aku punya satu permintaan, aku ingin meminta kedamaian dunia," katanya. "Aku ingin membuat seluruh dunia berpegangan tangan, karna kau tak bisa membuat kepalan tangan ketika kalian berpegangan tangan."
Dia terlihat seperti perempuan Amerika yang sempurna. Dia terlihat seperti...Amerika. Dia terlihat seperti patriotisme, idealisme, dan permen karet merah muda, semua digulung menjadi satu.
Ibuku membuat kami menonton vidio itu terus menerus sampai kami memiliki ingatan setiap garisnya. Ibuku tahu semua cara tentang berlaku sempurna dan menginginkan kami untuk belajar menjadi sempurna seperti dirinya.
Dia memenangkan kompetisi dan dimahkotakan sebagai Miss Virginia tahun itu, tapi ketika itu berubah menjadi kontes Miss America, dia tidak mendapat tempat di top 20 konsestan. Itu membuat karirnya sebagai ratu kecantikan terhenti.
Dua tahun setelah itu, dia bertemu Ayahku. Setahun kemudian, mereka menikah. Setelah itu, Sarah lahir. Dua tahun kemudian, sesaat sebelum aku lahir, Ayahku pergi dan tak pernah kembali. Sarah tidak ingat bagaimana rupanya. Aku tidak pernah bertemu dengannya. Sudah lama Ibuku menyingkirkan semua fotonya.
Sarah dua tahun lebih tua dariku. Dia selalu menjadi keutamaan. Dia mendapat semua perhatian. Dia punya rambut pirang yang panjang dan mata biru yang bersinar. Dia punya kulit putih pucat, kulit susu. Dan warna kesukaannya adalah merah muda. Dia selalu menaruh senyum di wajahnya. Dia belajar bagaimana cara menurunkan cemberut nya sedikit demi sedikit. Ibuku punya ide besar untuk Sarah. Dia menginginkan Sarah untuk menjadi ratu kecantikan, sama seperti dirinya.
Itu semua dimulai saat ulang tahun Sarah yang ke-13. Dia meniup lilin dan memotong kue.
"Kau terlihat gemuk," kata Ibuku kepadanya. "Kita harus membuatmu diet."
Sarah tidak memakan satupun kue ulang tahun di hari itu. Setelah itu, dia menghabiskan banyak waktunya untuk menatap dirinya sendiri di cermin kamar mandi.
"Lihat pipi gemuk itu," kata Ibuku. "Kau harus menurunkan berat badan."
Aku tidak berpikir Sarah gemuk, tapi aku tidak berani untuk menentang Ibuku. Setelah semuanya terjadi, dia adalah ratu kecantikan.
"Lihat paha itu," Ibuku berkata kepadanya. "Itu menjijikan. Kau akan menjadi tumpukan lemak."
Beberapa minggu kemudian, Ibuku berkata kepada Sarah bahwa dia harus berhenti ikut makan bersama. Saudariku setuju. Anak perempuan selalu mendengarkan perkataan Ibu mereka.
Ibuku mengambil kontrol penuh dari 'program diet' saudariku. Dia mulai memberi makan saudariku dengan sesendok penuh jelly merah muda di setiap makanannya. Dia bilang itu mengandung hampir 0 kalori.
Sarah cepat kehilangan berat badannya. Beberapa bulan setelah itu, dia begitu kurus dan rapuh. Dia kelaparan. Tubuhnya tidak mengolah apa-apa. Dia merasa pusing ketika mencoba untuk berdiri. Jelly diet itu berlangsung selama sebulan, sampai Sarah merasa sangat lemah dan tidak bisa keluar dari tempat tidurnya.
Satu pagi, aku mendengar Saudariku memanggilku.
"Helen," ratapnya, "Aku meleleh."
Aku berlari menuju kamarnya dan melihat jari-jarinya mencuat di sprei. Aku melihat ada cairan pekat merah muda disana, mengalir keluar dari sisi tempat tidur, menetes ke lantai. Ketika aku menarik spreinya, aku terkejut melihat tubuhnya perlahan-lahan berubah menjadi jelly merah muda. Kedua tangannya meleleh bersamaan. Dia terlihat seperti putri duyung.
Bibir tipis Sarah membentuk senyuman lemah.
"Aku merasa sangat cantik," bisiknya. "Sangat sangat cantik..."
Aku berlari menuruni tangga untuk menjemput Ibu kami. Dia buru-buru menaiki tangga namun ketika memasuki kamar Sarah, dia tidak terlihat terkejut sama sekali.
"Bantu aku untuk memindahkannya," kata Ibuku.
Bersama, kami menyendok Sarah sebisa kami dan membawa nya ke kamar mandi. Ibuku mengisi penuh tub mandi dengan air hangat dan berhati-hati melarutkan Saudariku ke dalamnya.
Kami berlutut disamping tub untuk sementara, menonton Saudariku larut kedalamnya. Segera, tidak ada yang pergi kecuali gaun malam yang kosong mengambang di cairan berwarna merah muda itu.
Ibuku melihatku dan berkata, "Pergi ambil botol parfum di meja riasku."
Disanalah Saudariku sekarang.
Setiap hari, aku menyelinap ke kamar Ibuku dan menatap botol parfum itu. Itu terlihat sangat cantik. Cairan merah muda di dalamnya berputar dengan anggun dan gelembung merah muda nampak muncul di atasnya. Jika aku mengocoknya begitu cepat, aku hampir bisa membayangkan bagaimana indahnya wajah Saudariku berputar-putar dalam cairan.
"Itu jalan terbaik," kata Ibuku. "Sekarang, dia akan selalu menjadi muda dan cantik..."
Pagi ini, ketika aku menyelinap ke kamar Ibuku, untuk melihat sisa Saudariku, disanalah terletak botol parfum kosong lain di samping nya, ada di meja rias.
Tetangga kami berpikir kami tidak peduli soal Sarah. Mereka pikir kami tidak melakukan sesuatu yang cukup untuk menemukannya. Beberapa orang menyebar rumor bahwa kami membunuh nya dan menguburkan mayatnya di suatu tempat. Lainnya menduga bahwa kami menyembunyikannya di basement.
Mereka semua salah. Tidak ada mayat dan dia tidak disembunyikan, tapi tak seorangpun akan menemukannya. Aku ingin memberitahukan mereka tentang apa yang terjadi, tapi mereka tidak akan pernah mempercayaiku.
Ada sebuah botol parfum kosong di meja rias di kamar ibuku. Aku tidak pernah tahu kenapa dia menaruh itu disana. Sepanjang waktu aku bisa mengingat, itu tetap ada disana.
Ibuku dulunya adalah ratu kecantikan. Dia dimahkotai ajang Miss Virginia tahun 1990. Dia memutar vidionya untuk kami berkali-kali. Dia terlihat sempurna, berdiri di atas panggung dengan rambut coklat panjangnya, mata hijau besarnya, gigi-gigi nya yang sempurna dan gaunnya yg berkilauan.
Dia bernyanyi "God Bless America." Dia memukau semuanya. Dia menjawab semua pertanyaan juri dengan jawaban yang lembut dan senyuman yang bersinar.
"Jika aku punya satu permintaan, aku ingin meminta kedamaian dunia," katanya. "Aku ingin membuat seluruh dunia berpegangan tangan, karna kau tak bisa membuat kepalan tangan ketika kalian berpegangan tangan."
Dia terlihat seperti perempuan Amerika yang sempurna. Dia terlihat seperti...Amerika. Dia terlihat seperti patriotisme, idealisme, dan permen karet merah muda, semua digulung menjadi satu.
Ibuku membuat kami menonton vidio itu terus menerus sampai kami memiliki ingatan setiap garisnya. Ibuku tahu semua cara tentang berlaku sempurna dan menginginkan kami untuk belajar menjadi sempurna seperti dirinya.
Dia memenangkan kompetisi dan dimahkotakan sebagai Miss Virginia tahun itu, tapi ketika itu berubah menjadi kontes Miss America, dia tidak mendapat tempat di top 20 konsestan. Itu membuat karirnya sebagai ratu kecantikan terhenti.
Dua tahun setelah itu, dia bertemu Ayahku. Setahun kemudian, mereka menikah. Setelah itu, Sarah lahir. Dua tahun kemudian, sesaat sebelum aku lahir, Ayahku pergi dan tak pernah kembali. Sarah tidak ingat bagaimana rupanya. Aku tidak pernah bertemu dengannya. Sudah lama Ibuku menyingkirkan semua fotonya.
Sarah dua tahun lebih tua dariku. Dia selalu menjadi keutamaan. Dia mendapat semua perhatian. Dia punya rambut pirang yang panjang dan mata biru yang bersinar. Dia punya kulit putih pucat, kulit susu. Dan warna kesukaannya adalah merah muda. Dia selalu menaruh senyum di wajahnya. Dia belajar bagaimana cara menurunkan cemberut nya sedikit demi sedikit. Ibuku punya ide besar untuk Sarah. Dia menginginkan Sarah untuk menjadi ratu kecantikan, sama seperti dirinya.
Itu semua dimulai saat ulang tahun Sarah yang ke-13. Dia meniup lilin dan memotong kue.
"Kau terlihat gemuk," kata Ibuku kepadanya. "Kita harus membuatmu diet."
Sarah tidak memakan satupun kue ulang tahun di hari itu. Setelah itu, dia menghabiskan banyak waktunya untuk menatap dirinya sendiri di cermin kamar mandi.
"Lihat pipi gemuk itu," kata Ibuku. "Kau harus menurunkan berat badan."
Aku tidak berpikir Sarah gemuk, tapi aku tidak berani untuk menentang Ibuku. Setelah semuanya terjadi, dia adalah ratu kecantikan.
"Lihat paha itu," Ibuku berkata kepadanya. "Itu menjijikan. Kau akan menjadi tumpukan lemak."
Beberapa minggu kemudian, Ibuku berkata kepada Sarah bahwa dia harus berhenti ikut makan bersama. Saudariku setuju. Anak perempuan selalu mendengarkan perkataan Ibu mereka.
Ibuku mengambil kontrol penuh dari 'program diet' saudariku. Dia mulai memberi makan saudariku dengan sesendok penuh jelly merah muda di setiap makanannya. Dia bilang itu mengandung hampir 0 kalori.
Sarah cepat kehilangan berat badannya. Beberapa bulan setelah itu, dia begitu kurus dan rapuh. Dia kelaparan. Tubuhnya tidak mengolah apa-apa. Dia merasa pusing ketika mencoba untuk berdiri. Jelly diet itu berlangsung selama sebulan, sampai Sarah merasa sangat lemah dan tidak bisa keluar dari tempat tidurnya.
Satu pagi, aku mendengar Saudariku memanggilku.
"Helen," ratapnya, "Aku meleleh."
Aku berlari menuju kamarnya dan melihat jari-jarinya mencuat di sprei. Aku melihat ada cairan pekat merah muda disana, mengalir keluar dari sisi tempat tidur, menetes ke lantai. Ketika aku menarik spreinya, aku terkejut melihat tubuhnya perlahan-lahan berubah menjadi jelly merah muda. Kedua tangannya meleleh bersamaan. Dia terlihat seperti putri duyung.
Bibir tipis Sarah membentuk senyuman lemah.
"Aku merasa sangat cantik," bisiknya. "Sangat sangat cantik..."
Aku berlari menuruni tangga untuk menjemput Ibu kami. Dia buru-buru menaiki tangga namun ketika memasuki kamar Sarah, dia tidak terlihat terkejut sama sekali.
"Bantu aku untuk memindahkannya," kata Ibuku.
Bersama, kami menyendok Sarah sebisa kami dan membawa nya ke kamar mandi. Ibuku mengisi penuh tub mandi dengan air hangat dan berhati-hati melarutkan Saudariku ke dalamnya.
Kami berlutut disamping tub untuk sementara, menonton Saudariku larut kedalamnya. Segera, tidak ada yang pergi kecuali gaun malam yang kosong mengambang di cairan berwarna merah muda itu.
Ibuku melihatku dan berkata, "Pergi ambil botol parfum di meja riasku."
Disanalah Saudariku sekarang.
Setiap hari, aku menyelinap ke kamar Ibuku dan menatap botol parfum itu. Itu terlihat sangat cantik. Cairan merah muda di dalamnya berputar dengan anggun dan gelembung merah muda nampak muncul di atasnya. Jika aku mengocoknya begitu cepat, aku hampir bisa membayangkan bagaimana indahnya wajah Saudariku berputar-putar dalam cairan.
"Itu jalan terbaik," kata Ibuku. "Sekarang, dia akan selalu menjadi muda dan cantik..."
Pagi ini, ketika aku menyelinap ke kamar Ibuku, untuk melihat sisa Saudariku, disanalah terletak botol parfum kosong lain di samping nya, ada di meja rias.
Red Flavor
"Hallo 911"
"Maaf, kau salah sambung." ujar Abigel
"Tunggu, tunggu sebentar.. jangan tutup telfonnya. Bisakah... bisakah kau menolongku? Ku mohon."
"Menolong apa?" tanya Abigel.
"Aku.. aku sedang di sekap di sebuah rumah, aku ingin kabur tapi tak bisa. Tolonglah aku. Aku takut."
suara tangis terdengar dari sebrang telfon, Abigel mengiba.
"Aku akan telfon Polisi." ujar Abigel.
"Tidak, tunggu! Jangan tutup telfonnya. Aku mohon, aku ketakutan."
"Tapi, aku akan.."
"Jangan ku mohon, jangan tutup telfonnya." selanya.
"Baiklah, dimana posisimu sekarang?
aku akan memberitahu Polisi menggunakan telfon rumahku." ujar Abigel.
"Aku sekarang berada di dalam lemari pakaian milik penculik tersebut. Cepatlah tolong aku, disini gelap. Aku terluka. Luka di kakiku begitu parah, darah terus mengalir. Aku takut persembunyianku diketahui olehnya."
"Kau tau alamat dimana kau berada?" tanya Abigel.
"Entahlah, aku.. aku tak tau. Kau bisa melacak ku menggunakan gps milikmu?"
"Akan ku lihat sebentar." ujar Abigel.
Abigel melihat layar ponselnya, memeriksa gps si penelfon.
Ia tercekat ketika melihat lokasi si penelfon.
"Ini.. alamat rumahku."
Abigel mematikan telfonnya dan berlari menuju kamarnya.
Ia begitu shock.
"Tenang Abigel, mungkin itu hanya seseorang yang sedang mengerjaimu." gumam Abigel.
Ia mencoba menenangkan dirinya dan berbaring diranjangnya.
Tik tik tik
Suara tetesan air mengganggunya.
Ia bangkit dari ranjangnya dan memeriksa kamar mandi.
"Aneh sekali, kerannya tidak bocor. Apa di luar hujan?" gumamnya heran.
Ia melihat keluar jendela, tapi cuaca cerah ketika itu.
Tik tik tik
Ia mencoba menulusuri rumah, mencari suara itu berasal.
Ia melihat genangan merah dibawah lemarinya.
Air berwarna merah menetes dari celah pintu lemari.
Abigel mencoba membukanya, ia hampir berteriak ketika melihat isi lemari miliknya.
Seorang pria sedang mengirisi kakinya sendiri di dalam lemari seraya menggemgam ponsel.
"Mengapa kau memuntuskan telfonnya?" ujar pria itu menatap tajam Abigel.
Abigel seakan membeku, terdiam terkejut.
Pria itu mencoba mendekati Abigel.
Abigel dengan reflek menutup pintu lemari dan menguncinya.
Pria itu berteriak, "Keluarkan aku, bukankah kau mau menolongku!"
Abigel mencoba menghubungi Polisi, mereka bilang akan datang 20 menit lagi.
Pria itu berteriak, memberontak di dalam lemari.
Ia cukup kuat untuk menjebol pintu lemari.
Dengan nafas yang memburu, ia mencari Abigel.
...
"Red flavor, kau penasaran sayang?
Rasanya seperti stroberi yang meleleh ketika kau menggigitnya." ujar pria tersebut seraya menggigiti tangannya yang terluka.
"mmmph.." jerit Abigel tertahan karena selotip yang membekap mulutnya.
"Yang paling aku suka adalah rasa musim panas.
Aku ingin tidur di bawah pohon palem, saat angin musim panas bertiup"
Abigel menangis, wajahnya merah padam.
"Kita 19 tahun, mudah jatuh cinta.
Kita berdua lucu dan keren juga.
Aku menyukaimu, cinta pada pandangan pertamaku.. Abigel.
Aku terus memikirkanmu.
Aku ingin pergi kemamapun aku mau."
Pria tersebut menyeret Abigel ke belakang rumah.
"Aku membuka pintu dengan tujuh warna pelangi.
Duniamu mengagumkan, menakjubkan sekali."
Pria itu mengambil silet, dan menyileti Abigel, tepat dilokasi jantungnya.
"Warna cintamu lebih merah dari matahari.
Aku akan menerimanya, aku ingin melakukan apa yang aku mau."
Wajah Abigel memucat, tatkala sebuah silet menggores kulitnya.
"Lihatlah aku, apa yang kau pikirkan?
Apa yang bisa kita lakukan hari ini?
Aku bayangkan apa yang aku mau." ujar pria tersebut dan mengecup lembut Abigel.
...
Sirine mobil Polisi berbunyi.
Polisi datang dan menemukan kedua mayat bersandar di Pohon.
Sebuah kalimat tertulis di tembok belakang rumah...
"Red Flavor."
"Maaf, kau salah sambung." ujar Abigel
"Tunggu, tunggu sebentar.. jangan tutup telfonnya. Bisakah... bisakah kau menolongku? Ku mohon."
"Menolong apa?" tanya Abigel.
"Aku.. aku sedang di sekap di sebuah rumah, aku ingin kabur tapi tak bisa. Tolonglah aku. Aku takut."
suara tangis terdengar dari sebrang telfon, Abigel mengiba.
"Aku akan telfon Polisi." ujar Abigel.
"Tidak, tunggu! Jangan tutup telfonnya. Aku mohon, aku ketakutan."
"Tapi, aku akan.."
"Jangan ku mohon, jangan tutup telfonnya." selanya.
"Baiklah, dimana posisimu sekarang?
aku akan memberitahu Polisi menggunakan telfon rumahku." ujar Abigel.
"Aku sekarang berada di dalam lemari pakaian milik penculik tersebut. Cepatlah tolong aku, disini gelap. Aku terluka. Luka di kakiku begitu parah, darah terus mengalir. Aku takut persembunyianku diketahui olehnya."
"Kau tau alamat dimana kau berada?" tanya Abigel.
"Entahlah, aku.. aku tak tau. Kau bisa melacak ku menggunakan gps milikmu?"
"Akan ku lihat sebentar." ujar Abigel.
Abigel melihat layar ponselnya, memeriksa gps si penelfon.
Ia tercekat ketika melihat lokasi si penelfon.
"Ini.. alamat rumahku."
Abigel mematikan telfonnya dan berlari menuju kamarnya.
Ia begitu shock.
"Tenang Abigel, mungkin itu hanya seseorang yang sedang mengerjaimu." gumam Abigel.
Ia mencoba menenangkan dirinya dan berbaring diranjangnya.
Tik tik tik
Suara tetesan air mengganggunya.
Ia bangkit dari ranjangnya dan memeriksa kamar mandi.
"Aneh sekali, kerannya tidak bocor. Apa di luar hujan?" gumamnya heran.
Ia melihat keluar jendela, tapi cuaca cerah ketika itu.
Tik tik tik
Ia mencoba menulusuri rumah, mencari suara itu berasal.
Ia melihat genangan merah dibawah lemarinya.
Air berwarna merah menetes dari celah pintu lemari.
Abigel mencoba membukanya, ia hampir berteriak ketika melihat isi lemari miliknya.
Seorang pria sedang mengirisi kakinya sendiri di dalam lemari seraya menggemgam ponsel.
"Mengapa kau memuntuskan telfonnya?" ujar pria itu menatap tajam Abigel.
Abigel seakan membeku, terdiam terkejut.
Pria itu mencoba mendekati Abigel.
Abigel dengan reflek menutup pintu lemari dan menguncinya.
Pria itu berteriak, "Keluarkan aku, bukankah kau mau menolongku!"
Abigel mencoba menghubungi Polisi, mereka bilang akan datang 20 menit lagi.
Pria itu berteriak, memberontak di dalam lemari.
Ia cukup kuat untuk menjebol pintu lemari.
Dengan nafas yang memburu, ia mencari Abigel.
...
"Red flavor, kau penasaran sayang?
Rasanya seperti stroberi yang meleleh ketika kau menggigitnya." ujar pria tersebut seraya menggigiti tangannya yang terluka.
"mmmph.." jerit Abigel tertahan karena selotip yang membekap mulutnya.
"Yang paling aku suka adalah rasa musim panas.
Aku ingin tidur di bawah pohon palem, saat angin musim panas bertiup"
Abigel menangis, wajahnya merah padam.
"Kita 19 tahun, mudah jatuh cinta.
Kita berdua lucu dan keren juga.
Aku menyukaimu, cinta pada pandangan pertamaku.. Abigel.
Aku terus memikirkanmu.
Aku ingin pergi kemamapun aku mau."
Pria tersebut menyeret Abigel ke belakang rumah.
"Aku membuka pintu dengan tujuh warna pelangi.
Duniamu mengagumkan, menakjubkan sekali."
Pria itu mengambil silet, dan menyileti Abigel, tepat dilokasi jantungnya.
"Warna cintamu lebih merah dari matahari.
Aku akan menerimanya, aku ingin melakukan apa yang aku mau."
Wajah Abigel memucat, tatkala sebuah silet menggores kulitnya.
"Lihatlah aku, apa yang kau pikirkan?
Apa yang bisa kita lakukan hari ini?
Aku bayangkan apa yang aku mau." ujar pria tersebut dan mengecup lembut Abigel.
...
Sirine mobil Polisi berbunyi.
Polisi datang dan menemukan kedua mayat bersandar di Pohon.
Sebuah kalimat tertulis di tembok belakang rumah...
"Red Flavor."
Luka
Darah di dinding. Di pahaku, bajuku, lalu lantai, di dalam bak mandi, juga di wajahku, dan di rambutku. Di mana-mana.
Menatap nanar kedua tangan yang berlumuran darah, aku lalu mengusap wajah menggunakan tanganku yang lengket dan berbau besi ini. Meski gemetaran, aku selalu merasa ini semua belum cukup. Kemudian aku meraba-raba lantai, mengambil cutter yang belum lama aku letakan.
Mengangkat bagian bawah baju untuk kumasukkan ke dalam mulut sendiri. Lantas cutter itu mulai aku gunakan kembali. Menyayat. Menciptakan garis luka lebih panjang lagi di tangan kiri. Di bagian dalam lenganku.
"E-emmh! Nggh!"
Mengerang, merintih sendirian. Sobekan pada luka itu terasa amat memilukan. Perih. Dan tangan kiriku terjatuh lemas begitu saja. Padahal aku pernah mendapatkan luka yang lebih parah dari ini. Kenapa kali ini aku begitu lemah?
Tak
Cutter yang kupegang terlepas. Luka yang baru saja kubuat aku remas, membiarkan darahnya mengalir lebih banyak lagi. Karena semakin banyak darah yang keluar, akan semakin cepat untukku menuntaskan penderitaan ini. Tapi...
"Ngggh! Eemmh!"
Andai tidak ada baju yang menyumpal mulut, suaraju jeritanku pasti sudah terdengar hingga ke kamar sebelah. Dan aku tidak mau itu terjadi. Jangan sampai ada orang lain yang mengetahui penderitaanku. Biar aku sendiri yang melakukannya.
Bajuku aku lepaskan dari mulut. Dengan pandangan yang kian memburam sebab kepalaku mulai dilanda pusing, aku berusaha berdiri. Aku menyentuh dinding menggunakan tangan kanan, sedangkan tangan kiriku terlalu basah dan nyeri untuk kugerakkan. Namun ketika baru setengah tubuh yang terangkat, ruangan yang kutempati saat ini justru mendadak berputar. Warna merah tampak di sana-sini. Lalu saat coba melangkah menggunakan satu kakiku, aku justru terpleset oleh basah dan licinnya lantai. Kepalaku membentur sisi keramik bak mandi, menggantikan sensasi pusing dengan rasa sakit berkali lipat.
Semuanya bertambah merah. Tubuhku sudah tidak dapat aku gerakan sama sekali. Apa sekarang aku boleh menangis?
Jika setelah ini aku masih tetap hidup, apa itu artinya usahaku sia-sia? Alasan apa lagi yang kumiliki untuk mengatasi masalah yang kulalui di sini?
Kumohon, aku hanya ingin hidup dengan tenang.
--
Aku membuka mata sewaktu merasakan pukulan keras yang mengenai pipi. Nyeri muncul di bagian kepala, lalu tangan, kemudian kaki. Eh, aku kenapa? Apa yang terjadi? Ini di mana? Aku tak ingat terjatuh di posisi senyaman ini dengan tempat yang terlihat bersih dan juga...
Aku terkesiap begitu pandanganku mengarah ke sisi ranjang. Seketika saja aku berusaha menjauh, tetapi seluruh tubuhku yang didera rasa sakit membuatku tak berkutik. Mata itu melotot sampai memerah padaku, tampak mengerikan.
Aku lebih takut padanya ketimbang pada kematian.
"Apa kau berniat bunuh diri hah?"
PLAK!
Luka di kepalaku dipukulnya. Membuat rambutku terasa basah. Pandangan di sekitarku memburam, ruangan ini berputar. Efek dari rasa sakit ini sungguh luar biasa.
Tolong, bunuh saja aku.
Dia menyibak selimut. Aku mengintip, sedikit dapat melihatnya yang kelihatan tidak suka memperhatikan kondisi kakiku yang tersisa. Yang penuh dengan luka sayatan juga lebam-lebam.
BUGH! BAKK!
"ARRGHH!"
Aku tidak tahu sejak kapan dia memegangi tongkat baseball. Yang pasti pukulannya pada lengan kiriku pasti telah berhasil membuatnya remuk. Sprei putih ini langsung berubah merah, karena darah ini juga mulai merembes kembali.
Dia menyibak seluruh selimut, dan aku berjengkit takut melihat senyumannya.
"Tidak! Aku mohon jangan lagi! TIDAK!"
Aku berteriak. Ingin menjauh, tetapi tubuhku tidak dapat bergerak. Menggeleng sekuat tenaga, mengabaikan segala rasa sakit yang ada, aku pun menjerit begitu suara gergaji mesin terdengar tak jauh dari sini.
"Kenapa harus aku? Apa salah tubuhku? Seharusnya jika memang kalian ingin memasak aku, bunuh saja aku. Tolong..." merintih dan memohon. Sadar ini tak berguna, untuk apa aku mencoba?
Dia menjambak rambutku...
"ARRRGGH!"
...menariknya sekuat tenaga, mencabut beberapa helai rambut dari kepalaku. Bahkan aku yakin kulit kepala pun ikut terbawa. Tidak bisa kah dia berhenti?
"Itu maumu?"
Aku mengerang. Airmataku entah sejak kapan membasahi pipi. Meski begitu, tetap tidak menutupi penglihatanku dari sosok algojo yang membawa gergaji mesin itu kian mendekat ke ranjang. Sebentar lagi, akan ada potongan kedua dari tubuhku yang diambil.
Potongan pertama adalah kaki kananku yang hanya menyisakan paha. Masih ingat ketika pisau raksasa itu ditancap, ditusukan lalu digerakan berulang kali di atas kakiku. Aku lupa, yang pertama-tama mereka lakukan terlebih dahulu adalah meremukkan tulang lulutku menggunakan palu besar yang panas. Menjalarkan sensasi perih, panas, sekaligus ngilu. Kulit kakiku dikelupas, hingga kemudian salah satu bagian tubuhku itu benar-benar terpisah dariku.
Aku kelelahan menjerit dan menangis. Kehausan dan kelaparan. Tak berselang berapa lama setelah kakiku dibalut untuk mencegah pendarahan, mereka menyajikan makanan serta minuman.
"Kau tidak boleh sampai mati," katanya seraya meletakkan nampan yang berisi gelas dengan minuman berwarna merah. Juga daging goreng yang beraroma lezat, masih hangat. "Makanlah. Masih ada banyak bagian tubuhmu yang harus kami sajikan. Kami belum menemukan stok cadangan," lanjutnya dengan tatapan tajam mengerikan. Seolah aku tidak boleh membantah titahnya.
"Kenapa aku?"
Dia menyiram wajahku menggunakan air dari gelas. Membuat aroma darah di sekitarku bertambah pekat. Tunggu, ini darah?
"Tidak usah banyak tanya! Cepat makan saja daging kakimu itu!"
Sepeninggalannya, aku dengan gemetaran menyentuh daging hangat yang tersaji di nampan ini. Terisak-isak, aku meremasnya lantas mendekapnya erat.
"Kakiku yang malang. Kakiku..." racauku bagai berduka.
Aku merengsek memajukan badan, menempelkan daging kakiku di depan pahaku yang buntung. Dan ini tidak cukup. Bagian kakiku masih kurang. Bawakan lebih banyak lagi. Kembalikan kakiku.
"Kalau sudah begini, bagaimana aku akan berjalan? Bagaimana aku bisa melarikan diri?"
Dan setelah ini, sebelah kakiku akan benar-benar hilang seutuhnya. Aku tahu dia akan memotong bagian pahaku yang masih mulus dan gemuk. Lihat, gergaji mesin itu akan digunakan segera di sana.
"Potong perutnya!"
Apa?
Kedua mataku melotot mendengar hal itu. Sebelum aku sempat berteriak, gergaji mesin itu sudah mengacak-ngacak kulit serta bagian dalam perutku. Darahku menyiprat kemana-mana. Ususku pasti telah tercerai berai. Aku mulai kesulitan bernapas. Luka ini membuatku hancur lebur.
Lalu ketika akhirnya aku merasakan tubuh di bagian bawah dadaku telah kosong, aku tahu aku akhirnya mati.
Aku senang. Dengan begini aku tidak akan pernah merasakan luka apapun lagi. Semoga sajian dari potongan tubuhku bisa dinikmati. Karena aku baru teringat, bahwa daging goreng kakiku sungguh lezat.
Sekarang aku tahu mengapa mereka memilihku. Setidaknya, aku jadi bisa mati dengan tenang.
THE END
Menatap nanar kedua tangan yang berlumuran darah, aku lalu mengusap wajah menggunakan tanganku yang lengket dan berbau besi ini. Meski gemetaran, aku selalu merasa ini semua belum cukup. Kemudian aku meraba-raba lantai, mengambil cutter yang belum lama aku letakan.
Mengangkat bagian bawah baju untuk kumasukkan ke dalam mulut sendiri. Lantas cutter itu mulai aku gunakan kembali. Menyayat. Menciptakan garis luka lebih panjang lagi di tangan kiri. Di bagian dalam lenganku.
"E-emmh! Nggh!"
Mengerang, merintih sendirian. Sobekan pada luka itu terasa amat memilukan. Perih. Dan tangan kiriku terjatuh lemas begitu saja. Padahal aku pernah mendapatkan luka yang lebih parah dari ini. Kenapa kali ini aku begitu lemah?
Tak
Cutter yang kupegang terlepas. Luka yang baru saja kubuat aku remas, membiarkan darahnya mengalir lebih banyak lagi. Karena semakin banyak darah yang keluar, akan semakin cepat untukku menuntaskan penderitaan ini. Tapi...
"Ngggh! Eemmh!"
Andai tidak ada baju yang menyumpal mulut, suaraju jeritanku pasti sudah terdengar hingga ke kamar sebelah. Dan aku tidak mau itu terjadi. Jangan sampai ada orang lain yang mengetahui penderitaanku. Biar aku sendiri yang melakukannya.
Bajuku aku lepaskan dari mulut. Dengan pandangan yang kian memburam sebab kepalaku mulai dilanda pusing, aku berusaha berdiri. Aku menyentuh dinding menggunakan tangan kanan, sedangkan tangan kiriku terlalu basah dan nyeri untuk kugerakkan. Namun ketika baru setengah tubuh yang terangkat, ruangan yang kutempati saat ini justru mendadak berputar. Warna merah tampak di sana-sini. Lalu saat coba melangkah menggunakan satu kakiku, aku justru terpleset oleh basah dan licinnya lantai. Kepalaku membentur sisi keramik bak mandi, menggantikan sensasi pusing dengan rasa sakit berkali lipat.
Semuanya bertambah merah. Tubuhku sudah tidak dapat aku gerakan sama sekali. Apa sekarang aku boleh menangis?
Jika setelah ini aku masih tetap hidup, apa itu artinya usahaku sia-sia? Alasan apa lagi yang kumiliki untuk mengatasi masalah yang kulalui di sini?
Kumohon, aku hanya ingin hidup dengan tenang.
--
Aku membuka mata sewaktu merasakan pukulan keras yang mengenai pipi. Nyeri muncul di bagian kepala, lalu tangan, kemudian kaki. Eh, aku kenapa? Apa yang terjadi? Ini di mana? Aku tak ingat terjatuh di posisi senyaman ini dengan tempat yang terlihat bersih dan juga...
Aku terkesiap begitu pandanganku mengarah ke sisi ranjang. Seketika saja aku berusaha menjauh, tetapi seluruh tubuhku yang didera rasa sakit membuatku tak berkutik. Mata itu melotot sampai memerah padaku, tampak mengerikan.
Aku lebih takut padanya ketimbang pada kematian.
"Apa kau berniat bunuh diri hah?"
PLAK!
Luka di kepalaku dipukulnya. Membuat rambutku terasa basah. Pandangan di sekitarku memburam, ruangan ini berputar. Efek dari rasa sakit ini sungguh luar biasa.
Tolong, bunuh saja aku.
Dia menyibak selimut. Aku mengintip, sedikit dapat melihatnya yang kelihatan tidak suka memperhatikan kondisi kakiku yang tersisa. Yang penuh dengan luka sayatan juga lebam-lebam.
BUGH! BAKK!
"ARRGHH!"
Aku tidak tahu sejak kapan dia memegangi tongkat baseball. Yang pasti pukulannya pada lengan kiriku pasti telah berhasil membuatnya remuk. Sprei putih ini langsung berubah merah, karena darah ini juga mulai merembes kembali.
Dia menyibak seluruh selimut, dan aku berjengkit takut melihat senyumannya.
"Tidak! Aku mohon jangan lagi! TIDAK!"
Aku berteriak. Ingin menjauh, tetapi tubuhku tidak dapat bergerak. Menggeleng sekuat tenaga, mengabaikan segala rasa sakit yang ada, aku pun menjerit begitu suara gergaji mesin terdengar tak jauh dari sini.
"Kenapa harus aku? Apa salah tubuhku? Seharusnya jika memang kalian ingin memasak aku, bunuh saja aku. Tolong..." merintih dan memohon. Sadar ini tak berguna, untuk apa aku mencoba?
Dia menjambak rambutku...
"ARRRGGH!"
...menariknya sekuat tenaga, mencabut beberapa helai rambut dari kepalaku. Bahkan aku yakin kulit kepala pun ikut terbawa. Tidak bisa kah dia berhenti?
"Itu maumu?"
Aku mengerang. Airmataku entah sejak kapan membasahi pipi. Meski begitu, tetap tidak menutupi penglihatanku dari sosok algojo yang membawa gergaji mesin itu kian mendekat ke ranjang. Sebentar lagi, akan ada potongan kedua dari tubuhku yang diambil.
Potongan pertama adalah kaki kananku yang hanya menyisakan paha. Masih ingat ketika pisau raksasa itu ditancap, ditusukan lalu digerakan berulang kali di atas kakiku. Aku lupa, yang pertama-tama mereka lakukan terlebih dahulu adalah meremukkan tulang lulutku menggunakan palu besar yang panas. Menjalarkan sensasi perih, panas, sekaligus ngilu. Kulit kakiku dikelupas, hingga kemudian salah satu bagian tubuhku itu benar-benar terpisah dariku.
Aku kelelahan menjerit dan menangis. Kehausan dan kelaparan. Tak berselang berapa lama setelah kakiku dibalut untuk mencegah pendarahan, mereka menyajikan makanan serta minuman.
"Kau tidak boleh sampai mati," katanya seraya meletakkan nampan yang berisi gelas dengan minuman berwarna merah. Juga daging goreng yang beraroma lezat, masih hangat. "Makanlah. Masih ada banyak bagian tubuhmu yang harus kami sajikan. Kami belum menemukan stok cadangan," lanjutnya dengan tatapan tajam mengerikan. Seolah aku tidak boleh membantah titahnya.
"Kenapa aku?"
Dia menyiram wajahku menggunakan air dari gelas. Membuat aroma darah di sekitarku bertambah pekat. Tunggu, ini darah?
"Tidak usah banyak tanya! Cepat makan saja daging kakimu itu!"
Sepeninggalannya, aku dengan gemetaran menyentuh daging hangat yang tersaji di nampan ini. Terisak-isak, aku meremasnya lantas mendekapnya erat.
"Kakiku yang malang. Kakiku..." racauku bagai berduka.
Aku merengsek memajukan badan, menempelkan daging kakiku di depan pahaku yang buntung. Dan ini tidak cukup. Bagian kakiku masih kurang. Bawakan lebih banyak lagi. Kembalikan kakiku.
"Kalau sudah begini, bagaimana aku akan berjalan? Bagaimana aku bisa melarikan diri?"
Dan setelah ini, sebelah kakiku akan benar-benar hilang seutuhnya. Aku tahu dia akan memotong bagian pahaku yang masih mulus dan gemuk. Lihat, gergaji mesin itu akan digunakan segera di sana.
"Potong perutnya!"
Apa?
Kedua mataku melotot mendengar hal itu. Sebelum aku sempat berteriak, gergaji mesin itu sudah mengacak-ngacak kulit serta bagian dalam perutku. Darahku menyiprat kemana-mana. Ususku pasti telah tercerai berai. Aku mulai kesulitan bernapas. Luka ini membuatku hancur lebur.
Lalu ketika akhirnya aku merasakan tubuh di bagian bawah dadaku telah kosong, aku tahu aku akhirnya mati.
Aku senang. Dengan begini aku tidak akan pernah merasakan luka apapun lagi. Semoga sajian dari potongan tubuhku bisa dinikmati. Karena aku baru teringat, bahwa daging goreng kakiku sungguh lezat.
Sekarang aku tahu mengapa mereka memilihku. Setidaknya, aku jadi bisa mati dengan tenang.
THE END
The Black
Dapat kulihat dengan jelas tubuh orang tuaku yang bersimbah darah di depanku. Aku menangis, tenggelam dalam rasa sedih yang mendalam.
Tak sanggup aku menatapnya. Kecelakaan beruntun itu merenggut nyawa mereka begitu saja.
"Oh Tuhan, di mana Kau berada ? Aku ingin bicara dengan-Mu! Kumohon, berilah mereka kesempatan untuk hidup satu kali lagi! Aku menyayangi mereka, tolong, tolonglah aku.." beberapa potong kalimat kuucap berulang - ulang pada udara hampa, dengan nada putus asa.
Tiba - tiba, sebuah sosok hitam raksasa mendekatiku.
"I-Inikah wujudmu?"
"Jadilah pengikutku. Mengabdilah padaku." sahutnya datar tanpa menjawab pertanyaanku.
"Berjanjilah kau akan menghidupkan mereka kembali."
Seketika, pemandangan sekitarku berubah menjadi hamparan padang rumput yang luas. Makhluk hitam itu berdiri tepat di depanku.
"Selamat datang."
"Di-Di mana aku?! Di mana orang tuaku?!"
"Tenanglah. Mereka selamat, tetapi tidak denganmu."
Tak sanggup aku menatapnya. Kecelakaan beruntun itu merenggut nyawa mereka begitu saja.
"Oh Tuhan, di mana Kau berada ? Aku ingin bicara dengan-Mu! Kumohon, berilah mereka kesempatan untuk hidup satu kali lagi! Aku menyayangi mereka, tolong, tolonglah aku.." beberapa potong kalimat kuucap berulang - ulang pada udara hampa, dengan nada putus asa.
Tiba - tiba, sebuah sosok hitam raksasa mendekatiku.
"I-Inikah wujudmu?"
"Jadilah pengikutku. Mengabdilah padaku." sahutnya datar tanpa menjawab pertanyaanku.
"Berjanjilah kau akan menghidupkan mereka kembali."
Seketika, pemandangan sekitarku berubah menjadi hamparan padang rumput yang luas. Makhluk hitam itu berdiri tepat di depanku.
"Selamat datang."
"Di-Di mana aku?! Di mana orang tuaku?!"
"Tenanglah. Mereka selamat, tetapi tidak denganmu."
DON'T OPEN THE DOOR
Suatu malam, aku sedang membaca buku sendirian di rumah saat ponselku menerima pesan. Aku tidak mengenal pengirimnya. Tertulis :
'Jangan buka pintunya!'
Aku berniat menghapus pesan itu karena kukira hanya lelucon. Kemudian kudengar suara ketukan pintu depan.
Tok - tok.
Aku bergegas menuruni tangga. Itu pasti orangtuaku. Tiba - tiba, ponselku berdering lagi. Pesan lain dari pengirim yang sama.
'Ini tetanggamu. Aku ingin memperingatkanmu bahwa ada pembunuh berantai yang kabur dan berpura - pura menjadi polisi! Jangan buka pintunya demi keselamatanmu!'
Aku membeku. Kudengar suara dari balik pintu.
"Ini polisi! Buka pintunya dan biarkan aku masuk!"
Aku mengingat pesan tadi dan tetap diam di tempatku berdiri.
"Aku tahu kau ada di dalam! Biarkan aku masuk!"
Aku mulai menjauhi pintu itu. Aku terlalu takut untuk melakukan sesuatu.
"Biarkan aku masuk! Ada pembunuh berantai yang sedang berkeliaran!" dia terus mengatakannya sembari mengetuk pintu keras - keras.
Aku bersembunyi di dapur dengan pisau di tangan sebagai pertahanan. Syukurlah, sepertinya orang yang berada di sisi lain pintu itu menyerah dan mengira rumah ini sedang kosong. Suara ketukan pintu itu berangsur - angsur menghilang.
Kemudian, ponselku menerima sebuah pesan baru.
'Karena polisinya sudah pergi, kita bisa bersenang - senang!!'
'Jangan buka pintunya!'
Aku berniat menghapus pesan itu karena kukira hanya lelucon. Kemudian kudengar suara ketukan pintu depan.
Tok - tok.
Aku bergegas menuruni tangga. Itu pasti orangtuaku. Tiba - tiba, ponselku berdering lagi. Pesan lain dari pengirim yang sama.
'Ini tetanggamu. Aku ingin memperingatkanmu bahwa ada pembunuh berantai yang kabur dan berpura - pura menjadi polisi! Jangan buka pintunya demi keselamatanmu!'
Aku membeku. Kudengar suara dari balik pintu.
"Ini polisi! Buka pintunya dan biarkan aku masuk!"
Aku mengingat pesan tadi dan tetap diam di tempatku berdiri.
"Aku tahu kau ada di dalam! Biarkan aku masuk!"
Aku mulai menjauhi pintu itu. Aku terlalu takut untuk melakukan sesuatu.
"Biarkan aku masuk! Ada pembunuh berantai yang sedang berkeliaran!" dia terus mengatakannya sembari mengetuk pintu keras - keras.
Aku bersembunyi di dapur dengan pisau di tangan sebagai pertahanan. Syukurlah, sepertinya orang yang berada di sisi lain pintu itu menyerah dan mengira rumah ini sedang kosong. Suara ketukan pintu itu berangsur - angsur menghilang.
Kemudian, ponselku menerima sebuah pesan baru.
'Karena polisinya sudah pergi, kita bisa bersenang - senang!!'
Trap Letter
Di Berlin, setelah Perang Dunia II, sedang terjadi krisis moneter. Persediaan makanan langka, kelaparan di mana - mana. Pada saat itu, orang - orang sering bercerita tentang wanita yang dihentikan langkahnya oleh seorang pria buta.
Mereka berdua mulai berbicara. Pria itu meminta bantuan.
"Bisakah kau mengantarkan surat ini ke alamat yang ada di amplop?"
Karena sejalan dengan arah rumahnya, wanita itu menyanggupinya. Saat ia akan mengantar surat itu, ia berbalik sebentar, barangkali ada hal lain yang pria buta itu butuhkan. Namun pria buta itu malah pergi dengan terburu - buru, tanpa menggunakan kacamata hitam atau tongkatnya. Tentu saja wanita itu curiga. Ia pun pergi ke kantor polisi.
Saat polisi mendatangi alamat yang ada di amplop itu, mereka menemukan sesuatu yang mengejutkan; 3 tukang daging mengumpulkan daging manusia dan menjualnya pada mereka yang kelaparan.
Dan apa yang ada di dalam amplopnya? Sebuah catatan, bertuliskan; 'Dialah yang terakhir kukirimkan padamu hari ini.'
Mereka berdua mulai berbicara. Pria itu meminta bantuan.
"Bisakah kau mengantarkan surat ini ke alamat yang ada di amplop?"
Karena sejalan dengan arah rumahnya, wanita itu menyanggupinya. Saat ia akan mengantar surat itu, ia berbalik sebentar, barangkali ada hal lain yang pria buta itu butuhkan. Namun pria buta itu malah pergi dengan terburu - buru, tanpa menggunakan kacamata hitam atau tongkatnya. Tentu saja wanita itu curiga. Ia pun pergi ke kantor polisi.
Saat polisi mendatangi alamat yang ada di amplop itu, mereka menemukan sesuatu yang mengejutkan; 3 tukang daging mengumpulkan daging manusia dan menjualnya pada mereka yang kelaparan.
Dan apa yang ada di dalam amplopnya? Sebuah catatan, bertuliskan; 'Dialah yang terakhir kukirimkan padamu hari ini.'
That man was fired because he had killed 3 people
Waktu itu aku habis berbelanja bersama ibuku, kemudian kami bertemu dengan mantan rekan kerja ibuku dulu, pria itu memperkenalkan dirinya sambil menjabat tanganku dengan sangat ramah.
Pria itu dan ibuku lalu berbincang-bincang sebentar. Setelah beberapa saat, dia pergi, ibuku bilang, "Pria itu dipecat karena dulu ia telah membunuh 3 orang."
Aku merasa takut selama 5 menit ke depan sampai aku ingat, kalau profesi ibuku adalah dokter bedah.
Pria itu dan ibuku lalu berbincang-bincang sebentar. Setelah beberapa saat, dia pergi, ibuku bilang, "Pria itu dipecat karena dulu ia telah membunuh 3 orang."
Aku merasa takut selama 5 menit ke depan sampai aku ingat, kalau profesi ibuku adalah dokter bedah.
Kittens
Suatu hari ada seekor kucing milik seorang gadis kecil telah melahirkan dan akhirnya punya beberapa anak kucing, tapi anak-anak kucing itu menghilang setelah beberapa hari mereka dilahirkan. Si gadis pun bertanya kepada ibunya "apa yang terjadi pada mereka, Bu?". Ibunya hanya berkata, "Tuhan mengambil mereka, sayang."
Beberapa bulan kemudian, kucing milik gadis kecil itu melahirkan lagi. Ibunya lalu menyuruhnya untuk membantu mengerjakan beberapa tugas rumah, tapi sebelum ia lekas pergi membantu ibunya, gadis kecil itu mendengar suara langkah kaki mendekat yang tak lain adalah ayahnya; yang sedang membawa ember penuh berisikan air. Gadis itu bersembunyi sambil melihat ayahnya memasukkan anak-anak kucing miliknya ke dalam karung, lalu menenggelamkannya di ember penuh air tadi.
Setelah itu, si gadis pun bertanya kembali ke ibunya "apa yang terjadi pada mereka, Bu?". Ibunya hanya menjawab, "Tuhan mengambil mereka, sayang."
Beberapa hari kemudian, ibunya meminta tolong agar si gadis kecil itu mengawasi adiknya yang sedang mandi di bathtub, sementara si ibu mengangkat telepon yang berdering. Beberapa saat kemudian ibunya kembali dan menjerit, ia melihat anak laki-lakinya mengapung dengan wajah telungkup di bathtub (mati). Gadis itu melihat ke wajah ibunya seraya berkata, "Tuhan mengambilnya, Bu."
The Sound of Silence
Setelah menjalani seumur hidupnya sebagai seorang tuna rungu, sahabat baikku akhirnya mendapatkan implan koklea. Saat terbangun setelah operasi, kami semua mengerumuninya. Istrinya, adalah orang pertama yang bicara dengannya. Saat mendengar suara orang yang paling ia cintai itu, sahabatku tak bisa membendung tangis bahagia. Kami kemudian berbicara dengannya secara bergantian, mengenalkan suara kami padanya, dan atas setiap kata yang keluar, dia semakin emosional. Wajar, bagi seorang yang tuli seumur hidupnya, bisa mendengar suara-suara merupakan sebuah pengalaman yang menguras haru. Saat kami semua selesai, yang tersisa adalah keheningan belaka.
Dia kemudian menatapaku dan menanyakan suara apa yang sedang ia dengarkan. Butuh waktu untuk mengerti suara apa yang ia maksudkan, dan saat aku paham, kukatakan padanya bahwa dia sedang mendengarkan keheningan.
Dia menggeleng. “Hening tidak seperti ini,” katanya lirih, seolah hendak meresapi dan mengenali sauaranya sendiri untuk yang pertama kali. “Seumur hidup, tak ada hal lain yang kudengarkn selain hening. Yang ini berbeda.”
Sebuah suara terdengar dari luar ruangan, mendengarnya, sahabatku ini sontak menegakkan badan. “Itu dia! Bukankah keheningan adalah suara yang seperti itu?”
Yang ada di ruangan saling melempar pandang cemas, dan berbagai ekspresi lain yang susah diterka sebelum kemudian, aku angkat bicara.
“Bukan,” kataku lirih. “Yang barusan itu adalah suara jeritan.”
Dia kemudian menatapaku dan menanyakan suara apa yang sedang ia dengarkan. Butuh waktu untuk mengerti suara apa yang ia maksudkan, dan saat aku paham, kukatakan padanya bahwa dia sedang mendengarkan keheningan.
Dia menggeleng. “Hening tidak seperti ini,” katanya lirih, seolah hendak meresapi dan mengenali sauaranya sendiri untuk yang pertama kali. “Seumur hidup, tak ada hal lain yang kudengarkn selain hening. Yang ini berbeda.”
Sebuah suara terdengar dari luar ruangan, mendengarnya, sahabatku ini sontak menegakkan badan. “Itu dia! Bukankah keheningan adalah suara yang seperti itu?”
Yang ada di ruangan saling melempar pandang cemas, dan berbagai ekspresi lain yang susah diterka sebelum kemudian, aku angkat bicara.
“Bukan,” kataku lirih. “Yang barusan itu adalah suara jeritan.”
School Broadcast
Ini terjadi di sebuah sekolah dasar di Jepang. Suatu pagi, setelah jam 10:00 pagi, sistem pengumuman sekolah tiba-tiba terdengar dan suara aneh muncul dari loudspeaker.
Itu terdengar seperti suara wanita, rendah dan hampir tidak terdengar. Tidak ada yang bisa mendengar apa yang dikatakan wanita itu, namun sepertinya dia mengucapkan kata-kata yang sama berulang kali. Suara yang monoton dan menakutkan itu terdengar di seluruh penjuru sekolah.
Beberapa anak kecil takut dan mulai menangis. Guru-guru mencoba menenangkan mereka.
Beberapa anak yang lebih tua mendengar dengan seksama dan berpikir mereka bisa mendengar beberapa kata. Itu terdengar seperti:
“…eez …ook …ill …zee …eez …ook …ill …zee…”
Salah satu guru (guru kelas 3 SD) meninggalkan kelas dan berjalan menuju ke ruang pengumuman untuk melihat apa yang terjadi.
Beberapa menit kemudian, suara itu berhenti dan loudspeakernya berhenti. Kepala sekolah dan beberapa guru pergi ke ruang pengumuman dan bertanya pada guru kelas 3 SD tentang situasinya, tapi dia hanya berkata, "Tidak ada yang membuat pengumuman. Ruangan ini kosong."
Kepala sekolah memutuskan bahwa itu pasti hanya keusilan seseorang atau kenakalan lainnya. Seseorang pasti menyelinap ke dalam ruang pengumuman dan memutar rekaman. Dia memutuskan untuk mengunci pintu ruangan itu saat tidak digunakan untuk mencegah terjadinya kejadian seperti ini di masa depan.
Tetapi, setelah itu, kejadian aneh mulai terjadi.
Sehari setelah kejadian itu, guru kelas 3 SD itu absen dari sekolah. Kepala sekolah bilang guru itu sakit. Guru itu tidak pernah kembali ke sekolah lagi dan ada yang mengatakan dia terpaksa tidak datang karena kondisi kesehatannya.
Beberapa murid kelas 3 SD khawatir tentang guru mereka dan mencoba membuat surat untuknya, tetapi tidak pernah ada balasan. Salah satu dari mereka menemukan nomor telepon guru itu dan mencoba menelponnya, tapi tidak ada yang menjawab. Teleponnya hanya berbunyi dan terus berbunyi.
Sebuah rumor mulai menyebar bahwa guru itu sakit jiwa dan sekarang ada di rumah sakit.
Semua murid bertanya-tanya apa yang dikatakan oleh suara misterius dari pengumuman sekolah saat itu.
“…eez …ook …ill …zee …eez …ook …ill …zee…”
Ada banyak jenisnya. Semua orang sepertinya mendengarnya berbeda-beda. Beberapa murid bilang mereka mendengar yang ini, yang lain bilang dia mendengar yang itu. Meskipun, ada beberapa murid yang setuju inilah yang mereka dengar:
“Tolong jangan lihat... Kamu akan jadi gila.” (plEEZ don't lOOK you wILL go craZEE)
Itu terdengar seperti suara wanita, rendah dan hampir tidak terdengar. Tidak ada yang bisa mendengar apa yang dikatakan wanita itu, namun sepertinya dia mengucapkan kata-kata yang sama berulang kali. Suara yang monoton dan menakutkan itu terdengar di seluruh penjuru sekolah.
Beberapa anak kecil takut dan mulai menangis. Guru-guru mencoba menenangkan mereka.
Beberapa anak yang lebih tua mendengar dengan seksama dan berpikir mereka bisa mendengar beberapa kata. Itu terdengar seperti:
“…eez …ook …ill …zee …eez …ook …ill …zee…”
Salah satu guru (guru kelas 3 SD) meninggalkan kelas dan berjalan menuju ke ruang pengumuman untuk melihat apa yang terjadi.
Beberapa menit kemudian, suara itu berhenti dan loudspeakernya berhenti. Kepala sekolah dan beberapa guru pergi ke ruang pengumuman dan bertanya pada guru kelas 3 SD tentang situasinya, tapi dia hanya berkata, "Tidak ada yang membuat pengumuman. Ruangan ini kosong."
Kepala sekolah memutuskan bahwa itu pasti hanya keusilan seseorang atau kenakalan lainnya. Seseorang pasti menyelinap ke dalam ruang pengumuman dan memutar rekaman. Dia memutuskan untuk mengunci pintu ruangan itu saat tidak digunakan untuk mencegah terjadinya kejadian seperti ini di masa depan.
Tetapi, setelah itu, kejadian aneh mulai terjadi.
Sehari setelah kejadian itu, guru kelas 3 SD itu absen dari sekolah. Kepala sekolah bilang guru itu sakit. Guru itu tidak pernah kembali ke sekolah lagi dan ada yang mengatakan dia terpaksa tidak datang karena kondisi kesehatannya.
Beberapa murid kelas 3 SD khawatir tentang guru mereka dan mencoba membuat surat untuknya, tetapi tidak pernah ada balasan. Salah satu dari mereka menemukan nomor telepon guru itu dan mencoba menelponnya, tapi tidak ada yang menjawab. Teleponnya hanya berbunyi dan terus berbunyi.
Sebuah rumor mulai menyebar bahwa guru itu sakit jiwa dan sekarang ada di rumah sakit.
Semua murid bertanya-tanya apa yang dikatakan oleh suara misterius dari pengumuman sekolah saat itu.
“…eez …ook …ill …zee …eez …ook …ill …zee…”
Ada banyak jenisnya. Semua orang sepertinya mendengarnya berbeda-beda. Beberapa murid bilang mereka mendengar yang ini, yang lain bilang dia mendengar yang itu. Meskipun, ada beberapa murid yang setuju inilah yang mereka dengar:
“Tolong jangan lihat... Kamu akan jadi gila.” (plEEZ don't lOOK you wILL go craZEE)
Those Who Came From Mountain
Malam ini, aku menginap di rumah Bibi Marie, Bibi ku yang tinggal di lereng pergunungan. Rumah ini sudah cukup tua, dengan lantai dan pintu kayu serta pepohonan rimbun di sekitarnya yang kadang membuat sanak-saudara enggan berkunjung.
Terkecuali aku, tentunya. Dari kecil, aku sudah dekat dengan Bibi Marie. Sebelum Paman Sam meninggal, dia berpesan untuk menjaga semua yang pernah Paman Sam berikan ke Bibi Marie.
Salah satunya adalah, rumah ini.
Bibi Marie sangat menyayangi Paman Sam, oleh karna itu ia enggan bila dibujuk orangtua ku untuk pindah. Mau apapun yang ditawarkan, takkan membuat pendiriannya goyah.
Hujan turun dengan derasnya malam ini, aku enggan untuk menyalakan televisi karna takut petir menyambar. Jadi, aku habiskan waktu sebelum tidurku untuk berbincang dengan Bibi Marie.
Bibi Marie memberiku susu coklat hangat, aku tersenyum.
"Terimakasih Bibi,"
Ia balas tersenyum. Lalu sedikit menengok ke jendela, suasana gelap di luar sana terkadang membuatku merinding.
"Saat sedang seperti ini," Bibi ku mulai berbicara, ia masih melihat ke luar jendela. "Aku selalu teringat apa yang pernah terjadi padaku."
Seketika, aku penasaran.
"Ceritakan Bibi, ceritakan," kata ku membujuknya. Ia memandangku lekat.
"Sekitar sebulan yang lalu," katanya sambil menengokkan kepalanya ke atas, mengingat-ngingat.
"Aku, malam itu, sedang merajut. Malam itu, sama seperti malam ini, hujan badai yang kencang, aku sempat merasa takut karna waktu itu aku sendirian di rumah."
Bibi ku menundukan pandangannya kebawah.
"Saat itu jam 11, aku sudah selesai merajut dan akan pergi ke kamar. Tapi, niat ku itu lenyap ketika samar-samar, aku mendengar suara ketukan di pintu depan.."
Bibi melirik sedikit ke arah pintu yang ada di samping kanannya.
"Suaranya benar-benar halus, hampir tak terdengar. Awalnya, aku hendak mengacuhkannya karna kupikir itu hanya halusinasi ku saja. Namun, suara ketukan yang lebih besar terdengar kembali setelahnya, aku cukup takut, aku ingin kembali mengabaikannya tapi niat ku itu hilang ketika aku mendengar suara seseorang.."
"Apa yang dia bilang Bibi? Suaranya seperti apa?" Aku benar-benar penasaran, ku simak ceritanya, manik Bibi Marie sedikit menutup.
" 'Tolong kami, apa ada seseorang disini? Kami hampir mati. Kami benar-benar butuh pertolongan' "
Bibiku menirukan suara itu, permintaan tolong itu. Aku mulai begidik.
"Kupikir aku memang harus menolong orang itu, sesuatu di luar sana. Aku membuka pintu, dan ada dua orang, seperti pendaki yang terengah-engah, wajah mereka pucat, basah oleh air hujan."
"Mereka pendaki gunung disini, Bibi?"
"Kelihatannya," jawab Bibi "Aku mempersilahkan mereka masuk, kubuatkan mereka tehh hangat dan kuberi mereka sepiring kue. Mereka terlihat sangat pucat, anehnya, mereka cepat sekali kering."
Aku merasakan dingin di area tengkukku.
"Setelah mereka makan dan minum apa yang kuberi, aku mulai bertanya soal mereka. Mereka hanya menjawab dengan anggukan dan gelengan, kupikir mereka terlalu lelah, jadi, aku pergi ke kamar untuk mengambil beberapa bantal dan selimut, tapi..."
"Tapi?.."
"Mereka sudah tidak ada, padahal aku tak pergi lebih dari 2 menit dari sana. Pintu luar terbuka lebar, angin membuat pintu itu menjadi bising, aku benar-benar terkejut saat itu. Cepat-cepat aku menutup pintu, mengunci nya dengan gembok dan slot yang ada. Aku merasa merinding, sungguh. Saat aku melirik ke arah meja tamu, aku melihat secarik kertas kecil yang diselip di piring yang sudah kosong. 'Terimakasih atas makanannya dan kebaikannya', itu yang tertulis di kertas. Aku takut, aku buang asal kertas itu dan lari ke kamar, paginya, aku tak melihat kertas itu lagi, lenyap, bersama badai yang pergi saat malam..."
"Aku tak menghiraukan itu semua, awalnya aku ingin melupakan kejadian malam hari itu dan menjalani hari-hari tenang seperti biasa. Jadi, kunyalakan televisi dan melihat siaran memasak. Namun, siaran itu terpotong oleh breaking news yang rupanya berasal dari daerah sekitar sini, kota ini."
"Aku menyimak beritanya, dan aku benar-benar terkejut, ada dua pendaki yang hilang dan ditemukan dalam keadaan meninggal oleh polisi hutan saat malam itu, malam aku menerima tamu aneh itu. Dan saat aku melihat foto mereka, aku benar-benar yakin itu mereka! Mereka sangat mirip dengan foto yang ada di berita! Oh astaga Ariana, dan kau tahu apa bagian terseram dari semua ini?"
Aku mengangguk lemas, aku takut, tapi aku benar-benar penasaran.
"Mereka ditemukan oleh polisi hutan sekaligus malam saat mereka bertamu ke rumahku pada tanggal 16 Agustus. Sementara, pihak rumah sakit bilang, mereka sudah tak bernyawa dua hari sebelumnya, tanggal 14 Agustus. Kau percaya hantu, Ariana? Aku tak tahu yang bertamu di rumahku saat malam itu disebut hantu atau bukan."
Keadaan jadi begitu sunyi dengan suara hujan yang semakin deras. Bibi Marie bangkit dari kursi dan berjalan ke arahku, melihat kalender,
"Sekarang tanggal 16 September, wah, kenapa bisa kebetulan seperti ini ya? Ayo tidur sayang, aku tau kau ketakutan, maafkan aku," ucap Bibi Marie dengan senyum kecil. Aku mengangguk, berjalan disamping Bibi Marie ke kamar, kami ingin istirahat.
Namun, derit kayu yang terinjak di luar serta ketukan keras terdengar,
Tolong kami! Apa ada seseorang disini? Kami hampir mati. Kami benar-benar butuh pertolongan!"
Terkecuali aku, tentunya. Dari kecil, aku sudah dekat dengan Bibi Marie. Sebelum Paman Sam meninggal, dia berpesan untuk menjaga semua yang pernah Paman Sam berikan ke Bibi Marie.
Salah satunya adalah, rumah ini.
Bibi Marie sangat menyayangi Paman Sam, oleh karna itu ia enggan bila dibujuk orangtua ku untuk pindah. Mau apapun yang ditawarkan, takkan membuat pendiriannya goyah.
Hujan turun dengan derasnya malam ini, aku enggan untuk menyalakan televisi karna takut petir menyambar. Jadi, aku habiskan waktu sebelum tidurku untuk berbincang dengan Bibi Marie.
Bibi Marie memberiku susu coklat hangat, aku tersenyum.
"Terimakasih Bibi,"
Ia balas tersenyum. Lalu sedikit menengok ke jendela, suasana gelap di luar sana terkadang membuatku merinding.
"Saat sedang seperti ini," Bibi ku mulai berbicara, ia masih melihat ke luar jendela. "Aku selalu teringat apa yang pernah terjadi padaku."
Seketika, aku penasaran.
"Ceritakan Bibi, ceritakan," kata ku membujuknya. Ia memandangku lekat.
"Sekitar sebulan yang lalu," katanya sambil menengokkan kepalanya ke atas, mengingat-ngingat.
"Aku, malam itu, sedang merajut. Malam itu, sama seperti malam ini, hujan badai yang kencang, aku sempat merasa takut karna waktu itu aku sendirian di rumah."
Bibi ku menundukan pandangannya kebawah.
"Saat itu jam 11, aku sudah selesai merajut dan akan pergi ke kamar. Tapi, niat ku itu lenyap ketika samar-samar, aku mendengar suara ketukan di pintu depan.."
Bibi melirik sedikit ke arah pintu yang ada di samping kanannya.
"Suaranya benar-benar halus, hampir tak terdengar. Awalnya, aku hendak mengacuhkannya karna kupikir itu hanya halusinasi ku saja. Namun, suara ketukan yang lebih besar terdengar kembali setelahnya, aku cukup takut, aku ingin kembali mengabaikannya tapi niat ku itu hilang ketika aku mendengar suara seseorang.."
"Apa yang dia bilang Bibi? Suaranya seperti apa?" Aku benar-benar penasaran, ku simak ceritanya, manik Bibi Marie sedikit menutup.
" 'Tolong kami, apa ada seseorang disini? Kami hampir mati. Kami benar-benar butuh pertolongan' "
Bibiku menirukan suara itu, permintaan tolong itu. Aku mulai begidik.
"Kupikir aku memang harus menolong orang itu, sesuatu di luar sana. Aku membuka pintu, dan ada dua orang, seperti pendaki yang terengah-engah, wajah mereka pucat, basah oleh air hujan."
"Mereka pendaki gunung disini, Bibi?"
"Kelihatannya," jawab Bibi "Aku mempersilahkan mereka masuk, kubuatkan mereka tehh hangat dan kuberi mereka sepiring kue. Mereka terlihat sangat pucat, anehnya, mereka cepat sekali kering."
Aku merasakan dingin di area tengkukku.
"Setelah mereka makan dan minum apa yang kuberi, aku mulai bertanya soal mereka. Mereka hanya menjawab dengan anggukan dan gelengan, kupikir mereka terlalu lelah, jadi, aku pergi ke kamar untuk mengambil beberapa bantal dan selimut, tapi..."
"Tapi?.."
"Mereka sudah tidak ada, padahal aku tak pergi lebih dari 2 menit dari sana. Pintu luar terbuka lebar, angin membuat pintu itu menjadi bising, aku benar-benar terkejut saat itu. Cepat-cepat aku menutup pintu, mengunci nya dengan gembok dan slot yang ada. Aku merasa merinding, sungguh. Saat aku melirik ke arah meja tamu, aku melihat secarik kertas kecil yang diselip di piring yang sudah kosong. 'Terimakasih atas makanannya dan kebaikannya', itu yang tertulis di kertas. Aku takut, aku buang asal kertas itu dan lari ke kamar, paginya, aku tak melihat kertas itu lagi, lenyap, bersama badai yang pergi saat malam..."
"Aku tak menghiraukan itu semua, awalnya aku ingin melupakan kejadian malam hari itu dan menjalani hari-hari tenang seperti biasa. Jadi, kunyalakan televisi dan melihat siaran memasak. Namun, siaran itu terpotong oleh breaking news yang rupanya berasal dari daerah sekitar sini, kota ini."
"Aku menyimak beritanya, dan aku benar-benar terkejut, ada dua pendaki yang hilang dan ditemukan dalam keadaan meninggal oleh polisi hutan saat malam itu, malam aku menerima tamu aneh itu. Dan saat aku melihat foto mereka, aku benar-benar yakin itu mereka! Mereka sangat mirip dengan foto yang ada di berita! Oh astaga Ariana, dan kau tahu apa bagian terseram dari semua ini?"
Aku mengangguk lemas, aku takut, tapi aku benar-benar penasaran.
"Mereka ditemukan oleh polisi hutan sekaligus malam saat mereka bertamu ke rumahku pada tanggal 16 Agustus. Sementara, pihak rumah sakit bilang, mereka sudah tak bernyawa dua hari sebelumnya, tanggal 14 Agustus. Kau percaya hantu, Ariana? Aku tak tahu yang bertamu di rumahku saat malam itu disebut hantu atau bukan."
Keadaan jadi begitu sunyi dengan suara hujan yang semakin deras. Bibi Marie bangkit dari kursi dan berjalan ke arahku, melihat kalender,
"Sekarang tanggal 16 September, wah, kenapa bisa kebetulan seperti ini ya? Ayo tidur sayang, aku tau kau ketakutan, maafkan aku," ucap Bibi Marie dengan senyum kecil. Aku mengangguk, berjalan disamping Bibi Marie ke kamar, kami ingin istirahat.
Namun, derit kayu yang terinjak di luar serta ketukan keras terdengar,
Tolong kami! Apa ada seseorang disini? Kami hampir mati. Kami benar-benar butuh pertolongan!"
I MISS MY BRAIN TUMOR
Aku menatap toples dihadapanku. Dibalik dinding kacanya, mengapung di dalam cairan kental kekuningan adalah segumpal sel kanker yang balik menatapku. Selama berjam – jam aku bertanya – tanya apakah gumpalan ini memiliki pikiran sendiri. Tumor otak yang memiliki otak— kedengarannya memang gila. Aku telah membuat dokterku berjanji untuk tidak membuang gumpalan tumor itu. Paling tidak jangan sekarang. Sampai aku punya cukup waktu untuk mengucapkan selamat tinggal.
Tumor otak sangat sulit untuk dideteksi. Seperti jenis – jenis kanker lainnya, tumor otak dapat dikenali dengan berbagai macam gejala seperti rasa pusing dan sakit kepala, kejang – kejang, bahkan halusinasi. Masing – masing orang mengalami gejala yang dipengaruhi oleh banyak faktor yang tidak terbatas hanya pada ukuran otak, ukuran dan lokasi tumor itu di kepala, kebiasaan memakai obat – obatan, apakah pasien pernah mengalami cedera di kepala sebelumnya, riwayat kesehatan dan juga faktor keberuntungan. Tumor di kepalaku berada di bagian depan otakku dengan diamater sekitar 1,8 inci seperti yang dikatakan oleh dokter yang memeriksaku. Pacarku Briony beranggapan bahwa 1,8 inci adalah luar biasa besar untuk sebuah tumor.
Tidak ada riwayat kanker di keluargaku dan aku tidak pernah menduga bahwa aku akan terkena kanker. Sejujurnya aku mengira bahwa gejala – gejala yang kualami hanya bersifat sementara saja. Dalam beberapa hal, aku mungkin benar, namun apa yang kualami saat tumor itu masih berada di dalam kepalaku akan mempengaruhiku selamanya.
Gejala awal yang kualami adalah halusinasi pendengaran.
Saat itu aku sedang berbelanja di sebuah Department Store.
“Daun selada itu sepertinya sedang kelaparan.” Aku mendengar seseorang berkata.
Aku mengalihkan pandangan dari pucuk daun selada yang kupegang ke kasir di sebelahku. Wajahnya terfokus pada kain pel yang sedang digunakannya untuk membersihkan lantai.
“Maaf, anda tadi bilang apa?” tanyaku.
Dia menatapku dan aku bisa melihat pantulan wajahku yang tampak kebingungan di anting – anting yang menggantung di hidungnya.
“Apa?” dia balas bertanya.
“Tadi kau bilang apa tentang daun seladanya?” tanyaku lagi.
“Saya tidak bicara apa – apa” dia tampak kebingungan.
“Benarkah?”
“Iya. Pak, apa anda baik – baik saja? Wajah anda sangat pucat.”
“Aku...aku baik – baik saja. Kurasa aku hanya salah de—“
Sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku, semuanya menjadi gelap saat aku roboh dan pingsan.
Dalam keadaan tidak sadarkan diri aku bermimpi. Di dalam mimpiku aku sedang berlari dalam kegelapan yang sepertinya tak berujung. Sesuat usedang mengejarku tapi aku tidak tahu apa itu. Sesekali aku akan sekilas melihat mahluk itu. Siluetnya tampak seperti manusia tapi bentuk kepalanya sangat aneh. Akhirnya kakiku mulai terasa terlalu lelah untuk berlari dan aku langsung terkulai lemas dan jatuh ke lantai. Saat aku menoleh untuk melihat siapa yang mengejarku aku mendapati bahwa dia adalah kasir pusat perbelanjaan itu tapi di kepalanya tampak sebuah mulut besar yang dipenuhi oleh gigi. Rahangnya yang besar terbuka lebar dan aku merasa seakan – akan ada ratusan jarum – jarum kecil mengoyak leherku.
Lalu kegelapan kembali menutupiku, digantikan oleh cahaya putih yang membanjiri seluruh penglihatanku. Bunyi langkah kaki monster itu teragantikan oleh bunyi ‘bip bip’ dari mesin yang memonitori detak jantungku. Seorang wanita yang memakai seragam putih dan seorang wanita yang memakai gaun biru berdiri di di kiri kananku.
Wanita berseragam putih itu adalah dokter tentu saja. Dan wanita bergaun biru itu adalah Briony yang wajahnya basah oleh air mata.
Rasa kuatir mereka padaku membuat dadaku terasa sesak. Aku berusaha meyakinkan mereka bahwa aku baik –baik saja. Bahwa kadar gula di darahku terlalu rendah.
“Itu terjadi lebih sering dari yang kita duga.” Kata dokter itu.
Semua tes pemeriksaan yang dilakukannya tak satupun yang menunjukkan bahwa ada yang salah denganku. Tak seorangpun yang berpikir untuk melakukan tes pemindaian otak jadi mereka mengijinkanku pulang.
Dan sejak hari itu, gejala – gejala yang kurasakan semakin memburuk. Setiap pagi aku terbangun dengan migrain yang membuat tubuhku terasa lemas. Hampir tiap malam aku terbangun dari tidur karena mimisan yang berlangsung selama berjam – jam. Aku berusaha menyembunyikan semuanya dari Briony dan keluargaku dan meyakinkan diri bahwa ini hanya sementara. Aku tidak ingin membuat mereka kuatir dan aku yakin bahwa mimisan dan migrain ku lambat laun akan berhenti juga. Namun kenyataan sebenarnya pelan – pelan menampakkan dirinya padaku. Gejala – gejala yang kualami ditubuhku hanya sebagian kecil dari apa yang kutakutkan. Berikut adalah jurnal yang ku tulis yang berisi tentang gejala – gejala yang ku alami. Aku harus menulis nya untuk meyakinkan diriku sendiri bahwa aku tidak kehilangan akal sehatku.
31 Desember, Pesta Tahun Baru.
Salah seorang temanku mendatangiku dan berkata,
“Ayo, aku ingin menunjukkan sesuatu padamu.” Aku lalu mengikutinya dan tiba –tiba dia berseru,
“Hey! Aku ingin ke toilet, apa kau bisa memberiku sedikit privasi?”
Dia membantah bahwa dia memintaku untuk mengikutinya. Dan tak ada seorangpun yang mendengarnya berkata demikian.
9 Januari
Briony sedang merapikan tempat tidur malam itu. Aku duduk di kursi dan mengamatinya. Saat dia sedang memasang seprai, sesuatu jatuh dari kepalanya ke atas kasur. Aku hanya melihatnya selama beberapa detik tapi benda itu berwarna kehijauan dan tampak basah. Dia membentangkan seprai keseluruh tempat tidur dan menutupi benda itu. Saat aku bertanya dan membuatnya melepas lagi seprai itu, aku melihat tidak ada apa – apa di atas kasur.
19 Januari
Aku mengunjungi dosen ekonomiku di ruang kerjanya. Kami sedang membahas beberapa soal yang salah ku kerjakan pada ujian terakhir. Saat aku menatap wajahnya, aku melihat seekor lipan menukik keluar dari balik kerah bajunya dan mulai merayap ke lehernya. Aku langsung mundur dengan rasa ngeri luar biasa, membuatku hampir jatuh dari kursiku.
Kelabang itu merayap naik ke dagu dan mulutnya lalu menyelinap masuk ke dalam lubang hidungnya. Dosen ku menatapku dengan kening berkerut dan mencelaku karena bersikap aneh.
30 Januari
Bus yang mengantarku pulang berjalan dengan sangat lambat. Kami terjebak kemacetan ditengah jalan. Saat aku menyandarkan kepalaku ke jendela, aku melihat seorang pria gelandangan sedang berdiri diatas trotoar diluar bus. Dia memegang sebuah kertas yang bertuliskan “JANGAN BERKEDIP, ATAU AKU AKAN MENGHABISINYA”.
Tulisan aneh itu membuatku penasaran dan aku hanya bisa menatapnya selama beberapa saat. Pakaian yang dikenakannya sudah compang camping disana sini, aku bisa melihat bahwa kulitnya dipenuhi oleh debu dan kotoran. Walaupun demikian, wajahnya dihiasi oleh sebuah senyum lebar, dan tatapan matanya tertuju hanya padaku.
Aku mengedipkan mata. Dan saat aku membuka mata lagi, tulisan itu telah lenyap. Sekarang dia sedang memegang garpu daging besar ditangannya. Tatapan matanya yang terbelalak masih tertuju padaku dan tanpa mengalihkan pandangan dia mengangkat garpu itu mendekati lehernya lalu menancapkannya dalam – dalam disitu.
Darahnya megalir deras ke atas trotoar. Aku menoleh ke sekeliling ke arah penumpang yang lain untuk mencari tahu apakah mereka juga sedang melihat pria itu. Tapi semua orang tampak sibuk dengan telepon mereka atau koran yang sedang mereka baca.
Saat aku menoleh keluar bus lagi untuk melihat pria itu, dia sudah lenyap.
Bahkan tak ada ceceran darah sama sekali diatas trotoar.
4 Februari
Briony menelepon saat aku sedang berjalan menuju halte bus. Dia berkata bahwa aku meninggalkan buku Makro – Ekonomi ku di rak dekat dapur. Aku langsung berlari pulang ke apartemenku untuk mengambilnya. Dosenku akan menelanku hidup – hidup kalau aku lupa membawa buku itu lagi. Saat aku tiba dirumah, Briony tidak tampak dimanapun dan saat aku memeriksa riwayat panggilan di teleponku aku mendapati bahwa Briony tidak pernah meneleponku sama sekali pagi itu. Dan buku itu rupanya sudah kubawa di dalam tas ranselku.
16 Februari
Aku mendapati seorang pria berdiri di dalam kamar mandi pagi ini. Pakaian yang dikenakannya tampak koyak disana sini dan dipenuhi oleh noda – noda darah. Dia tersenyum luar biasa lebar dan ada sebuah lubang menganga di tenggorokannya. Pria itu adalah pria yang kulihat menikam dirinya sendiri diatas trotoar. Aku berusaha mengalihkan pandanganku sambil memejamkan mata berulang – ulang kali tapi dia masih tetap berdiri disana. Aku memutuskan bahwa aku tidak bisa mandi hari itu. Kurasa aku sudah mulai kehilangan akal sehatku.
17 – 22 Februari
Pria itu mulai sering muncul dimana – mana. Di dalam kamar tidurku, di dapur bahkan di dalam kelas. Dia hanya berdiri menatapku. Tapi dia bukan satu – satunya. Mayat – mayat lainnya mulai mengikutiku setiap hari. Hari ini aku diikuti oleh seorang gadis kecil yang tulang pergelangannya telah patah sedemikian rupa sehingga menekuk di balik kepalanya.
Kemarin aku melihat seorang pria yang mata dan hidungya tampak seakan – akan sudah disantap oleh binatang buas. Dan sehari sebelumnya aku diikuti oleh seorang wanita tua yang tulang belakangnya telah patah dan membuat tubuhnya membungkuk ke samping.
Mayat – mayat itu berbicara padaku. Tak ada seorangpun yang mendengar mereka kecuali aku. Mereka berbisik di telingaku dan bahkan aku masih bisa mendengar mereka walaupun aku sudah menutupi telingaku. Dari awal sejak aku mulai menulis jurnal ini, mereka sudah menyuruhku melakukan hal –hal mengerikan :
“Bunuh dirimu sendiri.”
“Gorok tenggorokanmu.”
“Tenggelamkan Briony.”
“Tikam Briony”
“Begini lebih baik.”
“Semua orang membencimu.”
“Mereka menertawaimu saat aku tidak ada.”
“Kau tidak berharga. Tidak berharga.”
“Mati Mati Mati Mati Mati Mati.”
Kurasa aku memang benar – benar sudah gila.
Pikiranku benar – benar sudah kacau saat aku menyelesaikan jurnalku. Orang – orang disekitarku terus – terusan bertanya apakah aku baik –baik saja dan bahwa aku tampak sakit. Rasa takut dan cemas berlebihan menggerogoti kepalaku dan setiap kali ada yang berbicara denganku aku tidak tahu apakah mereka benar – benar nyata atau hanya sedang berhalusinasi.
Suatu hari Briony menemukanku sedang berbaring di ujung tempat tidur dengan sebuah pisau ditanganku. Dia merasa cemas karena aku belum membalas pesannya selama beberapa jam. Aku tentu saja tidak bisa membalas pesannya karena salah satu dari mayat – mayat itu sudah mengambil teleponku. Saat Briony menemukanku aku benar – benar sudah siap untuk menghabisi diriku sendiri.
Aku hanya ingin suara – suara di dalam kepalaku berhenti.
Dia memaksa untuk membawaku ke rumah sakit. Seorang dokter spesialis langsung melakukan serangkaian test dan pemindaian otak padaku. Hasilnya menunjukkan bahwa aku memiliki sebuah tumor di bagian depan otakku. Dokter menjelaskan bahwa tumor dengan ukuran dan lokasi seperti itu dapat menyebabkan halusinasi penglihatan dan pendengaran seperti yang kualami.
Dia juga berkata bahwa akan sangat sulit bagi penderitanya untuk membedakan mana yang nyata dan tidak nyata. Mereka haus segera mengoperasiku. Dan ini adalah prosedur yang sangat beresiko. Ada kemungkinan bahwa otakku akan mengalami kerusakan permanen. Bahkan yang lebih mengerikan lagi, ada kemungkinan bahwa tumor itu sudah menyebar sampai ke bagian dalam otakku. Kalau benar demikian maka mustahil untuk mengeluarkannya dari dalam kepalaku. Bahkan apabila mereka berhasil melakukannya, masih belum bisa dipastikan apakah masih ada sisa – sisa tumor itu yang tertinggal. Dan satu – satunya cara untuk memastikannya adalah dengan menunggu dan melihat kalau – kalau gejalanya kembali lagi.
Aku tidak yakin apakah aku ingin menjalani operasi itu. Saat Briony mengetahui betapa mengerikannya gejala tumor itu, dia berkeras agar aku dioperasi. Rumah sakit lalu memasukankku dalam daftar pasien yang akan menjalani operasi keesokan harinya. Aku tidak bisa tidur malam itu memikirkan bahwa otakku mungkin akan rusak selamanya. Aku merasa takut bahwa aku mungkin tidak akan kembali normal lagi.
Briony menjagaku semalaman. Tak peduli betapa takutnya aku dan seberapa banyaknya air mataku mengalir dia tetap berkata apdaku bahwa semuanya akan baik –baik saja. Dia benar – benar sangat menyayangiku. Tidak peduli dalam keadaan seburuk apapun, dia tetap bisa bersikap tenang dan sabar. Aku tidak mungkin melewati semua ini tanpa dirinya.
Keesokan harinya dia mengantarku ke rumah sakit. Jantungku berdebar – debar membuat dadaku terasa sesak. Saat aku akhirnya terbaring lemas diatas troli, napasku benar – benar sudah tidak dapat ku kendalikan. Briony berdiri disampingku saat para petugas rumah sakit membantuku bersiap – siap untuk operasi. Dia menggenggam tanganku sambil berkata bahwa semuanya akan baik –baik saja. Saat dokter muncul dan membawaku ke ruang operasi, dia meremas tanganku dan mengecup dahiku. Dia pasti sama takutnya denganku karena aku bisa melihat matanya mulai berkaca – kaca. Sebelum aku dibawa masuk ke dalam ruang operasi aku masih sempat mendengarnya berkata “Aku mencintaimu. Semoga operasinya berjalan lancar.”
Briony adalah hal terakhir yang kupikirkan saat mereka menaruh masker menutupi wajahku. Dan saat obat bius pelan – pelan membawaku jauh ke bawah alam sadarku, aku mengucap syukur pada Tuhan karena telah membawa Briony masuk ke dalam kehidupanku.
Selama operasi berlangsung, aku bermimpi aneh. Dalam mimpiku, aku sedang berjalan menyusuri lorong di sebuah Hotel kecil. Tak peduli seberapa lamanya aku berjalan, lorong itu tampaknya tak berujung. Tak ada yang menjawab saat aku mengetuk pintu – pintu kamar sepanjang lorong itu. Hanya ada aku sendiri.
Lalu aku terbangun dengan rasa sakit luar biasa di kepalaku. Seorang suster tampak berdiri disampingku. Aku mencoba untuk berbicara tapi mulutku terasa begitu kering. Dia memberiku segelas air yang langsung ku teguk dengan rakus. Saat rasa kering di mulutku mereda, aku akhirnya bisa berbicara lagi.
“Apakah... operasinya berjalan lancar?”
“Ya, Tuan. Operasinya berlangsung dengan baik. Tumor di kepala anda berhasil kami keluarkan tanpa ada komplikasi.”
Aku langsung merasa lega, seakan – akan sebuah beban berat telah diangkat dari dadaku. Sudah berakhir. Aku merasa seperti sedang menahan napas selama beberapa bulan terakhir ini dan sekarang aku sudah bisa bernapas dengan lega lagi. Beberapa jam kemudian, suster itu memberitahu bahwa ada seseorang yang datang menjengukku. Rupanya Ibuku. Jujur saja aku merasa sedikit terkejut walaupun aku sudah memberi tahunya bahwa aku akan menjalani operasi, tapi aku tidak menyangka bahwa dia akan jauh – jauh kesini untuk menjengukku. Rumah orang tuaku berjam – jam jauhnya dari apartemenku dan aku tahu Ibuku tidak suka menyetir. Tapi aku senang luar biasa melihatnya.
Beberapa saat setelah Ibuku tiba, ayahku dan beberapa orang temanku juga datang untuk melihat keadaanku. Wajah mereka juga tampak lega dan aku hanya bisa tersenyum seakan – akan sudah berbulan – bulan lamanya aku tidak melihat mereka.
Ibuku lalu menjelaskan situasiku pada teman – temanku, tentang betapa gawatnya tumor yang kuderita dan bahkan sempat berkelakar tentang bagaimana aku mulai bertingkah seperti orang yang sudah kehilangan kewarasannya. Dan kemudian dia lalu mengucapkan sesuatu yang aneh.
“Saat dalam perjalanan ke rumah sakit, dia tampak benar – benar ketakutan!” kata Ibuku dan itu membuatku merasa aneh.
“Bagaimana Ibu bisa tahu bagaimana tampangku waktu itu?” tanyaku.
Ibuku menatapku dengan ekspresi bingung di wajahnya.
“Entahlah. Tapi kau memang tampak benar – benar ketakutan.” jawabnya.
“Bukan begitu. Bagaimana mungkin kau bisa tahu bagaimana tampangku waktu itu sedangkan kau tidak ada di dalam mobil saat aku dalam perjalanan ke rumah sakit, Bu?”
“Tentu saja aku ada disana. Menurutmu siapa yang mengantarmu ke rumah sakit?” jawab Ibuku sambil memutar bola matanya.
Tiba – tiba perutku terasa mual. Ada sesuatu yang salah. Bukan Ibuku yang mengantarkanku ke rumah sakit. Tapi Briony lah yang mengantarku.
Aku memandang sekeliling ruangan tapi Briony tidak tampak dimanapun.
“Mom, dimana Briony?”
Ibuku mengangkat bahu dan berkata dia tidak tahu. Aku lalu meminta teleponku dan dia langsung mengeluarkannya dari dalam tasnya. Ini benar – benar aneh. Aku yakin bahwa aku menitipkan teleponku pada Briony.
Beberapa menit kemudian berjalan seperti dalam mimpi. Aku memeriksa teleponku mencari pesan – pesan dari Briony. Bahkan pesan terakhir darinya tidak ada sama sekali. Namanya pun tidak terdaftar di kontakku.
Wajah semua orang tampak kuatir saat mereka menatapku. Aku berteriak memanggil perawat yang menjagaku tadi.
“Apa kau melihatku saat datang ke rumah sakit tadi pagi?” tanyaku padanya.
“Ya, Tuan. Apa anda baik –baik saja?”
“Apa kau melihat gadis yang datang bersamaku?”
“Maksudnya, ibu Anda?”
“Bukan. Gadis yang seumuran denganku. Namanya adalah Briony.”
“Yang datang tadi pagi mengantar anda kesini adalah ibu Anda."
Saat tumor itu masih berada di dalam kepalaku, aku selalu mempertanyakan segala hal yang kulihat dan kudengar. Apapun yang ku lihat bisa saja adalah halusinasi. Apapun.
Mereka lalu bercerita bahwa Ibukulah yang menemukanku terbaring di sudut tempat tidur dengan sebuah pisau ditanganku setelah dia mengemudi selama berjam – jam untuk menengok keadaanku karena aku tidak pernah membalas pesan – pesannya. Tak seorangpun ingat pernah melihat gadis bernama Briony. Teman – temanku berkata bahwa mereka jarang melihatku selama berbulan – bulan. Aku telah mengunci diri di apartemenku dan menolak untuk berbicara dengan siapapun.
Dan selama itu aku berpikir bahwa aku berada bersama – sama dengan Briony. Menghabiskan berjam – jam bercakap – cakap dengannya. Percakapan yang tidak pernah terjadi.
Briony tidak pernah ada. Satu – satunya gadis yang kucintai hanyalah sebuah ilusi. Dia tidak pernah ada.
Dia tidak pernah ada. Dia adalah segalanya bagiku dan bahkan dia tidak nyata.
Aku masih menatap gumpalan tumor di dalam toples di hadapanku. Aku sudah berpesan pada perawat untuk tidak mengizinkan siapapun masuk kedalam ruanganku. Aku perlu waktu menyendiri dengan tumor ini. Karena aku yakin disuatu tempat di dalamnya ada Briony yang sedang menungguku. Merindukanku seperti aku merindukannya. Saat aku bertanya pada dokter apakah dia bisa memasukkan tumor itu lagi ke dalam kepalaku, dia hanya tertawa. Dipikirnya aku hanya sedang bercanda.
Aku merasa seakan – akan hatiku telah hancur berkeping – keping. Yang terburuk dari semua ini adalah, setelah tumor itu berhasil diangkat dari dalam kepalaku, aku semakin sulit mengingat wajah Briony. Atau bahkan saat kami masih bersama.
Ingatanku tentangnya semakin memudar.
Aku hanya bisa berharap sekarang bahwa kanker itu sudah terlanjur menyebar jauh ke dalam kepalaku. Bahkan mungkin tumornya akan tumbuh kembali. Dan aku mungkin akan bertemu dengan Briony lagi.
Saat aku masih sakit dan dihantui oleh halusinasi – halusinasi itu, aku berharap bahwa mereka akan segera berhenti. Tapi sekarang aku berharap bahwa mereka tidak pernah lenyap. Aku tidak peduli apakah aku harus melihat semua hal – hal yang mengerikan itu lagi asalkan aku bisa melihat wajah Briony sekali saja.
Aku berharap dan berdoa agar kankerku kembali.
Tumor otak sangat sulit untuk dideteksi. Seperti jenis – jenis kanker lainnya, tumor otak dapat dikenali dengan berbagai macam gejala seperti rasa pusing dan sakit kepala, kejang – kejang, bahkan halusinasi. Masing – masing orang mengalami gejala yang dipengaruhi oleh banyak faktor yang tidak terbatas hanya pada ukuran otak, ukuran dan lokasi tumor itu di kepala, kebiasaan memakai obat – obatan, apakah pasien pernah mengalami cedera di kepala sebelumnya, riwayat kesehatan dan juga faktor keberuntungan. Tumor di kepalaku berada di bagian depan otakku dengan diamater sekitar 1,8 inci seperti yang dikatakan oleh dokter yang memeriksaku. Pacarku Briony beranggapan bahwa 1,8 inci adalah luar biasa besar untuk sebuah tumor.
Tidak ada riwayat kanker di keluargaku dan aku tidak pernah menduga bahwa aku akan terkena kanker. Sejujurnya aku mengira bahwa gejala – gejala yang kualami hanya bersifat sementara saja. Dalam beberapa hal, aku mungkin benar, namun apa yang kualami saat tumor itu masih berada di dalam kepalaku akan mempengaruhiku selamanya.
Gejala awal yang kualami adalah halusinasi pendengaran.
Saat itu aku sedang berbelanja di sebuah Department Store.
“Daun selada itu sepertinya sedang kelaparan.” Aku mendengar seseorang berkata.
Aku mengalihkan pandangan dari pucuk daun selada yang kupegang ke kasir di sebelahku. Wajahnya terfokus pada kain pel yang sedang digunakannya untuk membersihkan lantai.
“Maaf, anda tadi bilang apa?” tanyaku.
Dia menatapku dan aku bisa melihat pantulan wajahku yang tampak kebingungan di anting – anting yang menggantung di hidungnya.
“Apa?” dia balas bertanya.
“Tadi kau bilang apa tentang daun seladanya?” tanyaku lagi.
“Saya tidak bicara apa – apa” dia tampak kebingungan.
“Benarkah?”
“Iya. Pak, apa anda baik – baik saja? Wajah anda sangat pucat.”
“Aku...aku baik – baik saja. Kurasa aku hanya salah de—“
Sebelum aku sempat menyelesaikan kalimatku, semuanya menjadi gelap saat aku roboh dan pingsan.
Dalam keadaan tidak sadarkan diri aku bermimpi. Di dalam mimpiku aku sedang berlari dalam kegelapan yang sepertinya tak berujung. Sesuat usedang mengejarku tapi aku tidak tahu apa itu. Sesekali aku akan sekilas melihat mahluk itu. Siluetnya tampak seperti manusia tapi bentuk kepalanya sangat aneh. Akhirnya kakiku mulai terasa terlalu lelah untuk berlari dan aku langsung terkulai lemas dan jatuh ke lantai. Saat aku menoleh untuk melihat siapa yang mengejarku aku mendapati bahwa dia adalah kasir pusat perbelanjaan itu tapi di kepalanya tampak sebuah mulut besar yang dipenuhi oleh gigi. Rahangnya yang besar terbuka lebar dan aku merasa seakan – akan ada ratusan jarum – jarum kecil mengoyak leherku.
Lalu kegelapan kembali menutupiku, digantikan oleh cahaya putih yang membanjiri seluruh penglihatanku. Bunyi langkah kaki monster itu teragantikan oleh bunyi ‘bip bip’ dari mesin yang memonitori detak jantungku. Seorang wanita yang memakai seragam putih dan seorang wanita yang memakai gaun biru berdiri di di kiri kananku.
Wanita berseragam putih itu adalah dokter tentu saja. Dan wanita bergaun biru itu adalah Briony yang wajahnya basah oleh air mata.
Rasa kuatir mereka padaku membuat dadaku terasa sesak. Aku berusaha meyakinkan mereka bahwa aku baik –baik saja. Bahwa kadar gula di darahku terlalu rendah.
“Itu terjadi lebih sering dari yang kita duga.” Kata dokter itu.
Semua tes pemeriksaan yang dilakukannya tak satupun yang menunjukkan bahwa ada yang salah denganku. Tak seorangpun yang berpikir untuk melakukan tes pemindaian otak jadi mereka mengijinkanku pulang.
Dan sejak hari itu, gejala – gejala yang kurasakan semakin memburuk. Setiap pagi aku terbangun dengan migrain yang membuat tubuhku terasa lemas. Hampir tiap malam aku terbangun dari tidur karena mimisan yang berlangsung selama berjam – jam. Aku berusaha menyembunyikan semuanya dari Briony dan keluargaku dan meyakinkan diri bahwa ini hanya sementara. Aku tidak ingin membuat mereka kuatir dan aku yakin bahwa mimisan dan migrain ku lambat laun akan berhenti juga. Namun kenyataan sebenarnya pelan – pelan menampakkan dirinya padaku. Gejala – gejala yang kualami ditubuhku hanya sebagian kecil dari apa yang kutakutkan. Berikut adalah jurnal yang ku tulis yang berisi tentang gejala – gejala yang ku alami. Aku harus menulis nya untuk meyakinkan diriku sendiri bahwa aku tidak kehilangan akal sehatku.
31 Desember, Pesta Tahun Baru.
Salah seorang temanku mendatangiku dan berkata,
“Ayo, aku ingin menunjukkan sesuatu padamu.” Aku lalu mengikutinya dan tiba –tiba dia berseru,
“Hey! Aku ingin ke toilet, apa kau bisa memberiku sedikit privasi?”
Dia membantah bahwa dia memintaku untuk mengikutinya. Dan tak ada seorangpun yang mendengarnya berkata demikian.
9 Januari
Briony sedang merapikan tempat tidur malam itu. Aku duduk di kursi dan mengamatinya. Saat dia sedang memasang seprai, sesuatu jatuh dari kepalanya ke atas kasur. Aku hanya melihatnya selama beberapa detik tapi benda itu berwarna kehijauan dan tampak basah. Dia membentangkan seprai keseluruh tempat tidur dan menutupi benda itu. Saat aku bertanya dan membuatnya melepas lagi seprai itu, aku melihat tidak ada apa – apa di atas kasur.
19 Januari
Aku mengunjungi dosen ekonomiku di ruang kerjanya. Kami sedang membahas beberapa soal yang salah ku kerjakan pada ujian terakhir. Saat aku menatap wajahnya, aku melihat seekor lipan menukik keluar dari balik kerah bajunya dan mulai merayap ke lehernya. Aku langsung mundur dengan rasa ngeri luar biasa, membuatku hampir jatuh dari kursiku.
Kelabang itu merayap naik ke dagu dan mulutnya lalu menyelinap masuk ke dalam lubang hidungnya. Dosen ku menatapku dengan kening berkerut dan mencelaku karena bersikap aneh.
30 Januari
Bus yang mengantarku pulang berjalan dengan sangat lambat. Kami terjebak kemacetan ditengah jalan. Saat aku menyandarkan kepalaku ke jendela, aku melihat seorang pria gelandangan sedang berdiri diatas trotoar diluar bus. Dia memegang sebuah kertas yang bertuliskan “JANGAN BERKEDIP, ATAU AKU AKAN MENGHABISINYA”.
Tulisan aneh itu membuatku penasaran dan aku hanya bisa menatapnya selama beberapa saat. Pakaian yang dikenakannya sudah compang camping disana sini, aku bisa melihat bahwa kulitnya dipenuhi oleh debu dan kotoran. Walaupun demikian, wajahnya dihiasi oleh sebuah senyum lebar, dan tatapan matanya tertuju hanya padaku.
Aku mengedipkan mata. Dan saat aku membuka mata lagi, tulisan itu telah lenyap. Sekarang dia sedang memegang garpu daging besar ditangannya. Tatapan matanya yang terbelalak masih tertuju padaku dan tanpa mengalihkan pandangan dia mengangkat garpu itu mendekati lehernya lalu menancapkannya dalam – dalam disitu.
Darahnya megalir deras ke atas trotoar. Aku menoleh ke sekeliling ke arah penumpang yang lain untuk mencari tahu apakah mereka juga sedang melihat pria itu. Tapi semua orang tampak sibuk dengan telepon mereka atau koran yang sedang mereka baca.
Saat aku menoleh keluar bus lagi untuk melihat pria itu, dia sudah lenyap.
Bahkan tak ada ceceran darah sama sekali diatas trotoar.
4 Februari
Briony menelepon saat aku sedang berjalan menuju halte bus. Dia berkata bahwa aku meninggalkan buku Makro – Ekonomi ku di rak dekat dapur. Aku langsung berlari pulang ke apartemenku untuk mengambilnya. Dosenku akan menelanku hidup – hidup kalau aku lupa membawa buku itu lagi. Saat aku tiba dirumah, Briony tidak tampak dimanapun dan saat aku memeriksa riwayat panggilan di teleponku aku mendapati bahwa Briony tidak pernah meneleponku sama sekali pagi itu. Dan buku itu rupanya sudah kubawa di dalam tas ranselku.
16 Februari
Aku mendapati seorang pria berdiri di dalam kamar mandi pagi ini. Pakaian yang dikenakannya tampak koyak disana sini dan dipenuhi oleh noda – noda darah. Dia tersenyum luar biasa lebar dan ada sebuah lubang menganga di tenggorokannya. Pria itu adalah pria yang kulihat menikam dirinya sendiri diatas trotoar. Aku berusaha mengalihkan pandanganku sambil memejamkan mata berulang – ulang kali tapi dia masih tetap berdiri disana. Aku memutuskan bahwa aku tidak bisa mandi hari itu. Kurasa aku sudah mulai kehilangan akal sehatku.
17 – 22 Februari
Pria itu mulai sering muncul dimana – mana. Di dalam kamar tidurku, di dapur bahkan di dalam kelas. Dia hanya berdiri menatapku. Tapi dia bukan satu – satunya. Mayat – mayat lainnya mulai mengikutiku setiap hari. Hari ini aku diikuti oleh seorang gadis kecil yang tulang pergelangannya telah patah sedemikian rupa sehingga menekuk di balik kepalanya.
Kemarin aku melihat seorang pria yang mata dan hidungya tampak seakan – akan sudah disantap oleh binatang buas. Dan sehari sebelumnya aku diikuti oleh seorang wanita tua yang tulang belakangnya telah patah dan membuat tubuhnya membungkuk ke samping.
Mayat – mayat itu berbicara padaku. Tak ada seorangpun yang mendengar mereka kecuali aku. Mereka berbisik di telingaku dan bahkan aku masih bisa mendengar mereka walaupun aku sudah menutupi telingaku. Dari awal sejak aku mulai menulis jurnal ini, mereka sudah menyuruhku melakukan hal –hal mengerikan :
“Bunuh dirimu sendiri.”
“Gorok tenggorokanmu.”
“Tenggelamkan Briony.”
“Tikam Briony”
“Begini lebih baik.”
“Semua orang membencimu.”
“Mereka menertawaimu saat aku tidak ada.”
“Kau tidak berharga. Tidak berharga.”
“Mati Mati Mati Mati Mati Mati.”
Kurasa aku memang benar – benar sudah gila.
Pikiranku benar – benar sudah kacau saat aku menyelesaikan jurnalku. Orang – orang disekitarku terus – terusan bertanya apakah aku baik –baik saja dan bahwa aku tampak sakit. Rasa takut dan cemas berlebihan menggerogoti kepalaku dan setiap kali ada yang berbicara denganku aku tidak tahu apakah mereka benar – benar nyata atau hanya sedang berhalusinasi.
Suatu hari Briony menemukanku sedang berbaring di ujung tempat tidur dengan sebuah pisau ditanganku. Dia merasa cemas karena aku belum membalas pesannya selama beberapa jam. Aku tentu saja tidak bisa membalas pesannya karena salah satu dari mayat – mayat itu sudah mengambil teleponku. Saat Briony menemukanku aku benar – benar sudah siap untuk menghabisi diriku sendiri.
Aku hanya ingin suara – suara di dalam kepalaku berhenti.
Dia memaksa untuk membawaku ke rumah sakit. Seorang dokter spesialis langsung melakukan serangkaian test dan pemindaian otak padaku. Hasilnya menunjukkan bahwa aku memiliki sebuah tumor di bagian depan otakku. Dokter menjelaskan bahwa tumor dengan ukuran dan lokasi seperti itu dapat menyebabkan halusinasi penglihatan dan pendengaran seperti yang kualami.
Dia juga berkata bahwa akan sangat sulit bagi penderitanya untuk membedakan mana yang nyata dan tidak nyata. Mereka haus segera mengoperasiku. Dan ini adalah prosedur yang sangat beresiko. Ada kemungkinan bahwa otakku akan mengalami kerusakan permanen. Bahkan yang lebih mengerikan lagi, ada kemungkinan bahwa tumor itu sudah menyebar sampai ke bagian dalam otakku. Kalau benar demikian maka mustahil untuk mengeluarkannya dari dalam kepalaku. Bahkan apabila mereka berhasil melakukannya, masih belum bisa dipastikan apakah masih ada sisa – sisa tumor itu yang tertinggal. Dan satu – satunya cara untuk memastikannya adalah dengan menunggu dan melihat kalau – kalau gejalanya kembali lagi.
Aku tidak yakin apakah aku ingin menjalani operasi itu. Saat Briony mengetahui betapa mengerikannya gejala tumor itu, dia berkeras agar aku dioperasi. Rumah sakit lalu memasukankku dalam daftar pasien yang akan menjalani operasi keesokan harinya. Aku tidak bisa tidur malam itu memikirkan bahwa otakku mungkin akan rusak selamanya. Aku merasa takut bahwa aku mungkin tidak akan kembali normal lagi.
Briony menjagaku semalaman. Tak peduli betapa takutnya aku dan seberapa banyaknya air mataku mengalir dia tetap berkata apdaku bahwa semuanya akan baik –baik saja. Dia benar – benar sangat menyayangiku. Tidak peduli dalam keadaan seburuk apapun, dia tetap bisa bersikap tenang dan sabar. Aku tidak mungkin melewati semua ini tanpa dirinya.
Keesokan harinya dia mengantarku ke rumah sakit. Jantungku berdebar – debar membuat dadaku terasa sesak. Saat aku akhirnya terbaring lemas diatas troli, napasku benar – benar sudah tidak dapat ku kendalikan. Briony berdiri disampingku saat para petugas rumah sakit membantuku bersiap – siap untuk operasi. Dia menggenggam tanganku sambil berkata bahwa semuanya akan baik –baik saja. Saat dokter muncul dan membawaku ke ruang operasi, dia meremas tanganku dan mengecup dahiku. Dia pasti sama takutnya denganku karena aku bisa melihat matanya mulai berkaca – kaca. Sebelum aku dibawa masuk ke dalam ruang operasi aku masih sempat mendengarnya berkata “Aku mencintaimu. Semoga operasinya berjalan lancar.”
Briony adalah hal terakhir yang kupikirkan saat mereka menaruh masker menutupi wajahku. Dan saat obat bius pelan – pelan membawaku jauh ke bawah alam sadarku, aku mengucap syukur pada Tuhan karena telah membawa Briony masuk ke dalam kehidupanku.
Selama operasi berlangsung, aku bermimpi aneh. Dalam mimpiku, aku sedang berjalan menyusuri lorong di sebuah Hotel kecil. Tak peduli seberapa lamanya aku berjalan, lorong itu tampaknya tak berujung. Tak ada yang menjawab saat aku mengetuk pintu – pintu kamar sepanjang lorong itu. Hanya ada aku sendiri.
Lalu aku terbangun dengan rasa sakit luar biasa di kepalaku. Seorang suster tampak berdiri disampingku. Aku mencoba untuk berbicara tapi mulutku terasa begitu kering. Dia memberiku segelas air yang langsung ku teguk dengan rakus. Saat rasa kering di mulutku mereda, aku akhirnya bisa berbicara lagi.
“Apakah... operasinya berjalan lancar?”
“Ya, Tuan. Operasinya berlangsung dengan baik. Tumor di kepala anda berhasil kami keluarkan tanpa ada komplikasi.”
Aku langsung merasa lega, seakan – akan sebuah beban berat telah diangkat dari dadaku. Sudah berakhir. Aku merasa seperti sedang menahan napas selama beberapa bulan terakhir ini dan sekarang aku sudah bisa bernapas dengan lega lagi. Beberapa jam kemudian, suster itu memberitahu bahwa ada seseorang yang datang menjengukku. Rupanya Ibuku. Jujur saja aku merasa sedikit terkejut walaupun aku sudah memberi tahunya bahwa aku akan menjalani operasi, tapi aku tidak menyangka bahwa dia akan jauh – jauh kesini untuk menjengukku. Rumah orang tuaku berjam – jam jauhnya dari apartemenku dan aku tahu Ibuku tidak suka menyetir. Tapi aku senang luar biasa melihatnya.
Beberapa saat setelah Ibuku tiba, ayahku dan beberapa orang temanku juga datang untuk melihat keadaanku. Wajah mereka juga tampak lega dan aku hanya bisa tersenyum seakan – akan sudah berbulan – bulan lamanya aku tidak melihat mereka.
Ibuku lalu menjelaskan situasiku pada teman – temanku, tentang betapa gawatnya tumor yang kuderita dan bahkan sempat berkelakar tentang bagaimana aku mulai bertingkah seperti orang yang sudah kehilangan kewarasannya. Dan kemudian dia lalu mengucapkan sesuatu yang aneh.
“Saat dalam perjalanan ke rumah sakit, dia tampak benar – benar ketakutan!” kata Ibuku dan itu membuatku merasa aneh.
“Bagaimana Ibu bisa tahu bagaimana tampangku waktu itu?” tanyaku.
Ibuku menatapku dengan ekspresi bingung di wajahnya.
“Entahlah. Tapi kau memang tampak benar – benar ketakutan.” jawabnya.
“Bukan begitu. Bagaimana mungkin kau bisa tahu bagaimana tampangku waktu itu sedangkan kau tidak ada di dalam mobil saat aku dalam perjalanan ke rumah sakit, Bu?”
“Tentu saja aku ada disana. Menurutmu siapa yang mengantarmu ke rumah sakit?” jawab Ibuku sambil memutar bola matanya.
Tiba – tiba perutku terasa mual. Ada sesuatu yang salah. Bukan Ibuku yang mengantarkanku ke rumah sakit. Tapi Briony lah yang mengantarku.
Aku memandang sekeliling ruangan tapi Briony tidak tampak dimanapun.
“Mom, dimana Briony?”
Ibuku mengangkat bahu dan berkata dia tidak tahu. Aku lalu meminta teleponku dan dia langsung mengeluarkannya dari dalam tasnya. Ini benar – benar aneh. Aku yakin bahwa aku menitipkan teleponku pada Briony.
Beberapa menit kemudian berjalan seperti dalam mimpi. Aku memeriksa teleponku mencari pesan – pesan dari Briony. Bahkan pesan terakhir darinya tidak ada sama sekali. Namanya pun tidak terdaftar di kontakku.
Wajah semua orang tampak kuatir saat mereka menatapku. Aku berteriak memanggil perawat yang menjagaku tadi.
“Apa kau melihatku saat datang ke rumah sakit tadi pagi?” tanyaku padanya.
“Ya, Tuan. Apa anda baik –baik saja?”
“Apa kau melihat gadis yang datang bersamaku?”
“Maksudnya, ibu Anda?”
“Bukan. Gadis yang seumuran denganku. Namanya adalah Briony.”
“Yang datang tadi pagi mengantar anda kesini adalah ibu Anda."
Saat tumor itu masih berada di dalam kepalaku, aku selalu mempertanyakan segala hal yang kulihat dan kudengar. Apapun yang ku lihat bisa saja adalah halusinasi. Apapun.
Mereka lalu bercerita bahwa Ibukulah yang menemukanku terbaring di sudut tempat tidur dengan sebuah pisau ditanganku setelah dia mengemudi selama berjam – jam untuk menengok keadaanku karena aku tidak pernah membalas pesan – pesannya. Tak seorangpun ingat pernah melihat gadis bernama Briony. Teman – temanku berkata bahwa mereka jarang melihatku selama berbulan – bulan. Aku telah mengunci diri di apartemenku dan menolak untuk berbicara dengan siapapun.
Dan selama itu aku berpikir bahwa aku berada bersama – sama dengan Briony. Menghabiskan berjam – jam bercakap – cakap dengannya. Percakapan yang tidak pernah terjadi.
Briony tidak pernah ada. Satu – satunya gadis yang kucintai hanyalah sebuah ilusi. Dia tidak pernah ada.
Dia tidak pernah ada. Dia adalah segalanya bagiku dan bahkan dia tidak nyata.
Aku masih menatap gumpalan tumor di dalam toples di hadapanku. Aku sudah berpesan pada perawat untuk tidak mengizinkan siapapun masuk kedalam ruanganku. Aku perlu waktu menyendiri dengan tumor ini. Karena aku yakin disuatu tempat di dalamnya ada Briony yang sedang menungguku. Merindukanku seperti aku merindukannya. Saat aku bertanya pada dokter apakah dia bisa memasukkan tumor itu lagi ke dalam kepalaku, dia hanya tertawa. Dipikirnya aku hanya sedang bercanda.
Aku merasa seakan – akan hatiku telah hancur berkeping – keping. Yang terburuk dari semua ini adalah, setelah tumor itu berhasil diangkat dari dalam kepalaku, aku semakin sulit mengingat wajah Briony. Atau bahkan saat kami masih bersama.
Ingatanku tentangnya semakin memudar.
Aku hanya bisa berharap sekarang bahwa kanker itu sudah terlanjur menyebar jauh ke dalam kepalaku. Bahkan mungkin tumornya akan tumbuh kembali. Dan aku mungkin akan bertemu dengan Briony lagi.
Saat aku masih sakit dan dihantui oleh halusinasi – halusinasi itu, aku berharap bahwa mereka akan segera berhenti. Tapi sekarang aku berharap bahwa mereka tidak pernah lenyap. Aku tidak peduli apakah aku harus melihat semua hal – hal yang mengerikan itu lagi asalkan aku bisa melihat wajah Briony sekali saja.
Aku berharap dan berdoa agar kankerku kembali.
Subscribe to:
Posts (Atom)